"Aku pulang, Mas," ujar Senja yang melangkah masuk sambil meletakkan kunci mobil secara sembarangan ke tatakan kayu bulat. Ia terpaksa begitu karena tangannya sibuk dengan Red Velvet Nougat serta mengempit botol sampanye.
Namun, tidak ada jawaban.
Senja mengerutkan kening. Biasanya Denta langsung menyambutnya, entah dari ruang tengah atau dapur. Tapi kali ini, rumah terasa terlalu sepi. Ia melangkah perlahan.
Apa karena ia pulang lebih cepat padahal sudah ijin datang terlambat karena rapat dengan kolega? Mungkin Denta tidak menyambutnya karena itu. Senja menggeleng sambil tersenyum geli, ia melangkah masuk meninggalkan area foyer rumahnya.
"Kenapa aroma lavender di sini aneh sekali?"
Senja menuju ke ruang tengah. Ia mencium aroma yang tak biasa. Denta tak pernah menyukai lavender, apalagi membakar lilin seperti itu.
Ia meletakkan tart dan sampanye di meja ruang tengah. Matanya menangkap sesuatu di sofa, jas milik Denta. Namun yang lebih menarik perhatian Senja adalah gaun satin merah yang tergeletak di sebelahnya.
Ia mengenali gaun itu adalah hasil kreasi rumah mode miliknya, koleksi terbaru yang baru saja ia rilis. Tapi yang membuatnya heran, gaun itu bukan miliknya secara pribadi.
Langkahnya berlanjut hingga ke arah kamar mereka. Pintu kamar setengah terbuka. Dalam keheningan, ia mendengar suara samar, desahan tertahan bercampur bisikan-bisikan menggoda. Jantung Senja berdegup kencang.
Langkah Senja terhenti begitu saja di ambang pintu kamar. Tangan yang memegang gagang pintu terasa gemetar, sementara udara di sekitarnya berubah menjadi tidak nyaman. Ia melihat sepasang kaki telanjang terlihat keluar dari selimut, disusul suara tawa kecil seorang wanita yang ia kenali dengan sangat baik.
Suara Citra sekretaris yang seharusnya membantu menghadapi rapat dengan kolega hari ini, tetapi malah ijin tidak masuk dengan alasan sakit. Ternyata sekarang ia malah menemukan wanita itu meniduri suaminya.
Pemandangan itu membuat darah Senja seperti membeku. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, hanya kekosongan yang menyakitkan. Ternyata begini rasanya berdiri di depan kenyataan yang selama ini hanya ia lihat melalui sinetron murahan.
"Mas, ayo ke sini. Aku belum selesai...." Suara manja itu datang dari balik tubuh Denta, yang sama-sama polos tanpa busana. Punggung kekar sang suami yang selama ini ia kagumi, kini sedang bergerak impulsif untuk menyenangkan wanita lain.
"Mas Denta..."
Desahan dan leguhan terdengar dari sarang cinta yang seharusnya milik dia dan Denta, menyakiti gendang telinga Senja. Namun, ia tidak menangis. Tidak ada gunanya.
Ia membuka pintu sedikit keras hingga menabrak dinding di sampingnya. Membuat kedua orang tak tahu diri di atas tempat tidur terlonjak menutupi tubuh-tubuh polos tak bermoral dengan selimut
Denta terkejut, tetapi melihat Senja yang datang, ia tidak menunjukkan reaksi panik seperti yang diharapkan Senja. Justru, pria itu hanya terdiam, matanya berkilat tajam seolah merasa terganggu.
Sementara Citra, yang masih menggenggam erat selimut untuk menutupi tubuhnya, tampak jauh lebih ketakutan. Wajahnya pucat, matanya membelalak seperti seekor rusa yang tertangkap basah di tengah jalan.
"Mbak Se—Senja…" suara Citra bergetar, bibirnya mengatup seperti ingin merangkai alasan.
