"Mama serius, besok kita semua akan pergi berlibur?" setelah menutup pintu kamar Luna, Evelyn bertanya pada sang ibunda. Di benaknya penuh tanda tanya, sebab Arini belum pernah membicarakan perihal liburan sebelumnya.
"Kau lupa? Besok hari pernikahan Juna, Sayang. Sepupumu yang di Jakarta itu." Arini menelengkan kepala, menjawab seraya melangkah beriringan bersama putrinya menuju kamarnya di lorong paling ujung. Kamar di rumah mereka memang saling bersebelahan dan berurutan."Oh, astaga!" Evelyn menepuk jidatnya saat mengingat tentang hal yang ibunya katakan, namun senyumannya mengurva lebar. "Jadi, Kak Juna benar akan menikah besok?!""Begitulah. Kau tampak sering melamun akhir-akhir ini. Memikirkan apa, hm?" Arini berdiri di depan pintu kamarnya. Urung membuka pintu, ia justru tampak bersedekap menatap sang putri.Evelyn tersentak mendengar pertanyaan Arini. Ternyata ibunya begitu peka terhadapnya, tetapi untuk jujur pun terlalu sukar bagi wanita itu."... tidak ada." Pada akhirnya hanya itu yang mampu Evelyn katakan."Jangan bohong! Jangan bilang kalau kau masih saja berharap jika pria itu akan datang menemuimu?" ada raut curiga di dalam pandangan tajam Arini."...."Sedangkan Evelyn hanya mampu terdiam, sebab tebakan Arini memang benar adanya. Cahaya di mata wanita itu meredup lalu ia menundukkan kepala. Dibandingkan harus melihat wajah kecewa sang ibu, ia memilih untuk menatap lantai keramik di bawah kakinya.Bukan tanpa alasan Evelyn kembali mengingat Damian akhir-akhir ini. Putri mereka semakin besar sekarang. Dan semakin hari wajah Luna semakin mirip saja dengan ayahnya. Mata Luna yang berwarna biru membuat Evelyn seakan menatap mata Damian setiap kali menatapnya. Yah, meskipun delapan puluh persen sang putri memiliki gen dominan dirinya."Berhentilah mengharapkan sesuatu yang mustahil, Nak. Pria itu bukan seorang yang baik untukmu. Jika dia orang baik, dia tidak akan lari dari tanggung jawab." Tatapan Arini melunak, ia meraih dagu Evelyn sehingga mereka saling bertemu mata. Sebagai seorang ibu, tentu dirinya tidak tega melihat putri tercintanya bersedih begitu."Karena dia tidak tahu jika Eve hamil, Ma." Suara lembut itu teralun lirih. Meski begitu, Arini masih mampu mendengarnya."Apakah selama lebih dari 5 tahun ini dia pernah membalas pesanmu? Atau ... mencoba menghubungimu? Tidak pernah, bukan?" Arini memindai kedua mata sang putri, seakan sedang menelanjangi pemikirannya. Sebagai seorang ibu tentu ia mencoba mengerti tentang apa yang putrinya rasakan. Ia terlalu menyayanginya meskipun jawaban Evelyn masih saja penuh pembelaan terhadap pria tak bertanggungjawab itu."Bahkan nomornya sudah tidak aktif lagi sejak malam itu." Ada perih yang Evelyn rasa setelah berucap begitu. Ia kembali menundukkan muka. Atas ucapan sang ibunda, membuat ia berpikir bahwa pria itu mungkin saja sudah melupakannya."Kau sudah melangkah sejauh ini, jangan sampai semua yang sudah Mama dan Papa korbankan untukmu dan Luna menjadi sia-sia. Kau masih muda, cobalah buka hatimu untuk pria lain selain dia. Percuma memikirkan seseorang yang bahkan kau sendiri tidak yakin jika dia pun memikirkanmu. Pernahkah kau berpikir jika ternyata sekarang dia sedang berbahagia bersama wanita lain? Kau juga berhak bahagia, Sayang. Lupakan dia."Melupakan, ya?Ah, Evelyn jadi kembali teringat malam itu. Malam yang menjadi malam paling kelam untuknya. Sambil bermandi hujan, ia menyaksikan sendiri bagaimana sang ayah mengendarai motor menuju rumah Damian, untuk meminta pertanggungjawaban. Tongkat baseball sudah ada di tangannya, berniat untuk menghajar pemuda itu.Namun, nasib baik seakan enggan berpihak pada keluarga Evelyn. Ketika sang ayah kembali, lagi-lagi hanya rasa kecewa yang mampu pria baya itu bawa pulang; Damian bersama keluarganya sudah tidak berada di rumahnya, mereka semua sudah pergi ke luar negara. Entah negara mana yang menjadi tujuannya, Evelyn tidak mengetahuinya."... iya, Ma." Evelyn menjawabnya dengan begitu lemah. Ia memilih untuk kembali menuruti kata ibunya, karena dirinya pun mulai lelah mengharapkan sesuatu yang terasa begitu mustahil terjadi. Ia pun paham bahwa apa yang sang ibunda katakan memang hal yang terbaik untuknya, pula untuk putrinya. Ia berhak bahagia, seperti apa kata sang ibu."Sekarang tidurlah. Besok adalah hari yang panjang untuk kita. Juna bilang, dia ingin memperkenalkan dirimu pada salah satu rekannya."Evelyn mendongak secara spontan. Ucapan ibunya membuat dirinya membangun berbagai spekulasi di kepala. Apakah dirinya hendak dijodohkan?***"Kau tidak ingin pulang? Ini sudah lebih dari tengah malam, Damian."Yang ditanya tampak meletakkan gelas ke atas meja, isinya tinggal separuh. Tentu yang Damian minum bukanlah minuman untuk meredakan dahaga, itu adalah minuman beralkohol yang ia harap mampu membuat dirinya merasa tenang. Suara musik yang mengentak terasa berdenging di telinga, namun pria itu cukup menikmatinya."Aku sedang malas." Hanya satu kalimat pendek yang menjawab pertanyaan. Satu embus napas berat terdengar, kemudian Damian menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi."Bertengkar lagi?" Bintang, pria yang duduk bersama Damian kembali menanyai. Pria yang bekerja satu kantor dengannya itu mulai membakar ujung rokok yang terselip di sela bibir. Mereka memang cukup akrab, sehingga sedikit banyak Bintang mengetahui permasalahan di keluarga Damian."Tidak. Hanya sedikit merasa kesal dengan ibuku. Wanita dengan segala kerumitannya. Entah apa sebenarnya maunya? Aku jadi begini pun atas permintaannya."Topik yang Damian ucap nyatanya cukup menarik rasa penasaran Bintang. Pria itu menegakkan posisi duduknya, membuang bara api di ujung rokoknya pada asbak di atas meja. "Apa yang terjadi?""Wanita itu membicarakan hal omong kosong tentangku. Bukankah hal yang kita petik sekarang adalah buah dari hasil yang kita tanam di masa lalu? Lalu, wanita itu dengan entengnya mengatakan bahwa dia merindukan diriku yang dahulu." Kekehan sumbang teralun sebelum Damian kembali menyesap minuman memabukkan miliknya. Tanpa dijelaskan pun sudah sangat tampak bahwa pria berdarah Jerman itu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan sang ibu."Yah, aku memang tidak begitu mengerti bagaimana persisnya permasalahanmu dengan kedua orang tuamu. Namun, sebagai teman baik, aku hanya mengingatkan, bagaimanapun mereka, mereka berdua tetaplah orang tuamu, berkat mereka berdualah kau ada di dunia ini, Damian. Jangan terlalu menaruh benci, atau kau akan menyesal di masa yang akan datang.""Bahkan jika boleh memilih, aku tidak akan ragu memilih untuk tidak dilahirkan dari orang tua seperti mereka." Atas nasihat Bintang, Damian justru berdecih. Ia makin merasa kesal, meskipun ia sadar bahwa ucapan Bintang memang ada benarnya. "Sudahlah, lebih baik kau minum lagi. Aku sudah muak membahas masalah itu. Jangan semakin membuatku pusing kepala!""Hahh ... baiklah. Kau akan mengerti bagaimana rasanya jika nanti sudah menjadi orang tua." Bintang memilih mengalah. Ia kembali menghisap tembakau di sela bibir, kemudian mengembuskan asapnya ke udara."I'm not sure. Bahkan aku sudah berencana untuk tidak memiliki keturunan. Selamanya." Salah satu sudut bibir Damian terangkat sebelum ia meraih sebatang nikotin di dalam kotaknya kemudian menyelipkannya di sela bibir. Pria itu menyalakan pemantik, bersiap membakar ujung rokoknya.Damian hanya belum tahu tentang status dirinya yang sebenarnya.***Tbc...Sepotong baju yang terlipat rapi sekali lagi masuk ke dalam koper pink milik Luna. Itu adalah baju-baju yang akan si gadis kecil kenakan selama mereka di Jakarta. Memang tidak banyak, sebab mereka memang berencana untuk segera kembali ke Surabaya setelah acara pesta pernikahan telah selesai.Terkecuali Evelyn.Ya, wanita itu memang akan tinggal di ibu kota dalam waktu yang cukup lama. Ia ingin melanjutkan kuliah di kampus impiannya di sana, tentu saja sekaligus untuk mencari pengalaman kerja. Selama tinggal di Surabaya ia merasa begitu terkekang, kedua orang tuanya terlalu over protektif padanya, selalu saja melarangnya untuk lebih mengenal dunia luar. Dan kini Evelyn ingin keluar dari zona nyamannya selama ini. Biar bagaimanapun, ia ingin bekerja dan bisa hidup mandiri."Nah, sudah siap. Sekarang Luna bisa beristirahat sebentar sebelum mandi. Masih merasa dingin, bukan?" Evelyn berucap seraya menarik risleting koper Luna, sedangkan atensinya telah tercurah penuh pada wajah menggemas
Acara resepsi pernikahan itu tampak ramai malam ini. Segala sisi gedung dipenuhi banyak tamu undangan berpenampilan glamor dengan dresscode warna emas. Pukul 8 tepat Evelyn beserta keluarga pada akhirnya menapakkan kaki ke tempat resepsi pernikahan Arjuna. Sebenarnya mereka sudah sampai di Jakarta sejak menjelang siang tadi. Namun, karena merasa lelah akibat penerbangan dari Surabaya selama 1 jam lebih di atas awan, mereka memilih untuk sekedar melepas penat di rumah mempelai pria, terlebih mereka membawa seorang balita."Ma, Luna mau pipis!" tarikan tangan Si kecil Luna pada tangan Arini yang menggandengnya, membuat wanita baya itu menghentikan langkah kaki kemudian menaruh afeksi padanya. Evelyn dan Sang ayah yang berjalan di belakang mereka turut berhenti."Kebelet, ya? Baiklah." Sedikit membagi senyum untuk Luna, Arini mengalihkan tatapan pada Evelyn dan suaminya. "Eve, Mama dan Luna ke toilet dulu. Kamu temui Juna dulu bersama Papa, nanti kami menyusul.""Iya, Ma." Sebuah angguk
Menghadiri pesta pernikahan nan meriah adalah hal yang cukup merepotkan untuk Damian. Ia merupakan tipe pria penyuka ketenangan. Bila boleh jujur, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik klasik di kamarnya daripada harus berkumpul dengan banyak orang seperti ini. Beruntung seseorang yang ia ajak bersedia untuk menemaninya malam ini."Itu dia pengantinnya. Kita langsung ke sana?" pria tinggi berperawakan asing itu menunjuk kedua mempelai pengantin lewat tatapan kedua mata birunya. Dan wanita yang mengamit lengannya merekahkan senyum manis pertanda setuju."Boleh."Namun, di tengah langkah beriringan mereka, Damian kedapatan mengerutkan keningnya. Ia baru sadar bahwa ada sosok yang tampak familier di dekat kedua pengantin."Bukankah itu Aksa?" lirihnya, lebih pada diri sendiri. Ah, rupanya ia tak menyadari kehadiran satu sosok lain. Sosok bertubuh mungil yang tampak terhalang sosok Si pengantin pria, Evelyn. Wanita itu memang sengaja mengatur posisinya agar tak sampa
"Apa tidak sebaiknya kalau kalian menginap lebih lama di sini? Luna terlihat nyenyak sekali. Kasihan kalau harus dibangunkan." Adalah Arjuna, seseorang yang berbicara ketika melihat Burhan dan Arini muncul dengan menggeret sebuah koper dari kamar yang mereka tempati di rumah itu. Penampilan sepasang suami-istri itu sudah tampak rapi meskipun jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam."Kami masih memiliki pekerjaan di Surabaya yang tidak bisa ditinggal lama, Nak. Lagi pula Luna juga harus tetap bersekolah di sana." Burhan yang menjawabnya. Pria baya itu mendudukkan diri di kursi empuk yang tersisa, disusul Sang istri yang duduk di sisinya. Sebenarnya Burhan merasa tidak tega saat menatap Luna yang tertidur berbantalkan paha Evelyn, raut lelah tampak jelas menghiasi gurat wajah gadis kecilnya. Kemarin malam Luna memang begitu bersemangat mengikuti setiap rangkaian pesta pernikahan Arjuna dan Karenina, bahkan balita itu baru bisa tidur setelah tengah malam. Sedangkan Evelyn hanya
Setelah bergelut dengan kemacetan lalu lintas, pada akhirnya mobil hitam metalik yang Damian kemudikan sudah berhenti di sisi gerbang rumah Arjuna. Pria itu kembali membaca peta elektronik di ponselnya, kembali memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar sampai di titik tempat tujuan sesuai denah lokasi yang Evelyn kirimkan tadi malam."Sepertinya benar ini alamat rumahnya." Damian bergumam pada diri sendiri saat menatap hunian megah itu. Ia membuka pintu mobilnya kemudian menapakkan kaki pada paving di sekitar gerbang. Setelahnya, ia mendudukkan diri di kap mobilnya. Cuaca yang cukup terik siang itu tak sedikit pun membuatnya takut jika kulitnya akan terbakar.[Aku sudah sampai di depan gerbang.]Setelah yakin bahwa rumah besar bergaya Romawi itu benar tempat wanita yang ingin ia temui tinggal, Damian segera mengetikkan pesan untuknya. Ia memang sudah menantikan pertemuan ini sejak semalam. Tidak bertemu setelah bertahun lamanya membuat ia menanggung rindu yang begitu menggunung terha
Taman di halaman rumah berhiaskan berbagai macam bunga warna-warni menyambut pandangan Evelyn kala dirinya memutuskan keluar dari pintu rumah yang ia tinggali. Ada 2 buah kursi panjang berbahan besi yang dicat putih berada di tengah-tengah, saling berhadapan, bersekatkan sebuah meja berbentuk kubus yang dicat serupa.Sosok Karenina terlihat di antara tanaman indah itu, sedang membawa sebuah gembor untuk menyiram bunga-bunga di sudut kanan. Cahaya oranye senja yang menimpa, membuat sosok Sang kakak ipar tampak bercahaya. "Bisakah aku membantumu, Kak?" wanita itu berinisiatif menawarkan bantuan saat jarak sudah terpangkas. Karenina menoleh ke asal suara, dan ia tersenyum saat tatapannya menemukan sosok Evelyn. Ia tentu menyambut niat baik adik sepupunya."Tentu, Eve. Kau bisa menyiram bunga-bunga di bagian sana, ya? Di bagian sini biar aku saja." Ia menunjuk ke sisi kiri, pada sekumpulan tanaman bunga Lily dengan warna yang berbeda-beda."Siap." Gembor yang berada di sisi kran segera
"Papa ... Papa ...."Suara itu terdengar berdengung di telinga Damian. Suara seorang anak kecil perempuan yang cukup familier di telinga pria itu, suara yang jelas-jelas memanggil dirinya dengan sebutan 'Papa', meskipun ia tidak pernah dengan jelas mampu melihat sosoknya. Hanya samar-samar, di sudut kegelapan.Mata biru itu masih erat memejam, peluh pun telah membanjiri pelipisnya, membuat bantal yang ia gunakan menjadi basah. Bunga mimpi itu kembali hadir menyapa setelah sekian lama, entah mengapa. Kepala pria itu bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya, lengkap dengan napas yang tidak beraturan. Akibatnya, seorang wanita yang berbagi tempat tidur dengannya menjadi terusik dari mimpi indahnya.Wanita itu ... Kiara Laurencia. Ia terbangun ketika merasa tempat di sisinya berguncang-guncang. Saat kedua mata indahnya membuka kemudian menemukan Sang tunangan dalam kondisi seperti itu, secara spontan ia terduduk demi meneliti lebih jelas raut tampan itu dengan kening mengernyit. "Sayang ...
