"Aku pulang, Mas," ujar Senja yang melangkah masuk sambil meletakkan kunci mobil secara sembarangan ke tatakan kayu bulat. Ia terpaksa begitu karena tangannya sibuk dengan Red Velvet Nougat serta mengempit botol sampanye.
Namun, tidak ada jawaban.
Senja mengerutkan kening. Biasanya, Denta langsung menyambutnya, entah dari ruang tengah atau dapur. Tapi kali ini, rumah terasa terlalu sepi. Ia melangkah perlahan.
Apa karena ia pulang lebih cepat padahal sudah ijin datang terlambat karena rapat dengan kolega? Mungkin Denta tidak menyambutnya karena itu. Senja menggeleng sambil tersenyum geli, ia melangkah masuk meninggalkan area foyer rumahnya.
"Kenapa aroma lavender di sini aneh sekali?"
Senja menuju ke ruang tengah. Ia mencium aroma yang tak biasa. Denta tak pernah menyukai lavender, apalagi membakar lilin seperti itu.
Senja meletakkan tart dan sampanye di meja ruang tengah. Matanya menangkap sesuatu di sofa, jas milik Denta. Namun, yang lebih menarik perhatian Senja adalah gaun satin merah yang tergeletak di sebelahnya.
Senja mengenalinya, gaun itu adalah hasil kreasi rumah mode miliknya, koleksi terbaru yang baru saja ia rilis. Tapi yang membuatnya heran, gaun itu bukan miliknya secara pribadi.
Langkahnya berlanjut hingga ke arah kamar mereka. Pintu kamar setengah terbuka. Dalam keheningan, ia mendengar suara samar, desahan tertahan bercampur bisikan-bisikan menggoda. Jantung Senja berdegup kencang.
Langkah Senja terhenti begitu saja di ambang pintu kamar. Tangan yang memegang gagang pintu terasa gemetar, sementara udara di sekitarnya berubah menjadi tidak nyaman. Ia melihat sepasang kaki telanjang terlihat keluar dari selimut, disusul suara tawa kecil seorang wanita yang ia kenali dengan sangat baik.
Suara Citra, sekretaris yang seharusnya membantu menghadapi rapat dengan kolega hari ini, tetapi malah izin tidak masuk dengan alasan sakit. Ternyata sekarang Senja malah menemukan wanita itu tidur dengan suaminya.
Pemandangan itu membuat darah Senja seperti membeku. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, hanya kekosongan yang menyakitkan. Ternyata begini rasanya berdiri di depan kenyataan yang selama ini hanya ia lihat melalui sinetron murahan.
"Mas, ayo ke sini. Aku belum selesai...." Suara manja itu datang dari balik tubuh Denta, yang sama-sama polos tanpa busana. Punggung kekar sang suami yang selama ini ia kagumi, kini sedang bergerak impulsif untuk menyenangkan wanita lain.
"Mas Denta..."
Desahan dan lenguhan terdengar dari sarang cinta yang seharusnya milik dia dan Denta, menyakiti gendang telinga Senja. Namun, ia tidak menangis. Tidak ada gunanya.
Senja membuka pintu sedikit keras hingga menabrak dinding di sampingnya. Membuat kedua orang tak tahu diri di atas tempat tidur terlonjak menutupi tubuh-tubuh polos tak bermoral dengan selimut.
Denta terkejut, tetapi melihat Senja yang datang, ia tidak menunjukkan reaksi panik seperti yang diharapkan Senja. Justru, pria itu hanya terdiam, matanya berkilat tajam seolah merasa terganggu.
Sementara Citra yang masih menggenggam erat selimut untuk menutupi tubuhnya, tampak jauh lebih ketakutan. Wajahnya pucat, matanya membelalak seperti seekor rusa yang tertangkap basah di tengah jalan.
"Mbak Se—Senja…" suara Citra bergetar, bibirnya mengatup seperti ingin merangkai alasan.
Senja hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Tidak ada kemarahan yang meledak-ledak, tidak ada tangisan yang pecah di tengah ruangan. Ia hanya berdiri di ambang pintu, mengamati dua orang yang telah mengkhianatinya.
Citra terkesiap. "Mbak, aku—"
"Tidak ada penjelasan yang perlu kudengar," potong Senja dingin. "Aku sudah melihat cukup banyak."