Senja hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Tidak ada kemarahan yang meledak-ledak, tidak ada tangisan yang pecah di tengah ruangan. Ia hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dua orang yang telah mengkhianatinya.
"Mas, kalau sudah selesai, segera keluar dari kamar. Kau juga, Citra." suara Senja begitu tenang, namun menggema seperti ancaman samar.
Citra terkesiap. "Mbak, aku—"
"Tidak ada penjelasan yang perlu kudengar," potong Senja dingin. "Aku sudah melihat cukup banyak."
Denta menggeram, matanya menatap Senja dengan sorot tajam, penuh peringatan. "Jangan membuat drama, Senja."
"Drama?" Senja terkekeh, meski tanpa emosi. "Kalau aku menangis, berlutut, atau memohon, itu baru drama, Mas Denta."
"Jangan memandang rendah kepada kami. Bagi pria sepertiku, kamu saja tidak cukup," ucap Denta dingin.
Senja tertawa kecil, tetapi matanya memancarkan luka. “Dan kau pikir Citra akan cukup?”
“Ya.”
Senja mencibir, “Wanita yang merebut suami orang, nilainya tidak lebih tinggi dari sampah—,”
“Senja!” Denta memotong kalimat Senja karena Citra mulai mengisak di dekatnya.
“—masih lebih baik sampah karena bisa didaur ulang. Pelakor? Lebih rendah dari itu dan bukan kelasku.” Senja terus melanjutkan kalimatnya dengan dagu terangkat.
“Mbak ... aku terpaksa. Mas Denta—,”
“Aku tidak melihatmu terpaksa ketika meminta suamiku untuk memuaskanmu, Cit.”
“Senja, cukup! Kamu tidak bisa melengkapiku! Citra bisa! Kini ia sedang hamil anakku!” Denta membalas kalimat Senja dengan suara berapi-api, membela wanita busuk yang sedang berlagak teraniaya.
Senja kembali tertawa, melempar kepalanya kebelakang. Sejatinya, ia sedang menyembunyikan air mata yang mendadak menggenang di pelupuk matanya. Lagi-lagi, kekurangan karena tak kunjung hadir anak di pernikahan mereka menjadi kesalahan Senja.
“Dia sudah hamil anakmu?! Bagus, tunggu apa lagi? Nikahi dia, Mas. Karena aku akan menggugat cerai!” tukas Senja, sontak berdiri bersiap untuk pergi. Ia tak sudi berada satu ruangan dengan dua manusia tak bermoral.
Senja memutar tubuh kembali menuju ke meja sudut tempat ia meletakkan kunci mobilnya. Ia berhenti sejenak di ujung lorong, menolehkan kepala sedikit hingga tak perlu menatap dua orang di ruang tengah.
“Silakan menikmati kue tart dan sampanye untuk merayakan penyatuan kalian. Dan Citra, tidak perlu repot-repot datang ke kantor besok. Kamu dipecat!”
Senja berbalik, melangkah keluar dari kamar dengan punggung tegak. Di dalam hatinya, bara amarah telah menyala. Ia tidak akan menangis, tidak akan meratap. Yang ia pikirkan sekarang hanya satu hal—balas dendam.
**
Senja berakhir di sebuah bar eksklusif di pusat kota. Ia duduk di sudut paling gelap bar, jari-jarinya gemetar saat meraih gelas whiskey-nya yang sudah hampir kosong.
Matanya merah, bukan hanya karena alkohol yang membakar tenggorokannya, tapi karena tangis yang ia tahan sejak ia melihat suaminya dinaiki dan memuaskan Citra.
"Brengsek..." gumamnya, sebelum menenggak habis sisa whiskey di gelasnya.
Bar itu bukan tempat yang biasa ia kunjungi. Senja tidak minum, tidak merokok, dan tidak pernah terlihat serapuh ini. Tapi malam ini, ia hanya ingin hancur. Hancur seperti hidupnya yang sudah dikoyak tanpa ampun.