"Sampai jumpa besok, Eve.""Sampai jumpa." Evelyn membalas lambaian tangan kedua teman barunya ketika menemui belokan, mereka menuju ke parkiran sedangkan dirinya tetap berjalan lurus menuju halaman depan untuk mencegat bus. Ia kedapatan membenarkan tali tas di bahu, lalu menatap lurus ke depan untuk meneruskan ayunan langkah kaki.Berusaha terlihat baik-baik saja saat perasaan tak menentu merupakan hal yang sukar untuk dilakukan. Senyum itu memang terulas di wajah jelita Evelyn, namun senyuman yang tak pernah sampai ke mata. Meski suasana hati wanita itu cukup kacau, namun ia masih mampu menahannya agar proses belajarnya tetap berjalan lancar. Entah bagaimana ucapan Damian tadi malam sukses membuatnya merasa sakit hati seharian ini. Perih sekali rasanya saat Damian berkata bahwa pria itu menginap di apartemen milik tunangannya. Tidur di ranjang yang sama, hal mustahil jika mereka tidak melakukan sesuatu, bukan? Pria itu pun pernah melakukan hal serupa saat bersama dengan dirinya be
Kacamata hitam itu ia lepas kasar lalu diselipkan pada saku jas. Selanjutnya hela napas rendah terembus ketika ia mencoba bersikap tenang. Ya, ia harus tetap mampu mengontrol emosinya kendati ia cukup merasa kesal ketika melihat tingkah si putra semata wayang di depan sana.Pria matang itu adalah Bennedict Alexander. Ia datang dan mengikuti Damian sesuai janjinya; ia akan membantu putranya untuk meraih kebahagiaan. Dan kebahagian cetak biru dirinya itu adalah bersatu dengan Evelyn beserta Luna, maka sebagai seorang ayah tentu ia akan mengusahakannya dengan cara apa pun agar mampu mewujudkan impian sang putra.Sejujurnya Bennedict memiliki alasan yang kuat selain karena kasih sayangnya sebagai seorang ayah sehingga repot-repot datang ke Surabaya. Ia merasa bersalah. Ia sadar bahwa setelah kematian Darren Alexander, ia memperlakukan Damian dengan semaunya. Kasarnya, ia ingin menebus kesalahannya pada si putra bungsunya itu.Langkah panjang itu memutus jarak dengan tenang, lalu berdiri d
"Kau harus selalu mengingat apa kata Psikolog padamu." Obrolan itu mengalir di sela perjalanan menuju ke tempat parkir. Satu sesi konseling telah terlewati, dan kini mereka hendak kembali ke rumah."Iya." Pria berwajah oriental itu mengangguk, menyelaraskan langkah kaki dengan sang ibu, melewati jalan paving berpayungkan teduhnya pohon Tabebuya di sekitarnya."Jangan hanya diingat, kau harus melakukannya juga, Aksa." Lian Wijaya menyempatkan dirinya menatap sisi wajah tampan nan tirus itu, lengkap dengan ekspresi serius.Namun, putranya itu justru terkekeh kemudian berhenti melangkah demi memberikan atensi penuh pada wajah ibunya. "Baiklah, Mama. Aku akan melakukannya. Jangan khawatir begitu.""Kau satu-satunya putra Mama, Aksa. Mama hanya khawatir.""Aku tahu." Anggukan kepala Aksa berikan sebelum menyimpan kedua tangan di saku celana, bibir tipisnya mengukir senyum simpul. "Maaf karena aku sudah membuat Mama khawatir begini. Aku akan segera sembuh, seperti apa yang Psikolog katakan