Denta menggeram, matanya menatap Senja dengan sorot tajam, penuh peringatan. "Jangan membuat drama, Senja."
"Drama?" Senja terkekeh, meski tanpa emosi. "Kalau aku menangis, berlutut, atau memohon, itu baru drama, Mas Denta."
"Jangan memandang rendah kepada kami. Bagi pria sepertiku, kamu saja tidak cukup," ucap Denta dingin.
Senja tertawa kecil, tetapi matanya memancarkan luka. “Dan kau pikir Citra akan cukup?”
“Ya.”
Senja mencibir, “Wanita yang merebut suami orang, nilainya tidak lebih tinggi dari sampah—,”
“Senja!” Denta memotong kalimat Senja karena Citra mulai mengisak di dekatnya.
“Bahkan masih lebih baik sampah karena bisa didaur ulang. Pelakor? Lebih rendah dari itu dan bukan kelasku.” Senja terus melanjutkan kalimatnya dengan dagu terangkat.
“Mbak ... aku terpaksa. Mas Denta—,”
“Aku tidak melihatmu terpaksa ketika meminta suamiku untuk memuaskanmu, Cit.”
“Senja, cukup! Kamu tidak bisa melengkapiku! Citra bisa! Kini ia sedang hamil anakku!” Denta membalas kalimat Senja dengan suara berapi-api, membela wanita busuk yang sedang berlagak teraniaya.
Senja kembali tertawa, melempar kepalanya kebelakang. Sejatinya, ia sedang menyembunyikan air mata yang mendadak menggenang di pelupuk matanya. Lagi-lagi, kekurangan karena tak kunjung hadir anak di pernikahan mereka menjadi kesalahan Senja.
“Dia sudah hamil anakmu?! Bagus, tunggu apa lagi? Nikahi dia, Mas. Karena aku akan menggugat cerai!” tukas Senja, sontak berdiri bersiap untuk pergi. Ia tak sudi berada satu ruangan dengan dua manusia tak bermoral.
Senja memutar tubuh kembali menuju ke meja sudut tempat ia meletakkan kunci mobilnya. Ia berhenti sejenak di ujung lorong, menolehkan kepala sedikit hingga tak perlu menatap dua orang di ruang tengah.
“Silakan menikmati kue tart dan sampanye untuk merayakan penyatuan kalian. Dan Citra, tidak perlu repot-repot datang ke kantor besok. Kamu dipecat!”
Senja berbalik, melangkah keluar dari kamar dengan punggung tegak. Di dalam hatinya, bara amarah telah menyala. Ia tidak akan menangis, tidak akan meratap. Yang ia pikirkan sekarang hanya satu hal—balas dendam.
**
Senja berakhir di sebuah bar eksklusif di pusat kota. Ia duduk di sudut paling gelap bar, jari-jarinya gemetar saat meraih gelas whiskey-nya yang sudah hampir kosong.
Matanya merah, bukan hanya karena alkohol yang membakar tenggorokannya, tapi karena tangis yang ia tahan sejak ia melihat suaminya dinaiki dan memuaskan Citra.
"Brengsek..." gumamnya, sebelum menenggak habis sisa whiskey di gelasnya.
Bar itu bukan tempat yang biasa ia kunjungi. Senja tidak minum, tidak merokok, dan tidak pernah terlihat serapuh ini. Tapi malam ini, ia hanya ingin hancur. Hancur seperti hidupnya yang sudah dikoyak tanpa ampun.
"Cukup untuk malam ini."
Senja mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam. Matanya yang sedikit kabur karena alkohol hanya menangkap sosok samar pria—tinggi, dengan jas hitam yang membungkus tubuh tegapnya. Rahangnya tegas, matanya hitam dan tajam seperti belati. Rambutnya sedikit basah, seolah baru saja menerobos hujan.
"Siapa lo?" suara Senja serak, tidak terintimidasi, meski sedikit terhuyung.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya melirik bartender, memberi isyarat untuk tidak menuangkan minuman lagi, sebelum menarik kursi di sebelah Senja dan duduk.
"Kalau kamu mau mabuk sampai lupa segalanya, seenggaknya jangan sendirian, Madam," kata pria itu pelan. Suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang menusuk Senja lebih dalam dari apapun.
Senja tertawa sinis. "Lo siapa? Motivator gagal yang kebetulan nyasar ke bar?"
Pria itu akhirnya mendekatkan wajah padanya. Mata mereka bertemu. Senja menggelengkan kepala, berusaha meraih kesadarannya kembali.
“Pak Reinaldo?”
Senja mengenali pria itu sebagai Managing Director kantor cabang United Talent Agency Indonesia yang ada di Jakarta dengan kantor pusat di New York, calon partner kerja yang akan membantunya lolos seleksi Paris Fashion Week.
Dan untuk pertama kalinya, malam ini, Senja merasa seperti ditelanjangi habis-habisan. Seolah pria ini bisa membaca isi kepalanya hanya dengan satu tatapan.
"Dan aku di sini karena kau butuh seseorang yang lebih dari sekadar whiskey.” Reinaldo tersenyum kecil. “Jangan panggil aku ‘Pak’. Kita dua orang yang memiliki tujuan yang sama."
Dalam pikiran berkabutnya akibat alkohol, Senja berusaha mencerna kalimat Reinaldo, “Apa maksudmu?”
“Aku bisa membantumu, Madam,” jawab pria itu dengan raut muka tak terbaca.
Reinaldo Wicaksana membawa Senja ke sebuah hotel berbintang lima dan mengajaknya masuk ke dalam griya tawang yang biasa ia sewa.Begitu mereka di dalam ruangan, Senja yang lupa diri dan terbawa emosi, mengalungkan kedua tangannya ke leher Reinaldo lalu memburu bibir pria itu.Reinaldo menangkap pinggang ramping Senja lalu memeluknya. Ia perlu melakukan itu karena Senja tidak bisa berdiri dengan tegak.“Whoopsie, kenapa lantainya jadi jelly,” kata Senja geli. Ia masih memeluk leher Reinaldo. Sepenuhnya bergayut pada pria itu.Reinaldo yang memiliki tinggi 188 cm, dengan mudah membawa Senja yang menempel padanya dengan ujung kaki menyeret lantai.“Jangan bilang Madam belum pernah mabuk?” tanyanya dengan ketenangan yang patut diacungi jempol.Senja terkikik, “Ini mabuk? Semua jadi goyang-goyang.”“Aku juga?” tanya Reinaldo.Senja menatapnya dengan mata sayu. Satu lengan mengait leher pria itu sementara tangan yang lain mengelus rahangnya.“Kamu tetap kelihatan tampan, Pak Rei.”Alis Rein
Setibanya di apartemen, Senja segera masuk ke kamar mandi, berniat sekali lagi membersihkan dirinya. Ia sungguh merasa menyesal karena melakukan kebodohan semalam. Bukan saja mabuk yang berakibat dirinya bermalam dengan Reinaldo. Namun, juga menerima kebaikan pria itu pagi ini yang mengantarnya untuk mengambil mobilnya di bar.“Harusnya aku menolak lebih kuat dan kembali ke bar pake taksi online,” gumamnya penuh sesal.Saat berada di depan kaca kamar mandi, Senja menemukan bayangan pada cermin, wanita berumur 40 tahun yang hancur lebur karena pengkhianatan suami.Sekuat apapun ia berusaha bertahan, sakit itu ada dan nyata. Tergurat jelas pada wajah cantiknya yang belum dihiasi keriput.“Tidak. Aku tidak boleh seperti ini. Senja Mariska, kamu wanita kuat yang berhasil mandiri tanpa ditemani Ayah dan Ibu. Bangkit! Jangan lemah!” katanya pada kaca, memotivasi diri sendiri.Ia tidak mau menyerah pada cobaan hidup yang mencoba menyeretnya ke jurang kesedihan. Senja bergegas mandi. Merendam
Menjelang jam makan siang, Denta turun dari mobil lalu melangkah penuh percaya diri menuju ke pintu masuk Mariska Couture. Namun, dua meter sebelum ia mencapainya, pintu itu terbuka dan Senja keluar dari gedung dengan langkah ringan, bibirnya melengkung dalam senyum yang begitu menawan.Gengsinya seketika ambyar melihat Senja seperti tidak terpengaruh dengan masalah rumah tangga mereka. Wanita itu tampak baik-baik saja dan semakin mempesona. Tawa lembut, sesuatu yang dulu menjadi miliknya, kini terdengar seperti tamparan keras di wajah. Sebenarnya, Senja sungguh mencintainya atau tidak?Namun, tidak ada jejak luka yang ia harapkan untuk terlihat di wajah Senja, juga ada tanda bahwa Senja masih membutuhkan atau mencintainya.Yang lebih menyakitkan lagi, pemuda yang berjalan di samping Senja itu tampak muda, energik, dan terlalu nyaman berada di dekat Senja.Apa mereka hanya rekan kerja? Atau lebih dari itu? Pikiran Denta mulai dipenuhi kecemburuan, meski ia sadar tidak berhak merasa b
Senja mengerutkan dahinya, matanya sedikit menyipit, tidak paham dengan arah pembicaraan itu. “Bukankah jelas karena kamu, sang Managing Director, turun tangan untuk mengurus hal remeh ini?”Reinaldo mengangguk pelan, masih dengan senyuman yang sama. “Lalu, menurutmu, kenapa Managing Director ini dengan sukarela turun tangan?”Senja terdiam.Faktanya, meskipun Mariska Couture memang perusahaan yang besar, tetapi memang belum pernah bermain di runway besar. Meskipun desain pakaian mereka memukau, tetapi rasanya jika dalam langkah normal, tetap akan sulit mendapat persetujuan kerjasama dari perusahaan sekelas United Talent Agency untuk menyediakan model bagi mereka.“Kamu tak pernah menjadi hal remeh di depanku, Senja,” kata Reinaldo kalem.Senja semakin mengerutkan kening.“Kapan kamu akan percaya bahwa kita sudah sepakat berpacaran, Nja?” Reinaldo bicara seolah paham dengan reaksi kebingungan Senja.“Bukankah waktu itu aku telah mengatakan keberatan dan kamu menyetujuinya? Jadi, aku a
Senja berdiri di depan cermin besar di butik pribadinya. Pencahayaan lembut dari lampu sorot menyoroti gaun satin biru tua yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Gaun itu adalah karyanya sendiri. Elegan, berani, dan tak lagi terikat pada selera seseorang selain dirinya.Namun, bukan bayangan gaun itu yang membuatnya terdiam. Matanya menatap refleksinya dengan tajam. Ia tampak sedikit kurus karena masalah yang menghantam belakangan ini.Senja meneliti wajahnya. Belum ada kerut di sana, tetapi kantung matanya terlihat jelas. Hasil memikirkan trategi menjelang PFW juga proses gugatan cerai yang mulai masuk sidang.Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya."Masuk," ucapnya.“Madam, sudah siap?” Astrimei muncul di pintu.Sekretaris yang cantik itu sudah mengenakan gaun terusan selutut berwarna hitam yang agak mengembang di bawah pinggang.“Mei, lihat kantung mataku. Aku tidak suka, membuatku terlihat tua,” gerutu Senja.Astrimei dengan sigap masuk. Ia berjalan sambil mencari sesuatu
Pelayan lewat membawa baki berisi gelas-gelas sampanye. Reinaldo mengambil dua gelas lalu memberikan pada Senja satu. Ia mengangkat gelas sampanye, membuat Senja otomatis melakukan hal yang sama.Kedua gelas berdenting. mereka menyesap sampanye masih sambil memaku mata masing-masing.“Well, aku tipe orang di balik layar. Kurang suka dengan sorotan-sorotan seperti ini. Hanya karena Ibu Alindra adalah orang berpengaruh. Sejatinya, aku lebih suka menyumbang tanpa harus hadir di sini.” Senja memilih untuk tetap bersikap formal.“Hm. Tidak suka spotlight ternyata.” Reinaldo berkata sambil menatap ke pusat pesta, titik yang sama di mana Senja melayangkan pandangan.“Sayangnya, semua perhatian menyorot kepadamu beberapa hari ini, bukan?” kata Reinaldo dengan tatapan penuh simpati. Senja balas menatap datar ke arahnya. Menilai pria yang berbicara santai di depannya.“Rupanya kamu juga mengamati berita yang beredar di luaran,” ujar Senja seraya kembali melemparkan pandangan ke arah lain.“Buka
Satu bulan sudah Senja tinggal di apartemen pribadinya. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan saja. Jika sedang berada di Mariska Couture, Senja menjadi pribadi yang berbeda saat ia sendirian di apartemennya.Senja mampu menutupi luka hati jika berada di kantor. Segunung pekerjaan, puluhan design istimewa yang membutuhkan konsentrasi tinggi, mampu membuatnya melupakan kemelut rumah tangga.Tetapi ketika sendirian di apartemen, Senja kembali menjadi wanita yang terpuruk karena pengkhianatan keji sang suami. Ini sedikit menyiksa, membuat Senja kehilangan berat badan karenanya.Hari ini, ia ada janji temu dengan Pramita Prameswari, salah satu pengacara senior Pandecta Law yang terkenal mampu mengurus kasus perceraian seperti yang dialami oleh Senja. Gugatan cerai Senja memang telah didaftarkan dan menjadi tanggung jawab Mita.“Bu Senja, Ibu Mita dari Pandecta Law sudah datang,” kata Astrimei.“Suruh masuk, Mei.”Wanita muda nan ayu itu mengangguk sambil tersenyum, membuka pintu ruanga
Di sisi lain kota.Denta duduk dengan tubuh bersandar di kursi kulit mahal yang menghiasi ruang rapat di kantor hukum langganannya. Di seberangnya, seorang pria berusia sekitar 50-an dengan jas hitam rapi sedang memeriksa dokumen tebal di tangannya.Mata pria itu, pengacara senior bernama Hardi Santoso, tajam dan penuh pengalaman. Seperti halnya Mita Prameswari, Hardi Santoso juga dikenal tak pernah kalah dalam sidang perceraian, terutama ketika menyangkut pembagian harta gono-gini.“Jadi, Mas Denta,” kata Hardi, sambil membuka halaman berikutnya dari dokumen yang ia pegang. “Senja Mariska mengklaim bahwa 51% saham Mariska Couture itu miliknya sepenuhnya, dan bukan bagian dari harta bersama. Apa yang Anda tahu tentang itu?”Denta menghela napas berat, merasa sedikit tersudut. “Memang benar dia mendirikan perusahaan itu sebelum kami menikah. Tapi saya ikut berkontribusi dalam perkembangannya. Itu tidak bisa diabaikan.”Hardi mengangguk kecil, matanya tetap tertuju pada dokumen. “Kontri
"Kamu terlihat cantik," komentar Reinaldo, mendekat dari belakang dan melingkarkan tangannya di pinggang Senja. Mereka berdua sedang berada di sebuah butik khusus menyediakan pakaian pengantin dari brand ternama. Meskipun Senja seorang designer, tetapi ia mengikuti kemauan Reinaldo untuk membeli gaun pengantinnya, alih-alih men-design sendiri. Selain tak memiliki banyak waktu melakukan itu, Reinaldo juga tak ingin membebani calon istrinya. Senja berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin berpotongan sederhana yang dipilihnya sendiri. Ia menyukai desainnya yang minimalis, tetapi tetap elegan. "Sayang gaunnya...," lanjutnya pelan, jemarinya membelai lembut bahu telanjang Senja, "aku pikir sesuatu yang lebih megah akan lebih cocok untukmu." Senja mengerutkan dahi. Menatap ke arah bayangan Reinaldo pada cermin. "Aku justru suka yang simpel. Aku ingin nyaman saat mengenakannya. Lagipula ini pernikahan kedua kita, Rei. Rasanya tak perlu terlalu tampil luar biasa." Reina
“Semua dokumen pernikahan kita sudah selesai pengurusannya. Wedding Organizer sudah mengirimkan proposal dan menunggu persetujuan kita, aku akan membagi salinannya padamu melalui email.” Senja dan Reinaldo sedang di dalam pesawat yang melintasi samudera. Meninggalkan Barcelona untuk kembali ke Jakarta. “Proposal?” tanya Senja keheranan. Sejak menyetujui lamaran Reinaldo, Senja memang kurang terlibat dengan pengurusan pernikahannya karena disibukkan dengan proyek Milan Fashion week. Kini dia keheranan dengan pemberitahuan Rei. Wedding Organizer malah memasukkan proposal? Bukan mereka yang mendatangi WO dan berdiskusi tentang keinginan mereka? “Oh, Sayang. Kamu public figure. Begitu mereka mendengar kabar rencana pernikahan kita, banyak Wedding Organizer yang tertarik untuk mengurus resepsi yang akan kita gelar, dan banyak memberi diskon!” bisik Reinaldo ke telinga sang kekasih yang duduk di sebelahnya. Senja mendengus geli. Ia masih belum merasa dirinya sebagai figur ternama saat
Plaak!! Tamparan itu mendarat di pipi mulus Nana Citra. Wanita itu terdorong ke belakang dan jatuh di atas tempat tidurnya. “Berani-beraninya dirimu!” dengkus Denta yang telah memerah mukanya. Citra hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri menyengat. Untung ia mendatangi rumah Denta tanpa membawa Dewi, puteri mereka. Bagaimana kalau ia sedang menggendong Dewi ketika Denta kalap begini? “Aku hanya meminta hakku, Mas,” ujarnya dengan suara bergetar. “Hak apa, bangsat!” raung Denta marah. “Aku sudah melahirkan anakmu. Aku mau dinikahi secara resmi. Itu saja.” “Omong kosong! Kamu gak bisa ngasih aku anak lakik! Menikah secara resmi? Merepotkan! Toh aku menafkahimu, kan?!” “Apa masih disebut menafkahi kalau kamu hanya memberi ketika diminta, Mas? Sebagian besar kebutuhan Dewi, aku yang memenuhinya. Aku harus bekerja. Dewi jarang melihatku dan lebih sering bersama Ibu.” Citra tak tahan lagi, mulai bersuara keras dan melawan Denta. “Berani kamu!” D
"Akhirnya, selesai juga," gumam Senja, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah berjam-jam berkutat dengan laporan pertanggungjawaban dana Milan Fashion Week. Kekurangan bekerja keluar negeri tanpa membawa asisten, ya begini. Senja harus bekerja sendiri. Ia sungguh merindukan Astrimei. Untungnya, ada Reinaldo sang tunangan yang menemaninya di sini. Pria itu tersenyum lembut sambil mengusap punggungnya. "Kamu luar biasa, Senja. Semua koleksimu memukau,proyekmu sukses. Begitu juga yang ini," puji Reinaldo, membuat senyum tak pupus dari wajah Senja. Sebenarnya, berkat Reinald jugalah ia mulus menjalankan proyek Milan Fashion Week dan kembali menjadi panggungnya untuk bersinar. "Terima kasih, Rei. Tapi sekarang, aku butuh istirahat," kata Senja, menyandarkan kepalanya di bahu Reinaldo. Mereka sedang duduk di sebuah kafe tepi kanal di distrik Navigli, menikmati sore yang cerah. "Tentu saja, Sayang. Kita punya waktu dua hari di Milan sebelum kembali ke Jakarta," kata Reinaldo, meng
“Selamat, Sayang. Acaranya sukses dan kamu tampak hebat di atas panggung tadi.” Senja yang baru turun dari panggung, kedua tangan memeluk buket besar, kerepotan menerima ucapan selamat dari Reinaldo yang terasa berlebihan. Pria itu memeluk dan menciumnya seolah ingin mempertontonkan pada dunia, bahwa dirinya hanya milik Reinaldo seorang. Meski agak risih, Senja tak mampu menolak. Ia yersenyum bahagia, kesuksesannya malam ini melampaui segala pencapaiannya sepanjang berkarir bersama Mariska Couture. “Terima kasih.” Senja berkata sambil kebingungan saat Reinaldo mengambil buket-buket bunganya dengan satu tangan sementara tangan lain meraih pinggangnya yang ramping dan merangkulnya. Senja sampa berdiri miring-miring karena ia dan Reinaldo berhimpitan nyaris tenggelam dalam buket bunga. “Mengapa aku mendapat sambutan begitu gempita?” tanyanya di tengah keriuhan tepuk tangan dari tim yang ada di belakang panggung. Senja bertanya sambil melempar senyum sana-sini. Reinaldo tetap lekat m
“Mari, kita saksikan busana-busana dari designer kenamaan Indonesia, yang membawa warna baru dalam mode dunia selaras dengan nuansa musim panas yang ceria!” Suara itu menggema di atas runway yang kosong, musik menghentak, sejurus kemudian satu persatu model kelas dunia berlenggak lenggok di atasnya. Berbaris rapi dengan fashion memukau menempel di tubuh mereka. Lampu sorot menari-nari di atas panggung megah Teatro alla Scala, menerangi gemerlap koleksi haute couture yang memukau. Di balik panggung, kesibukan luar biasa dipimpin oleh Senja Mariska sendiri. Ia melakukan supervisi untuk setiap pakaian yang dikenakan oleh model sebelum mereka dilepas berjalan di atas runway. “Madam Mariska!” Beberapa kali teriakan itu akan berkumandang, berasal dari designer-designer muda di bawah pimpinan Madamoiselle Giselle yang khusus mengundang Senja Mariska untuk berkolaborasi dengannya. “Bagaimana dengan ini?” Salah seorang designer muda mendorong model wanita dengan tinggi menjulang ke dep
"Selamat datang di Milan, Senja." Kalimat itu diucapkan dengan hangat oleh seorang pria berwajah ramah, menyambut kedatangan Senja di bandara kota mode tersebut. Pria itu adalah Marco, perwakilan dari rumah mode milik Madamoiselle Giselle yang mengundang Senja untuk memamerkan koleksi haute couture-nya di Milan Fashion Week. "Terima kasih, Marco," jawab Senja dengan senyum tipis, matanya mengamati sekeliling bandara yang ramai. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, dan rasa lelah mulai menyergap. "Perjalanan yang panjang, ya?" tanya Marco, seolah bisa membaca pikiran Senja. Dengan gaya maskulin, ia meminta koper Senja dan membantu membawakannya. "Mari, mobil sudah menunggu. Kami akan mengantarmu ke hotel, kamu bisa beristirahat sebentar sebelum jadwal padat dimulai." Senja mengangguk, mengikuti Marco keluar dari bandara. Udara Milan yang dingin menyapa kulitnya, berbeda jauh dengan hangatnya Jakarta. Mobil mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir di depan
Ketika Denta menghadapi kemelut rumah tangga keduanya. Senja sedang moncer dan mendaki karier ke level lebih tinggi. Ia sibuk menyiapkan design haute couture pesanan Madam Giselle. Ini tidak mudah. Haute couture melibatkan pembuatan pakaian yang sangat rumit dan detail, dengan menggunakan teknik jahitan tangan yang presisi dan bahan-bahan berkualitas tinggi. Bahannya pun khusus untuk pelanggan khusus. Secara sederhana, haute couture adalah puncak dari dunia mode, yang menggabungkan keahlian, kreativitas, dan eksklusivitas untuk menciptakan pakaian yang benar-benar luar biasa. Senja sedang meninjau sketsa desain bersama tim designer muda ketika Astrimei masuk ke ruang kerja dengan tablet di tangannya. "Madam, Madamoiselle Giselle baru saja mengirimkan beberapa perubahan untuk gaun haute couture-nya." Sekretaris Senja itu berjalan masuk sambil menatap tablet, hampir menabrak Arion Sylvano, designer muda paling tampan di Mariska Couture. “Ups, maaf.” “Tak apa, Nona,”sahut Arion
“Kau akan menikahinya?” Suara Yaman, pelan dan gemetar. Tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Matanya yang sedikit keruh, menatap tak percaya ke arah Reinaldo. Pria itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Yaman. Kening Yaman menjadi berkerut, “Seberapa kaya kau?” tudingnya. “Paman,” keluh Senja tak kuasa, hanya bisa meletakkan dahi ke telapak tangannya. Tak mampu menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda dari Senja itu tersenyum miring, terlihat sangat percaya diri. “Sangat kaya, Paman,” jawabnya kemudian. Yaman memincingkan mata tanda tak percaya. Reinaldo tertawa pelan. “Saya memiliki agensi sendiri, bekerja sama dengan kawan dari Amerika Serikat kamu membuka agensi model di lima kota besar dunia. New York, Barcelona, Seoul, Lyon dan Jakarta.” Yaman menganga, Senja memutar mata. Ia tahu Reinaldo berkata yang sesungguhnya, hanya saja tak merasa nyaman dengan tatapan serakah Yaman. “Keponakan Paman takkan kekurangan saat bersama saya.” Yaman mendecih, “Aku tak peduli dengann