"Minum lagi, Tante?" tanya bartender dengan ragu.
Senja mengangguk. Tapi sebelum bartender sempat menuang, suara rendah dan dingin menyela dari samping.
"Cukup untuk malam ini."
Senja mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam. tanya yang sedikit kabur karena alkohol hanya menangkap sosok samar pria—tinggi, dengan jas hitam yang membungkus tubuh tegapnya. Rahangnya tegas, matanya hitam dan tajam seperti belati. Rambutnya sedikit basah, seolah baru saja menerobos hujan.
"Siapa lo?" suara Senja serak, tidak terintimidasi, meski sedikit terhuyung.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya melirik bartender, memberi isyarat untuk tidak menuangkan minuman lagi, sebelum menarik kursi di sebelah Senja dan duduk.
"Kalau kamu mau mabuk sampai lupa segalanya, seenggaknya jangan sendirian, Madam," katanya pelan. Suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang menusuk Senja lebih dalam dari apapun.
Senja tertawa sinis. "Dan lo siapa? Motivator gagal yang kebetulan nyasar ke bar ini?"
Pria itu akhirnya mendekatkan wajah padanya. Mata mereka bertemu. Senja menggelengkan kepala, berusaha meraih kesadarannya kembali.
“Pak Reinaldo?”
Ia mengenali pria itu sebagaiu salah satu kolega yang rapat bersamanya siang tadi. Calon partner kerja yang akan membantunya lolos seleksi Paris Fashion Week. Dan untuk pertama kalinya malam ini, Senja merasa seperti ditelanjangi habis-habisan. Seolah pria ini bisa membaca isi kepalanya hanya dengan satu tatapan.
"Dan aku di sini karena kau butuh seseorang yang lebih dari sekadar whiskey. Jangan panggil pak. Kita dua orang yang memiliki tujuan yang sama."
Dalam pikiran berkabutnya akibat alkohol, Senja berusaha mencerna kalimat Reinaldo, “Apa maksudmu?”
“Aku bisa membantumu, Madam,” jawab pria itu dengan raut muka tak terbaca.
Senja terdiam. Dadanya terasa sesak tanpa alasan yang jelas. Dan saat itu, ia tidak tahu dari mana muncul keberanian ini. Ia mulai menggoda pria yang baru saja menolak memberinya lebih banyak minuman.
Mungkin ini adalah manifestasi rasa rendah diri Senja, lalu berusaha mencari bukti dari pria lain. Bahwa ia masih sosok yang mempesona, tak kalah dari Citra yang lebih muda.
Tanpa Senja ketahui, Reinaldo memiliki agendanya sendiri ketika mendekati Senja malam ini.
Di bawah pengaruh alkohol, Senja tak dapat berpikir jernih. Yang ia mau rasakan sekarang adalah pembalasan dendam. Bahwa Denta salah telah mengkhianatinya. Ia masih memiliki pesona dan akan ia buktikan dengan menggoda pria ini.
Tiga puluh menit kemudian, Senja dalam pelukan Reinaldo, meninggalkan bar eksklusif itu. Ia dengan sukarela masuk ke mobil pria yang lebih muda itu. Mobil meluncur mengarah ke tenggara kota.
Reinaldo membawa Senja ke sebuah hotel berbintang lima dan mengajaknya masuk ke dalam griya tawang yang biasa ia sewa. Begitu mereka di dalam ruangan, Senja yang lupa diri dan terbawa emosi, mengalungkan kedua tangannya ke leher Reinaldo lalu memburu bibir pria itu. Reinaldo menangkap pinggang ramping Senja lalu memeluknya. Ia perlu melakukan itu karena Senja tidak bisa berdiri dengan tegak. “Whoopsie, kenapa lantainya jadi jelly,” kata Senja geli. Ia masih memeluk leher Reinaldo. Sepenuhnya bergayut pada pria itu. Reinaldo yang memiliki tinggi 188cm, dengan mudah membawa Senja yang menempel padanya dengan ujung kaki menyeret lantai. “Jangan bilang Madam belum pernah mabuk?” tanyanya dengan ketenangan yang patut diacungi jempol. Senja terkikik, “Ini mabok? Semua jadi goyang-goyang.” “Aku juga?” tanya Reinaldo. Senja menatapnya dengan mata sayu. Satu lengan mengait leher pria itu sementara tangan yang lain mengelus rahangnya. “Kamu tetep kliatan tampan, Pak Rei.” Alis Reinal
Senja tak mampu menolak tawaran yang dipaksakan Reinaldo padanya. Akhirnya, ia diantar pria itu kembali ke area parkir Opulence Bar untuk mengambil mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Senja lebih banyak berdiam diri. Ia mengalihkan perhatian dengan memeriksa ponselnya. Senja mengabaikan semua notifikasi pesan maupun panggilan dari Denta. Denta Prayudha, menjadi suami selama 10 tahun. Pria yang ia pikir adalah tempat berlindung paling aman. Bukan hanya itu, mereka telah menjalin hubungan semenjak dirinya berusia 23 tahun. Ia tidak mengira, satu-satunya pria dalam hidupnya sanggup mengkhianatinya, tak lain dan tak bukan dengan sahabatnya sendiri. Sejak kapan? Perempuan laknat itu bahkan telah mengandung hasil kebejatan mereka berdua. Ia merasa dibodohi begitu saja. Matanya telah buta oleh cinta, ataukah otaknya terlalu dipenuhi bisnis hingga melupakan keadaan rumah tangganya yang telah berbalik arah? Lalu Citra ... sahabat sekaligus tangan kanannya, yang selama ini ia
Denta yang berada di kantornya, memijat pelipis saat mendengar aduan Citra melalui sambungan telepon. “Ya, nanti aku akan bicara pada Senja.” Sejujurnya, Denta tidak mengira Senja berani mengambil tindakan se-frontal ini. Ia mengira Senja akan menghindar sejenak kemudian kembali padanya dengan membawa segala syarat. Mungkin, salah satunya mengijinkan ia menikahi Citra secara siri hanya sampai dengan kelahiran anaknya. Lalu menyuruhnya berpisah. Tetapi, Senja malah melakukan hal lain di luar dugaan Denta. Ia benar-benar harus membereskan masalah yang telah telanjur timbul ke permukaan. Denta bersiap untuk makan siang di luar. Ia berencana menemui Senja. “Aku ikut!” pekik Citra saat Denta mengatakan rencananya. “Tck, nanti malah bikin runyam suasana,” tegur Denta. “Pokoknya aku mau ikut!” “Nurut kenapa?!” Denta nyaris menggebrak meja pada kebebalan Citra. Untung ia berhasil menguasai diri, mengingat kalau wanita ini sedang mengandung anaknya. “Kalau kamu ikut, Senja tidak bisa be
Senja tersenyum samar. Sungguh kebetulan Denta melihatnya bersama Arion Sylvano, salah satu designer muda yang baru bergabung dengan Mariska Couture. Tentu saja Denta belum mengenalnya. Itu cukup memuaskan Mariska ketika melihat wajah gelap Denta saat ia berjalan bersama dengan Arion, anak buahnya yang baru itu memang akan mengajaknya makan siang bersama untuk membahas design terbaru mereka yang akan dibawa ke Paris Fashion Week. Pukulan yang tak sengaja dilayangkan Senja dengan memanfaatkan Arion terlihat cukup keras. Mana ia peduli jikalau nantinya Denta bakalan tahu juga dari Nana Citra perihal siapa sejatinya Arion Sylvano. Yang penting, ia sempat menyakiti hati Denta! Ia melihat bagaimana wajah Denta tadi mendadak mengeras. Rahangnya mengatup rapat dan matanya tajam menyorot mereka berdua. ‘Haha, dia terlihat sangat tidak suka,’ pikir Senja. Ia sangat menikmati itu. Biar Denta tahu rasanya. Bagaimana rasanya melihat oarng yang dulu kau miliki, berjalan menjauh sambil tertawa
Senja duduk di balik meja kerjanya, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja. Ia sedang memeriksa berbagai design yang sedang in saat ini. Pikirannya sambil mengembara, dipenuhi dengan berbagai hal. Bukan tentang Denta, tentu saja tidak. Melainkan tentang koleksi terbaru mereka yang akan dipamerkan di Paris Fashion Week. Idenya agar Arion memakai pakaian adat yang dimodifikasi menjadi busana modern sungguh membuatnya tak sabar untuk melihat hasil kerja anak muda berbakat itu Namun, pikirannya kembali terusik saat ia mengingat Reinaldo. Segera ia merasa galau. Senja sungguh menyesal telah melakukan hal di luar batas, meski itu akibat dari pengaruh alkohol. “Terus gimana sekarang,” gumamnya pelan seraya memijit keningnya sendiri. “Madam.” Senja menoleh, melihat Rebecca masuk dengan ekspresi serius. “Ada yang ingin saya bicarakan.” “Hmm?” Rebecca meletakkan sebuah map di atas meja, “Surat PHK untuk Nana Citra sudah diterbitkan. Kita tidak berkewajiban membayar pesangon kare
Pagi hari sebagai wanita single ... well, calon wanita single. Senja masih dalam proses menggugat cerai. Begitu saja, Senja sudah merasakan kebebasan yang melegakan. Walau bangun sendirian dia atas tempat tidur selama dua puluh tahun terakhir bangun di sisi seorang pria, tidak membuat Senja merasa kesepian. Ia dapat memulai harinya dengan santai dan hanya fokus pada dirinya sendiri. Mandi berendam selama dia mau, tidak perlu pusing memikirkan menu sarapan untuk orang lain. Pun repot menyiapkannya. Ia hanya perlu menyiapkan untuk dirinya sendiri. Senja tersenyum saat menikmati sandwich dan omelet buatannya sendiri dengan ditemani secangkir kopi yang masih mengepul. Di tangan kirinya, sebuah tablet tampak menunjukkan berita terkini yang disediakan oleh portal online. Mendadak, keningnya berkerut. Sebuah notifikasi pesan masuk. Dari Astrimei, sekretarisnya yang baru, pengganti jalang Nana Citra. Senja melirik jam di sudut tablet. “Jam berapa ini? Belum mulai jam kerja dan dia suda
Lampu-lampu kristal bergemerlapan di aula utama Maheswari Manor, tempat acara gala fashion diadakan. Para tamu yang hadir adalah tokoh-tokoh berpengaruh di dunia bisnis dan industri mode. Denta berada di sini sebagai salah satu pebisnis sukses yang diundang sejatinya karena kekuatan finansialnya. Ia diharapkan akan menyumbang dalam jumlah besar malam ini karena membutuhkan untuk pemulihan nama baik perusahaannya. Medika Inovasi Nusantara, perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan. Sering kali diterpa rumor buruk tentang penyelenggaraan usahanya. Itu sebabnya Denta perlu menciptakan citra bagus untuk perusahaannya.Dari kejauhan, mata Denta menangkap sosok Senja. Seketika, napasnya tercekat. Ini pertama kalinya ia melihat istrinya setelah malam dia tertangkap basah, berminggu-minggu lalu. Bukan hanya kehadiran Senja yang mengejutkan, tapi bagaimana dia tampak jauh lebih berani dan bebas dibandingkan saat masih bersamanya. Gaun biru tua i
