Setibanya di apartemen, Senja segera masuk ke kamar mandi, berniat sekali lagi membersihkan dirinya. Ia sungguh merasa menyesal karena melakukan kebodohan semalam. Bukan saja mabuk yang berakibat dirinya bermalam dengan Reinaldo. Namun, juga menerima kebaikan pria itu pagi ini yang mengantarnya untuk mengambil mobilnya di bar.
“Harusnya aku menolak lebih kuat dan kembali ke bar pake taksi online,” gumamnya penuh sesal.
Saat berada di depan kaca kamar mandi, Senja menemukan bayangan pada cermin, wanita berumur 40 tahun yang hancur lebur karena pengkhianatan suami.
Sekuat apapun ia berusaha bertahan, sakit itu ada dan nyata. Tergurat jelas pada wajah cantiknya yang belum dihiasi keriput.
“Tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Senja Mariska, kamu wanita kuat yang berhasil mandiri tanpa ditemani Ayah dan Ibu. Bangkit! Jangan lemah!” katanya pada kaca, memotivasi diri sendiri.
Ia tidak mau menyerah pada cobaan hidup yang mencoba menyeretnya ke jurang kesedihan. Senja bergegas mandi. Merendam dirinya dalam aromaterapi demi melonggarkan syaraf-syaraf yang tegang dari semalam.
Usai mandi, Senja menemukan dirinya lebih segar. Namun, jejak kesedihan bercampur hangover masih tergambar pada matanya. Maka, ia memilih riasan smokey eyes yang mempesona, hari ini. Ia memilih mengenakan blouse dengan aksen bowtie, celana jeans slimfit yang menegaskan kaki jenjang dan langsing miliknya. Lalu, Senja menambahkan blazer oversized yang sempurna untuk penampilannya
Selama perjalanan, Senja memang masih tegar. Namun, semakin mendekati bangunan Mariska Couture, sakit kembali merayapi hatinya. Senja harus berjuang sekuat tenaga agar tetap sanggup menampilkan wajah bahagia.
Ia memarkirkan mobil di depan gedung, spot khusus untuk dirinya selaku direktur utama sekaligus designer di Rumah Mode Mariska Couture. Senja melangkahkan kaki dengan wajah datar tanpa senyum.
“Selamat pagi, Madam Mariska,” sapa receptionis yang berjaga di lobi depan. Senja melontarkan senyum manis sembari melangkah menyeberangi lobi. Saat memasuki lorong menuju ke kantor pribadinya, senyum seketika lenyap dari wajah Senja.
Di ujung lorong, Citra berdiri dalam gaun ungu bercorak bunga yang membuatnya tampak jelita. Kedua tangan wanita itu tertaut di depan badan dan wajahnya tampak penuh penyesalan ke arahnya.
Senja memantapkan hati dan mulai melangkah tanpa emosi berlebihan.
“Kenapa kamu datang? Bukankah sudah kubilang kalau kamu dipecat dari Mariska Couture.” Senja berkata datar pada Citra saat melewatinya.
“Mbak, dengar penjelasanku dulu,” pinta Citra dengan lemah.
Senja berhenti melangkah. Ia memutar tumit untuk menghadap ke arah Citra. Tingginya yang di atas rata-rata, membuatnya sedikit merasa menang ketika menunduk menatap Citra yang jauh lebih pendek darinya.
Meski di dalam hati Senja merasa remuk karena merasa kalah dari Citra. Kalah usia maupun kalah kodrat karena Citra kini mengandung anak Denta!
“Apalagi yang harus dijelaskan, Cit? Aksimu memberitahuku lebih keras dari kata-kata. Ah, karena kamu memutuskan untuk tetap datang, ya sudah. Aku memberimu waktu untuk berkemas dan segera pergi setelah surat PHK diterbitkan oleh Rebecca.”
Senja melanjutkan langkahnya menuju ke kantor pribadi yang terletak di tengah bangunan ini. Ia membatalkan niatnya untuk mendatangi ruang kepegawaian, memilih untuk menghubungi Rebecca, Manager HRD-nya melalui interkom saja.
“Becca, terbitkan surat pemutusan hubungan kerja dengan Nana Citra.”
“Ha? Hari ini, Madam?” tanya Rebecca kebingungan. “Tapi, Madam, termination without notice begini harus memiliki dasar yang kuat. Apalagi Madam Citra sudah lama bekerja—,”
“Dengan alasan perilaku tidak etis yang telah dilakukan Nana Citra di rumahku kemarin. Ia terpergok selingkuh dengan Denta Prayudha. Bukan hanya berlaku amoral dengan pria lain, tetapi selingkuh dengan salah satu pemegang saham di sini yang membuat posisinya rentan serta berpengaruh pada setiap kebijakan yang harus ia laksanakan selama bekerja di Mariska Couture!”
Rebecca terdiam. Bukan kaget pada kalimat tegas Senja, tetapi shock atas kebejatan orang yang ia kenal sebagai sahabat bos selain sekretaris pribadinya.
“Madam, saya akan terbitkan suratnya hari ini namun tetap menjaga kerahasiaan demi nama baik Mariska Couture,” ucap Rebecca pelan sekaligus untuk menenangkan Senja.
“Terima kasih, Becca.”
Citra mendengarkan semua pembicaraan Senja dengan Rebecca dari pintu. Wajahnya pias tetapi juga berselimut emosi. Ia merasa tidak sepenuhnya bersalah. Ia merasa berani karena memiliki dukungan Denta di belakangnya. Bukankah pria itu berkata akan melakukan apapun untuk menyelamatkannya?
“Mbak, kamu gak bisa memecatku begitu saja. Mas Denta gak akan tinggal diam.” ia meluruk masuk ke dalam ruangan Senja.
“Apapun yang Denta lakukan sekarang tidak akan merubah keputusanku. Silakan berkemas dan tinggalkan kantor setelah mengantongi surat PHK dari Rebecca. Tolong tutup pintunya ketika kamu keluar.”
Senja mengabaikan Nana Citra begitu saja. Wanita yang sedang mengandung benih suaminya itu terlalu malu untuk berdiri melawan Senja. Entah bagaimana, wanita itu tampak baik-baik saja setelah dihantam kenyataan mengejutkan semalam.
Kalau boleh jujur, Citra melihat Senja hari ini malah lebih cantik dari biasanya. Aura pemimpin memancar kuat serta ia tidak tampak goyah meski rumah tangganya carut marut.
Citra mendengus kesal lalu keluar dari ruangan Senja tanpa menutup pintunya. Ia membereskan barang-barang pribadi di meja kerjanya. Tidak ada pilihan lain, jika ia bersikeras ketika surat PHK sudah dibuat, ia akan mempermalukan diri sendiri jika harus diseret keluar oleh pihak keamanan. Maka Citra mengikuti kata-kata Senja. Jika ingin membalas, ia bisa melakukan nanti.
Citra keluar dari gedung Mariska Couture hanya ditemani oleh Rebecca. Manager HRD itu melakukan atas dasar profesionalisme semata. Mata-mata karyawan lain, menatap heran pada kepergian mendadak Nana Citra tanpa perpisahan yang layak, tanpa berpamitan.
Ini membuat Citra semakin marah pada Senja yang dia pikir merendahkannya sedemikian rupa.
Saat ia tiba di dalam mobil pribadi dengan barang-barang yang tak terlalu banyak, Citra menghubungi Denta melalui telepon.
“Mas! Istrimu beneran memecatku! Dia pake alasan perilaku tidak etis dan membeberkan perselingkuhan kita! Aku malu, Mas! Kamu lakukan sesuatu, kek!”
Denta yang berada di kantornya, memijat pelipis saat mendengar aduan Citra melalui sambungan telepon.
“Ya, nanti aku akan bicara pada Senja.”
Sejujurnya, Denta tidak mengira Senja berani mengambil tindakan se-frontal ini. Ia mengira Senja akan menghindar sejenak kemudian kembali padanya dengan membawa segala syarat. Mungkin, salah satunya mengijinkan ia menikahi Citra secara siri hanya sampai dengan kelahiran anaknya. Lalu menyuruhnya berpisah. Tetapi, Senja malah melakukan hal lain di luar dugaan Denta.
Ia benar-benar harus membereskan masalah yang telah terlanjur timbul ke permukaan. Denta bersiap untuk makan siang di luar. Ia berencana menemui Senja.
“Aku ikut!” pekik Citra saat Denta mengatakan rencananya.
“Tck, nanti malah bikin runyam suasana,” tegur Denta.
“Pokoknya aku mau ikut!”
“Nurut kenapa?!” Denta nyaris menggebrak meja pada kebebalan Citra. Untung ia berhasil menguasai diri, mengingat kalau wanita ini sedang mengandung anaknya. “Kalau kamu ikut, Senja tidak bisa berpikir logis. Akibatnya, aku akan sulit merubah pendiriannya. Sampai di sini kamu paham?”
Citra mengisak, merasa mendapat penolakan dua kali, “Nanti kalo gak ada aku, kamu memilih Mbak Senja dan ninggalin aku, Mas.”
Denta menghela napas kesal, “Mana mungkin. Kamu mengandung anakku. Sesuatu yang gak bisa dikasih sama Senja!”
Berbekal kalimat itu, Citra mengalah dan menuruti kata Denta. Walau rasa tidak puas menggayuti hati. Sebagai wanita lain yang merusak halaman orang, Citra merasa posisinya tidak pernah aman. Ia harus menuruti kata Denta jika tidak mau dibilang bandel. Atau lebih buruk lagi, dibanding-bandingkan dengan Senja.
Menjelang jam makan siang, Denta turun dari mobil lalu melangkah penuh percaya diri menuju ke pintu masuk Mariska Couture. Namun, dua meter sebelum ia mencapainya, pintu itu terbuka dan Senja keluar dari gedung dengan langkah ringan, bibirnya melengkung dalam senyum yang begitu menawan.Gengsinya seketika ambyar melihat Senja seperti tidak terpengaruh dengan masalah rumah tangga mereka. Wanita itu tampak baik-baik saja dan semakin mempesona. Tawa lembut, sesuatu yang dulu menjadi miliknya, kini terdengar seperti tamparan keras di wajah. Sebenarnya, Senja sungguh mencintainya atau tidak?Namun, tidak ada jejak luka yang ia harapkan untuk terlihat di wajah Senja, juga ada tanda bahwa Senja masih membutuhkan atau mencintainya.Yang lebih menyakitkan lagi, pemuda yang berjalan di samping Senja itu tampak muda, energik, dan terlalu nyaman berada di dekat Senja.Apa mereka hanya rekan kerja? Atau lebih dari itu? Pikiran Denta mulai dipenuhi kecemburuan, meski ia sadar tidak berhak merasa b
Senja mengerutkan dahinya, matanya sedikit menyipit, tidak paham dengan arah pembicaraan itu. “Bukankah jelas karena kamu, sang Managing Director, turun tangan untuk mengurus hal remeh ini?”Reinaldo mengangguk pelan, masih dengan senyuman yang sama. “Lalu, menurutmu, kenapa Managing Director ini dengan sukarela turun tangan?”Senja terdiam.Faktanya, meskipun Mariska Couture memang perusahaan yang besar, tetapi memang belum pernah bermain di runway besar. Meskipun desain pakaian mereka memukau, tetapi rasanya jika dalam langkah normal, tetap akan sulit mendapat persetujuan kerjasama dari perusahaan sekelas United Talent Agency untuk menyediakan model bagi mereka.“Kamu tak pernah menjadi hal remeh di depanku, Senja,” kata Reinaldo kalem.Senja semakin mengerutkan kening.“Kapan kamu akan percaya bahwa kita sudah sepakat berpacaran, Nja?” Reinaldo bicara seolah paham dengan reaksi kebingungan Senja.“Bukankah waktu itu aku telah mengatakan keberatan dan kamu menyetujuinya? Jadi, aku a
Senja berdiri di depan cermin besar di butik pribadinya. Pencahayaan lembut dari lampu sorot menyoroti gaun satin biru tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu adalah karyanya sendiri. Elegan, berani, dan tak lagi terikat pada selera seseorang selain dirinya.Namun, bukan bayangan gaun itu yang membuatnya terdiam. Matanya menatap refleksinya dengan tajam. Ia tampak sedikit kurus karena masalah yang menghantam belakangan ini.Senja meneliti wajahnya. Belum ada kerut di sana, tetapi kantung matanya terlihat jelas. Hasil memikirkan trategi menjelang PFW juga proses gugatan cerai yang mulai masuk sidang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya."Masuk," ucapnya.“Madam, sudah siap?” Astrimei muncul di pintu.Sekretaris yang cantik itu sudah mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam yang agak mengembang di bawah pinggang.“Mei, lihat kantung mataku. Aku tidak suka, membuatku terlihat tua,” gerutu Senja.Astrimei dengan sigap masuk. Ia berjalan sambil mencari sesuatu
Pelayan lewat membawa baki berisi gelas-gelas sampanye. Reinaldo mengambil dua gelas lalu memberikan pada Senja satu. Ia mengangkat gelas sampanye, membuat Senja otomatis melakukan hal yang sama.Kedua gelas berdenting. mereka menyesap sampanye masih sambil memaku mata masing-masing.“Well, aku tipe orang di balik layar. Kurang suka dengan sorotan-sorotan seperti ini. Hanya karena Ibu Alindra adalah orang berpengaruh. Sejatinya, aku lebih suka menyumbang tanpa harus hadir di sini.” Senja memilih untuk tetap bersikap formal.“Hm. Tidak suka spotlight ternyata.” Reinaldo berkata sambil menatap ke pusat pesta, titik yang sama di mana Senja melayangkan pandangan.“Sayangnya, semua perhatian menyorot kepadamu beberapa hari ini, bukan?” kata Reinaldo dengan tatapan penuh simpati. Senja balas menatap datar ke arahnya. Menilai pria yang berbicara santai di depannya.“Rupanya kamu juga mengamati berita yang beredar di luaran,” ujar Senja seraya kembali melemparkan pandangan ke arah lain.“Buka
Satu bulan sudah Senja tinggal di apartemen pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan saja. Jika sedang berada di Mariska Couture, Senja menjadi pribadi yang berbeda saat ia sendirian di apartemennya.Senja mampu menutupi luka hati jika berada di kantor. Segunung pekerjaan, puluhan design istimewa yang membutuhkan konsentrasi tinggi, mampu membuatnya melupakan kemelut rumah tangga.Tetapi ketika sendirian di apartemen, Senja kembali menjadi wanita yang terpuruk karena pengkhianatan keji sang suami. Ini sedikit menyiksa, membuat Senja kehilangan berat badan karenanya.Hari ini, ia ada janji temu dengan Pramita Prameswari, salah satu pengacara senior Pandecta Law yang terkenal mampu mengurus kasus perceraian seperti yang dialami oleh Senja. Gugatan cerai Senja memang telah didaftarkan dan menjadi tanggung jawab Mita.“Bu Senja, Ibu Mita dari Pandecta Law sudah datang,” kata Astrimei.“Suruh masuk, Mei.”Wanita muda nan ayu itu mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu ruanga
Di sisi lain kota.Denta duduk dengan tubuh bersandar di kursi kulit mahal yang menghiasi ruang rapat di kantor hukum langganannya. Di seberangnya, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan jas hitam rapi sedang memeriksa dokumen tebal di tangannya.Mata pria itu, pengacara senior bernama Hardi Santoso, tajam dan penuh pengalaman. Seperti halnya Mita Prameswari, Hardi Santoso juga dikenal tak pernah kalah dalam sidang perceraian, terutama ketika menyangkut pembagian harta gono-gini.“Jadi, Mas Denta,” kata Hardi, sambil membuka halaman berikutnya dari dokumen yang ia pegang. “Senja Mariska mengklaim bahwa 51% saham Mariska Couture itu miliknya sepenuhnya, dan bukan bagian dari harta bersama. Apa yang Anda tahu tentang itu?”Denta menghela napas berat, merasa sedikit tersudut. “Memang benar dia mendirikan perusahaan itu sebelum kami menikah. Tapi saya ikut berkontribusi dalam perkembangannya. Itu tidak bisa diabaikan.”Hardi mengangguk kecil, matanya tetap tertuju pada dokumen. “Kontri
