Senja mengerutkan dahinya, matanya sedikit menyipit, tidak paham dengan arah pembicaraan itu. “Bukankah jelas karena kamu, sang Managing Director, turun tangan untuk mengurus hal remeh ini?”
Reinaldo mengangguk pelan, masih dengan senyuman yang sama. “Lalu, menurutmu, kenapa Managing Director ini dengan sukarela turun tangan?”
Senja terdiam.
Faktanya, meskipun Mariska Couture memang perusahaan yang besar, tetapi memang belum pernah bermain di runway besar. Meskipun desain pakaian mereka memukau, tetapi rasanya jika dalam langkah normal, tetap akan sulit mendapat persetujuan kerjasama dari perusahaan sekelas United Talent Agency untuk menyediakan model bagi mereka.
“Kamu tak pernah menjadi hal remeh di depanku, Senja,” kata Reinaldo kalem.
Senja semakin mengerutkan kening.
“Kapan kamu akan percaya bahwa kita sudah sepakat berpacaran, Nja?” Reinaldo bicara seolah paham dengan reaksi kebingungan Senja.
“Bukankah waktu itu aku telah mengatakan keberatan dan kamu menyetujuinya? Jadi, aku anggap perkara ‘pacaran’ itu tidak pernah terjadi,” kata Senja berusaha membantah.
Reinaldo kembali mengulas senyum miring. “Aku tidak pernah mengatakan setuju sebelumnya.”
Lagi-lagi Senja terdiam. Ia baru ingat bahwa pria itu hanya menjawab rasa keberatannya dengan ucapan ‘ah, begitu’ bukan dengan kalimat persetujuan atau penolakan.
Sial! Tidak ada lagi yang bisa Senja bantah kali ini.
Senja menatap Reinaldo sejenak. Pria itu sedang bersandar ke sandaran kursi dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dengan senyuman yang menunjukkan kemenangan. Luar biasa tampan mempesona.
Pemandangan itu membuat Senja kehilangan kata-kata sesaat. Tidak bisa dipungkiri, pria itu memang memiliki pesona yang sangat memikat.
“Aku memang lebih tampan dan jauh lebih mempesona dari pria yang akan kau ceraikan.”” Senyum miring terhias di wajah Reinaldo, seolah paham dengan makna dari tatapan Senja.
“Tck! Kamu ternyata tipe pria muda penggoda calon janda, ya?” omel Senja sebal.
“Pria muda memang menyenangkan. Tapi sayangnya, aku tidak semuda itu. Usiaku sudah 36 tahun,” kata Reinaldo sambil menatap Senja sejenak. “Dan aku bukan penggoda janda. Aku mendekatimu karena merasa satu circle. Aku seorang duda.”
Senja terperanga sejenak. Paras Reinaldo di matanya benar-benar seperti pemuda awal 30-an yang masih single. “Bercerai?”
“Istriku meninggal,” jawab Reinaldo dengan senyuman yang tampak sedikit turun.
“Oh beda level ternyata,” sahut Senja pelan. “Tapi, asal kamu tahu, aku sudah 40 tahun. Apa kamu yakin tidak menyesal mendekatiku bahkan sudah menghabiskan malam panas?”
“Jangan menuakan diri, Nona. Akan tiba saatnya menjadi empat puluh tahun, tetapi tidak sekarang,” kata Reinaldo meragukan kalimat Senja.
“Aku serius.” Senja menatap Reinaldo dengan tatapan santai.
“Usia hanya angka,” jawab Reinaldo akhirnya setelah terdiam beberapa saat.
Senja berdecak pelan, merasa kalah. Ia berdiri dan menyambar gelas-gelas wine di atas meja sekalian dengan botolnya. Kemudian ia berderap masuk menuju dapur untuk menyimpan itu semua.
Reinaldo terkekeh pelan, lalu mengikuti wanita yang masih cantik di usianya yang tak lagi muda.
“Kamu tahu,” ucap Reinaldo tiba-tiba, “Aku tidak suka melihat seseorang sepertimu direndahkan.”
Senja berhenti dari aktivitasnya membuang anggur ke dalam bak cuci piring. Ia meletakkan gelas-gelas kotor di sana lalu membuang botol ke tempat sampah dan berdiri menghadap Reinaldo.
“Apa maksudmu?”
“Aku akan membantumu membalas dendam pada Denta, Nja. Tidakkah kau ingin melihat Denta dan Citra hancur berantakan?” kata Reinaldo penuh keyakinan.
Senja menatapnya lama. Ada ketulusan dalam nada bicaranya. Atau mungkin ia hanya terlalu lelah untuk menganalisis kebohongan?
Reinaldo jauh lebih muda dari Denta. Ia lebih berkharisma. Bahkan, Reinado masuk di jajaran 40 pria muda berpengaruh di majalah Forbes. Itu karena kedekatan bisnisnya dengan seorang billioner dari New York.
Senja ingin berkata tidak. Ia tahu, bermain api dengan Reinaldo bisa berbahaya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang enggan mengalah. Entah karena gengsi, atau karena dalam hati kecilnya ia ingin sekali melihat Denta dan Citra hancur.
“Hanya jika aku memintamu. Aku tidak mau kedekatan kita membuat proses perceraianku berbelit-belit,” kata Senja pada akhirnya.
“Aku punya sumber daya yang bisa membantumu mendapatkan bukti-bukti nyata perselingkuhan suamimu. Oh, maaf. Segera ‘mantan suami’,” ujar Reinaldo sambil menaikkan satu alisnya.
Sesaat, sinar harapan timbul di wajah Senja. Ia memang merasa akan sulit terlepas dari Denta yang membersamainya selama puluhan tahun. Pengadilan agama akan lebih menyarankan untuk memaafkan dan kembali bersama.
Reinaldo, sepertinya memberi jalan sekaligus harapan ia bisa berpisah dari suami tukang selingkuh!
Namun, yang Senja tak tahu, Reinaldo juga punya rencananya sendiri.
**
Walau pagi ini Senja bangun sendirian setelah 20 tahun terakhir bangun di sisi seorang pria, tidak membuat Senja merasa kesepian. Ia dapat memulai harinya dengan santai dan hanya fokus pada dirinya sendiri. Mandi berendam selama ia mau, tidak perlu pusing memikirkan menu sarapan untuk orang lain, pun repot menyiapkannya.
Ia hanya perlu menyiapkan untuk dirinya sendiri.
Senja tersenyum saat menikmati sandwich dan omelet buatannya sendiri dengan ditemani secangkir kopi yang masih mengepul.
Di tangan kirinya, sebuah tablet tampak menunjukkan berita terkini yang disediakan oleh portal online.
Mendadak, keningnya berkerut. Sebuah notifikasi pesan masuk. Dari Astrimei, sekretarisnya yang baru, pengganti jalang Nana Citra. Senja melirik jam di sudut tablet.
“Jam berapa ini? Belum mulai jam kerja dan dia sudah mengirimkan email?” gumamnya pada diri sendiri.
[Urgent: Undangan Gala Dinner dari Alindra Maheswari]
Matanya sedikit menyipit saat ia membuka email itu.
Pengirimnya: Astrimei Lazuardi.
Senja menghela napas pendek, mengingat betapa cepatnya Astrimei beradaptasi sebagai sekretaris barunya. Sangat berbeda dengan Nana Citra, yang lebih sibuk mencari perhatian daripada bekerja.
[Kepada: Madam Senja Mariska, Saya ingin segera menginformasikan bahwa Mariska Couture telah menerima undangan gala dinner dari Ibu Alindra Maheswari Soedibyo. Undangan ini bersifat eksklusif.
Acara akan diadakan di Maheswari Manor. Terlampir detail acara.
Hormat saya, Astrimei Lazuardi]
Senja mengklik lampiran yang disertakan. Sebuah undangan digital dengan desain mewah muncul di layar, menampilkan logo Maheswari Global serta tanda tangan digital Alindra Maheswari Soedibyo sendiri.
Wanita terkaya di Indonesia!
Alindra Maheswari Soedibyo bukan sekadar miliarder, tapi juga seorang ratu dalam dunia bisnis dan investasi. Namanya adalah simbol kekuatan, dan undangan ini bukan sesuatu yang bisa didapatkan sembarang orang.
Senja duduk tegak di kursinya, merenungkan kesempatan luas yang ditawarkan undangan ini. Ia akan banyak bertemu pebisnis Indonesia, bahkan bisa langsung mendekati circle Alindra yang terkenal penggila mode dan fashion terbaru.