Satu bulan sudah Senja tinggal di apartemen pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan saja. Jika sedang berada di Mariska Couture, Senja menjadi pribadi yang berbeda saat ia sendirian di apartemennya. Senja mampu menutupi luka hati jika berada di kantor. Segunung pekerjaan, puluhan design istimewa yang membutuhkan konsentrasi tinggi, mampu membuatnya melupakan kemelut rumah tangga. Tetapi ketika sendirian di apartemen, Senja kembali menjadi wanita yang terpuruk karena pengkhiatan keji sang suami. Ini sedikit menyiksa, membuat Senja kehilangan berat badan karenanya. Hari ini, ia ada janji temu dengan Pramita Prameswari, salah satu pengacara senior Pandecta Law yang terkenal mampu mengurus kasus perceraian seperti yang dialami oleh Senja. Gugatan cerai Senja memang telah didaftarkan dan menjadi tanggung jawab Mita. “Bu Senja, Ibu Mita dari Pandecta Law sudah datang,” kata Astrimei. “Suruh masuk, Mei.” Wanita muda nan ayu itu mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu ru
Satu bulan sudah Senja tinggal di apartemen pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan saja. Jika sedang berada di Mariska Couture, Senja menjadi pribadi yang berbeda saat ia sendirian di apartemennya. Senja mampu menutupi luka hati jika berada di kantor. Segunung pekerjaan, puluhan design istimewa yang membutuhkan konsentrasi tinggi, mampu membuatnya melupakan kemelut rumah tangga. Tetapi ketika sendirian di apartemen, Senja kembali menjadi wanita yang terpuruk karena pengkhiatan keji sang suami. Ini sedikit menyiksa, membuat Senja kehilangan berat badan karenanya. Hari ini, ia ada janji temu dengan Pramita Prameswari, salah satu pengacara senior Pandecta Law yang terkenal mampu mengurus kasus perceraian seperti yang dialami oleh Senja. Gugatan cerai Senja memang telah didaftarkan dan menjadi tanggung jawab Mita. “Bu Senja, Ibu Mita dari Pandecta Law sudah datang,” kata Astrimei. “Suruh masuk, Mei.” Wanita muda nan ayu itu mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu ru
Lampu-lampu kristal bergemerlapan di aula utama Maheswari Manor, tempat acara gala fashion diadakan. Para tamu yang hadir adalah tokoh-tokoh berpengaruh di dunia bisnis dan industri mode. Denta berada di sini sebagai salah satu pebisnis sukses yang diundang sejatinya karena kekuatan finansialnya. Ia diharapkan akan menyumbang dalam jumlah besar malam ini karena membutuhkan untuk pemulihan nama baik perusahaannya. Medika Inovasi Nusantara, perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan. Sering kali diterpa rumor buruk tentang penyelenggaraan usahanya. Itu sebabnya Denta perlu menciptakan citra bagus untuk perusahaannya.Dari kejauhan, mata Denta menangkap sosok Senja. Seketika, napasnya tercekat. Ini pertama kalinya ia melihat istrinya setelah malam dia tertangkap basah, berminggu-minggu lalu. Bukan hanya kehadiran Senja yang mengejutkan, tapi bagaimana dia tampak jauh lebih berani dan bebas dibandingkan saat masih bersamanya. Gaun biru tua i
Pagi hari sebagai wanita single ... well, calon wanita single. Senja masih dalam proses menggugat cerai. Begitu saja, Senja sudah merasakan kebebasan yang melegakan. Walau bangun sendirian dia atas tempat tidur selama dua puluh tahun terakhir bangun di sisi seorang pria, tidak membuat Senja merasa kesepian. Ia dapat memulai harinya dengan santai dan hanya fokus pada dirinya sendiri. Mandi berendam selama dia mau, tidak perlu pusing memikirkan menu sarapan untuk orang lain. Pun repot menyiapkannya. Ia hanya perlu menyiapkan untuk dirinya sendiri. Senja tersenyum saat menikmati sandwich dan omelet buatannya sendiri dengan ditemani secangkir kopi yang masih mengepul. Di tangan kirinya, sebuah tablet tampak menunjukkan berita terkini yang disediakan oleh portal online. Mendadak, keningnya berkerut. Sebuah notifikasi pesan masuk. Dari Astrimei, sekretarisnya yang baru, pengganti jalang Nana Citra. Senja melirik jam di sudut tablet. “Jam berapa ini? Belum mulai jam kerja dan dia suda
Senja duduk di balik meja kerjanya, jari-jarinya mengetuk ringan permukaan meja. Ia sedang memeriksa berbagai design yang sedang in saat ini. Pikirannya sambil mengembara, dipenuhi dengan berbagai hal. Bukan tentang Denta, tentu saja tidak. Melainkan tentang koleksi terbaru mereka yang akan dipamerkan di Paris Fashion Week. Idenya agar Arion memakai pakaian adat yang dimodifikasi menjadi busana modern sungguh membuatnya tak sabar untuk melihat hasil kerja anak muda berbakat itu Namun, pikirannya kembali terusik saat ia mengingat Reinaldo. Segera ia merasa galau. Senja sungguh menyesal telah melakukan hal di luar batas, meski itu akibat dari pengaruh alkohol. “Terus gimana sekarang,” gumamnya pelan seraya memijit keningnya sendiri. “Madam.” Senja menoleh, melihat Rebecca masuk dengan ekspresi serius. “Ada yang ingin saya bicarakan.” “Hmm?” Rebecca meletakkan sebuah map di atas meja, “Surat PHK untuk Nana Citra sudah diterbitkan. Kita tidak berkewajiban membayar pesangon kare
Senja tersenyum samar. Sungguh kebetulan Denta melihatnya bersama Arion Sylvano, salah satu designer muda yang baru bergabung dengan Mariska Couture. Tentu saja Denta belum mengenalnya. Itu cukup memuaskan Mariska ketika melihat wajah gelap Denta saat ia berjalan bersama dengan Arion, anak buahnya yang baru itu memang akan mengajaknya makan siang bersama untuk membahas design terbaru mereka yang akan dibawa ke Paris Fashion Week. Pukulan yang tak sengaja dilayangkan Senja dengan memanfaatkan Arion terlihat cukup keras. Mana ia peduli jikalau nantinya Denta bakalan tahu juga dari Nana Citra perihal siapa sejatinya Arion Sylvano. Yang penting, ia sempat menyakiti hati Denta! Ia melihat bagaimana wajah Denta tadi mendadak mengeras. Rahangnya mengatup rapat dan matanya tajam menyorot mereka berdua. ‘Haha, dia terlihat sangat tidak suka,’ pikir Senja. Ia sangat menikmati itu. Biar Denta tahu rasanya. Bagaimana rasanya melihat oarng yang dulu kau miliki, berjalan menjauh sambil tertawa
Denta yang berada di kantornya, memijat pelipis saat mendengar aduan Citra melalui sambungan telepon. “Ya, nanti aku akan bicara pada Senja.” Sejujurnya, Denta tidak mengira Senja berani mengambil tindakan se-frontal ini. Ia mengira Senja akan menghindar sejenak kemudian kembali padanya dengan membawa segala syarat. Mungkin, salah satunya mengijinkan ia menikahi Citra secara siri hanya sampai dengan kelahiran anaknya. Lalu menyuruhnya berpisah. Tetapi, Senja malah melakukan hal lain di luar dugaan Denta. Ia benar-benar harus membereskan masalah yang telah telanjur timbul ke permukaan. Denta bersiap untuk makan siang di luar. Ia berencana menemui Senja. “Aku ikut!” pekik Citra saat Denta mengatakan rencananya. “Tck, nanti malah bikin runyam suasana,” tegur Denta. “Pokoknya aku mau ikut!” “Nurut kenapa?!” Denta nyaris menggebrak meja pada kebebalan Citra. Untung ia berhasil menguasai diri, mengingat kalau wanita ini sedang mengandung anaknya. “Kalau kamu ikut, Senja tidak bisa be
Senja tak mampu menolak tawaran yang dipaksakan Reinaldo padanya. Akhirnya, ia diantar pria itu kembali ke area parkir Opulence Bar untuk mengambil mobilnya. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Senja lebih banyak berdiam diri. Ia mengalihkan perhatian dengan memeriksa ponselnya. Senja mengabaikan semua notifikasi pesan maupun panggilan dari Denta. Denta Prayudha, menjadi suami selama 10 tahun. Pria yang ia pikir adalah tempat berlindung paling aman. Bukan hanya itu, mereka telah menjalin hubungan semenjak dirinya berusia 23 tahun. Ia tidak mengira, satu-satunya pria dalam hidupnya sanggup mengkhianatinya, tak lain dan tak bukan dengan sahabatnya sendiri. Sejak kapan? Perempuan laknat itu bahkan telah mengandung hasil kebejatan mereka berdua. Ia merasa dibodohi begitu saja. Matanya telah buta oleh cinta, ataukah otaknya terlalu dipenuhi bisnis hingga melupakan keadaan rumah tangganya yang telah berbalik arah? Lalu Citra ... sahabat sekaligus tangan kanannya, yang selama ini ia
Reinaldo membawa Senja ke sebuah hotel berbintang lima dan mengajaknya masuk ke dalam griya tawang yang biasa ia sewa. Begitu mereka di dalam ruangan, Senja yang lupa diri dan terbawa emosi, mengalungkan kedua tangannya ke leher Reinaldo lalu memburu bibir pria itu. Reinaldo menangkap pinggang ramping Senja lalu memeluknya. Ia perlu melakukan itu karena Senja tidak bisa berdiri dengan tegak. “Whoopsie, kenapa lantainya jadi jelly,” kata Senja geli. Ia masih memeluk leher Reinaldo. Sepenuhnya bergayut pada pria itu. Reinaldo yang memiliki tinggi 188cm, dengan mudah membawa Senja yang menempel padanya dengan ujung kaki menyeret lantai. “Jangan bilang Madam belum pernah mabuk?” tanyanya dengan ketenangan yang patut diacungi jempol. Senja terkikik, “Ini mabok? Semua jadi goyang-goyang.” “Aku juga?” tanya Reinaldo. Senja menatapnya dengan mata sayu. Satu lengan mengait leher pria itu sementara tangan yang lain mengelus rahangnya. “Kamu tetep kliatan tampan, Pak Rei.” Alis Reinal
"Aku pulang, Mas," ujar Senja yang melangkah masuk sambil meletakkan kunci mobil secara sembarangan ke tatakan kayu bulat. Ia terpaksa begitu karena tangannya sibuk dengan Red Velvet Nougat serta mengempit botol sampanye. Namun, tidak ada jawaban. Senja mengerutkan kening. Biasanya Denta langsung menyambutnya, entah dari ruang tengah atau dapur. Tapi kali ini, rumah terasa terlalu sepi. Ia melangkah perlahan. Apa karena ia pulang lebih cepat padahal sudah ijin datang terlambat karena rapat dengan kolega? Mungkin Denta tidak menyambutnya karena itu. Senja menggeleng sambil tersenyum geli, ia melangkah masuk meninggalkan area foyer rumahnya. "Kenapa aroma lavender di sini aneh sekali?" Senja menuju ke ruang tengah. Ia mencium aroma yang tak biasa. Denta tak pernah menyukai lavender, apalagi membakar lilin seperti itu. Ia meletakkan tart dan sampanye di meja ruang tengah. Matanya menangkap sesuatu di sofa, jas milik Denta. Namun yang lebih menarik perhatian Senja adalah gaun sati