Dikhianati suami dan sahabatnya, Senja Mariska memilih balas dendam daripada meratapi nasib. Ia bertemu dengan Reinaldo Wicaksana, duda tampan yang empat tahun lebih muda. Senja yang sedang terluka, tak mampu menampik pesona duda keren itu. Maka, rencana itu berubah dari sekadar pembalasan menjadi permainan berbahaya yang lebih kejam. Namun, di balik senyum memesona Reinaldo, ada rahasia kelam yang Senja tidak mengetahui. Sesuatu yang mengaitkan masa lalunya dengan pengkhianatan Denta. Ketika cinta dan dendam bersatu, siapa yang akan bertahan hingga akhir? Kisah romansa yang dibumbuhi intrik dan aksi. Disclaimer: Novel ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat dan kejadian dalam novel adalah hasil imajinasi penulis atau digunakan secara fiktif. Setiap kejadian nyata, tempat atau individu, baik hidup maupun tidak adalah kebetulan semata.
Lihat lebih banyak"Selamat datang di Milan, Senja." Kalimat itu diucapkan dengan hangat oleh seorang pria berwajah ramah, menyambut kedatangan Senja di bandara kota mode tersebut. Pria itu adalah Marco, perwakilan dari rumah mode milik Madamoiselle Giselle yang mengundang Senja untuk memamerkan koleksi haute couture-nya di Milan Fashion Week. "Terima kasih, Marco," jawab Senja dengan senyum tipis, matanya mengamati sekeliling bandara yang ramai. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, dan rasa lelah mulai menyergap. "Perjalanan yang panjang, ya?" tanya Marco, seolah bisa membaca pikiran Senja. Dengan gaya maskulin, ia meminta koper Senja dan membantu membawakannya. "Mari, mobil sudah menunggu. Kami akan mengantarmu ke hotel, kamu bisa beristirahat sebentar sebelum jadwal padat dimulai." Senja mengangguk, mengikuti Marco keluar dari bandara. Udara Milan yang dingin menyapa kulitnya, berbeda jauh dengan hangatnya Jakarta. Mobil mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir di depan
Ketika Denta menghadapi kemelut rumah tangga keduanya. Senja sedang moncer dan mendaki karier ke level lebih tinggi. Ia sibuk menyiapkan design haute couture pesanan Madam Giselle. Ini tidak mudah. Haute couture melibatkan pembuatan pakaian yang sangat rumit dan detail, dengan menggunakan teknik jahitan tangan yang presisi dan bahan-bahan berkualitas tinggi. Bahannya pun khusus untuk pelanggan khusus. Secara sederhana, haute couture adalah puncak dari dunia mode, yang menggabungkan keahlian, kreativitas, dan eksklusivitas untuk menciptakan pakaian yang benar-benar luar biasa. Senja sedang meninjau sketsa desain bersama tim designer muda ketika Astrimei masuk ke ruang kerja dengan tablet di tangannya. "Madam, Madamoiselle Giselle baru saja mengirimkan beberapa perubahan untuk gaun haute couture-nya." Sekretaris Senja itu berjalan masuk sambil menatap tablet, hampir menabrak Arion Sylvano, designer muda paling tampan di Mariska Couture. “Ups, maaf.” “Tak apa, Nona,”sahut Arion
“Kau akan menikahinya?” Suara Yaman, pelan dan gemetar. Tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Matanya yang sedikit keruh, menatap tak percaya ke arah Reinaldo. Pria itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Yaman. Kening Yaman menjadi berkerut, “Seberapa kaya kau?” tudingnya. “Paman,” keluh Senja tak kuasa, hanya bisa meletakkan dahi ke telapak tangannya. Tak mampu menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda dari Senja itu tersenyum miring, terlihat sangat percaya diri. “Sangat kaya, Paman,” jawabnya kemudian. Yaman memincingkan mata tanda tak percaya. Reinaldo tertawa pelan. “Saya memiliki agensi sendiri, bekerja sama dengan kawan dari Amerika Serikat kamu membuka agensi model di lima kota besar dunia. New York, Barcelona, Seoul, Lyon dan Jakarta.” Yaman menganga, Senja memutar mata. Ia tahu Reinaldo berkata yang sesungguhnya, hanya saja tak merasa nyaman dengan tatapan serakah Yaman. “Keponakan Paman takkan kekurangan saat bersama saya.” Yaman mendecih, “Aku tak peduli dengann