Mariska Couture memang baru saja menembus Paris Fashion Week, sebuah pencapaian yang tidak mudah. Tapi untuk diundang langsung oleh seseorang seperti Alindra? Itu berarti ada sesuatu yang lebih besar di baliknya.
Tangannya reflek mengetik balasan cepat untuk Astrimei agar segera mengkonfirmasi kehadiran mereka.
***
Sementara itu, Reinaldo juga telah berada di dalam kantornya yang luas. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi kulit hitam, jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme santai. Di hadapannya, layar laptop menampilkan salinan email yang baru saja dikirimkan Astrimei kepada Senja.
Undangan itu sudah sampai ke tangan Senja. Persis seperti yang ia rencanakan.
Bibirnya melengkung dalam senyum tipis. “Bagus.”
Reinaldo tidak pernah percaya pada kebetulan. Dunia ini bergerak berdasarkan kendali orang-orang yang cukup cerdas untuk menarik benang-benangnya. Ia bukan tipe pria yang duduk diam dan menunggu kesempatan datang. Jika ia menginginkan sesuatu, ia akan memastikan jalannya terbuka.
Dan kali ini, jalannya terbuka berkat Astrimei.
Sekretaris baru itu bukan sekadar pengganti Nana Citra. Dia adalah mata dan telinga Reinaldo di dalam Mariska Couture. Sejak awal, dia memang bukan sekadar pelamar biasa. Astrimei adalah pilihannya. Orang yang ia sisipkan dengan tujuan jelas.
Dan Astrimei bekerja dengan sangat baik.
“Tidak sia-sia aku mempekerjakannya,” kata Reinaldo dengan senyum tipis.
Senja berdiri di depan cermin besar di butik pribadinya. Pencahayaan lembut dari lampu sorot menyoroti gaun satin biru tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu adalah karyanya sendiri. Elegan, berani, dan tak lagi terikat pada selera seseorang selain dirinya.Namun, bukan bayangan gaun itu yang membuatnya terdiam. Matanya menatap refleksinya dengan tajam. Ia tampak sedikit kurus karena masalah yang menghantam belakangan ini.Senja meneliti wajahnya. Belum ada kerut di sana, tetapi kantung matanya terlihat jelas. Hasil memikirkan trategi menjelang PFW juga proses gugatan cerai yang mulai masuk sidang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya."Masuk," ucapnya.“Madam, sudah siap?” Astrimei muncul di pintu.Sekretaris yang cantik itu sudah mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam yang agak mengembang di bawah pinggang.“Mei, lihat kantung mataku. Aku tidak suka, membuatku terlihat tua,” gerutu Senja.Astrimei dengan sigap masuk. Ia berjalan sambil mencari sesuatu
Pelayan lewat membawa baki berisi gelas-gelas sampanye. Reinaldo mengambil dua gelas lalu memberikan pada Senja satu. Ia mengangkat gelas sampanye, membuat Senja otomatis melakukan hal yang sama.Kedua gelas berdenting. mereka menyesap sampanye masih sambil memaku mata masing-masing.“Well, aku tipe orang di balik layar. Kurang suka dengan sorotan-sorotan seperti ini. Hanya karena Ibu Alindra adalah orang berpengaruh. Sejatinya, aku lebih suka menyumbang tanpa harus hadir di sini.” Senja memilih untuk tetap bersikap formal.“Hm. Tidak suka spotlight ternyata.” Reinaldo berkata sambil menatap ke pusat pesta, titik yang sama di mana Senja melayangkan pandangan.“Sayangnya, semua perhatian menyorot kepadamu beberapa hari ini, bukan?” kata Reinaldo dengan tatapan penuh simpati. Senja balas menatap datar ke arahnya. Menilai pria yang berbicara santai di depannya.“Rupanya kamu juga mengamati berita yang beredar di luaran,” ujar Senja seraya kembali melemparkan pandangan ke arah lain.“Buka
Satu bulan sudah Senja tinggal di apartemen pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan saja. Jika sedang berada di Mariska Couture, Senja menjadi pribadi yang berbeda saat ia sendirian di apartemennya.Senja mampu menutupi luka hati jika berada di kantor. Segunung pekerjaan, puluhan design istimewa yang membutuhkan konsentrasi tinggi, mampu membuatnya melupakan kemelut rumah tangga.Tetapi ketika sendirian di apartemen, Senja kembali menjadi wanita yang terpuruk karena pengkhianatan keji sang suami. Ini sedikit menyiksa, membuat Senja kehilangan berat badan karenanya.Hari ini, ia ada janji temu dengan Pramita Prameswari, salah satu pengacara senior Pandecta Law yang terkenal mampu mengurus kasus perceraian seperti yang dialami oleh Senja. Gugatan cerai Senja memang telah didaftarkan dan menjadi tanggung jawab Mita.“Bu Senja, Ibu Mita dari Pandecta Law sudah datang,” kata Astrimei.“Suruh masuk, Mei.”Wanita muda nan ayu itu mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu ruanga
Di sisi lain kota.Denta duduk dengan tubuh bersandar di kursi kulit mahal yang menghiasi ruang rapat di kantor hukum langganannya. Di seberangnya, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan jas hitam rapi sedang memeriksa dokumen tebal di tangannya.Mata pria itu, pengacara senior bernama Hardi Santoso, tajam dan penuh pengalaman. Seperti halnya Mita Prameswari, Hardi Santoso juga dikenal tak pernah kalah dalam sidang perceraian, terutama ketika menyangkut pembagian harta gono-gini.“Jadi, Mas Denta,” kata Hardi, sambil membuka halaman berikutnya dari dokumen yang ia pegang. “Senja Mariska mengklaim bahwa 51% saham Mariska Couture itu miliknya sepenuhnya, dan bukan bagian dari harta bersama. Apa yang Anda tahu tentang itu?”Denta menghela napas berat, merasa sedikit tersudut. “Memang benar dia mendirikan perusahaan itu sebelum kami menikah. Tapi saya ikut berkontribusi dalam perkembangannya. Itu tidak bisa diabaikan.”Hardi mengangguk kecil, matanya tetap tertuju pada dokumen. “Kontri
Mantan sekretaris yang pernah mengkhianati Senja, kini menjadi ratu di rumah yang dulu menjadi sarang cinta Senja dan Denta. Perutnya mulai membuncit, menampilkan lekukan indah di bawah gaun lembut yang ia kenakan.“Jadi, tinggal proses saja kan, Mas? Bukti sudah diterima majelis hakim?” tanya Citra kepada pria yang telah menikahinya secara siri.Denta tersenyum licik, “Ya. Senja yang goblok itu mengantarkan buktinya sendiri. Jejak digital memang kejam. Di salah satu berita online beberapa tahun lalu, ia mengucapkan terima kasih atas kontribusiku sehingga bisa membuka cabang Mariska Couture di Surabaya. Bukan cuma berita tertulis. Videonya pun ada.”Citra tertawa bahagia, “Mariska Couture bakal jadi Citra Musk buat hadiah persalinanku,” ujarnya kenes.**Senja memilih sebuah kafe berbasis alam yang melenakan pikiran kusutnya. Dengan gazebo-gazebo setengah tertutup yang satu sisinya menghadap ke taman beserta kolam yang bergemericik, Senja menyandarkan punggung menanti pesanan.Sidang
“Maaf, Nja,” bisik Reinaldo.“Tak apa.” Senja mengibaskan tangannya.“Kau ingin aku mengirimkan file-file ini ke ponselmu?” tanya Reinaldo lagi.“Ya, kirimkan saja.” Senja berusaha menutupi sesak dengan menarik makanannya lalu mulai makan perlahan.Di sampingnya, Reinaldo sibuk mengirimkan file-file yang ia miliki ke ponsel Senja.“Kamu tidak makan lagi?” tawar Senja, merasa sungkan karena makan sendiri. Walau sejatinya ia tidak berselera lagi, tetapi makanan itu sudah telanjur terhidang di depannya.“Makanlah, aku akan menemanimu,” jawab Reinaldo masih sambil menatap layar ponselnya.“Terima kasih,” bisik Senja lembut.“Jangan berterima kasih dulu. Aku belum memberikan semuanya padamu,” gumam Reinaldo terdengar sedikit meggeram.“Maksudmu?” tanya Senja lagi.Reinaldo menatapnya, “Kalau foto dan video ini tidak bisa diterima sebagai bukti. Kamu perlu sesuatu yang lebih keras untuk menghantamnya, Nja.”“Dan kau akan menyarankan aku untuk melakukan apa?” tanya Senja.“Bukan kamu. Tapi a
