Perhatian: cerita silat klasik berlatar kerajaan di Nusantara. Alur agak lambat. Sering direndahkan orang, bahkan sampai mendapat perlakuan kasar. Ditambah misteri kematian orang tuanya yang tergambar lewat mimpi. Membuat dia bertekad untuk menjadi pendekar yang sakti mandraguna. Dengan semangat yang membara, dia berjuang agar menjadi pendekar untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya dan menjadi legenda di dunia persilatan.
view moreKameswara keluar dari rumah kecilnya kemudian menutup rapat pintu rumahnya. Di sudah berpakaian sangat rapi dan gagah.
"Mau kemana, sepagi ini kau sudah tampak rapi?" tanya Surya Kanta yang keheranan melihat bocah yang baru berumur delapan tahun itu. Surya Kanta adalah tetangga sebelah Kameswara. Dia merasa kasihan karena di usianya yang masih anak-anak, Kameswara sudah sebatang kara. "Hari ini perguruan Sangga Buana menerima murid baru," jawab Kameswara dengan gembira. Sifat bocah ini memang periang, selalu tampak gembira. Hampir tak pernah melihatnya mengeluh atau bersedih. Sehingga banyak orang yang suka. Surya Kanta kerutkan kening mendengar jawaban Kameswara. "Percaya diri sekali bocah ini, padahal dia mempunyai kualitas tulang paling rendah," batinnya. "Mau jadi pendekar, ya?" "Iya, Paman, terpaksa hehehe...!" Kameswara garuk-garuk kepala. "Terpaksa?" Surya Kanta makin mengerenyit keningnya. "Aku selalu ditindas, Paman. Mentang-mentang aku orang lemah," kali ini Kameswara memasang muka murung. Rasa kasihan terhadap anak itu makin bertambah. Memang benar yang dikatakan Kameswara. Dia juga sering melihat anak-anak sebayanya menghina dan menindas Kameswara. Kameswara anak baik. Karena sebatang kara, dia mencari makan dengan cara membantu para tetangga yang membutuhkannya termasuk Surya Kanta. Dia termasuk anak rajin dan pekerja keras. "Ya, sudah, aku doakan semoga kau berhasil!" "Terima kasih, Paman!" Kameswara berlalu dari hadapan Surya Kanta. Dia hendak menuju lereng gunung Cakrabuana yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di lereng gunung itu tempat berdirinya perguruan Sangga Buana yang kabarnya membuka penerimaan murid baru. Kameswara ingin jadi murid perguruan yang sudah terkenal ti tatar Sunda-Galuh itu. Seperti yang dikatakannya tadi, alasannya karena tidak ingin ditindas lagi. Dia sudah kebal dengan segala hinaan dan caci maki karena kondisi fisiknya yang tidak bisa belajar ilmu silat. "Hei, anak lemah!" "Dasar sampah!" "Tak berguna, mau jadi apa nantinya?" Kalau cuma hinaan dan cacian yang keluar dari mulut, dia tidak menghiraukannya. Dia selalu membalas dengan senyum seolah tidak terjadi apa-apa. Biarkan saja mereka mengoceh. Toh sama saja ocehan itu tidak berguna baginya. Tapi kalau hinaan itu sudah menjurus ke perlakuan atau tindakan buruk dan semena-mena. Itu lain lagi ceritanya. Tidak jarang karena Kameswara selalu cuek atas hinaan yang diterimanya telah menyulut kemarahan orang yang mengejeknya. Akhirnya anak-anak itu melakukan tindakan kekerasan, seperti memukul dan menendang. Tubuh Kameswara yang lemah dalam hal ilmu silat tak mampu menahan serangan itu. Dia hanya pasrah saja ketika tubuhnya dihujani pukulan dan tendangan. Karena hal itulah Kameswara tidak mau diperlakukan seperti itu lagi. Maka, terpaksa dia harus jadi pendekar. Perjalanan menuju gunung Cakrabuana memakan waktu lumayan lama. Bisa sampai setengah hari. Sepanjang jalan Kameswara selalu ceria, menyapa setiap orang baik yang dikenalnya atau tidak. Kadang-kadang dia tidak sungkan-sungkan membantu orang yang kebetulan membutuhkan. Seperti mengatur hewan ternak, membawakan barang seorang kakek yang sudah tidak kuat lagi mengangkat beban. Dan hal baik lainnya. Jika di antara mereka ada yang memberinya imbalan, maka Kameswara menolak pemberian itu dengan sesopan mungkin. Namun, jika ada yang memaksa, maka dia pun terpaksa menerima. "Mau kemana, Kameswara?" "Ke lereng, Ki!" "Oh, hati-hati, Jang!" "Terima kasih, Ki!" Tak terasa karena sepanjang jalan selalu gembira, seolah-olah hendak bertemu dengan orang istimewa. Akhirnya Kameswara sampai di bawah lereng gunung Cakrabuana. Ternyata banyak orang yang hendak naik ke lereng itu. Jumlahnya sampai ratusan. Rata-rata mereka seumuran dengannya, dan diantar oleh orang tua atau kerabatnya. Mereka sangat antusias ingin menjadi murid perguruan Sangga Buana. Begitu juga Kameswara. Dia merasa percaya diri walaupun banyak orang bilang kualitas tulangnya tak kan mampu kalau dia belajar silat. "Mencoba adalah pengalaman," gumamnya menirukan sebuah pepatah. Jalan menuju lereng tampak menanjak. Lama-lama kaki Kameswara terasa pegal. Walaupun sering kerja keras, tapi kalau jalannya nanjak terus, ya, capek juga. Lalu dia menepi ke pinggir jalan. Kameswara melepas lelah dengan menyandar ke sebuah pohon. Orang-orang lain yang melihatnya menertawakan dirinya. "Payah, hahaha...!" "Wah, anak lemah. Jangan mimpi!" "Baru belajar berjalan sudah lempoh!" "Memalukan!" Tapi Kameswara sama sekali tak peduli dengan semua ejekan itu. Dia menunggu sampai tenaganya kembali pulih. Dia minum air yang dibawanya dalam kantong perbekalan. Setiap orang yang lewat dan melihatnya tak henti-hentinya menertawakan Kameswara. Anak ini tetap cuek, sama sekali tidak tersulut emosinya. Setelah menempuh jalan yang menanjak beberapa lamanya, akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Air minum perbekalannya hampir habis. Orang-orang yang hendak mendaftar itu menuju sebuah lapangan besar yang dikelilingi oleh beberapa bangunan yang berdiri megah. Seorang penjaga pintu masuk memberikan Kameswara sebuah lencana tanda antrian. Kebanyakan calon murid semuanya anak seumuran Kameswara. Walau masih ada juga yang lebih tua atau lebih muda, tapi jumlahnya hanya sedikit saja. Cukup lama menunggu, akhirnya giliran Kameswara maju ke tempat seleksi yang pertama. Yaitu pemeriksaan kualitas tulang. Sambil tersenyum ramah, Kameswara menghampiri seorang kakek yang duduk di belakang meja. "Sampurasun, Kek!" "Rampes!" Si kakek yang menjadi petugas pemeriksa kualitas tulang membalas dengan senyum lembut dan berwibawa. Namanya kakek Ranu Baya. "Kek, apa saya bisa jadi murid di sini?" tanya Kameswara antusias sambil terus tersenyum. Terdengar beberapa anak mengejeknya di belakang. "Mari, aku periksa dulu tulangmu, ya, Nak!" Pertama kakek Ranu Baya memandangi Kameswara dari atas ke bawah. Kemudian tangannya meraba dari pundak hingga kaki. Wajah si kakek menunjukkan kesedihan. Tapi Kameswara tetap tersenyum. "Waduh, siapa namamu?" "Kameswara!" "Kameswara, sayang sekali jenis tulangmu tidak mendukung," "Memangnya tulang saya seperti apa, Kek?" Sama sekali Kameswara tidak menunjukan raut muka sedih. "Kamu memiliki jenis tulang Jelata yang tidak akan mampu menjadi seorang pendekar," Seketika terdengar riuh suara mengejek di belakang Kameswara. "Terus harus seperti apa syaratnya?" "Minimal memiliki jenis Tulang Tembaga tingkat tiga," Kameswara manggut-manggut, tidak peduli suara cemoohan di belakang sana. Diam-diam kakek Ranu Baya kagum melihat sikap Kameswara yang tahan terhadap hinaan. "Kapan lagi ada penerimaan murid baru, Kek?" "Dua tahun lagi!" "Kalau begitu baiklah, dua tahun lagi saya datang lagi!" Si kakek tersenyum ramah sebelum Kameswara memberi salam pamit. Ketika anak delapan tahun ini melangkah meninggalkan lapangan, tak henti-hentinya hinaan dan ejekan diarahkan padanya. Tapi dia tetap cuek. Malah sengaja tersenyum terhadap orang yang menghinanya. Ternyata sikapnya itu telah menyulut kemarahan seorang anak yang sering menindasnya. Anak bernama Kupra ini berdiri menghadang jalannya Kameswara. Dua orang teman Kupra tampak berdiri di samping kanan kirinya. "Hei, makhluk lemah! Sudah tak berguna, masih saja bersikap sombong!" Kameswara tetap cuek. Dia malah garuk-garuk kepala membuat Kupra semakin naik darah. Dia maju mendekati Kameswara. "Tidak tahu malu, tidak tahu diri, rasakan ini!" Tinju Kupra melayang menghantam wajah Kameswara. Anak ini langsung tersungkur. Semua anak lain yang melihatnya tak ada satupun yang melerai atau menolong. Kejap berikutnya Kupra bersama dua temannya menendang-nendang Kameswara dalam keadaan meringkuk di tanah. Kameswara berusaha menahan rasa sakit di badannya. Dia tak bisa menjerit karena pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghujani tubuhnya. Sampai anak ini tak bisa berkutik lagi. Pada saat itu tiba-tiba datang seseorang menghentikan perbuatan mereka. Seorang lelaki muda berumur dua puluh tujuh tahun. Dia salah satu murid senior perguruan Sangga Buana. "Ada apa ini?" "Dia anak lemah tidak berguna tidak pantas berada di sini!" tuding Kupra ke arah Kameswara. "Apa salah dia?" "Pokoknya dia tidak pantas jadi murid perguruan ini. Hanya akan membuat malu saja!" "Aku tanya apa salah dia?" suara lelaki itu agak keras sambil menatap tajam wajah Kupra. Seketika Kupra jadi kelu merasakan hawa yang menekan dirinya dan juga dua temannya. "Apakah dia menyakitimu, mencuri barangmu?" Mendadak jadi sepi. Orang-orang di sekitar tempat kejadian itu juga tampak terdiam. Murid senior yang bernama Prayoga ini mendekati Kupra yang tampak mengerutkan badan karena takut. "Aku tanya, untuk apa kau ke sini?" "Menjadi murid perguruan, Paman!" "Kenapa ingin jadi murid di sini?" "Ingin jadi pendekar!" "Bagaimana sifat seorang pendekar?" "Membela kebenaran, membasmi kejahatan!" "Apakah dia jahat?" Prayoga menunjuk Kameswara yang masih meringkuk. Kupra terdiam. Prayoga memandang dua teman Kupra lalu bertanya. "Terus apalagi sifat seorang pendekar?" "Menolong dan melindungi yang lemah," Prayoga pelototkan matanya hingga wajahnya tampak menyeramkan bagi Kupra dan kedua temannya. "Katanya dia anak lemah, tapi mengapa kau menganiayanya, bukan menolong atau melindungi? Berarti kalian tidak memiliki sifat pendekar. Kalian sama saja dengan orang jahat yang harus dibasmi!" Tiga anak ini jadi ketakutan setengah mati. ***Kameswara menatap sejenak situasi di depannya. Asmarini duduk menyandar ke bahu raga kasarnya. Di atasnya Payung Terbang memayungi keduanya. Pendekar muda ini tersenyum. Kemudian sukma Kameswara masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Pedang Bunga Emas otomatis terpegang di tangannya. Asmarini langsung sadar dari lamunannya. "Kakang sudah kembali!" Asmarini langsung menyimpan payungnya. Tangan kiri memegang pedang, tangan kanan merangkul tubuh istrinya. "Inikah Pedang Bunga Emas?" Kameswara pura-pura tidak tahu. "Terbuat dari emas dan menebarkan harum, ini memang pedang pusaka leluhur. Kakang telah membawanya dengan selamat. Terima kasih banyak, Kang!" "Aku suamimu, pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Tidak perlu berterima kasih. Ini, simpanlah!" Asmarini menerima pedang pusaka tersebut, lalu dia menggeser duduknya hingga saling berhadapan. "Aku juga rel
Blang!Kameswara menemukan sebuah ruangan bawah tanah agak luas. Keadaannya remang-remang.Di tengah ruangan ini ada gundukan bantu besar bentuknya mirip seperti dulu dia menyelam ke dasar telaga.Cahaya remang-remang ini pasti berasal dari pedang pusaka itu. Kameswara segera mencari letaknya. Dulu tertancap pada sebuah batu, sekarang pasti sama.Setelah berkeliling satu kali akhirnya menemukan juga pusaka tersebut. Kedua mata Kameswara terbelalak."Mungkinkah ini pedang yang sama? Kalau begitu bisa jadi ada dua, karena di masa depan sudah aku ambil dan diserahkan kepada Ayu Citra, atau..."Kameswara ingat selama sering bertemu dengan Fan Xiang yang merupakan reinkarnasi dari Ayu Citra, gadis itu tidak pernah membicarakan tentang pedang ini."Atau bisa jadi pedangnya kembali ke sini!"Ketika tangan Kameswara menjulur hendak memegang pedang yang tertancap di batu tersebut, tiba-tiba ada serangan hawa gaib yang me
Manakala terbetik berita yang dibawa oleh pedagang dari Arab bahwa Ali bin Abi Thalib telah meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, maka Rakean Sancang bergegas kembali ke Arab.Tempat pertahanan di Gunung Negara terpaksa ditinggalkannya. Di saat itulah dengan segera pasukan Tarumanagara dikerahkan untuk menghancurkan umat agama baru itu.Hampir separuh penganut agama baru itu meninggal dan sebagian lainnya dapat melarikan diri melalui jalan rahasia berupa gua kemudian keluar di bukit yang curam.Para penganut agama baru lalu menyebar ke mana-mana di wilayah Tatar Sunda."Dan sejak saat itu mereka menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi?" tanya Padmasari."Benar, bisa jadi telah mengganti nama agar tidak ketahuan lagi," sahut Ki Santang."Kau mencurigai atau menemukan sesuatu yang berkaitan dengan hal itu?""Ada!""Wah, apa itu?""Ada sebuah ajaran yang namanya Sunda Wiwitan, ajarannya
Sepasang suami istri berbeda masa sudah dalam perjalanan mencari Pedang Bunga Emas. Pada malam hari apabila tidak mendapatkan penginapan, maka mereka bermalam di hutan atau kebun.Mereka membuat gubuk dadakan. Dengan kesaktian Kameswara tentu saja sangat mudah dan cepat membangun tempat istirahat sementara tersebut.Sebelum tidur Asmarini sempatkan untuk bersemedi mencari petunjuk keberadaan pusaka leluhurnya.Selama ini setelah berkali semedi sebelum perjalanan, dalam pikirannya selalu ingin pergi ke arah utara."Kalau ke utara, tempat apa saja yang akan kita temukan? Selain bukit Gajah Depa tempat aku menyegel Kala Cengkar. Bukit itu dekat ke perbatasan kerajaan Wanagiri,"Kameswara tampak menerawang. Meski berbeda waktu, tapi letak suatu tempat tetap sama.Tempat mereka berada sekarang sudah dekat ke wilayah yang suatu saat nanti menjadi kerajaan Talagamanggung."Di masa ini kerajaan itu belum berdiri, sedangkan Hutan
"Aku tidak menyangka ternyata orang-orang desa Linggapura menggunakan cara-cara memalukan!" teriak Genta."Jangan ngawur!" sentak Suryadana tidak bisa menahan diri. "Sebenarnya kau mau apa ke sini?"Genta bertolak pinggang, wajahnya menunjukkan keangkuhan dan congkak. Sambil menunjuk dia berseru."Aku akan buktikan bahwa warga desa yang katanya kumpulan para pendekar melakukan cara licik untuk memikat hati wanita. Dengan cara membunuhmu, maka guna-guna yang merasuki Sukesih akan hilang!"Genta melangkah ke alun-alun. Keributan kecil di balai desa ini memancing warga yang lain berdatangan untuk melihat apa yang terjadi."Aku tantang kau di kandang sendiri, Suryadana. Katanya kau adalah pemuda berbakat di desa ini, aku ingin tahu seberapa hebatnya dirimu!"Di tempat lain Kameswara dan Asmarini sudah menyaksikan kejadian itu.Sebelum melangkah memenuhi tantangan Genta, pemuda berbakat desa Linggapura menyuruh calon istrinya