Akhir pekan berikutnya, Senja yang tak lagi diganggu Citra, pada akhirnya mewujudkan keinginan Reinaldo untuk membawanya ke Graha Ceria Werdha, sebuah panti jompo profesional yang merawat paman satu-satunya yang telah renta. “Rei,” panggil Senja saat mereka dalam perjalan di dalam mobil. “Hm?” Reinaldo, menyetir dengan satu tangan sementara tangan yang lain memainkan jemari Senja, menjawab tanpa menoleh. “Aku hanya ingin kamu tahu lebih dulu. Bahwasanya Paman Yaman dan aku, tidak memiliki hubungan yang baik,” tutur Senja, suaranya sedikit tersekat. “Pamanmu tidak tulus merawatmu saat kamu masih kecil hingga remaja?” Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan dari Reinaldo. “Dari mana kamu tahu?” tanya Senja terkejut. Reinaldo memutar matanya dengan lucu. “Madam Senja, sepertinya kamu belum merasa dirimu sekarang ini sudah menjadi designer terkemuka ya?” godanya kemudian. Senja mendecak sebal lalu berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Reinaldo. “Hey!” pria itu bersuara keberata
Citra keluar dari kafe dengan langkah tergesa, jari-jarinya mencengkeram erat ponselnya. Wajahnya masih diliputi kebingungan, tetapi di balik itu, ada bara kecil yang mulai menyala, sebuah kecurigaan yang menolak padam. Dari dalam mobilnya, Senja mengamati hasil manipulasi Reinaldo. Ia memperhatikan bagaimana Citra memasuki taksi dengan ekspresi muram. "Dia terpengaruh," gumamnya samar. Reinaldo masuk ke dalam mobil beberapa menit kemudian. Wajahnya terlihat puas. Tak sedikitpun terlihat keraguan atau rasa bersalah, malah ada kelegaan di matanya. "Semua sesuai rencanamu," kata Senja pelan. Reinaldo tidak langsung menjawab. Ia meraih dagu Senja, mengangkatnya sedikit, lalu menatapnya dalam. "Ya, Sayang. Kau bebas dari dua parasit." Senja mengembuskan napas lega. "Aku tidak tahu apakah harus lega atau bersalah, Rei. Aku merasa seperti orang jahat." Reinaldo menghela napas, lalu membelai rambut Senja dengan lembut. "Sayang, dengarkan aku." Ia menggenggam tangan Senja dengan kuat,
Keesokan paginya, Senja duduk di sofa ruang tengah rumah Reinaldo. Ia memang dibawa pulang ke rumah pria itu. Sekarang, ia sedang menikmati teh pagi harinya sambil masih berusaha mencerna percakapan semalam. San pria pemilik rumah, berdiri tak jauh darinya. Berada di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan, tubuh tegapnya hanya terbungkus kemeja tipis. Di saat begini, ponsel Senja kembali mendentingkan notifikasi, membuatnya menarik napas kesal. Minggu pagi, sepagi ini, mustahil rasanya itu dari pesan kolega manapun. Mungkin itu Citra lagi. Hal ini membuatnya merasa perlu mengungkit ulang percakapan semalam. "Rei, kurasa Citra kembali menghubungi. Reinaldo menoleh ke arahnya dari yang semula menikmati pemandangan taman di pagi hari. Tersenyum miring ke arah Senja, “Sudah kuduga.” ”Jadi… kau akan melalukannya hari ini? Kau ingin membuat Citra membenci Denta?" tanya Senja ragu. Reinaldo masih menatap penuh cinta padanya, bibirnya melengkung tipis. "Tidak perlu membuat
