Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungk
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria setenang itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh?? Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan?!” sembur wanita itu
Sementara itu, Denver sedang berbincang bersama seseorang melalui sambungan telepon.“Ruslan, apa saja jadwal Carissa di Singapura?” tanya Denver. “Dua hari ini Nyonya sibuk syuting iklan produk kecantikan. Menurut sumber informasi, beliau tidak bertemu dengan siapa pun.” Denver manggut-manggut mendengar laporan dari Ruslan—asisten pribadi yang sangat dia percaya. Namun, dia tidak sepenuhnya memercayai informasi itu. Bukan berarti asistennya berbohong, tetapi …. “Terima kasih laporannya. Sampaikan kepada mereka awasi Carissa dari kejauhan, jangan sampai dia tahu aku memata-matainya!” “Dilaksanakan, Pak,” sahut Ruslan. Setelah itu panggilan suara berakhir. Bersamaan dengan ditaruhnya telepon genggam di atas meja, Denver mendengar suara ketukan pintu. Tanpa bertanya siapa yang ada di belakang sana, dia memerintah, “Silakan, masuk!” Pintu itu terbuka perlahan, tatapan Denver langsung teralih ke sana. Dia tahu seseorang itu adalah Dewi. Keduanya bertemu pandang. Ada makna tersirat
Setelah aktivitas panas di bawah sinar matahari senja, Dewi memutuskan pulang.“Terima kasih, ya, Pak Agus,” ucap Dewi. Wajah gadis itu berinar-binar, lalu melangkah masuk ke apartemen.Tadi, terpaksa dia pulang menggunakan jasa sopir yang telah disediakan oleh Denver. Semua itu dilakukan dibawah tatapan penuh tuntutan seorang Arkatama Denver.Sekarang dia sudah ada di dalam apartemen. Gadis itu melepaskan seragam perawatnya, menyisakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Dewi bergegas ke dapur.“Masak apa, Bik?” Dewi mengendus aroma harum yang menguar dari panci.“Ayam goreng lengkuas dan sup ayam. Tunggu sebentar, ya, Non.”Gadis itu menatap cabai rawit merah yang menyegarkan. “Dewi mau bantu, Bik. Bikin sambal.”“Non, jangan.” Asisten rumah tangga itu hendak menarik wadah cabai dari Dewi.“Please, Bik. Dewi kangen makan sambal.” Bibir tipis gadis itu merengut, lalu tangannya mencolek bahu asisten rumah tangga.Ya, Dewi memang akrab dengan siapa pun. Dia tidak pandang status, bagi
“Dewi?” panggil Denver. Tidak ada jawaban, membuat pria itu menyentil pelan kening sang gadis. Seketika Dewi meraba dan mengusap-usap keningnya yang terasa panas. “Dokter jahil banget,” desah bibir merah muda gadis itu. Denver tergelak dan membelai bagian kening gadis itu yang tadi disentilnya. Dia bertanya, “Kamu melamun. Mikir apa?” Dewi tercengang mendapat pertanyaan itu. Benar, tadi dia melamun! Entah mengapa pikirannya malah berhalusinasi Denver melontarkan pertanyaan tidak wajar padanya. Jadi … gadis itu bergumam dalam hati, 'Artinya pertanyaan tadi cuma pikiranku saja, ya?' Tiba-tiba suara memalukan terdengar dari perut Denver. Iris hitam Dewi memandangi perut kota-kotak. “Dokter lapar?” Denver tertawa karena usahanya menahan lapar demi mandi bersama Dewi sia-sia. Pria itu mengangguk dan tangannya kembali membelai pipi mulus Dewi. Dia ke luar lebih dulu dari jacuzzi, lalu mengulurkan tangan kepada Dewi dan mengajak, “Ayo.” Bahkan pria itu membantu Dewi mengenakan jubah
“Ada apa?” tanya Denver. Pria itu tidak tinggal diam, melainkan mendekap tubuh Dewi yang nyaris terjatuh jika saja dia terlambat satu detik. “Aku … mau izin pulang ke Brebes. Kak Danu bilang ….” Dewi tidak kuasa menahan isak tangisnya. Dia menumpahkan air mata tepat di dada bidang Denver. Tubuhnya pun bergetar hebat dan seluruh persendiannya melemas. “Cepatlah pakai baju, aku antar,” kata pria itu membuat Dewi makin diam kehabisan kata. “Ayo,” ajaknya lagi. Secepat kilat Dewi menggunakan celana bahan putih dan sweater merah muda, serta menggendong backpack warna senada miliknya. Sedangkan Denver telah siap dengan celana jeans yang dipadu kaos putih dan jaket kulit gelap. Denver langsung menyambar tangan Dewi dan membawanya ke basement. Range Rover putih yang dikemudikan oleh Denver meninggalkan gedung apartemen dan melaju dengan kecepatan normal menuju Kabupaten Brebes. Pria itu mengutamakan keselamatan. Sesekali Denver mengusap puncak kepala Dewi dan menyeka lelehan hangat
‘Apa aku harus memberitahu Dokter Denver?’ batin Dewi bertanya-tanya. Gawai di sampingnya terus berpendar seolah memaksa sang pemilik untuk menerima panggilan suara dan membalas pesan. Namun, tidak ada niat secuil pun bagi Dewi menjawab telepon itu. Dia enggan bila Denver terlibat masalah bersama istrinya. Tiga menit kemudian, Denver telah kembali dari toilet. Pria itu mengamati kekakuan sikap Dewi. “Kenapa kamu tegang?” tanya pria itu. Denver memicingkan mata kepada Dewi. “Umm … itu ada telepon.” Jari telunjuk Dewi mengarah ke samping tubuhnya di mana ponsel itu diletakkan. Gegas Denver memeriksa telepon genggamnya dan menatap Dewi sekilas. Pria itu segera menjauh untuk menerima panggilan suara. Sedangkan Dewi memilih duduk, lalu memejamkan mata karena malam segera berakhir. Akan tetapi, sayup-sayup dia mendengar ucapan Dokter Denver. Mungkin karena selasar ini sepi, jadi suara kecil pun terdengar. “Aku di luar kota,” sahut Denver. Ekor mata pria itu melirik Dewi sekilas, lal
Tubuh Denver terbaring di atas ranjang berseprai putih. Dia menatap langit-langit kamar dan terbayang wajah manis Dewi. Dia juga teringat ‘malam panas’ bersama gadis itu. Meskipun bukan pertama kali bercinta, tetapi Dever merasa sensasi berbeda dengan Dewi. Seingatnya, dia tidak mendapati kesulitan yang sama saat malam pertama bersama Carissa. Dia tahu, istrinya bukanlah perawan. Namun, Denver tidak mempermasalahkan itu, termasuk ketika Carissa memberikan jawaban tak masuk akal. Dia yakin setiap orang memiliki masa lalu, dan terpenting mau berubah menjadi lebih baik. Denver meraih ponsel dari meja nakas dan mengetik pesan kepada Dewi.[Aku di Jakarta, sementara waktu jangan menghubungiku.]Pesan terkirim dan pria itu langsung menghapus seluruh chat serta panggilan telepon yang berhubungan dengan Dewi. Tentu saja dia melakukan itu karena memiliki alasan tersendiri.Denver tidak mengharap balasan, karena tahu gadis itu pasti mematuhinya.Akan tetapi, siapa sangka saat ini Dewi sedang
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta
Dewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil
Dewi nyaris menjatuhkan ponselnya ketika suara panik dari seberang terdengar lagi. "Dirga ... Dirga menghilang, Bu! Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah, tapi tidak ada!" Suara pengasuh terdengar putus asa. Ada isak tangis dan keriuhan di sana. Dewi langsung terduduk. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, setelah kesadarannya kembali dia melompat panik dari atas ranjang. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, menarik pakaiannya yang berserakan di atas karpet dan meraih tasnya dengan tangan gemetar. Denver yang belum memahami situasi, mengernyit melihat istrinya yang tampak panik. "Dewi, ada apa?" "Sayang ... Dirga hilang! Anak kita," histeris Dewi dengan suara pecah saat mengucapkan itu. Tanpa menunggu jawaban, Dewi langsung berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Denver bergegas menyusul, meraih kunci helikopter dan mengikuti langkah istrinya yang sudah setengah berlari keluar. Wanita itu tidak peduli meskipun kakinya masih lemas, dan jalannya hampir tersandun
** Baca setelah berbuka puasa**Dewi berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga kebanggaan universitasnya. Sorak-sorai memenuhi auditorium saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik. Tangannya sedikit gemetar saat menerima ijazah dari rektor, tetapi senyum di wajahnya tak dapat disembunyikan."Selamat, Dewi. Ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunanmu," ujar rektor dengan bangga."Terima kasih, Pak," jawab Dewi dengan suara bergetar, merasakan momen ini sebagai titik puncak dari perjuangannya selama bertahun-tahun.Dari tempat duduk tamu undangan, Denver menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di sisinya, Danis dan Oma Nayla juga bertepuk tangan meriah. Namun, perhatian Dewi sempat tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana—Darius.Senyum pria itu ramah, tetapi tatapan itu membuat Dewi merasa bersalah mengingat perjuangan Darius. Itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan baginya.Saat Dewi turun dari panggung, Darius menghampirinya lebih dulu, sedangk
** Baca setelah berbuka puasa** ^^Satu tahun berlalu.“Sayang, aku belum pakai kemeja!” teriak Denver dari dalam kamar, matanya tetap terpaku pada layar ponsel, sibuk mengetik sesuatu.Dewi, yang baru saja selesai merias wajahnya, mendengkus pelan. Dia masih mengenakan jubah mandi merah muda dan belum sempat berganti pakaian. Dengan langkah cepat, dia menghampiri sang suami yang duduk di tepi ranjang.“Kenapa tidak pakai sendiri?” tanyanya dengan nada sedikit kesal. Belakangan ini, Denver makin manja, membuatnya sering meminta bantuan untuk hal-hal kecil.“Tolong, Sayang. Tanganku sibuk,” jawab Denver, mengedipkan sebelah mata dengan ekspresi menggoda.“Kalau begitu, taruh dulu ponselnya dan pakai sendiri!” gerutu Dewi, meskipun akhirnya tetap berbalik untuk mengambil kemeja yang sudah dia siapkan di gantungan.Akan tetapi, sebelum sempat menjauh, tangan Denver sudah melin
** Baca setelah buka puasa**Seluruh persendian Dewi melemas. Dia bahkan harus berpegangan pada lengan Valerie agar tetap berdiri. Matanya berkaca-kaca, napasnya tersendat-sendat."Wi, jangan nangis, nanti luntur," bisik Valerie sambil menopangnya.Dewi terisak. "Ternyata kamu membawaku ke sini."Valerie mengangguk dengan senyum kecil.Bahkan Dewi tidak pernah menyangka pria yang sejak siang diharapkan membalas pesan, kini berjalan mendekat dengan senyum mengembang yang membuatnya terlihat makin tampan."Mon ange," panggil Denver, mengulurkan tangan. Dia mengenakan setelan jas formal yang sesuai dengan postur tubuh atletisnya.Tanpa ragu, Dewi menyambut uluran itu. "Maaf, aku merahasiakan ini darimu," lanjut Denver dengan nada lembut.Dewi tersenyum, meskipun air mata masih luruh di pipinya. Namun, kali ini bukan kesedihan seperti dahulu. Ini adalah kebahagiaan baru yang akan dia jalani.Mereka berjalan mendekati anggota keluarga lain yang telah berkumpul tanpa sepengetahuannya."Home
Pagi ini, Dewi sengaja berangkat kuliah lebih awal. Semua karena dia ingin menemani Maharani interview. Meredakan ketegangan yang melanda sahabatnya sejak pagi.“Wi, bagaimana kalau gagal? Aku tidak tahu harus cari uang di mana lagi,” lirih Maharani, meremas tangan Dewi erat-erat.“Semoga kamu berhasil, Rani.” Dewi mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara. Namun dalam hati, dia bergumam lirih, ‘Maaf, aku hanya bisa bantu seadanya.’Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian formal keluar dan memanggil Maharani untuk wawancara. Sedangkan Dewi menunggu di kursi dengan tenang, bagaimanapun dia sudah mengetahui jawabannya.Sembari menunggu, dia mengirimkan pesan teks pada suaminya.[Dokterku Sayang, makasih. Kamu memang suami sempurna.]Namun, pesan itu tidak kunjung mendapat balasan, bahkan dibaca saja belum. Dewi mendengkus kesal, kakinya bergerak-gerak tak sabar, mencoba mengusir rasa gelisah.Setelah hampir setengah jam, Maharani keluar dari ruangan kepala SDM. Wajahnya datar, d