Mantan sekretaris yang pernah mengkhianati Senja, kini menjadi ratu di rumah yang dulu menjadi sarang cinta Senja dan Denta. Perutnya mulai membuncit, menampilkan lekukan indah di bawah gaun lembut yang ia kenakan.“Jadi, tinggal proses saja kan, Mas? Bukti sudah diterima majelis hakim?” tanya Citra kepada pria yang telah menikahinya secara siri.Denta tersenyum licik, “Ya. Senja yang goblok itu mengantarkan buktinya sendiri. Jejak digital memang kejam. Di salah satu berita online beberapa tahun lalu, ia mengucapkan terima kasih atas kontribusiku sehingga bisa membuka cabang Mariska Couture di Surabaya. Bukan cuma berita tertulis. Videonya pun ada.”Citra tertawa bahagia, “Mariska Couture bakal jadi Citra Musk buat hadiah persalinanku,” ujarnya kenes.**Senja memilih sebuah kafe berbasis alam yang melenakan pikiran kusutnya. Dengan gazebo-gazebo setengah tertutup yang satu sisinya menghadap ke taman beserta kolam yang bergemericik, Senja menyandarkan punggung menanti pesanan.Sidang
“Maaf, Nja,” bisik Reinaldo.“Tak apa.” Senja mengibaskan tangannya.“Kau ingin aku mengirimkan file-file ini ke ponselmu?” tanya Reinaldo lagi.“Ya, kirimkan saja.” Senja berusaha menutupi sesak dengan menarik makanannya lalu mulai makan perlahan.Di sampingnya, Reinaldo sibuk mengirimkan file-file yang ia miliki ke ponsel Senja.“Kamu tidak makan lagi?” tawar Senja, merasa sungkan karena makan sendiri. Walau sejatinya ia tidak berselera lagi, tetapi makanan itu sudah telanjur terhidang di depannya.“Makanlah, aku akan menemanimu,” jawab Reinaldo masih sambil menatap layar ponselnya.“Terima kasih,” bisik Senja lembut.“Jangan berterima kasih dulu. Aku belum memberikan semuanya padamu,” gumam Reinaldo terdengar sedikit meggeram.“Maksudmu?” tanya Senja lagi.Reinaldo menatapnya, “Kalau foto dan video ini tidak bisa diterima sebagai bukti. Kamu perlu sesuatu yang lebih keras untuk menghantamnya, Nja.”“Dan kau akan menyarankan aku untuk melakukan apa?” tanya Senja.“Bukan kamu. Tapi a
"Kamu terlihat cantik," komentar Reinaldo, mendekat dari belakang dan melingkarkan tangannya di pinggang Senja. Mereka berdua sedang berada di sebuah butik khusus menyediakan pakaian pengantin dari brand ternama. Meskipun Senja seorang designer, tetapi ia mengikuti kemauan Reinaldo untuk membeli gaun pengantinnya, alih-alih men-design sendiri. Selain tak memiliki banyak waktu melakukan itu, Reinaldo juga tak ingin membebani calon istrinya. Senja berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin berpotongan sederhana yang dipilihnya sendiri. Ia menyukai desainnya yang minimalis, tetapi tetap elegan. "Sayang gaunnya...," lanjutnya pelan, jemarinya membelai lembut bahu telanjang Senja, "aku pikir sesuatu yang lebih megah akan lebih cocok untukmu." Senja mengerutkan dahi. Menatap ke arah bayangan Reinaldo pada cermin. "Aku justru suka yang simpel. Aku ingin nyaman saat mengenakannya. Lagipula ini pernikahan kedua kita, Rei. Rasanya tak perlu terlalu tampil luar biasa." Reina
“Semua dokumen pernikahan kita sudah selesai pengurusannya. Wedding Organizer sudah mengirimkan proposal dan menunggu persetujuan kita, aku akan membagi salinannya padamu melalui email.” Senja dan Reinaldo sedang di dalam pesawat yang melintasi samudera. Meninggalkan Barcelona untuk kembali ke Jakarta. “Proposal?” tanya Senja keheranan. Sejak menyetujui lamaran Reinaldo, Senja memang kurang terlibat dengan pengurusan pernikahannya karena disibukkan dengan proyek Milan Fashion week. Kini dia keheranan dengan pemberitahuan Rei. Wedding Organizer malah memasukkan proposal? Bukan mereka yang mendatangi WO dan berdiskusi tentang keinginan mereka? “Oh, Sayang. Kamu public figure. Begitu mereka mendengar kabar rencana pernikahan kita, banyak Wedding Organizer yang tertarik untuk mengurus resepsi yang akan kita gelar, dan banyak memberi diskon!” bisik Reinaldo ke telinga sang kekasih yang duduk di sebelahnya. Senja mendengus geli. Ia masih belum merasa dirinya sebagai figur ternama saat