Apa yang terjadi selanjutnya, membuat Senja lebih sering mengulas senyum di wajahnya. Mita membawa bukti-bukti itu ke ahli auditor forensik dan berhasil memenangkan sidang harta gono gini. Mariska Couture akan tetap menjadi milik Senja Mariska. Bukti-bukti penyelewengan dana oleh Denta Prayudha, membuat Senja bahkan dapat mengajukan gugatan perdata. Jadi, setelah gugatan cerainya dikabulkan. Senja akan maju menggugat Denta pada sidang perdata dengan dibantu oleh Abimanyu, salah seorang Senior Associate dari Pandecta Law, firma hukum yang sama dengan Mita Prameswari. Keputusan cerai akan segera didapatkan oleh Senja dan sebentar lagi statusnya berubah menjadi janda cerai. Ditambah ia mampu membalas perbuatan Denta dengan meminta ganti rugi pada sidang perdata. Membuat dendam Senja separuh terbalaskan. Tambahan kebahagiaan untuk Senja, Mariska Couture lolos tahap eliminasi. Dengan demikian, bisa dipastikan tahun depan Mariska Couture akan terdaftar sebagai salah satu rumah mode asa
“Selamat untuk kebebasanmu, Senja.” Senja mendengus pelan, menutup pintunya lalu mengangguk, “Terima kasih.” “Ayo. Aku punya hak istimewa untuk mentraktirmu. Lagipula, ini hari besar untukmu. Perayaan wajib.” Senja melirik sekilas ke arah Astrimei yang berdiri dengan gesture sopan, menatap ke arahnya sambil tersenyum. “Aku punya ide lebih baik, ini perayaan kebersamaan. Astrimei juga mengambil bagian menolongku, bukan?” katanya sambil menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda empat tahun itu mengernyit. Ia memahami, sekali lagi Senja menghindari untuk berdua-duaan dengannya. Padahal sekarang adalah momen yang pas. Melihat Reinaldo bertampang keberatan, cepat-cepat Senja menambahkan. “Aku ingin menikmati kebebasan ini dulu,” gumamnya, lalu tanpa menunggu persetujuan Reinaldo lagi, ia menghampiri Astrimei. “Kemasi barang-barangmu, ayo ikut. Aku ingin mentraktir makan malam.” “Saya ikut Madam dan Tuan Rei?” tanyanya sambil menunjuk ke dadanya sendiri. “Hm.” Senja menyeli
“Mari, kita saksikan busana-busana dari designer kenamaan Indonesia, yang membawa warna baru dalam mode dunia selaras dengan nuansa musim panas yang ceria!” Suara itu menggema di atas runway yang kosong, musik menghentak, sejurus kemudian satu persatu model kelas dunia berlenggak lenggok di atasnya. Berbaris rapi dengan fashion memukau menempel di tubuh mereka. Lampu sorot menari-nari di atas panggung megah Teatro alla Scala, menerangi gemerlap koleksi haute couture yang memukau. Di balik panggung, kesibukan luar biasa dipimpin oleh Senja Mariska sendiri. Ia melakukan supervisi untuk setiap pakaian yang dikenakan oleh model sebelum mereka dilepas berjalan di atas runway. “Madam Mariska!” Beberapa kali teriakan itu akan berkumandang, berasal dari designer-designer muda di bawah pimpinan Madamoiselle Giselle yang khusus mengundang Senja Mariska untuk berkolaborasi dengannya. “Bagaimana dengan ini?” Salah seorang designer muda mendorong model wanita dengan tinggi menjulang ke dep
"Selamat datang di Milan, Senja." Kalimat itu diucapkan dengan hangat oleh seorang pria berwajah ramah, menyambut kedatangan Senja di bandara kota mode tersebut. Pria itu adalah Marco, perwakilan dari rumah mode milik Madamoiselle Giselle yang mengundang Senja untuk memamerkan koleksi haute couture-nya di Milan Fashion Week. "Terima kasih, Marco," jawab Senja dengan senyum tipis, matanya mengamati sekeliling bandara yang ramai. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, dan rasa lelah mulai menyergap. "Perjalanan yang panjang, ya?" tanya Marco, seolah bisa membaca pikiran Senja. Dengan gaya maskulin, ia meminta koper Senja dan membantu membawakannya. "Mari, mobil sudah menunggu. Kami akan mengantarmu ke hotel, kamu bisa beristirahat sebentar sebelum jadwal padat dimulai." Senja mengangguk, mengikuti Marco keluar dari bandara. Udara Milan yang dingin menyapa kulitnya, berbeda jauh dengan hangatnya Jakarta. Mobil mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir di depan
Ketika Denta menghadapi kemelut rumah tangga keduanya. Senja sedang moncer dan mendaki karier ke level lebih tinggi. Ia sibuk menyiapkan design haute couture pesanan Madam Giselle. Ini tidak mudah. Haute couture melibatkan pembuatan pakaian yang sangat rumit dan detail, dengan menggunakan teknik jahitan tangan yang presisi dan bahan-bahan berkualitas tinggi. Bahannya pun khusus untuk pelanggan khusus. Secara sederhana, haute couture adalah puncak dari dunia mode, yang menggabungkan keahlian, kreativitas, dan eksklusivitas untuk menciptakan pakaian yang benar-benar luar biasa. Senja sedang meninjau sketsa desain bersama tim designer muda ketika Astrimei masuk ke ruang kerja dengan tablet di tangannya. "Madam, Madamoiselle Giselle baru saja mengirimkan beberapa perubahan untuk gaun haute couture-nya." Sekretaris Senja itu berjalan masuk sambil menatap tablet, hampir menabrak Arion Sylvano, designer muda paling tampan di Mariska Couture. “Ups, maaf.” “Tak apa, Nona,”sahut Arion
“Kau akan menikahinya?” Suara Yaman, pelan dan gemetar. Tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Matanya yang sedikit keruh, menatap tak percaya ke arah Reinaldo. Pria itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Yaman. Kening Yaman menjadi berkerut, “Seberapa kaya kau?” tudingnya. “Paman,” keluh Senja tak kuasa, hanya bisa meletakkan dahi ke telapak tangannya. Tak mampu menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda dari Senja itu tersenyum miring, terlihat sangat percaya diri. “Sangat kaya, Paman,” jawabnya kemudian. Yaman memincingkan mata tanda tak percaya. Reinaldo tertawa pelan. “Saya memiliki agensi sendiri, bekerja sama dengan kawan dari Amerika Serikat kamu membuka agensi model di lima kota besar dunia. New York, Barcelona, Seoul, Lyon dan Jakarta.” Yaman menganga, Senja memutar mata. Ia tahu Reinaldo berkata yang sesungguhnya, hanya saja tak merasa nyaman dengan tatapan serakah Yaman. “Keponakan Paman takkan kekurangan saat bersama saya.” Yaman mendecih, “Aku tak peduli dengann
Akhir pekan berikutnya, Senja yang tak lagi diganggu Citra, pada akhirnya mewujudkan keinginan Reinaldo untuk membawanya ke Graha Ceria Werdha, sebuah panti jompo profesional yang merawat paman satu-satunya yang telah renta. “Rei,” panggil Senja saat mereka dalam perjalan di dalam mobil. “Hm?” Reinaldo, menyetir dengan satu tangan sementara tangan yang lain memainkan jemari Senja, menjawab tanpa menoleh. “Aku hanya ingin kamu tahu lebih dulu. Bahwasanya Paman Yaman dan aku, tidak memiliki hubungan yang baik,” tutur Senja, suaranya sedikit tersekat. “Pamanmu tidak tulus merawatmu saat kamu masih kecil hingga remaja?” Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan dari Reinaldo. “Dari mana kamu tahu?” tanya Senja terkejut. Reinaldo memutar matanya dengan lucu. “Madam Senja, sepertinya kamu belum merasa dirimu sekarang ini sudah menjadi designer terkemuka ya?” godanya kemudian. Senja mendecak sebal lalu berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Reinaldo. “Hey!” pria itu bersuara keberata
Citra keluar dari kafe dengan langkah tergesa, jari-jarinya mencengkeram erat ponselnya. Wajahnya masih diliputi kebingungan, tetapi di balik itu, ada bara kecil yang mulai menyala, sebuah kecurigaan yang menolak padam. Dari dalam mobilnya, Senja mengamati hasil manipulasi Reinaldo. Ia memperhatikan bagaimana Citra memasuki taksi dengan ekspresi muram. "Dia terpengaruh," gumamnya samar. Reinaldo masuk ke dalam mobil beberapa menit kemudian. Wajahnya terlihat puas. Tak sedikitpun terlihat keraguan atau rasa bersalah, malah ada kelegaan di matanya. "Semua sesuai rencanamu," kata Senja pelan. Reinaldo tidak langsung menjawab. Ia meraih dagu Senja, mengangkatnya sedikit, lalu menatapnya dalam. "Ya, Sayang. Kau bebas dari dua parasit." Senja mengembuskan napas lega. "Aku tidak tahu apakah harus lega atau bersalah, Rei. Aku merasa seperti orang jahat." Reinaldo menghela napas, lalu membelai rambut Senja dengan lembut. "Sayang, dengarkan aku." Ia menggenggam tangan Senja dengan kuat,
Keesokan paginya, Senja duduk di sofa ruang tengah rumah Reinaldo. Ia memang dibawa pulang ke rumah pria itu. Sekarang, ia sedang menikmati teh pagi harinya sambil masih berusaha mencerna percakapan semalam. San pria pemilik rumah, berdiri tak jauh darinya. Berada di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan, tubuh tegapnya hanya terbungkus kemeja tipis. Di saat begini, ponsel Senja kembali mendentingkan notifikasi, membuatnya menarik napas kesal. Minggu pagi, sepagi ini, mustahil rasanya itu dari pesan kolega manapun. Mungkin itu Citra lagi. Hal ini membuatnya merasa perlu mengungkit ulang percakapan semalam. "Rei, kurasa Citra kembali menghubungi. Reinaldo menoleh ke arahnya dari yang semula menikmati pemandangan taman di pagi hari. Tersenyum miring ke arah Senja, “Sudah kuduga.” ”Jadi… kau akan melalukannya hari ini? Kau ingin membuat Citra membenci Denta?" tanya Senja ragu. Reinaldo masih menatap penuh cinta padanya, bibirnya melengkung tipis. "Tidak perlu membuat
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Senja penasaran. “Sesuatu yang akan kamu ketahui tanpa aku sembunyikan, oke?” jawab Reinaldo sambil mengedipkan satu mata dengan jenaka. Mobil kembali melaju tenang di jalan protokol ibukota. Lampu-lampu mulai menyala, memantulkan cahaya di jendela. Senja yang sudah mempercayai Reinaldo, kembali bersandar di jok penumpang, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang menampilkan serangkaian pesan Citra. Setelah dibaca-baca kembali, cara Citra menyusun kata-kata seolah mereka adalah sahabat yang perlu menyelesaikan konflik kecil. [Mbak ... aku cuma ingin bicara. Aku gak ada niat jahat. Kenapa nomorku diblock. Kamu terlalu keras sama aku.] Senja jadi mendengus, bibirnya mengerucut kesal. "Aku gak habis pikir. Kenapa dia masih ngotot? Kayak gak mau tahu kalau aku sudah gak mau ada urusan sama dia." Reinaldo, yang menyetir dengan satu tangan di kemudi dan tangan lainnya santai di lututnya, melirik sekilas. Senyum kecil terbit di bibirnya, penuh a
“Aku benar-benar tak memiliki lowongan pekerjaan untukmu, Cit.” Senja menatap Citra yang masih menangis sesenggukan di sofa. Astrimei tetap berada di sisi wanita itu, menepuk bahunya seolah bersimpati, tetapi tatapan tajamnya ke arah Senja memberi sinyal bahwa mereka sepaham. Citra tidak layak diberi belas kasihan berlebihan. “Jadi, setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau berharap aku menyelamatkan hidupmu?” suara Senja datar, tidak terpengaruh air mata dan drama. Citra mengangkat wajahnya yang berlinang air mata, suaranya tercekat. “Bukan begitu, Mbak. Aku hanya—aku tak tahu lagi harus meminta tolong ke siapa ....” Senja menyesap kopinya pelan, membiarkan aroma kafein itu menenangkan pikirannya sebelum kembali meletakkan cangkir, menatap dingi ke arah Citra. “Kau masih punya keluarga. Masih punya ibu yang mau merawat anakmu. Bukankah kamu seharusnya berjuang bersama Mas Denta? Bukannya dulu kau rela menghancurkan rumah tanggaku demi dia? Masa sekarang kalian berpisah begitu