Yang berdiri di tengah lapangan adalah pemuda gagah berumur dua puluh lima tahun. Namun, ketampanan wajahnya tertutupi sifat angkuh dengan sorot mata bengis mengintimidasi setiap mata yang mencoba memandangnya dari jarak dekat.
"Itu Raden Marugul, kan?" tanya Kameswara memastikan. "Kau sudah tahu rupanya!" "Iya, Kek. Tadi di perjalanan aku melihatnya. Orang-orang menyebutnya Raden Marugul," "Aku berdiri di sini bermaksud ingin menguji calon adik iparku!" teriak Raden Marugul lantang. Suaranya menggema hingga ke setiap sudut perguruan. "Sifat arogannya tidak juga hilang!" ujar Ranu Baya pelan tapi masih terdengar di telinga Kameswara. "Mereka datang ke sini cuma mau pamer-pameran, Kek?" Ranu Baya mendelik mendengar ucapan Kameswara. Anak ini berani lancang juga. Dia berkata tanpa beban. Tanpa berpikir bagaimana kalau didengar langsung oleh yang bersangkutan. Namun, di sisi lain Ranu Baya tahu ini hanya aji mumpung Raden Marugul yang ingin mempermalukan calon adik iparnya. Lalu mengerti, itulah kesan yang ditangkap Kameswara. "Pamanah Rasa, ayo naik!" teriak Raden Marugul lagi. Bagi Raden Pamanah Rasa tentu saja ini membuatnya dilema. Jika memenuhi tantangan itu, kesannya ingin membuktikan bahwa dia layak mempersunting putri Kentring Manik. Padahal mereka jelas dijodohkan orang tuanya. Tapi jika menolak, bisa dibilang tak punya nyali. Terpaksa putra mahkota dari Galuh ini melangkah memasuki lapangan. Seketika terdengar suara riuh tepukan tangan. "Raden Pamanah Rasa!" seru Kameswara. Ranu Baya menjelaskan bahwa mereka berdua merupakan murid andalan perguruan Sangga Buana. Dari usia muda sampai dua puluh tahun mereka digembleng hampir tak pernah meninggalkan perguruan. Setelah berumur dua puluh tahun mereka boleh keluar masuk perguruan karena mereka juga mulai mendapatkan tugas dari istana. "Saat ini mereka sudah mencapai pendekar Madya tingkat tiga," pungkas si kakek. "Wah, tidak ada yang menang atau kalah, dong!" Ranu Baya hanya tertawa mengekeh melihat kepolosan Kameswara. Di tengah lapangan sudah berhadap-hadapan dua pendekar muda yang tangguh. Murid andalan perguruan yang juga tokoh penting istana Galuh dan Pakuan. Yang dilihat Kameswara dua pemuda gagah itu sedang berdiri sambil memasang kuda-kuda mantap. Kameswara berusaha tak berkedip demi menyaksikan sebuah pertarungan yang menarik. Tapi kejap berikutnya anak ini kucek-kucek matanya. Memastikan kalau penglihatannya masih normal. "Kapan mereka bertukar posisi, Kek?" Lagi-lagi si kakek tertawa. Tentu saja bagi mata Kameswara yang masih awam ilmu silat tak bisa mengikuti gerakan cepat yang dilakukan dua raden itu. Sebenarnya dua raden itu sudah melepaskan beberapa gerakan jurus yang dalam sekejap saja telah membuat posisi mereka bertukar tempat. Walaupun sama-sama murid perguruan Sangga Buana, tapi gaya bertarung masing-masing berbeda. Raden Marugul meskipun tampak kaku, tapi jelas kemantapan dan kekuatannya. Sedangkan Raden Pamanah Rasa bergaya lembut dan tenang sehingga menghasilkan gerakan yang indah. Bukankah adu tanding ilmu silat mempertontonkan gerakan jurus yang indah? Bagi murid-murid perguruan termasuk Ranu Baya, mereka mendapatkan tontonan menarik sambil menyerap apa yang bisa dipelajari. Namun, bagi Kameswara ini mengecewakan. Kameswara hanya bisa melihat tiba-tiba saja mereka bertukar posisi, berpindah tempat kadang agak ke pinggir lapangan lalu ke tengah lagi dalam sekejapan mata saja. Tahu-tahu saling menjauh dan mendadak begitu dekat. "Ah, tidak menarik!" Kameswara mendesah kecewa. "Kalau kau sudah menguasai ilmu silat, pasti dapat melihat dengan jelas dan tentunya menarik!" Ranu Baya mengusap-usap kepala Kameswara. Beberapa kali terdengar decakan kagum para penonton. Namun, tetap saja tidak berpengaruh bagi Kameswara. Rasanya dia ingin cepat jadi pendekar lalu menantang anak raja yang arogan itu. Pertarungan dua raden semakin sengit. Yang tadinya mengandalkan tenaga fisik saja, kini sudah menggunakan tenaga dalam. Efeknya menghasilkan hawa sakti yang menerpa hingga ke penonton di pinggir lapangan. Yang memiliki tenaga besar masih bisa bertahan di tempat walau badanya bagai pohon tertiup angin kencang. Namun, yang tenaganya kecil sudah terhempas ke belakang terutama murid-murid yang masih muda. Tadinya yang antusias ingin menyaksikan pertandingan seru ini kini mencari tempat aman agar tidak terkena imbas tenaga dalam kedua raden yang sedang berlaga. Apalagi Kameswara, dia sampai bersembunyi di belakang Ranu Baya. Tangannya memegang erat pinggang si kakek. "Apa kau masih ingin jadi pendekar?" tanya Ranu Baya. "Tentu saja masih, suatu saat aku akan lebih sakti dari mereka!" Ranu Baya tertawa lebar mendengarnya. "Ya, sudah, kita ke ruang pustaka saja!" Ketika si kakek hendak menarik Kameswara, mendadak saja hawa sakti yang menebar dari kedua raden itu hilang. Segera dia melihat apa yang terjadi. Seorang lelaki sepuh yang tatapannya bersinar penuh wibawa berdiri menengahi kedua raden itu. "Gunung Cakrabuana bisa meletus oleh kekuatan Raden berdua!" ujarnya pelan. Raden Pamanah Rasa dan Marugul langsung menjura. Rasa hormat kepada lelaki ini sama seperti kepada raja. Kemudian keduanya meninggalkan lapangan mengikuti lelaki sepuh yang terlihat masih perkasa itu. Adu tanding selesai, penonton bubar. "Eyang Astagina!" Beberapa orang bergumam menyebut namanya. Kameswara pun segera menoleh ingin melihat. "Siapa dia, Kek?" "Ki Astagina, pemimpin para guru!" "Mahaguru?" "Bukan, bisa dibilang wakil Mahaguru. Beliau sudah mencapai pendekar Utama tingkat akhir," Kameswara baru paham sedikit tentang tingkatan pendekar. Jika Ki Astagina saja pendekar Utama tingkat akhir, berarti Mahaguru berada di atasnya lagi. "Mahaguru sudah mencapai tingkat Batara," jelas Ranu Baya. Ranu Baya sudah berjalan menuju ruang pustaka diikuti Kameswara. Anak ini masih melontarkan pertanyaan sambil melangkah. "Kalau Kakek sendiri sudah tingkat berapa?" "Aku dua tingkat di bawah Ki Astagina!" Sampailah mereka di ruang pustaka. Ruangan yang penuh dengan kitab-kitab. Kitab segala macam ilmu ada di sini. Kitab jurus-jurus, ajian, sastra, pengobatan dan lain sebagainya. Ranu Baya mengambil satu kitab yang agak tebal. Sampulnya berwarna kuning gelap. Tertulis di sampulnya dengan aksara sunda buhun, "Kitab Sumber Daya". "Ini untukmu!" Kameswara menatap ragu. Kenapa Ranu Baya memberikan kitab ini begitu saja? Padahal dia bukan murid perguruan Sangga Buana. Ranu Baya mengerti tatapan anak ini. Anak baik yang paham etika. "Kalau begitu, aku pinjamkan kitab ini kepadamu. Nanti kalau kau sudah selesai membacanya, kembalikan lagi!" Senyum mengembang di wajah Kameswara lalu tangannya menjulur menerima kitab itu. "Terima kasih, Kakek baik sekali!" Ranu Baya tersenyum. "Dan ini, berikan kepada Surya Kanta!" Kameswara menerima bumbung bambu yang sama, tapi sepertinya sudah berganti isinya. Dia menyimpan kitab dan bumbung bambu itu ke dalam buntalannya. "Aku boleh pulang sekarang?" "Ya, silakan. Pelajari kitab itu dengan baik. Mudah-mudahan bisa membantumu. Hati-hati di jalan!" "Sekali lagi terima kasih, Kek!" Kameswara menjura sebelum meninggalkan ruangan itu. Sementara wajah si kakek tampak murung setelah kepergian anak itu. Bukan karena Kameswara, tapi karena isi surat dari Darna Salira. "Aku harus memberitahukan hal ini kepada Ki Astagina!" Ketika melewati pintu gerbang perguruan, Kameswara bertemu lagi dengan dua penjaga yang kini membawa alat-alat kebersihan. Senyumnya langsung mengembang lebar. Tatapannya penuh ejekan. Sementara dua murid ini menatap tajam menahan emosi. Pikir mereka, anak kecil ini membawa sial. Mereka hanya bisa membiarkan Kameswara lewat dan pergi meninggalkan perguruan. ***Kameswara baru sampai di rumah ketika sudah larut malam. Seandainya sampai tengah malam atau dini hari pun dia akan tetap pulang hari itu juga. Dia tidak mau, misalnya numpang menginap di rumah orang.Buntalannya digantung di tiang rumah. Karena ngantuk dan kelelahan, dia tidak sempat mandi atau makan dulu.Kameswara langsung meluruskan punggungnya di tempat tidur dan terlelap setelah beberapa saat.Pagi harinya setelah membersihkan diri, dia sudah siap bekerja lagi. Segera dia ke rumah sebelah sambil membawa surat balasan dari Ranu Baya. Soal kitab Sumber Daya, dia akan membacanya nanti malam."Kalau kau masih lelah, istirahat saja dulu!" ujar Surya Kanta setelah membaca isi pesan yang disimpan dalam bumbung bambu."Aku siap kerja, Paman!""Baiklah kalau begitu!"Kameswara pun pamit menuju ladang setelah menyiapkan sesuatu yang harus dibawa hari itu. Surya Kanta menatap kepergian anak yang seolah tak pernah padam semangatnya.Surya Kanta memikirkan pesan Ranu Baya. Rupanya anak itu t
Hari ini Kameswara heran. Sampai lewat tengah hari melakukan pekerjaan rutinnya di kebun, orang bertopeng belum menampakan dirinya. Dia menunggu terus sampai waktu pulang tiba.Orang yang ditunggu tidak muncul juga. Akhirnya Kameswara pulang setelah pekerjaan selesai dengan sebuah pertanyaan mengganjal di benaknya.Beberapa tombak lagi menuju rumahnya, telinga Kameswara mendengar suara keributan.Segera saja dia waspada walaupun tidak tahu apa yang terjadi. Dia percepat jalannya. Ternyata suara keributan itu berasal dari halaman depan rumah Surya Kanta.Kameswara tidak segera menghampiri ke sana, tapi bersembunyi di salah satu sisi rumah Surya Kanta. Dia mengintip apa yang sedang terjadi.Ada lima orang yang pakaiannya seragam bentuknya. Warnanya merah darah. Celana komprang hitam.Orang-orang ini semuanya berbadan kekar dan wajah sangar. Rambut gimbal dengan ikat kepala yang sewarna dengan bajunya.Yang membuat Kameswara terkejut, kelima orang ini memakai kalung berbandul tengkorak m
Sejak kecil Surya Kanta terkenal nakal dan bandel. Dia selalu menindas anak lain yang terlihat lemah. Dia banyak dibenci dan ditakuti anak-anak lain.Banyak orang tua anak lain yang mengadukan kenakalannya kepada orang tuanya. Akibatnya Surya Kanta selalu menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Tapi dia tidak pernah kapok.Kabar tentang kenakalan Surya Kanta menarik perhatian seorang pendekar aliran hitam yang menjadi pemimpin Laskar Siluman Merah. Dia menyuruh anak buahnya untuk menculik Surya Kanta.Tidak ada yang merasa kehilangan ketika Surya Kanta dikabarkan lenyap entah kemana. Menurut seseorang ada yang menyaksikan Surya Kanta dibawa orang tak dikenal.Di usia sepuluh tahun Surya Kanta sudah direkrut jadi anggota Laskar Siluman Merah. Dia dididik langsung oleh Ki Rembong, sang pimpinan Laskar Siluman Merah.Ternyata Surya Kanta memiliki bakat luar biasa. Dengan mudah dia bisa menyerap dan menguasai setiap ilmu yang diajarkan Ki Rembong.Sehingga dalam usia lima belas tahun, Surya Ka
Sudah lama Kameswara berdiri mematung di dalam kamar bekas tempat tidur Surya Kanta. Dia menghadap ke salah satu dinding yang di situ tergantung beberapa benda.Dua di antaranya seragam merah darah Laskar Siluman Merah beserta kalung berbandul tengkorak yang menjadi ciri dan lambang laskar itu.Kameswara ambil kalung itu dan memasukannya ke dalam buntalan. Dia sudah bersiap hendak pergi ke suatu tempat di mana terdapat kitab pusaka yang disembunyikan Surya Kanta.Hanya sebelum pergi dia ingin melihat-lihat isi rumah Surya Kanta terlebih dahulu.Kemudian Kameswara tertarik pada sebuah sabuk berwarna hitam. Sepertinya ini bukan sembarang sabuk.Kameswara tidak melihat anggota Laskar Siluman Merah kemarin memakai sabuk seperti ini.Tangannya meraih sabuk itu, lalu dipakai di pinggangnya. Seketika ada hawa sejuk mengalir ke dalam tubuhnya melalui pusarnya. Setelah itu tubuhnya terasa lebih ringan dan bertenaga."Benar juga, ini sabuk pusaka. Kenapa Paman tidak memakainya kemarin? Ah, mung
Secara fisik ukuran mereka sama saja, bahkan Kameswara terlihat lebih besar sedikit. Si kakek jadi terlihat kerdil. Kameswara menenangkan hatinya.Si kakek pancarkan lagi energi untuk menakuti Kameswara. Kali ini lebih kuat.Memang Kameswara sempat merasakan tekanan energi itu, tapi hanya sebentar saja. Seolah-olah hanya angin lewat saja. Ini membuat kakek kurus berambut putih semakin penasaran.Kameswara tidak sadar bahwa hal itu berkat sabuk yang dipakainya. Dia belum tahu banyak manfaat sabuk itu.Sungguh beruntung dia memakainya. Kalau tidak mungkin dia sudah lemas terkena tekanan energi yang dipancarkan si kakek."Sudahlah, Kek. Aku tidak tidak kenal dan tidak mengusik Kakek sebelumnya, aku mau melanjutkan perjalanan!" bujuk Kameswara karena memang dia tidak mau berurusan lebih jauh.Tapi sifat orang-orang dunia persilatan kadang aneh, hal sepelepun resikonya nyawa. Seperti kakek kurus berambut putih ini."Sudah kubilang, ini wilayah kekuasaanku. Siapapun jika tidak bisa menyerah
"Kau siapa?" Kameswara pura-pura tidak kenal.Setan Berambut Putih pelototkan matanya, tapi tetap saja kelihatan kecil karena cekung."Kau jangan pura-pura lupa!""Siapa, ya? Aku tidak pernah mengenalmu!""Orang yang ajalnya sudah dekat memang suka lupa!""Oh, iya...!" Kameswara menepuk keningnya."Apa kau sudah ingat?""Apa aku punya utang, biasanya kalau punya utang suka lupa. Tolong ingatkan kalau aku punya utang, berapa?"Si kakek kurus tampak jengkel. Dia menggeram. Merutuk dirinya sendiri, kenapa meladeni tingkah konyol anak ini?Tangan si kakek sudah siap mengemplang kepala Kameswara. Namun, anak ini masih tersenyum tenang.Padahal dalam hatinya gemetar. Tangan yang terangkat itu tampak bergetar memancarkan hawa jahat."Bersiaplah, akan aku kirim kau ke neraka!"Tangan si kakek benar-benar bergerak. Seandainya tidak berisi tenaga dalam mungkin Kameswara masih berani menahannya. Wajah anak ini terlihat pucat di dalam gelap malam.Beruntung, ide selalu datang di saat kepepet. Seb
Seorang gadis cantik tampak berjalan tergesa-gesa, bahkan seperti berlari. Kalau kain panjang yang melilit di pinggang ke bawah tidak menyusahkan, mungkin dia akan berlari.Gadis ini berbeda dari kebanyakan orang. Walaupun memiliki wajah pribumi, tapi baju kebayanya agak longgar dan kepalanya memakai kerudung."Kau tak kan bisa lari, Manis!"Teriakan itu terasa menggetarkan hati. Meskipun orangnya masih jauh, tapi seolah-olah berada tepat di belakangnya.Gadis ini terus melangkah tak mau menoleh kebelakang. Dia tarik sedikit kain panjangnya ke atas sehingga memperlihatkan betisnya yang putih.Dengan begitu dia bisa leluasa berlari dengan kaki yang sudah tidak memakai alas lagi yang entah lepas di mana karena saking paniknya.Pagi tadi seperti biasa dia bersama teman-temannya mencuci pakaian di sungai. Hanya saja dia pulang belakangan karena hari ini cuciannya banyak.Ketika dia selesai mencuci dan hendak pulang, dua lelaki bertampang garang menghadangnya di tengah jalan.Segera saja d
Ternyata Subang Larang adalah salah satu santri di pondok Quro. Malah terbilang santri yang paling cantik.Banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Bahkan kabarnya akan diadakan sayembara memilih suami bagi Subang Larang."Aku harap Raden mengikuti sayembara ini," pesan Subang Larang sebelum dia bergegas masuk ke dalam lingkungan pondok.Pamanah Rasa hanya mengantar sampai pintu masuk belakang pondok. Tidak baik kalau sampai kelihatan, lelaki dan perempuan yang belum menikah jalan berdua. Begitu kata Subang Larang dalam ajaran agama yang dianutnya."Berarti aku tidak dianggap!" gumam Kameswara.Pamanah Rasa hanya menghela napas. Sayembara dilaksanakan tujuh hari lagi. Apakah dia akan mengikutinya?Walaupun sudah dijodohkan dengan Kentring Manik, itu hanya untuk mempererat kekerabatan saja.Sementara untuk jodoh pilihan hati sendiri, dia belum menemukannya. Sampai bertemu dengan Subang Larang, baru sekarang hatinya merasa tertarik yang amat dalam terhadap lawan jenis.Sebenarnya Kamesw
Kameswara menatap sejenak situasi di depannya. Asmarini duduk menyandar ke bahu raga kasarnya. Di atasnya Payung Terbang memayungi keduanya. Pendekar muda ini tersenyum. Kemudian sukma Kameswara masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Pedang Bunga Emas otomatis terpegang di tangannya. Asmarini langsung sadar dari lamunannya. "Kakang sudah kembali!" Asmarini langsung menyimpan payungnya. Tangan kiri memegang pedang, tangan kanan merangkul tubuh istrinya. "Inikah Pedang Bunga Emas?" Kameswara pura-pura tidak tahu. "Terbuat dari emas dan menebarkan harum, ini memang pedang pusaka leluhur. Kakang telah membawanya dengan selamat. Terima kasih banyak, Kang!" "Aku suamimu, pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Tidak perlu berterima kasih. Ini, simpanlah!" Asmarini menerima pedang pusaka tersebut, lalu dia menggeser duduknya hingga saling berhadapan. "Aku juga rel
Blang!Kameswara menemukan sebuah ruangan bawah tanah agak luas. Keadaannya remang-remang.Di tengah ruangan ini ada gundukan bantu besar bentuknya mirip seperti dulu dia menyelam ke dasar telaga.Cahaya remang-remang ini pasti berasal dari pedang pusaka itu. Kameswara segera mencari letaknya. Dulu tertancap pada sebuah batu, sekarang pasti sama.Setelah berkeliling satu kali akhirnya menemukan juga pusaka tersebut. Kedua mata Kameswara terbelalak."Mungkinkah ini pedang yang sama? Kalau begitu bisa jadi ada dua, karena di masa depan sudah aku ambil dan diserahkan kepada Ayu Citra, atau..."Kameswara ingat selama sering bertemu dengan Fan Xiang yang merupakan reinkarnasi dari Ayu Citra, gadis itu tidak pernah membicarakan tentang pedang ini."Atau bisa jadi pedangnya kembali ke sini!"Ketika tangan Kameswara menjulur hendak memegang pedang yang tertancap di batu tersebut, tiba-tiba ada serangan hawa gaib yang me
Manakala terbetik berita yang dibawa oleh pedagang dari Arab bahwa Ali bin Abi Thalib telah meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, maka Rakean Sancang bergegas kembali ke Arab.Tempat pertahanan di Gunung Negara terpaksa ditinggalkannya. Di saat itulah dengan segera pasukan Tarumanagara dikerahkan untuk menghancurkan umat agama baru itu.Hampir separuh penganut agama baru itu meninggal dan sebagian lainnya dapat melarikan diri melalui jalan rahasia berupa gua kemudian keluar di bukit yang curam.Para penganut agama baru lalu menyebar ke mana-mana di wilayah Tatar Sunda."Dan sejak saat itu mereka menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi?" tanya Padmasari."Benar, bisa jadi telah mengganti nama agar tidak ketahuan lagi," sahut Ki Santang."Kau mencurigai atau menemukan sesuatu yang berkaitan dengan hal itu?""Ada!""Wah, apa itu?""Ada sebuah ajaran yang namanya Sunda Wiwitan, ajarannya
Sepasang suami istri berbeda masa sudah dalam perjalanan mencari Pedang Bunga Emas. Pada malam hari apabila tidak mendapatkan penginapan, maka mereka bermalam di hutan atau kebun.Mereka membuat gubuk dadakan. Dengan kesaktian Kameswara tentu saja sangat mudah dan cepat membangun tempat istirahat sementara tersebut.Sebelum tidur Asmarini sempatkan untuk bersemedi mencari petunjuk keberadaan pusaka leluhurnya.Selama ini setelah berkali semedi sebelum perjalanan, dalam pikirannya selalu ingin pergi ke arah utara."Kalau ke utara, tempat apa saja yang akan kita temukan? Selain bukit Gajah Depa tempat aku menyegel Kala Cengkar. Bukit itu dekat ke perbatasan kerajaan Wanagiri,"Kameswara tampak menerawang. Meski berbeda waktu, tapi letak suatu tempat tetap sama.Tempat mereka berada sekarang sudah dekat ke wilayah yang suatu saat nanti menjadi kerajaan Talagamanggung."Di masa ini kerajaan itu belum berdiri, sedangkan Hutan
"Aku tidak menyangka ternyata orang-orang desa Linggapura menggunakan cara-cara memalukan!" teriak Genta."Jangan ngawur!" sentak Suryadana tidak bisa menahan diri. "Sebenarnya kau mau apa ke sini?"Genta bertolak pinggang, wajahnya menunjukkan keangkuhan dan congkak. Sambil menunjuk dia berseru."Aku akan buktikan bahwa warga desa yang katanya kumpulan para pendekar melakukan cara licik untuk memikat hati wanita. Dengan cara membunuhmu, maka guna-guna yang merasuki Sukesih akan hilang!"Genta melangkah ke alun-alun. Keributan kecil di balai desa ini memancing warga yang lain berdatangan untuk melihat apa yang terjadi."Aku tantang kau di kandang sendiri, Suryadana. Katanya kau adalah pemuda berbakat di desa ini, aku ingin tahu seberapa hebatnya dirimu!"Di tempat lain Kameswara dan Asmarini sudah menyaksikan kejadian itu.Sebelum melangkah memenuhi tantangan Genta, pemuda berbakat desa Linggapura menyuruh calon istrinya
Desa Linggapura tidak besar juga tidak kecil, penduduknya agak padat. Sususan pemukimannya tertata dengan rapi. Karena awalnya hanya sebuah padepokan kecil.Pada waktu itu, selain menerima murid baru dari luar, juga ada penambahan warga dari dalam padepokan sendiri. Yaitu anak-anak dari pernikahan antara murid laki-laki dengan perempuan.Desa padepokan ini berada di kaki gunung Lingga. Dulu padepokan utamanya berada di lereng gunung.Sekarang dijadikan tempat keramat yang tidak sembarangan orang bisa ke sana, walaupun warga desa sendiri."Lama-lama bisa jadi kerajaan," ujar Kameswara yang diajak jalan memutar. Tidak melalui jalan utama, tapi langsung menuju lereng."Memangnya ada yang seperti itu?""Ada, dulu Indraprahasta juga awalnya hanya pedukuhan kecil yang dibangun oleh resi Santanu,""Oh, ternyata begitu. Sayangnya sekarang sudah hancur!"Kameswara teringat ketika menyelamatkan keluarga Prabu Wiratara seb
Keesokan harinya perjalanan mencari Pedang Bunga Emas dimulai. Kameswara sudah mempunyai rencana kemana dia akan pergi, tapi tidak disampaikan ke istrinya."Kemana kita akan mulai?" tanya Kameswara."Ke utara!"Tepat. Arah yang hendak dituju Kameswara memang ke utara. Mudah-mudahan saja firasatnya benar."Jadi kita tidak membutuhkan para pendamping?""Hanya untuk keadaan darurat. Jangan terlalu mengandalkan mereka. Selagi masih bisa dikerjakan sendiri, jangan malas!""Baiklah!"Pada dasarnya Kameswara memiliki pemikiran yang sama dengan istri mungilnya ini. Hanya untuk hal yang sangat tidak mungkin baru dia meminta bantuan Padmasari.Seperti menyeberang ke negeri tempat tinggal Ayu Citra dalam waktu sekejap, tapi itu mungkin tidak akan dilakukan lagi.Satu kesamaan yang dimiliki Asmarini dengan Kameswara adalah tidak suka membawa banyak barang dalam perjalanan. Hanya seperlunya saja.Setelah se
Angin yang tadinya berhembus bagaikan badai berganti menjadi tiupan lembut dan sejuk. Semua mata kini memandang ke atas. Satu sosok melayang bagaikan turun dari langit. Bercahaya.Sosok yang memegang payung terbuka menaungi kepalanya dari terik mentari. Setelah semakin turun barulah terlihat sosok tersebut adalah seorang wanita yang kecantikannya bagai bidadari dari alam Tunjung Sampurna."Dewi Payung Terbang!"Beberapa orang berseru mengenali siapa yang datang itu. Semuanya terpana, takjub dengan cara-cara wanita yang dijuluki Dewi Payung Terbang ini muncul di hadapan semua orang.Wanita cantik berpayung mendarat di depan Kameswara. Mereka saling pandang dengan seulas senyum tipis."Kakang berhasil,""Ini berkat Nyai juga!"Aki Balangantrang dan Manarah tampak mendekat."Terima kasih, Ki Sanak telah menyelamatkan kerajaan dan juga ibu saya!" ucap Manarah.Sementara beberapa orang telah mengamankan Hari
Apa yang terjadi? Kita mundur dulu sejenak ceritanya.Setelah kematian suaminya, lalu dinikahi oleh Tamperan. Hidup Dewi Naganingrum tidak tenang. Dia merasa telah mengkhianati sang suami.Sedangkan Pangrenyep sepertinya malah senang. Naganingrum tidak tahu kalau di antara Pangrenyep dan Tamperan sudah ada skandal sejak suami masih hidup.Karena rasa tidak tenang inilah akhirnya Naganingrum memutuskan untuk tinggal di luar istana. Dia memilih bekas pertapaan Premana Dikusumah.Di sana dia membangun rumah sederhana. Manarah juga dirawat di sana. Baru ketika umur tujuh tahun, Manarah diperbolehkan pergi ke istana.Sampai besar Manarah sering bolak balik dari istana ke rumah ibunya.Lalu sekarang, tiba-tiba saja Dewi Naganingrum berada dalam cengkraman tangan seseorang yang berdiri di atas atap. Sosok yang mengenakan pakaian serba merah."Dewata Kala!" Aki Balangantrang terkejut. Lebih-lebih Manarah karena dia sangat menyay