Plaak!! Tamparan itu mendarat di pipi mulus Nana Citra. Wanita itu terdorong ke belakang dan jatuh di atas tempat tidurnya. “Berani-beraninya dirimu!” dengkus Denta yang telah memerah mukanya. Citra hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri menyengat. Untung ia mendatangi rumah Denta tanpa membawa Dewi, puteri mereka. Bagaimana kalau ia sedang menggendong Dewi ketika Denta kalap begini? “Aku hanya meminta hakku, Mas,” ujarnya dengan suara bergetar. “Hak apa, bangsat!” raung Denta marah. “Aku sudah melahirkan anakmu. Aku mau dinikahi secara resmi. Itu saja.” “Omong kosong! Kamu gak bisa ngasih aku anak lakik! Menikah secara resmi? Merepotkan! Toh aku menafkahimu, kan?!” “Apa masih disebut menafkahi kalau kamu hanya memberi ketika diminta, Mas? Sebagian besar kebutuhan Dewi, aku yang memenuhinya. Aku harus bekerja. Dewi jarang melihatku dan lebih sering bersama Ibu.” Citra tak tahan lagi, mulai bersuara keras dan melawan Denta. “Berani kamu!” D
"Akhirnya, selesai juga," gumam Senja, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah berjam-jam berkutat dengan laporan pertanggungjawaban dana Milan Fashion Week. Kekurangan bekerja keluar negeri tanpa membawa asisten, ya begini. Senja harus bekerja sendiri. Ia sungguh merindukan Astrimei. Untungnya, ada Reinaldo sang tunangan yang menemaninya di sini. Pria itu tersenyum lembut sambil mengusap punggungnya. "Kamu luar biasa, Senja. Semua koleksimu memukau,proyekmu sukses. Begitu juga yang ini," puji Reinaldo, membuat senyum tak pupus dari wajah Senja. Sebenarnya, berkat Reinald jugalah ia mulus menjalankan proyek Milan Fashion Week dan kembali menjadi panggungnya untuk bersinar. "Terima kasih, Rei. Tapi sekarang, aku butuh istirahat," kata Senja, menyandarkan kepalanya di bahu Reinaldo. Mereka sedang duduk di sebuah kafe tepi kanal di distrik Navigli, menikmati sore yang cerah. "Tentu saja, Sayang. Kita punya waktu dua hari di Milan sebelum kembali ke Jakarta," kata Reinaldo, meng
“Selamat, Sayang. Acaranya sukses dan kamu tampak hebat di atas panggung tadi.” Senja yang baru turun dari panggung, kedua tangan memeluk buket besar, kerepotan menerima ucapan selamat dari Reinaldo yang terasa berlebihan. Pria itu memeluk dan menciumnya seolah ingin mempertontonkan pada dunia, bahwa dirinya hanya milik Reinaldo seorang. Meski agak risih, Senja tak mampu menolak. Ia yersenyum bahagia, kesuksesannya malam ini melampaui segala pencapaiannya sepanjang berkarir bersama Mariska Couture. “Terima kasih.” Senja berkata sambil kebingungan saat Reinaldo mengambil buket-buket bunganya dengan satu tangan sementara tangan lain meraih pinggangnya yang ramping dan merangkulnya. Senja sampa berdiri miring-miring karena ia dan Reinaldo berhimpitan nyaris tenggelam dalam buket bunga. “Mengapa aku mendapat sambutan begitu gempita?” tanyanya di tengah keriuhan tepuk tangan dari tim yang ada di belakang panggung. Senja bertanya sambil melempar senyum sana-sini. Reinaldo tetap lekat m
“Mari, kita saksikan busana-busana dari designer kenamaan Indonesia, yang membawa warna baru dalam mode dunia selaras dengan nuansa musim panas yang ceria!” Suara itu menggema di atas runway yang kosong, musik menghentak, sejurus kemudian satu persatu model kelas dunia berlenggak lenggok di atasnya. Berbaris rapi dengan fashion memukau menempel di tubuh mereka. Lampu sorot menari-nari di atas panggung megah Teatro alla Scala, menerangi gemerlap koleksi haute couture yang memukau. Di balik panggung, kesibukan luar biasa dipimpin oleh Senja Mariska sendiri. Ia melakukan supervisi untuk setiap pakaian yang dikenakan oleh model sebelum mereka dilepas berjalan di atas runway. “Madam Mariska!” Beberapa kali teriakan itu akan berkumandang, berasal dari designer-designer muda di bawah pimpinan Madamoiselle Giselle yang khusus mengundang Senja Mariska untuk berkolaborasi dengannya. “Bagaimana dengan ini?” Salah seorang designer muda mendorong model wanita dengan tinggi menjulang ke dep
"Selamat datang di Milan, Senja." Kalimat itu diucapkan dengan hangat oleh seorang pria berwajah ramah, menyambut kedatangan Senja di bandara kota mode tersebut. Pria itu adalah Marco, perwakilan dari rumah mode milik Madamoiselle Giselle yang mengundang Senja untuk memamerkan koleksi haute couture-nya di Milan Fashion Week. "Terima kasih, Marco," jawab Senja dengan senyum tipis, matanya mengamati sekeliling bandara yang ramai. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, dan rasa lelah mulai menyergap. "Perjalanan yang panjang, ya?" tanya Marco, seolah bisa membaca pikiran Senja. Dengan gaya maskulin, ia meminta koper Senja dan membantu membawakannya. "Mari, mobil sudah menunggu. Kami akan mengantarmu ke hotel, kamu bisa beristirahat sebentar sebelum jadwal padat dimulai." Senja mengangguk, mengikuti Marco keluar dari bandara. Udara Milan yang dingin menyapa kulitnya, berbeda jauh dengan hangatnya Jakarta. Mobil mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir di depan
Ketika Denta menghadapi kemelut rumah tangga keduanya. Senja sedang moncer dan mendaki karier ke level lebih tinggi. Ia sibuk menyiapkan design haute couture pesanan Madam Giselle. Ini tidak mudah. Haute couture melibatkan pembuatan pakaian yang sangat rumit dan detail, dengan menggunakan teknik jahitan tangan yang presisi dan bahan-bahan berkualitas tinggi. Bahannya pun khusus untuk pelanggan khusus. Secara sederhana, haute couture adalah puncak dari dunia mode, yang menggabungkan keahlian, kreativitas, dan eksklusivitas untuk menciptakan pakaian yang benar-benar luar biasa. Senja sedang meninjau sketsa desain bersama tim designer muda ketika Astrimei masuk ke ruang kerja dengan tablet di tangannya. "Madam, Madamoiselle Giselle baru saja mengirimkan beberapa perubahan untuk gaun haute couture-nya." Sekretaris Senja itu berjalan masuk sambil menatap tablet, hampir menabrak Arion Sylvano, designer muda paling tampan di Mariska Couture. “Ups, maaf.” “Tak apa, Nona,”sahut Arion
“Kau akan menikahinya?” Suara Yaman, pelan dan gemetar. Tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Matanya yang sedikit keruh, menatap tak percaya ke arah Reinaldo. Pria itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Yaman. Kening Yaman menjadi berkerut, “Seberapa kaya kau?” tudingnya. “Paman,” keluh Senja tak kuasa, hanya bisa meletakkan dahi ke telapak tangannya. Tak mampu menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda dari Senja itu tersenyum miring, terlihat sangat percaya diri. “Sangat kaya, Paman,” jawabnya kemudian. Yaman memincingkan mata tanda tak percaya. Reinaldo tertawa pelan. “Saya memiliki agensi sendiri, bekerja sama dengan kawan dari Amerika Serikat kamu membuka agensi model di lima kota besar dunia. New York, Barcelona, Seoul, Lyon dan Jakarta.” Yaman menganga, Senja memutar mata. Ia tahu Reinaldo berkata yang sesungguhnya, hanya saja tak merasa nyaman dengan tatapan serakah Yaman. “Keponakan Paman takkan kekurangan saat bersama saya.” Yaman mendecih, “Aku tak peduli dengann