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Senja penasaran. “Sesuatu yang akan kamu ketahui tanpa aku sembunyikan, oke?” jawab Reinaldo sambil mengedipkan satu mata dengan jenaka. Mobil kembali melaju tenang di jalan protokol ibukota. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya di jendela. Senja yang sudah mempercayai Reinaldo, kembali bersandar di jok penumpang, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan serangkaian pesan Citra. Setelah dibaca-baca kembali, cara Citra menyusun kata-kata seolah mereka adalah sahabat yang perlu menyelesaikan konflik kecil. [Mbak ... aku cuma ingin bicara. Aku gak ada niat jahat. Kenapa nomorku diblock. Kamu terlalu keras sama aku.] Senja jadi mendengus, bibirnya mengerucut kesal. "Aku gak habis pikir. Kenapa dia masih ngotot? Kayak gak mau tahu kalau aku sudah gak mau ada urusan sama dia." Reinaldo, yang menyetir dengan satu tangan di kemudi dan tangan lainnya santai di lututnya, melirik sekilas. Senyum kecil terbit di bibirnya, penuh a
“Aku benar-benar tak memiliki lowongan pekerjaan untukmu, Cit.” Senja menatap Citra yang masih menangis sesenggukan di sofa. Astrimei tetap berada di sisi wanita itu, menepuk bahunya seolah bersimpati, tetapi tatapan tajamnya ke arah Senja memberi sinyal bahwa mereka sepaham. Citra tidak layak diberi belas kasihan berlebihan. “Jadi, setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau berharap aku menyelamatkan hidupmu?” suara Senja datar, tidak terpengaruh air mata dan drama. Citra mengangkat wajahnya yang berlinang air mata, suaranya tercekat. “Bukan begitu, Mbak. Aku hanya—aku tak tahu lagi harus meminta tolong ke siapa ....” Senja menyesap kopinya pelan, membiarkan aroma kafein itu menenangkan pikirannya sebelum kembali meletakkan cangkir, menatap dingi ke arah Citra. “Kau masih punya keluarga. Masih punya ibu yang mau merawat anakmu. Bukankah kamu seharusnya berjuang bersama Mas Denta? Bukannya dulu kau rela menghancurkan rumah tanggaku demi dia? Masa sekarang kalian berpisah begitu
“Duduk.” Satu kata itu disuarakan dengan nada seperti memerintah oleh Senja, tidak ramah dan tanpa kesan menawari selayaknya pada seorang tamu. Nana Citra terlihat jauh lebih tua dari yang diingat Senja. Tubuhnya juga kurus hingga pakaian yang ia kenakan tampak kebesaran. Senja lebih dulu duduk dengan raut wajah tanpa ekspresi. Nana Citra tampak canggung, tetapi bergerak pelan mengikuti Senja untuk duduk di salah satu sofa yang ada di tengah ruangan. Ketukan pelan terdengar di pintu. Astrimei masuk, membawa baki yang di atasnya terdapat dua gelas. Segelas kopi hitam dengan uap yang masih mengepul. Satu lagi cangkir berisi teh. “Untuk penyihir desain yang hampir tenggelam di antara kertas dan deadline, kopi adalah pilihan terbaik. Meski begitu, ini adalah gelas terakhir Anda hari ini, Madam,” ujarnya sambil meletakkan cangkir di meja. Sementara untuk Citra, ia meletakkan teh tanpa berkata apa-apa. Senja tertawa kecil mendengar kalimat Astrimei. “Penyihir desain? Aku lebih suka
"Aku pulang, Mas," ujar Senja yang melangkah masuk sambil meletakkan kunci mobil secara sembarangan ke tatakan kayu bulat. Ia terpaksa begitu karena tangannya sibuk dengan Red Velvet Nougat serta mengempit botol sampanye.Namun, tidak ada jawaban.Senja mengerutkan kening. Biasanya, Denta langsung menyambutnya, entah dari ruang tengah atau dapur. Tapi kali ini, rumah terasa terlalu sepi. Ia melangkah perlahan.Apa karena ia pulang lebih cepat padahal sudah ijin datang terlambat karena rapat dengan kolega? Mungkin Denta tidak menyambutnya karena itu. Senja menggeleng sambil tersenyum geli, ia melangkah masuk meninggalkan area foyer rumahnya."Kenapa aroma lavender di sini aneh sekali?"Senja menuju ke ruang tengah. Ia mencium aroma yang tak biasa. Denta tak pernah menyukai lavender, apalagi membakar lilin seperti itu.Senja meletakkan tart dan sampanye di meja ruang tengah. Matanya menangkap sesuatu di sofa, jas milik Denta. Namun, yang lebih menarik perhatian Senja adalah gaun satin m...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen