Andreas Wirawan, seorang presiden direktur berusia 38 tahun, hidup dalam bayang-bayang duka setelah lima tahun merawat istrinya, Maya, yang koma akibat kecelakaan. Di tengah tekanan pekerjaan dan rasa bersalah yang tak kunjung usai, Maya meninggal dunia, meninggalkan Andreas dalam kehampaan. Suatu sore di sebuah kafe di Thamrin, ia bertemu Lara, desainer freelance berusia 29 tahun yang ceria dan penuh percaya diri. Pertemuan tak sengaja itu membawa sedikit kehangatan dalam hidup Andreas yang dingin. Ketika Lara ternyata menjadi bagian dari proyek besar perusahaannya, SmartGrid, interaksi mereka semakin intens. Andreas, yang awalnya hanya ingin fokus pada pekerjaan, mulai merasakan perubahan—senyum kecil dan obrolan ringan bersama Lara membuatnya melupakan beban, meski hati masih bergulat dengan kenangan Maya. Di sisi lain, Lara, yang menikmati kebebasan hidupnya bersama kucing oren bernama Milo, mulai penasaran dengan sosok Andreas yang misterius namun hangat. Ketika proyek sukses diluncurkan, Andreas mengajak Lara ngopi—langkah kecil yang membukanya pada dua sisi: kesetiaan pada masa lalu dan kemungkinan baru di depan mata. Akankah Andreas menemukan cara untuk melangkah maju tanpa kehilangan jejak cintanya pada Maya? Dan apakah Lara, yang menghindari ikatan, bersedia membuka hati untuk pria yang membawa luka mendalam?
Lihat lebih banyakPagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke
Malam di Bali terasa lembut, ditemani suara ombak yang terdengar dari jendela kamar hotel. Angin laut menyelinap masuk, membawa aroma garam bercampur bunga kamboja taman bawah. Lampu kamar sengaja diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu meja. Suasana itu menciptakan ketenangan yang membungkus Andreas dan Lara, seolah dunia di luar sana berhenti berputar untuk mereka.Lara masih duduk di tepi ranjang, buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil bergerak lincah, menggoreskan garis-garis halus yang perlahan membentuk sesuatu. Andreas yang sudah melepas kemeja luar kini hanya mengenakan kaus sederhana. Sang kekasih duduk di sampingnya sambil memandang penuh perhatian. Andreas tahu Lara suka memberi kejutan, dan ia menikmati momen menunggu.“Jadi, besok pagi ke pantai lagi?” tanya Lara sambil tetap fokus pada gambar.“Ya, aku pengen lihat sunrise bareng kamu,” jawab Andreas. Ia menggeser posisinya sedikit lebih dekat. “Terus abis itu kita cari sarapan. Ada tempat bagus katany
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir seperti bisik.
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap.“Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.”Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir
Langit Jakarta sore itu kelabu. Mendung tebal bergantung seperti rahasia yang tak ingin terucap. Hujan baru reda meninggalkan genangan di trotoar dan aroma tanah basah. Di sebuah kafe, di sudut Thamrin, Andreas Wirawan duduk sendirian dekat jendela. Pria 38 tahun itu mengenakan kemeja putih digulung hingga siku, dasi birunya terlepas dan tergeletak di meja. Mata menatap kosong ke arah cangkir kopi yang dingin. Pikirannya terperangkap diantara laporan keuangan perusahaan.Pintu kafe berderit pelan saat seorang wanita masuk. Usianya sekitar 29 tahun, dengan rambut yang sedikit basah menempel di pipi karena sisa hujan. Ia mengenakan mantel cokelat tua dan celana jeans sederhana, namun ada sesuatu dalam caranya berjalan—anggun dan penuh percaya diri—yang membuat Andreas melirik sekilas. Wanita itu memesan sesuatu di kasir, lalu berjalan kea rah meja kosong tak jauh dari Andreas. Kursi bergoyang saat wanita itu duduk. Secarik kertas jatuh dari tas-nya tanpa disadari.Andreas memungutnya, la...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen