“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Dewi. Wajah gadis itu berinar-binar, lalu melangkah masuk ke apartemen.Tadi, terpaksa dia pulang menggunakan jasa sopir yang telah disediakan oleh Denver. Semua itu dilakukan dibawah tatapan penuh tuntutan seorang Arkatama Denver.Sekarang dia sudah ada di dalam apartemen. Gadis itu melepaskan seragam perawatnya, menyisakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Dewi bergegas ke dapur.“Masak apa, Bik?” Dewi mengendus aroma harum yang menguar dari panci.“Ayam goreng lengkuas dan sup ayam. Tunggu sebentar, ya, Non.”Gadis itu menatap cabai rawit merah yang menyegarkan. “Dewi mau bantu, Bik. Bikin sambal.”“Non, jangan.” Asisten rumah tangga itu hendak menarik wadah cabai dari Dewi.“Please, Bik. Dewi kangen makan sambal.” Bibir tipis gadis itu merengut, lalu tangannya mencolek bahu asisten rumah tangga.Ya, Dewi memang akr
“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas.“Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai.Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu.“Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam.Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir ten
“Silakan duduk!” titah pria tampan yang mengenakan jas putih dalam ruangan. Selama empat bulan bekerja di rumah sakit, belum pernah satu kali pun Dewi masuk ruangan ini. Apalagi, langsung berhadapan dengan sosok paling penting di sini. Sekarang dia hanya menunduk dalam. Akan tetapi, sekujur tubuh Dewi mendadak membeku kala pria berbadan besar dengan kepala botak memutar kaki dan meninggalkan ruangan. Gadis ayu ini semakin tidak mengerti, bukankah orang itu memiliki kepentingan? Mengapa menyerahkannya begitu saja pada dokter? ‘Ini aneh,’ kata hati Dewi. “Dewi, kemarilah. Duduk di sini,” titah Dokter lagi, membuyarkan seluruh pikiran semu gadis itu. Perlahan Dewi mengangkat kepala hingga iris hitam pekatnya bersipandang dengan sepasang netra cokelat karamel. Seketika degup jantung Dewi bertambah cepat, bukan karena terpesona pada rupa menawan dokter, melainkan dia takut dipecat karena menyanggupi kesepakatan ini. “Dokter Denver, a--aku … maaf, tidak bermaksud … ini karena a-
“Karena aku calon ibu biologis bagi anak pasiennya. Ya, pasti itu alasannya,” gumam Dewi setelah turun dari mobil Denver. Namun, apa yang diucapkan bibirnya berbanding terbalik dengan isi hati. Entahlah gadis itu masih dihantui rasa penasaran, mengapa Dokter Denver memberi perhatian lebih padanya. Padahal pria itu tidak lebih dari seorang dokter yang menangani program bayi tabung bagi pasien. Akan tetapi, makin dipikirkan bukannya menemukan jawaban, justru kepala Dewi menjadi pusing. Gadis itu bergeming sambil memperhatikan kendaraan roda empat menjauh di telan pekatnya malam. Beberapa menit setelahnya, seperti biasa Dewi masuk rumah melalui pintu belakang sebab Bima tidak mengizinkan melewati bagian depan, kecuali untuk membersihkan ruang tamu dan keluarga. Setelah berhasil menginjakkan kakinya di dalam, sayup-sayup dia mendengar percakapan antar dua manusia. Mereka saling sahut tertawa bahagia. “Lumayan juga si Dewi bisa menghasilkan uang satu miliar. Kamu mau apa, Sayang? Jalan-
Melalui cara pandang Denver, Dewi mengetahui sebuah jawaban yang memecahkan teka-teki dalam pikirannya. Dia menurunkan pandangan dan perasaan ragu itu datang lagi memenuhi rongga dada. Bagaimana mungkin dia melewatkan satu hal?Selama ini Dewi melihat banyak perempuan datang untuk melakukan program bayi tabung, diantar oleh seorang pria yang memiliki ciri fisik persis seperti sosok tambun dan plontos malam itu, ternyata ….“Kamu adalah perempuan yang aku cari, Dewi,” kata Denver berusaha melenyapkan keraguan sang gadis. Pria itu berkata lagi, “Kelak anak itu tidak akan kekurangan satu apa pun. Aku akan mengurusnya dengan baik.”Bibir tipis Dewi terkatup rapat, lidahnya bergitu kelu dan pita suaranya seolah tak bersuara. Dia tahu status Denver sebagai direktur sudah tentu mampu memberikan kehidupan di atas rata-rata pada anaknya. Hanya saja, dia tidak menyangka pria yang menyewa rahim dan membeli sel telurnya adalah sosok yang selama ini dikagumi oleh semua orang.Dia menggeleng lemah,
“Si--ap?” gugup bibir tipis gadis itu. Pikiran Dewi melayang ke satu hal, di mana dia harus menjalani kewajibannya.Meskipun bimbang, dia mengangguk sebagai jawaban. Dewi membuang jauh rasa takut yang menggerogoti jiwa. Hanya saja, suasana tegang tidak menghilang, sehingga dia bergeming dengan tatapan terkunci pada Denver.Pria itu mendekat sambil melepas sisa kancing yang tertaut sempurna pada kemeja putihnya. Dewi merinding dibuatnya, lalu menunduk dalam. Ini memang bukan pertama kali dia melihat lekuk tubuh seorang pria, tetapi sekarang berbeda. Pria di hadapannya bukanlah pasien berlumuran darah atau kejang-kejang kesakitan, melainkan orang sehat yang akan menjadi ayah biologis dari anaknya kelak.Tanpa Dewi tahu, Denver mengulum senyum melihat kegugupan sang gadis. Kini, pria bertubuh atletis dan jangkung sudah ada di depan tubuh mungil gadis itu. Satu tangan Denver terangkat dan mendarat tepat di bahu Dewi.“Memangnya tidak pegal berdiri terus seperti ini? Duduklah,” kata pria i
“Te--ntu saja aku tahu,” gugup Bima, tetapi pria itu masih berani menantang. Dia mengangkat dagu dan bertolak pinggang di depan Denver. Sebelah sudut bibir Denver berkedut dan mata cokelat karamelnya mengintimidasi pria itu. Dia melepaskan Dewi dari pelukan, lalu melindungi gadis bertubuh mungil itu di balik punggung lebarnya. “Pergilah!” usir Denver. Sedangkan Dewi menegang di balik punggung Denver. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dan gemetaran. Bukan karena dia takut bertemu dengan Bima, melainkan mendengar jawaban sang suami. Batin gadis itu bertanya, ‘Jadi … Mas Bima sudah tahu kalau Dokter Denver adalah ….’ Ya, cepat atau lambat Bima pasti mengetahuinya, tetapi kenapa secepat ini? “Perempuan kampung ini istriku, sebaiknya Dokter saja yang pergi bukan aku!” sentak Bima membuyarkan lamunan Dewi. Sekarang tatapan Bima tertuju kepada Dewi yang berlindung di balik punggung lebar Dokter Denver. Melalui gerakan bola mata, pria itu memerintah Dewi memihak kepadanya. “Jangan lup
“Siapa dia? Kenapa ngikutin kamu, Sayang?” tanya wanita itu. Denver melirik sejenak ke belakang. Tentunya tatapan serta ekspresi pria itu berubah dingin, membuat Dewi merinding di sekujur tubuhnya. Dokter Denver berbeda! “Dia perawat di sini,” jawab Denver. Pria itu kemudian maju mendekati sang istri. Dia meninggalkan Dewi berdiri sendirian di tengah lobi. “Oh, aku pikir wanita sekali pakai yang kamu bayar,” ejek Carissa dengan tatapan sengit tertuju kepada Dewi. “Bukan masalah, sih. Aku ngerti, kok, kebutuhan pria. Apalagi aku sibuk, pasti kamu butuh pelampiasan,” katanya seakan memaklumi, tetapi intonasi itu sarat akan peringatan keras. Seketika degup jantung Dewi menjadi lebih cepat. Dadanya juga sakit mendengar kalimat hinaan itu. Namun … bukannya benar begitu? Jika dia langsung hamil setelah disentuh satu kali oleh Denver, bukankah perjanjian mereka akan berakhir pascamelahirkan? “Jaga mulutmu, Carissa!” tegas Denver, sebab mereka menjadi pusat perhatian beberapa pasien
“Terima kasih, ya, Pak,” ucap Dewi. Wajah gadis itu berinar-binar, lalu melangkah masuk ke apartemen.Tadi, terpaksa dia pulang menggunakan jasa sopir yang telah disediakan oleh Denver. Semua itu dilakukan dibawah tatapan penuh tuntutan seorang Arkatama Denver.Sekarang dia sudah ada di dalam apartemen. Gadis itu melepaskan seragam perawatnya, menyisakan kaos tanpa lengan dan celana pendek. Dewi bergegas ke dapur.“Masak apa, Bik?” Dewi mengendus aroma harum yang menguar dari panci.“Ayam goreng lengkuas dan sup ayam. Tunggu sebentar, ya, Non.”Gadis itu menatap cabai rawit merah yang menyegarkan. “Dewi mau bantu, Bik. Bikin sambal.”“Non, jangan.” Asisten rumah tangga itu hendak menarik wadah cabai dari Dewi.“Please, Bik. Dewi kangen makan sambal.” Bibir tipis gadis itu merengut, lalu tangannya mencolek bahu asisten rumah tangga.Ya, Dewi memang akr
“Ruslan, apa saja jadwal Carissa di Singapura?” tanya Denver melalui sambungan telepon.“Dua hari ini Nyonya sibuk syuting iklan produk kecantikan. Menurut sumber informasi, beliau tidak bertemu dengan siapa pun.”Denver manggut-manggut mendengar laporan dari Ruslan—asisten pribadi yang sangat dia percaya. Namun, dia tidak sepenuhnya memercayai informasi itu. Bukan berarti asistennya berbohong, tetapi ….“Terima kasih laporannya. Sampaikan kepada mereka awasi Carissa dari kejauhan, jangan sampai dia tahu aku memata-matainya!”“Dilaksanakan, Pak,” sahut Ruslan. Setelah itu panggilan suara berakhir.Bersamaan dengan ditaruhnya telepon genggam di atas meja, Denver mendengar suara ketukan pintu. Tanpa bertanya siapa yang ada di belakang sana, dia memerintah, “Silakan, masuk!”Pintu itu terbuka perlahan, tatapan Denver langsung teralih ke sana. Dia tahu seseorang itu adalah Dewi. Keduanya bertemu pandang. Ada makna tersirat dari masing-masing bola mata. “Selamat sore Dokter,” sapa Dewi d
‘Suara wanita? Jangan-jangan itu …,’ batin Dewi gelisah. Manik hitam legam gadis itu pun langsung tertuju ke arah pintu. Sama halnya dengan Denver yang memandangi ke pintu. Memanfaatkan kelengahan Denver, Dewi bergegas menjauh dari pria itu. Kemudian dia merapikan berkas di atas meja kerja. Debar jantung Dewi saat ini melebihi batas normal hingga kedua tangannya mendadak tremor dan menjatuhkan berkas. Sedangkan ekspresi Denver tampak tenang, dia begitu santai berjalan menuju pintu. Dewi tidak habis pikir, mengapa ada pria seperti itu di saat genting? Atau mungkin Denver bukanlah orang normal yang takut ketahuan selingkuh. Denver membuka pintu. Seorang wanita cantik berpampilan modis memasuki ruangan. Sebelum duduk di sofa, sosok itu menaruh tas tangan putih di meja kecil. Selanjutnya memperhatikan wajah pucat Dewi di samping meja kerja. Dewi hanya mampu mengatur napas dan menyembunyikan keresahan. “Kenapa buka pintunya lama? Karena berduaan sama perempuan!” sembur wanita itu, sa
Sementara itu di dalam rumah luas bergaya tropis modern, seorang pria sedang mengerang. “Akh … sakit, Pak!” teriak pria bertubuh kurus itu. “Heh Bima ingatlah perjanjian kita!” tegas pria itu sambil mengepalkan tangan. “Maaf Pak Rudi,” rintih pria itu sambil memegangi perutnya. “Aku terpaksa karena butuh uang, Dewi mengambil semua uang pemberian dari Bapak,” sambung Bima. Rudi terbahak kemudian geleng-geleng mendengar ucapan Bima. Pria itu tambun dan plontos itu berjongkok sambil menatap tajam kepada Bima. “Jangan ganggu Dewi! Karena stress menghambat kehamilan!” bentak Rudi, “sekali lagi kamu mengganggu Dewi, kupastikan kamu menerima akibatnya!” Bima mengangkat satu tangannya, dia berupaya mencegah jika saja Rudi kembali memukulnya. “I--iya siap, Pak. Aku tidak akan mengganggu Dewi sampai melahirkan.” Rudi mendengkus dan menjauh dari badan Bima yang bernoda keringat serta tetesan darah dari hidung. Setelahnya, Rudi meninggalkan rumah pria itu. Akan tetapi, Bima masih tersungku
“Milikku?” gumam Dewi di sela sensasi geli yang menjalar ke seluruh tubuhnya.Ucapan itu bagai guyuran air di tanah gersang. Hati yang selama ini selalu disakiti, penuh caci dan maki berubah berbunga-bunga. Ditambah betapa lembutnya Denver menyentuh Dewi. Pria itu tidaklah kasar, setiap sentuhan dan tatapannya seakan-akan memuja kepada Dewi.“Kamu benar-benar harum, Dewi,” bisik Denver, “tapi aku tidak bisa ….”Denver menghentikan cumbuannya dan memandang Dewi sambil membelai puncak kepala gadis itu. Manik cokelat karamel Denver menatap lapar setiap lekuk tubuh mungil yang terbalut piama. Naluri sebagai pria dewasa tidak dapat dijinakkan dengan mudah.Melihat susah payahnya Denver menahan diri, membuat Dewi mengambil inisiatif. Jemari gadis itu menyentuh otot-otot perut yang keras dari balik kaos.“Lakukan saja Dokter. Bukankah makin sering berhubungan dapat meningkatkan peluang kehamilan?” Wajah Dewi bersemu merah dan jemarinya berhenti bermain di atas perut kotak-kotak.Sudut bibir
Dua jam sebelumnya.[Dokter Denver, aku pulang duluan. Terima kasih.]Denver membaca kata-kata tertulis di sticky note hijau yang ditempel di atas meja kerja. Pria itu melirik jam, memang sudah waktunya para perawat shift satu pulang. Dia menghubungi Dewi, tetapi tidak aktif.Pria itu merasa ada yang janggal. Denver tidak diam saja, lalu menelepon pelayan di apartemen.“Apa dia sudah pulang?”Pelayan menyahut, “Belum, Pak.”Denver langsung memutus panggilan suara. Lagi, dia melihat jam, seharusnya Dewi sudah sampai di apartemen. Pria itu beranjak menuju ruang kendali di lantai satu. Denver memerintah satpam memutar rekaman CCTV di luar gedung, terutama yang mengarah ke jalan.Dapat!Manik cokelat karamel Denver menangkap tidak ada kejanggalan apa pun. Namun, beberapa detik kemudian satu unit hatchback merah menepi dan tubuh Dewi dipaksa masuk ke dalam jok tengah. Denver menggeram seketika. Dia mengenali plat mobil itu.Pria itu bergegas meninggalkan ruang kendali, sambil menghubungi a
‘Ini di mana?!’ jerit Dewi dalam hati. Mulut gadis itu masih tertutup lakban hitam.Kendaraan Bima memasuki basement gedung tingkat tiga. Pria itu mengeluarkan Dewi dan memaksanya turun.Dewi menggeleng, dan menahan tubuhnya dengan menekan kedua kaki ke permukaan. Dia benar-benar sulit melepaskan diri dari Bima. Tenaganya kalah jauh dari sang suami. Gadis itu menangis dalam diam.“Ini dia penjamin utangku.” Bima mendorong tubuh Dewi ke hadapan dua orang pria berbadan besar dan bertato.“Dia istriku, mulai hari ini dia yang membayar semua utangku sampai lunas,” ucap Bima penuh penekanan pada kata hutang.Bima mengacak-acak isi tas Dewi, pria itu mengambil telepon genggam sang istri dan memberikannya kepada dua pria di depan mereka. Dia juga mengambil card holder wallet milik gadis itu.“Ambilah, anggap itu sebagai keseriusanku membayar utang,” kata Bima dengan nada angkuh dan mengangkat dagu.Dua pria berbadan besar mengambil ponsel, lalu membentak, “Ini HP murah!”“Kalian tenang saja,
Dewi menunduk menyembunyikan pipi semerah tomat. Kedua tangannya saling meremas di atas paha dan embusan napasnya menjadi cepat. Sungguh dia tidak menyangka kalau pagi ini Dokter Denver ….Gawai di dalam saku baju berdenting. Dewi tersentak dan memeriksa isi pesan singkat itu. Dia membacanya dalam hati.[Jangan lupa dimakan bekal rotinya.]Dia mengetik pesan balasan, lalu mengirimnya. [Baik Dokter.]Haruskah dia senang dan bersyukur mendapat perhatian? Tidak! Justru Dewi merasa sikap Denver berlebihan, padahal dia hanyalah perempuan yang dibayar untuk mengandung dan melahirkan keturunan Dokter itu.Ketika Dewi sedang menyantap bekalnya, dia mendengar rekan sesama perawat berbisik-bisik.“Aku dan suami lagi program hamil, makanya berhubungan badan pagi. Supaya nambah peluang kehamilan, loh.” Temannya Dewi terkekeh geli kemudian berlalu menuju barisan perawat lainnya.Saran dari temannya itu membuat Dewi bertanya-bertanya dalam hati, ‘Apa aku dan Dokter Denver harus—’“Ayo, briefing!” ti
“I--tu …,” gumam Dewi setelah celana hitam pria itu terlepas sempurna.“Jangan takut,” bisik Denver, “pertama kali memang sedikit sakit, tapi tidak lama. Aku janji.”Dewi mengangguk kaku dan memercayakan semuanya kepada Denver. Sebagai pengukuhan persetujuan dia menyahut, “Lakukan saja, Dokter.”Demi mengurai ketegangan, Denver makin intens menyentuh Dewi. Lenguhan pun tidak terkendali dari keduanya, dan suhu ruangan berubah panas membuat bulir keringat berjatuhan. Ditambah tetesan air mata seorang gadis yang merasa perih ketika bagian inti tubuhnya bagai terbelah menjadi dua, lalu berubah sesak dan penuh.Beberapa detik kemudian, Dewi tidak kesakitan lagi. Manik hitam gadis itu menatap paras rupawan pria di atasnya. Denver menepati janji! Sakitnya hanya sebentar saja. Pria itu tahu bagaimana cara melakukan penyatuan tanpa menyakiti.Tentunya Denver balas memandangi Dewi, tetapi gadis itu tidak mengerti sebab terdapat sebuah rasa yang berbeda.Setiap sentuhan dan sikap lembut Denver ma