Desa Linggapura tidak besar juga tidak kecil, penduduknya agak padat. Sususan pemukimannya tertata dengan rapi. Karena awalnya hanya sebuah padepokan kecil.Pada waktu itu, selain menerima murid baru dari luar, juga ada penambahan warga dari dalam padepokan sendiri. Yaitu anak-anak dari pernikahan antara murid laki-laki dengan perempuan.Desa padepokan ini berada di kaki gunung Lingga. Dulu padepokan utamanya berada di lereng gunung.Sekarang dijadikan tempat keramat yang tidak sembarangan orang bisa ke sana, walaupun warga desa sendiri."Lama-lama bisa jadi kerajaan," ujar Kameswara yang diajak jalan memutar. Tidak melalui jalan utama, tapi langsung menuju lereng."Memangnya ada yang seperti itu?""Ada, dulu Indraprahasta juga awalnya hanya pedukuhan kecil yang dibangun oleh resi Santanu,""Oh, ternyata begitu. Sayangnya sekarang sudah hancur!"Kameswara teringat ketika menyelamatkan keluarga Prabu Wiratara seb
Keesokan harinya perjalanan mencari Pedang Bunga Emas dimulai. Kameswara sudah mempunyai rencana kemana dia akan pergi, tapi tidak disampaikan ke istrinya."Kemana kita akan mulai?" tanya Kameswara."Ke utara!"Tepat. Arah yang hendak dituju Kameswara memang ke utara. Mudah-mudahan saja firasatnya benar."Jadi kita tidak membutuhkan para pendamping?""Hanya untuk keadaan darurat. Jangan terlalu mengandalkan mereka. Selagi masih bisa dikerjakan sendiri, jangan malas!""Baiklah!"Pada dasarnya Kameswara memiliki pemikiran yang sama dengan istri mungilnya ini. Hanya untuk hal yang sangat tidak mungkin baru dia meminta bantuan Padmasari.Seperti menyeberang ke negeri tempat tinggal Ayu Citra dalam waktu sekejap, tapi itu mungkin tidak akan dilakukan lagi.Satu kesamaan yang dimiliki Asmarini dengan Kameswara adalah tidak suka membawa banyak barang dalam perjalanan. Hanya seperlunya saja.Setelah se
Angin yang tadinya berhembus bagaikan badai berganti menjadi tiupan lembut dan sejuk. Semua mata kini memandang ke atas. Satu sosok melayang bagaikan turun dari langit. Bercahaya.Sosok yang memegang payung terbuka menaungi kepalanya dari terik mentari. Setelah semakin turun barulah terlihat sosok tersebut adalah seorang wanita yang kecantikannya bagai bidadari dari alam Tunjung Sampurna."Dewi Payung Terbang!"Beberapa orang berseru mengenali siapa yang datang itu. Semuanya terpana, takjub dengan cara-cara wanita yang dijuluki Dewi Payung Terbang ini muncul di hadapan semua orang.Wanita cantik berpayung mendarat di depan Kameswara. Mereka saling pandang dengan seulas senyum tipis."Kakang berhasil,""Ini berkat Nyai juga!"Aki Balangantrang dan Manarah tampak mendekat."Terima kasih, Ki Sanak telah menyelamatkan kerajaan dan juga ibu saya!" ucap Manarah.Sementara beberapa orang telah mengamankan Hari
Apa yang terjadi? Kita mundur dulu sejenak ceritanya.Setelah kematian suaminya, lalu dinikahi oleh Tamperan. Hidup Dewi Naganingrum tidak tenang. Dia merasa telah mengkhianati sang suami.Sedangkan Pangrenyep sepertinya malah senang. Naganingrum tidak tahu kalau di antara Pangrenyep dan Tamperan sudah ada skandal sejak suami masih hidup.Karena rasa tidak tenang inilah akhirnya Naganingrum memutuskan untuk tinggal di luar istana. Dia memilih bekas pertapaan Premana Dikusumah.Di sana dia membangun rumah sederhana. Manarah juga dirawat di sana. Baru ketika umur tujuh tahun, Manarah diperbolehkan pergi ke istana.Sampai besar Manarah sering bolak balik dari istana ke rumah ibunya.Lalu sekarang, tiba-tiba saja Dewi Naganingrum berada dalam cengkraman tangan seseorang yang berdiri di atas atap. Sosok yang mengenakan pakaian serba merah."Dewata Kala!" Aki Balangantrang terkejut. Lebih-lebih Manarah karena dia sangat menyay
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments