Kameswara dirawat di ruang pengobatan perguruan Sangga Buana. Dia merasakan sakit yang teramat sangat di bagian rusuk dan punggungnya, tapi dia tidak sampai pingsan.
Kakek Ranu Baya yang tadi siang bertugas menjadi pemeriksa kelayakan tulang telah mengobatinya dengan melumurkan ramuan obat ke tubuhnya. Selain itu dia juga sempat meminum rebusan jamu. Rasanya pahit, tapi Kameswara tak tak peduli. Dia ingin cepat sembuh dan pulang. "Kek, saya sudah boleh pulang?" Ranu Baya mendekatinya lalu duduk bersila di sampingnya. Dengan perlahan Kameswara juga bangun. "Hari sudah malam, besok saja kau boleh pulang," "Saya bisa sembuh lagi, kan?" Kameswara meraba dadanya. Masih terasa sakit. "Makanya sekarang istirahat saja, besok kau pasti sembuh dan bisa pulang!" "Baiklah, terima kasih, Kek!" Kemudian Kameswara kembali berbaring dan memejamkan matanya. Tubuhnya memang terasa lelah dan mengantuk. Ranu Baya hanya tersenyum ramah. Seandainya saja anak ini memiliki tulang yang layak, pasti bakatnya akan meningkat dengan pesat. Sekecil ini sudah memiliki jiwa besar. Tadi sore ketika Kupra dan dua kawannya hendak di 'diskualifikasi', dengan santai Kameswara meminta agar jangan dilakukan. Mereka tetap diterima sebagai murid. Dengan harapan semoga kelak setelah dididik dan dilatih mereka menjadi pendekar berhati baik. Mungkin karena masih anak-anak, jadi wajar saja mereka bersikap seperti itu. Selain itu, Kameswara tidak ingin membuat orang tua mereka malu apalagi sampai dendam kepadanya. Pagi-pagi sekali Kameswara bangun. Tubuhnya sudah terasa segar bugar. Dada dan punggungnya tidak sakit lagi. Jamu dan ramuan kakek Ranu Baya ternyata sangat manjur. Walaupun matahari belum menampakkan diri, tapi perguruan Sangga Buana sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan. Dari mulai mengambil air, mengumpulkan kayu bakar, memasak, mencuci dan lain sebagainya. Kameswara ingin berpamitan segera pulang, tapi tidak ada siapa-siapa di ruangan itu. Setelah merapikan pakaiannya dia keluar ruangan lalu mencari pintu gerbang. Sampai di pintu gerbang dia bertemu Prayoga, murid senior yang kemarin menolongnya. "Kebetulan, saya mau pamit pulang, Paman!" "Oh, Kameswara, kau sudah baikan?" "Iya, Paman, terima kasih atas pertolongan Paman!" "Tidak perlu sungkan, sudah menjadi kewajibanku menolong sesama," "Baiklah, Paman. Saya pamit, sampurasun!" "Rampes!" Prayoga memandang kepergian Kameswara dengan senyum ramah. "Semoga hidupmu beruntung!" gumamnya. Hampir tengah hari Kameswara baru sampai ke rumahnya. Suasana terlihat sepi. Surya Kanta juga tidak kelihatan ada di rumah. Mungkin orang-orang sedang sibuk di kebun. Kameswara masuk ke rumahnya. Dia langsung mencari air minum. Sepanjang perjalanan dia belum minum. Dia juga mencari bahan makanan. Dia menemukan ubi. Segera saja merebusnya. Belum lama dia merebus ubi, terdengar pintu rumah diketuk. "Eh, Paman Surya!" sapa Kameswara begitu melihat siapa yang datang. Surya Kanta dipersilakan masuk. Lelaki berumur empat puluh tahun ini membawa bakul yang berisi makanan. "Aku ingin makan bersamamu, aku kira kau belum makan setelah pulang dari perguruan Sangga Buana," Surya Kanta duduk di ruang depan langsung menyajikan makanan yang dia bawa. "Paman jangan repot-repot, aku jadi tidak enak!" Kameswara tersenyum canggung. "Sudahlah, ayo kita makan!" Mereka pun makan bersama. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Surya Kanta mengajak makan bareng. Ini yang pertama kalinya lelaki itu datang sendiri ke rumah Kameswara sambil membawa makanannya. Karena biasanya Kameswara yang dipanggil ke rumah Surya Kanta. "Bagaimana, kau diterima?" tanya Surya Kanta setelah selesai makan. "Aku belum beruntung," Kameswara tersenyum malu. Surya Kanta sudah menebaknya. Inilah yang membuatnya kagum. Kameswara sama sekali tidak merasa sedih atau kecewa walaupun gagal masuk perguruan. "Aku turut prihatin," "Kata kakek Ranu Baya, tulangku termasuk jenis tulang Jelata. Dan syarat untuk menjadi murid di sana minimal harus tulang Tembaga tingkat tiga," "Benar, tulang Jelata divonis tidak mampu belajar ilmu silat," "Memangnya ada berada jenis tulang, Paman?" Kemudian Surya Kanta menjelaskan bahwa ada empat jenis tulang yang dimiliki manusia. Pertama tulang Jelata, tulang dengan kualitas paling rendah dan paling lemah, juga tidak ada tingkatannya. "Di atas tulang Jelata ada tulang Tembaga," lanjut Surya Kanta. "Kemudian tulang Perak dan paling atas tulang Emas," Masing-masing tukang memiliki tingkatan dari satu sampai sepuluh. "Apa tulangku bisa meningkat jadi tulang Tembaga?" tanya Kameswara. "Bisa, bahkan jadi tulang emas pun bisa!" Sinar mata Kameswara berbinar-binar mendengarnya. Dia jadi antusias. "Bagaimana caranya?" "Berlatih fisik dan mengkonsumsi sumber daya," "Sumber daya?" Kameswara kerutkan kening. "Ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat meningkatkan kualitas tulang," "Dari mana mendapatkannya?" Surya Kanta melihat ada kemauan yang begitu besar dalam diri anak ini. Sepertinya dia benar-benar ingin jadi pendekar. "Bisa membelinya di warung perguruan," "Pasti mahal," Kameswara garuk-garuk kepala. Wajahnya tampak tidak semangat. Tentu saja anak delapan tahun ini memikirkan cara mendapatkan kepeng lebih banyak. Bahkan kalau bisa kepeng emas. "Apa kau benar-benar ingin mengubah kualitas tulangmu?" "Aku ingin mengubah nasibku!" tegas Kameswara. "Baiklah, aku akan membantumu!" "Benarkah?" Wajah Kameswara kembali ceria. Dia berniat akan melakukan apa saja jika diperintah oleh tetangganya ini. Demi mendapatkan sumber daya untuk meningkatkan kualitas tulangnya. "Ya, aku akan memberimu pekerjaan, sebagai upahnya aku akan memberikan sumber daya yang bagus untukmu," "Baiklah, Paman, aku siap menerima tugas apapun yang paman berikan!" Kameswara tak bisa menahan kegembiraannya. Besoknya Kameswara mulai bekerja. Dia hanya disuruh merawat tanaman di kebun-kebun dan huma milik Surya Kanta dari pagi sampai sore. Selain upah utama yang berupa sumber daya, tentunya makan dan minum sebagai kebutuhan pokok juga dia dapatkan. Selain itu, tanpa sadar Kameswara juga digembleng latihan fisik secara tidak langsung. Dengan kegiatan seperti mencangkul, menebang pohon, memotong bahkan mengangkat barang dengan beban berat secara bertahap. Karena sebenarnya Surya Kanta adalah seorang pendekar Utama tingkat tiga yang sedang menyembunyikan identitasnya. Dia merasa tidak ada salahnya melatih Kameswara secara diam-diam. Anak itu punya kemauan keras. Setiap empat belas hari sekali Kameswara menerima sumber daya yang berupa jamu godokan. Sebelum diminum, ramuan itu direbus dulu dengan takaran air yang sudah ditentukan. Setelah air menjadi berwarna hitam, baru bisa diminum. Rasanya sangat pahit, tapi demi kualitas tulang, Kameswara tak mempedulikannya. Sumber daya godokan ini bisa direbus sampai tiga kali pemakaian. Setelah itu habis khasiatnya. Surya Kanta tidak asal menyuruh Kameswara menggodok ramuan sumber daya itu. Setelah meminumnya Kameswara diajari cara bersemedi dan mengatur pernapasan agar sumber daya itu bekerja dalam tubuhnya. Begitulah seterusnya sampai lima purnama berlalu. Sebenarnya pekerjaan Kameswara itu tidak sebanding nilainya dengan sumber daya yang ia dapatkan. Karena sumber daya yang dibeli oleh Surya Kanta bukan kualitas rendahan tapi juga bukan kualitas terbaik. Namun, Surya Kanta sengaja melakukannya. Dia kasihan terhadap anak sebatang kara itu. Tidak ada salahnya kalau dia menganggap Kameswara seperti anak sendiri. Selain itu, dia juga harus punya pewaris ilmu-ilmunya walau berjalan secara lambat. ***Dengan caranya sendiri Surya Kanta menguji kekuatan fisik Kameswara. Cara yang tidak mencolok seperti guru silat saat menguji muridnya. Surya Kanta hanya menyuruh Kameswara melakukan sesuatu.Dari caranya itu dia bisa membaca kualitas tulang hasil gemblengan dan mengkonsumsi sumber daya.Ternyata hasilnya lumayan signifikan. Selama lima purnama telah menaikkan jenis tulang Kameswara menjadi tulang Tembaga tingkat tiga.Bukan hanya karena sumber daya dan gemblengannya. Tapi juga karena kemauan kuat yang dimiliki Kameswara.Suatu sore ketika Kameswara selesai bekerja, Surya Kanta memanggilnya."Ada apa, Paman?""Aku lihat kau mengalami kemajuan, apa yang kau rasakan?"Kameswara berpikir sejenak. "Tubuhku terasa lebih kuat. Setiap harinya aku mampu mengangkat beban lebih berat dari sebelumnya,""Bagus, apa kau ingin tahu jenis tulangmu sekarang?""Iya, dong, Paman!" Kameswara tersenyum lebar."Tapi aku tidak tahu cara memeriksanya," Darna Salira berbohong.Kameswara garuk-garuk kepala de
Cuaca hari ini begitu cerah. Udara yang berhembus juga terasa segar. Sehingga panas mentari tak terasa terik. Kameswara masih di atas pohon.Setelah beberapa saat menunggu akhirnya dari arah jalan besar sebelah kanan Kameswara muncul satu rombongan kereta kuda yang bentuknya terbuka tanpa dinding hanya ada tiang penyangga atap.Di depan kereta kuda ada enam pengawal berkuda dengan senjata lengkap. Di samping kanan dan kirinya masing-masing tiga prajurit berjalan kaki juga dengan senjata lengkap. Dan di belakang ada dua pengawal berkuda.Pandangan orang-orang tertuju pada sosok yang ada di kereta kuda. Seorang gadis yang cantiknya bagai dewi. Berkulit kuning langsat, halus dan bersih. Berpakaian dan perhiasan yang mewah. Semua orang memujinya."Gusti putri Kentring Manik sangat cantik, ya?""Ya, pasti cantik. Kan, putri raja!""Tapi tidak sama dengan putri yang lain!""Ya, benar!""Saking cantiknya sampai-sampai Raden Marugul sendiri yang menjadi kusirnya!""Wajar saja demi menjaga kea
Ketika Kameswara sampai di pintu gerbang perguruan Sangga Buana, keadaanya sudah bersih dan rapi kembali.Karena sebelumnya dia telah membersihkan luka-luka dan juga pakaiannya di sebuah mata air yang terdapat di lereng gunung.Dua orang murid berumur belasan tahun yang kebagian berjaga hari itu langsung menghadang Kameswara dengan pandangan merendahkan."Tidak ada pendaftaran murid baru sekarang, tunggu satu setengah tahun lagi!" Salah satunya langsung menghardik.Kameswara cuma kerenyitkan keningnya. Wajahnya agak mendongak karena penjaga itu lebih tinggi badannya. Siapa juga yang mau mendaftar? Dia cuma menjalankan tugas."Pulanglah, jangan mengganggu tugasku!" usir yang satunya.Main usir saja nih murid belagu!"Aku datang hendak menyampaikan pesan kepada Kakek Ranu Baya," Kameswara juga langsung menjelaskan tujuannya. Dalam hati dia 'ngedumel'."Ah, siapa kau, orang penting juga bukan! Berani-beraninya sok kenal sama guru Ranu Baya!""Aku cuma menjalankan tugas!""Tugas?"Kedua
Yang berdiri di tengah lapangan adalah pemuda gagah berumur dua puluh lima tahun. Namun, ketampanan wajahnya tertutupi sifat angkuh dengan sorot mata bengis mengintimidasi setiap mata yang mencoba memandangnya dari jarak dekat."Itu Raden Marugul, kan?" tanya Kameswara memastikan."Kau sudah tahu rupanya!""Iya, Kek. Tadi di perjalanan aku melihatnya. Orang-orang menyebutnya Raden Marugul,""Aku berdiri di sini bermaksud ingin menguji calon adik iparku!" teriak Raden Marugul lantang. Suaranya menggema hingga ke setiap sudut perguruan."Sifat arogannya tidak juga hilang!" ujar Ranu Baya pelan tapi masih terdengar di telinga Kameswara."Mereka datang ke sini cuma mau pamer-pameran, Kek?"Ranu Baya mendelik mendengar ucapan Kameswara. Anak ini berani lancang juga. Dia berkata tanpa beban.Tanpa berpikir bagaimana kalau didengar langsung oleh yang bersangkutan.Namun, di sisi lain Ranu Baya tahu ini hanya aji mumpung Raden Marugul yang ingin mempermalukan calon adik iparnya. Lalu mengerti
Kameswara baru sampai di rumah ketika sudah larut malam. Seandainya sampai tengah malam atau dini hari pun dia akan tetap pulang hari itu juga. Dia tidak mau, misalnya numpang menginap di rumah orang.Buntalannya digantung di tiang rumah. Karena ngantuk dan kelelahan, dia tidak sempat mandi atau makan dulu.Kameswara langsung meluruskan punggungnya di tempat tidur dan terlelap setelah beberapa saat.Pagi harinya setelah membersihkan diri, dia sudah siap bekerja lagi. Segera dia ke rumah sebelah sambil membawa surat balasan dari Ranu Baya. Soal kitab Sumber Daya, dia akan membacanya nanti malam."Kalau kau masih lelah, istirahat saja dulu!" ujar Surya Kanta setelah membaca isi pesan yang disimpan dalam bumbung bambu."Aku siap kerja, Paman!""Baiklah kalau begitu!"Kameswara pun pamit menuju ladang setelah menyiapkan sesuatu yang harus dibawa hari itu. Surya Kanta menatap kepergian anak yang seolah tak pernah padam semangatnya.Surya Kanta memikirkan pesan Ranu Baya. Rupanya anak itu t
Hari ini Kameswara heran. Sampai lewat tengah hari melakukan pekerjaan rutinnya di kebun, orang bertopeng belum menampakan dirinya. Dia menunggu terus sampai waktu pulang tiba.Orang yang ditunggu tidak muncul juga. Akhirnya Kameswara pulang setelah pekerjaan selesai dengan sebuah pertanyaan mengganjal di benaknya.Beberapa tombak lagi menuju rumahnya, telinga Kameswara mendengar suara keributan.Segera saja dia waspada walaupun tidak tahu apa yang terjadi. Dia percepat jalannya. Ternyata suara keributan itu berasal dari halaman depan rumah Surya Kanta.Kameswara tidak segera menghampiri ke sana, tapi bersembunyi di salah satu sisi rumah Surya Kanta. Dia mengintip apa yang sedang terjadi.Ada lima orang yang pakaiannya seragam bentuknya. Warnanya merah darah. Celana komprang hitam.Orang-orang ini semuanya berbadan kekar dan wajah sangar. Rambut gimbal dengan ikat kepala yang sewarna dengan bajunya.Yang membuat Kameswara terkejut, kelima orang ini memakai kalung berbandul tengkorak m
Sejak kecil Surya Kanta terkenal nakal dan bandel. Dia selalu menindas anak lain yang terlihat lemah. Dia banyak dibenci dan ditakuti anak-anak lain.Banyak orang tua anak lain yang mengadukan kenakalannya kepada orang tuanya. Akibatnya Surya Kanta selalu menjadi sasaran kemarahan ayahnya. Tapi dia tidak pernah kapok.Kabar tentang kenakalan Surya Kanta menarik perhatian seorang pendekar aliran hitam yang menjadi pemimpin Laskar Siluman Merah. Dia menyuruh anak buahnya untuk menculik Surya Kanta.Tidak ada yang merasa kehilangan ketika Surya Kanta dikabarkan lenyap entah kemana. Menurut seseorang ada yang menyaksikan Surya Kanta dibawa orang tak dikenal.Di usia sepuluh tahun Surya Kanta sudah direkrut jadi anggota Laskar Siluman Merah. Dia dididik langsung oleh Ki Rembong, sang pimpinan Laskar Siluman Merah.Ternyata Surya Kanta memiliki bakat luar biasa. Dengan mudah dia bisa menyerap dan menguasai setiap ilmu yang diajarkan Ki Rembong.Sehingga dalam usia lima belas tahun, Surya Ka
Sudah lama Kameswara berdiri mematung di dalam kamar bekas tempat tidur Surya Kanta. Dia menghadap ke salah satu dinding yang di situ tergantung beberapa benda.Dua di antaranya seragam merah darah Laskar Siluman Merah beserta kalung berbandul tengkorak yang menjadi ciri dan lambang laskar itu.Kameswara ambil kalung itu dan memasukannya ke dalam buntalan. Dia sudah bersiap hendak pergi ke suatu tempat di mana terdapat kitab pusaka yang disembunyikan Surya Kanta.Hanya sebelum pergi dia ingin melihat-lihat isi rumah Surya Kanta terlebih dahulu.Kemudian Kameswara tertarik pada sebuah sabuk berwarna hitam. Sepertinya ini bukan sembarang sabuk.Kameswara tidak melihat anggota Laskar Siluman Merah kemarin memakai sabuk seperti ini.Tangannya meraih sabuk itu, lalu dipakai di pinggangnya. Seketika ada hawa sejuk mengalir ke dalam tubuhnya melalui pusarnya. Setelah itu tubuhnya terasa lebih ringan dan bertenaga."Benar juga, ini sabuk pusaka. Kenapa Paman tidak memakainya kemarin? Ah, mung
Kameswara menatap sejenak situasi di depannya. Asmarini duduk menyandar ke bahu raga kasarnya. Di atasnya Payung Terbang memayungi keduanya. Pendekar muda ini tersenyum. Kemudian sukma Kameswara masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Pedang Bunga Emas otomatis terpegang di tangannya. Asmarini langsung sadar dari lamunannya. "Kakang sudah kembali!" Asmarini langsung menyimpan payungnya. Tangan kiri memegang pedang, tangan kanan merangkul tubuh istrinya. "Inikah Pedang Bunga Emas?" Kameswara pura-pura tidak tahu. "Terbuat dari emas dan menebarkan harum, ini memang pedang pusaka leluhur. Kakang telah membawanya dengan selamat. Terima kasih banyak, Kang!" "Aku suamimu, pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Tidak perlu berterima kasih. Ini, simpanlah!" Asmarini menerima pedang pusaka tersebut, lalu dia menggeser duduknya hingga saling berhadapan. "Aku juga rel
Blang!Kameswara menemukan sebuah ruangan bawah tanah agak luas. Keadaannya remang-remang.Di tengah ruangan ini ada gundukan bantu besar bentuknya mirip seperti dulu dia menyelam ke dasar telaga.Cahaya remang-remang ini pasti berasal dari pedang pusaka itu. Kameswara segera mencari letaknya. Dulu tertancap pada sebuah batu, sekarang pasti sama.Setelah berkeliling satu kali akhirnya menemukan juga pusaka tersebut. Kedua mata Kameswara terbelalak."Mungkinkah ini pedang yang sama? Kalau begitu bisa jadi ada dua, karena di masa depan sudah aku ambil dan diserahkan kepada Ayu Citra, atau..."Kameswara ingat selama sering bertemu dengan Fan Xiang yang merupakan reinkarnasi dari Ayu Citra, gadis itu tidak pernah membicarakan tentang pedang ini."Atau bisa jadi pedangnya kembali ke sini!"Ketika tangan Kameswara menjulur hendak memegang pedang yang tertancap di batu tersebut, tiba-tiba ada serangan hawa gaib yang me
Manakala terbetik berita yang dibawa oleh pedagang dari Arab bahwa Ali bin Abi Thalib telah meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, maka Rakean Sancang bergegas kembali ke Arab.Tempat pertahanan di Gunung Negara terpaksa ditinggalkannya. Di saat itulah dengan segera pasukan Tarumanagara dikerahkan untuk menghancurkan umat agama baru itu.Hampir separuh penganut agama baru itu meninggal dan sebagian lainnya dapat melarikan diri melalui jalan rahasia berupa gua kemudian keluar di bukit yang curam.Para penganut agama baru lalu menyebar ke mana-mana di wilayah Tatar Sunda."Dan sejak saat itu mereka menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi?" tanya Padmasari."Benar, bisa jadi telah mengganti nama agar tidak ketahuan lagi," sahut Ki Santang."Kau mencurigai atau menemukan sesuatu yang berkaitan dengan hal itu?""Ada!""Wah, apa itu?""Ada sebuah ajaran yang namanya Sunda Wiwitan, ajarannya
Sepasang suami istri berbeda masa sudah dalam perjalanan mencari Pedang Bunga Emas. Pada malam hari apabila tidak mendapatkan penginapan, maka mereka bermalam di hutan atau kebun.Mereka membuat gubuk dadakan. Dengan kesaktian Kameswara tentu saja sangat mudah dan cepat membangun tempat istirahat sementara tersebut.Sebelum tidur Asmarini sempatkan untuk bersemedi mencari petunjuk keberadaan pusaka leluhurnya.Selama ini setelah berkali semedi sebelum perjalanan, dalam pikirannya selalu ingin pergi ke arah utara."Kalau ke utara, tempat apa saja yang akan kita temukan? Selain bukit Gajah Depa tempat aku menyegel Kala Cengkar. Bukit itu dekat ke perbatasan kerajaan Wanagiri,"Kameswara tampak menerawang. Meski berbeda waktu, tapi letak suatu tempat tetap sama.Tempat mereka berada sekarang sudah dekat ke wilayah yang suatu saat nanti menjadi kerajaan Talagamanggung."Di masa ini kerajaan itu belum berdiri, sedangkan Hutan
"Aku tidak menyangka ternyata orang-orang desa Linggapura menggunakan cara-cara memalukan!" teriak Genta."Jangan ngawur!" sentak Suryadana tidak bisa menahan diri. "Sebenarnya kau mau apa ke sini?"Genta bertolak pinggang, wajahnya menunjukkan keangkuhan dan congkak. Sambil menunjuk dia berseru."Aku akan buktikan bahwa warga desa yang katanya kumpulan para pendekar melakukan cara licik untuk memikat hati wanita. Dengan cara membunuhmu, maka guna-guna yang merasuki Sukesih akan hilang!"Genta melangkah ke alun-alun. Keributan kecil di balai desa ini memancing warga yang lain berdatangan untuk melihat apa yang terjadi."Aku tantang kau di kandang sendiri, Suryadana. Katanya kau adalah pemuda berbakat di desa ini, aku ingin tahu seberapa hebatnya dirimu!"Di tempat lain Kameswara dan Asmarini sudah menyaksikan kejadian itu.Sebelum melangkah memenuhi tantangan Genta, pemuda berbakat desa Linggapura menyuruh calon istrinya
Desa Linggapura tidak besar juga tidak kecil, penduduknya agak padat. Sususan pemukimannya tertata dengan rapi. Karena awalnya hanya sebuah padepokan kecil.Pada waktu itu, selain menerima murid baru dari luar, juga ada penambahan warga dari dalam padepokan sendiri. Yaitu anak-anak dari pernikahan antara murid laki-laki dengan perempuan.Desa padepokan ini berada di kaki gunung Lingga. Dulu padepokan utamanya berada di lereng gunung.Sekarang dijadikan tempat keramat yang tidak sembarangan orang bisa ke sana, walaupun warga desa sendiri."Lama-lama bisa jadi kerajaan," ujar Kameswara yang diajak jalan memutar. Tidak melalui jalan utama, tapi langsung menuju lereng."Memangnya ada yang seperti itu?""Ada, dulu Indraprahasta juga awalnya hanya pedukuhan kecil yang dibangun oleh resi Santanu,""Oh, ternyata begitu. Sayangnya sekarang sudah hancur!"Kameswara teringat ketika menyelamatkan keluarga Prabu Wiratara seb
Keesokan harinya perjalanan mencari Pedang Bunga Emas dimulai. Kameswara sudah mempunyai rencana kemana dia akan pergi, tapi tidak disampaikan ke istrinya."Kemana kita akan mulai?" tanya Kameswara."Ke utara!"Tepat. Arah yang hendak dituju Kameswara memang ke utara. Mudah-mudahan saja firasatnya benar."Jadi kita tidak membutuhkan para pendamping?""Hanya untuk keadaan darurat. Jangan terlalu mengandalkan mereka. Selagi masih bisa dikerjakan sendiri, jangan malas!""Baiklah!"Pada dasarnya Kameswara memiliki pemikiran yang sama dengan istri mungilnya ini. Hanya untuk hal yang sangat tidak mungkin baru dia meminta bantuan Padmasari.Seperti menyeberang ke negeri tempat tinggal Ayu Citra dalam waktu sekejap, tapi itu mungkin tidak akan dilakukan lagi.Satu kesamaan yang dimiliki Asmarini dengan Kameswara adalah tidak suka membawa banyak barang dalam perjalanan. Hanya seperlunya saja.Setelah se
Angin yang tadinya berhembus bagaikan badai berganti menjadi tiupan lembut dan sejuk. Semua mata kini memandang ke atas. Satu sosok melayang bagaikan turun dari langit. Bercahaya.Sosok yang memegang payung terbuka menaungi kepalanya dari terik mentari. Setelah semakin turun barulah terlihat sosok tersebut adalah seorang wanita yang kecantikannya bagai bidadari dari alam Tunjung Sampurna."Dewi Payung Terbang!"Beberapa orang berseru mengenali siapa yang datang itu. Semuanya terpana, takjub dengan cara-cara wanita yang dijuluki Dewi Payung Terbang ini muncul di hadapan semua orang.Wanita cantik berpayung mendarat di depan Kameswara. Mereka saling pandang dengan seulas senyum tipis."Kakang berhasil,""Ini berkat Nyai juga!"Aki Balangantrang dan Manarah tampak mendekat."Terima kasih, Ki Sanak telah menyelamatkan kerajaan dan juga ibu saya!" ucap Manarah.Sementara beberapa orang telah mengamankan Hari
Apa yang terjadi? Kita mundur dulu sejenak ceritanya.Setelah kematian suaminya, lalu dinikahi oleh Tamperan. Hidup Dewi Naganingrum tidak tenang. Dia merasa telah mengkhianati sang suami.Sedangkan Pangrenyep sepertinya malah senang. Naganingrum tidak tahu kalau di antara Pangrenyep dan Tamperan sudah ada skandal sejak suami masih hidup.Karena rasa tidak tenang inilah akhirnya Naganingrum memutuskan untuk tinggal di luar istana. Dia memilih bekas pertapaan Premana Dikusumah.Di sana dia membangun rumah sederhana. Manarah juga dirawat di sana. Baru ketika umur tujuh tahun, Manarah diperbolehkan pergi ke istana.Sampai besar Manarah sering bolak balik dari istana ke rumah ibunya.Lalu sekarang, tiba-tiba saja Dewi Naganingrum berada dalam cengkraman tangan seseorang yang berdiri di atas atap. Sosok yang mengenakan pakaian serba merah."Dewata Kala!" Aki Balangantrang terkejut. Lebih-lebih Manarah karena dia sangat menyay