"Kau sangat menyedihkan, Aksa!" kalimat itu lolos dari mulutnya ketika melihat pantulan dirinya sendiri di dalam cermin.Tatapan mata sehitam jelaga itu tak lagi berkharisma. Bagian bawah matanya yang menghitam menjadi bukti bahwa akhir-akhir ini pria itu tak pernah mendapati tidur yang nyenyak. Aksa Wijaya tampak kurus setelah gagal menikah. Dan kondisinya semakin memprihatinkan setelah menerima telepon dari Evelyn beberapa hari lalu.Suara ketukan di pintu kamarnya membuat atensi Aksa teralihkan. Sosok ibunyalah yang muncul dari balik daun pintu, menatap khawatir padanya."Mama," lirihnya.Lian Wijaya, ibunda Aksa mengalihkan tatapan mata pada nakas di sisi ranjang anaknya. Semangkuk sup jamur dan segelas air putih di atas nampan yang ia letakkan di sana pagi tadi tampak sedikit pun tak tersentuh. Sorot mata tua nan sipit itu seketika berubah sendu ketika mulai memutus jarak pada pria yang masih setia berdiri di depan cermin almarinya. "Kenapa sarapanmu masih utuh, Aksa?""Aku sedan
Setelah pesawat yang ia naiki mendarat di Bandara pagi ini, Damian segera menuju ke alamat rumah sakit yang ayahnya katakan di telepon. Ya, mau tidak mau pria itu pulang ke Jakarta. Bukan karena rasa takut, ia hanya merasa bersalah pada perempuan yang nyaris akan menjadi istrinya itu.Kedua orang tuanya sudah ada di kursi tunggu yang terletak di depan ruang perawatan Kiara Laurencia ketika langkah kaki panjang si pria menjejak di sana. Ada sosok ibunda si pasien yang duduk di sisi Sasmitha Alexander; ibunya. Dari raut wajah senja itu, Damian mampu melihat kabut duka yang pekat.Apakah ... kondisi Kiara begitu parah?Meski anak-anak mereka tak jadi menikah, namun ibu Kiara masih berhubungan baik dengan keluarga Damian. Pun keluarga pria itu pun memperlakukan mantan calon besannya serupa, mereka sudah bagaikan keluarga. "Damian, akhirnya kau datang." Sasmitha yang akhirnya lebih dulu menyadari kedatangan sang putra segera menyapa.Bennedict yang melihat wajah Damian kembali babak belur
Hal terakhir yang Damian ingat adalah pukulan Hiashi yang begitu kuat, selanjutnya kegelapan yang menyergap penglihatannya. Kini kepalanya terasa berdenyut-denyut, sangat tidak nyaman, menyakitkan. Bukan, bukan karena tinjuan si pria baya yang membuatnya kehilangan kesadaran. Ia tidak selemah itu. Hanya saja, tubuhnya memang sedang tidak dalam stamina yang baik hari ini, dan kebetulan pukulan terakhir dari ayah wanita yang ia cintai itu mengarah tepat di kepala. Ia goyah, dan ia tidak mengingat apa pun lagi setelahnya.Selanjutnya pria itu perlahan membuka mata, detik selanjutnya cahaya perlahan masuk ke retina matanya dan ... ia tersenyum. Meskipun samar, ia dapat mengenali sosok itu, sosok wanita berambut panjang yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring dalam ruangan yang asing, kamar tamu jika tebakannya benar. Suara isak yang terdengar menguatkan dugaan si pria bahwa wanita itu tengah menangis. Ya, menangisi dirinya. Ada rasa hangat yang perlahan merambat di dada ketika me
Evelyn memang tergolong wanita yang rajin. Meski udara masih terasa dingin menggigit, ia sudah tampak beraktivitas di luar rumah. Ada sapu di tangannya, ia sedang membersihkan daun-daun kering yang berguguran di halaman."Masih pukul 6, apakah Aksa sudah bangun?" Wanita itu berujar pada diri sendiri, sejenak menghentikan gerakannya.Sekian detik berlalu, akhirnya Evelyn memutuskan untuk menelepon. Ia mengambil ponsel di saku celana, mencari kontak pria yang ingin ia hubungi kemudian menempelkannya di salah satu daun telinga.Dan tak lama kemudian terdengar suara dari ujung telepon sana, suara berat yang tak asing di telinga Evelyn."Hm." Hanya satu dehaman. Ya, hanya sebuah dehaman, namun hal itu cukup membuat jantung Evelyn berguncang, berdetak menyakitkan. Rasa bersalah itu kembali datang menyerang."Aksa, bagaiman—""Kukira kau sudah tak lagi mengingatku." Aksa sengaja memotong ucapan Evelyn. Meski dikatakan dengan nada biasa, namun tak mampu menutupi kegetiran di dalamnya.Di saat
Cinta memang mampu membuat orang waras menjadi gila. Damian tak pernah merasa tenang sebelum bisa memiliki Evelyn, pun sang putri. Setidaknya ... ia harus sesegera mungkin menemui mereka, terutama si wanita pemilik hatinya. Ia ingin meminta penjelasan atas ucapan wanita itu tempo hari, perkataan yang sukses membuat hatinya hancur berkeping.Meskipun sang ayah berkata akan membantunya mendapatkan kedua perempuan yang ia cintai di dunia, namun ia bukanlah pria manja yang hanya menunggu bala bantuan tanpa usaha. Ia akan berjuang dengan tenaga dan tangannya sendiri.Malam itu juga Damian putuskan untuk mendatangi Arjuna di kediamannya. Tepat setelah menepikan mobil, ia bergegas turun kemudian menghampiri satpam yang berjaga di dekat gerbang hunian megah itu."Selamat malam, bisakah saya bertemu dengan Tuan Arjuna?" pria bertubuh tegap nan menjulang tinggi itu bertanya di balik pintu gerbang ketika dua satpam mulai datang mendekat atas kehadirannya."Selamat malam, Tuan. Apakah Anda sudah
Suasana hangat itu sudah tidak lagi Evelyn rasakan. Meskipun kini mereka tengah berkumpul di meja makan, namun hanya berteman keheningan. Setiap anggota keluarga sibuk dengan hidangan pun pikirannya masing-masing.Jujur saja Evelyn merasa tak nyaman dengan kondisi yang seperti ini. Arjuna kentara masih menyimpan kebencian padanya. Meskipun duduk di meja yang sama, pria berambut gondrong itu sedikit pun tak melihat ke arahnya, seakan kehadirannya tak pernah ada."Kak Juna tidak ingin mencicipi capcaynya? Aku sendiri yang memasaknya, loh." Evelyn mencoba membuka obrolan pada akhirnya. Ia hanya ingin mencairkan kebekuan di antara mereka.Capcay adalah makanan kesukaan pria itu. Tentu saja ia berharap jika Arjuna akan memberikan respons atas ucapannya, pun sedikit apresiasi atas sajian makanan yang ia buat khusus untuknya.Namun, ekspektasi memang sering kali tak sesuai fakta. Arjuna nyatanya tak sedikit pun mengindahkan ucapan Evelyn. Ia acuh tak acuh dan justru menyendokkan lauk lain ke
Sasmitha Alexander sudah tampak duduk manis di ruang makan ketika Damian menyeret langkah kakinya menuju ke sana. Senyuman hangat itu menyambutnya ketika wanita yang telah melahirkan dirinya ke dunia itu telah menyadari keberadaannya."Duduklah, Dam. Kita tunggu Papamu sebentar, ya?" Sasmitha bangkit berdiri, menarikkan kursi untuk putranya sebelum kembali duduk ke tempat semula.Damian hanya mengangguk, mendudukkan diri dengan senyum tipis tanda menghargai. Semenjak pulang dari rumah sakit, ia mulai mau diajak makan bersama, seperti bertahun lalu ketika sang kakak masih ada.Pria berdarah Jerman itu memang sudah keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu. Meski ia sempat mendapatkan luka lebam cukup berat, namun ternyata tubuhnya begitu cepat menyembuhkan diri. Beruntungnya, tiada satu pun tulangnya yang patah akibat pukulan membabi buta kemarin."Bagaimana kondisimu? Apakah sudah merasa lebih baik?" sebagai seorang ibu, tentu Sasmitha mencurahkan seluruh perhatiannya. "Lumayan. Sud