Home / Romansa / Wasiat Cinta Ayah / Bab 6: Kecemburuan Cinta

Share

Bab 6: Kecemburuan Cinta

Author: Rihanna Roi
last update Last Updated: 2025-01-11 06:32:01

Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.

Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.

Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?

“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”

Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.

“Tetapi ... dia tidak sepantasnya menerima semua ini” Adler metirih dengan suara yang bergetar. “Aku sudah sangat jahat membiarkan dirinya melayaniku tanpa mendapat haknya. Aku sangat buruk.”

Mata hitamnya meredup tatkala otak menggali ingatan dalam satu bulan ini, satu per satu gambar Laura bermunculan bagai film yang diputar lambat. Tanpa ada keluhan apa pun, Laura tetap menerima perannya sebagai seorang istri dengan penuh rasa syukur. Tetapi, kadang-kadang Adler pernah mendengar isak tangis yang ditahan-tahan dari balik pintu kamar mandi. Itu terjadi dalam beberapa malam terakhir ini dan Adler sadar hotul, Laura yang ada di balik pintu itu

“Dia adalah istri yang luar biasa, aku lah bajingan di sini yang sama sekali tak hisa membalas ketulusan hatinya dengan cinta yang dia dambakan.”

Adler terus menyalahkan dirinya sendiri hingga tak menyadari langkah kaki yang menuju arahnya. Seseorang berhenti tepat satu langkah di belakang tubuh perkasa berbalut satalan jas hitam itu.

“Jadi, itu alasan Laura bersedih akhir-akhir ini?” tanya sebuah suara.

Adler sendiri merasa tidak asing mendengarnya dan menoleh. “Aro Jackzares sedang apa kau di sini?”

“Mengunjungi makam bibiku. Oh, kau tidak datang bersarna Laura?”

Adler tidak menjawabnya, hanya menggelong sekilas. Aro seharusays sudah tahu apa jawabannya.

“Bagaimana hubunganmu dengan Laura, apa kalian bahagia?” Kata-kata Aro jelas dimaksudkan menyindir Adler.

Kening di bawah helaian berwama hitam mengerut pada pemuda yang lebih muda darinya itu.

“Laura selalu menutupi leher dengan scarf, tapi tak ada bau feromonmu di tubuhnya.” Senyuman sinis terbit di bibir Aro. “Menurutku itu cukup. Membuktikan bahwa kau belum mengikatnya.”

Amarah mulai bergejolak di dasar hatinya. Hawa penuh kemarahan menguar dan ditujukan pada adik rekan bisnisnya. Sementara Aro masih berdiri menatapnya dengan angkuh, Mata hitam Adler terkesan mengerikan, seakan ingin menghunus Aro saat itu juga. Keheningan pun menyebar cukup lama. Di sekeliling mereka.

“Itu bukan urusanmu, Aro!” Adler menegaskan. Entah mengapa dia sangat benci ketika menyadari ada sesuatu di balik ekspresi pemuda itu.

Keinginan merebut sesuatu dari musuhnya

“Apa pun yang berhubungan dengan Laura adalah urusanku juga, Tuan Smith."

Pandangan Adler sakotika monggelap dan menyorotkan kotiriaksukaannya, dia benar-benar bingung sekaligus kesal mendengar Aro yang berbicara seolah Laura adalah miliknya.

"Tidak, Laura adalah milikku.” Adler tersentak menyadari apa yang baru saja meluncur keluar dari mulutnya.

“Memang kalian saling mencintai?”

Rahang Adler mengatup rapat, kedua tangarinya erat terkepal di sisi bedan.

Dia berjuang menahan amarah yang sedari tadi meledak ledak di dalam dirinya. Tanpa benar-benar mengerti mengapa dia begitu marah saat ini hanya karena Aro mengklaim Laura sebagai miliknya.

Perasaan apa ini?

“Tuan Smith, jika kau tidak bisa mencintai Laura sebagai istrimu, aku tidak akan ragu untuk merebutnya kembali,” kata Aro, sangat lambat dan jelas, “asal kau tahu saja. Laura adalah kekasihku sebelum kau menikahinya.”

Setelah melontarkan ancamannya, Aro langsung berbalik perg meninggalkan Adler yang sekarang terombang-ambing dalam gelombang lautan pikirannya sendiri. Geraman rendah keluar dari dada, Adler melempar pandangan memusuhi ke arah punggung lebar yang samakin menjauh itu. Aro Jackzares baru saja menyerukan deklarasi perang kepada Adler Smith.

***

“Adler, kau sudah pulang.”

Seperti yang biasa terjadi hampir satu bulan ini, Laura selalu menyambutnya setiap pulang ke rumah. Senyuman manis milik gadis pendek namun menggemaskan itu menghangatkan hatinya. Sampal letih yang seharian ini menggelayut pun tersingkir olehnya.

Adler membiarkan Laura mengambil alih tas kerjanya kemudian beralih menuju kerahnya untuk melepaskan simpul dasinya. Gerakannya begitu cekatan dan telaten, sangat anggun untuk ukuran seorang gadis. Ah, tidak mengherankan karena Laura juga merupakan seorang gadis.

“Kau pulang terlambat lagi,” ujar Laura seraya melenggang menuju kamar mereka di lantai atas, “pekerjaanmu pasti sangat melelahkan. Aku sudah menyiapkan air harigat untukermu.”

Adler mengekor di belakang Laura sembari mengamati lekat lekat tubuh mungil itu. Punggung kecil, pinggang ramping, dan sepasang kaki jenjang untuk tinggi badan yang hanya mencapai 160 sentimeter itu bergerak luwes ketika pemiliknya berjalan. Sesampainya di kamar, Laura langsung meletakan tas dan dasinya di atas meja. “Mandil ah, aku akan meletakan pakaianmu di sini.”

Namon Adler masih tak bergeming di tempatnya berdiri sementara Laura sibuk menguak isi lemarinya dan menarik keluar kemeja santai dan celana kain yang terlipat rapi lalu meletakannya hati-hati di atas ranjang, Saat Laura menemukannya, dia pun mengenyit samar,

“Kau ingin makan atau mandi dulu?” Laura menawarkan, suara sejenih air yang mengalir terdengar canggung

Alih-alih merijawab, jemari Adler beralih melepas kancing kemejanya sembari melangkah mendekati Laura yang kini bertingkah seperti kelinci ketakutan yang terpojok. Dengan tenang, lelaki pria itu melempar kemejanya ke lantai sembarang arah.

Sementara Laura ingin lari menjauh, namun seluruh otot-ototnya menegang kaku tatkala menyaksikan pemandangan di depannya itu dengan panik. Adler telah berdin di hadapannya dengan dada telanjarig Tubuh Adler benar benar menakjubkan, ramping tetapi kuat dan sangat jantan. Otot ototnya menyembul keras dengan lekukan tegas yang menunjukan hasil latihan fisiknya selama ini

“Aku ingin mandi denganmu.” Adler nyaris tersenyum geli melihat reaksi Laura yang merona malu.

Warna merah di wajah Laura kian pekat. Bibir tipisnya sedikit terbuka karena terkejut. Tampak menggoda Adler untuk menyelipkan lidahnya dan mencicipi kehangatan Laura di dalam sana.

“T-lapi, Adler!”

Laura tarperanjat merasakan tarikan Adler yang tiba-tiba membawanya ko kamar mandi bernuansa biru. Adler mendorong tubuhnya ke bawah pancuran, membiarkan air hangat mengguyur tubuh mereka berdua. Ketika Laura mencoba memberontak, Adler pun menekan punggungnya ke tembok yang basah terciprat air

Menyaksikan guyuran air yang menyebabkan kemeja linen itu melekat nyaris transparan di badan Laura, memberi kesan erotis yang membuat Adler merasa hampir gila. Gairahnya talah berpusat ke bawah sana hingga mengeras dan menuntut dipuaskan. Adler menempelkan bukti gairahnya ke pusat tubuh Laura yang juga menegang akibat keintiman yang disulut Adler sendiri. Napas mereka beradu panas dan membaur dalam jarak di antara bibir mereka yang kian terkikis, Laura membeku di bawah tatapan biru yang dalam milik Adler.

Menyaksikan guyuran air yang menyebabkan kemeja linen itu melekat nyaris transparan ili badan Laura, memberi kesan erotis yang membuat Adler merasa hampir gila. Gairahnya telah berpusat ke bawah sana hingga mengeras dan menuntut dipuaskan. Adler menempelkan bukti gairahnya ke pusat tubuh Laura yang juga menegang akibat keintiman yang disulut Adler sendiri. Napas mereka beradu panas dan membaur dalam jarak di antara bibir mereka yang kian terkikis. Laura membeku di bawah tatapan mata hitam yang dalam milik Adler

Detik berikutnya, Adler tersenyum di bibir Laura yang bergetar kenikmatan lantas melumatnya sensual. Dia tersengat sensasi manis yang menggetarkan seluruh sel di tubuhnya. Menyesapnya lama hingga paru-paru mereka saling menjeritkan oksigen.

“Mari bercinta.”

Related chapters

  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

    Last Updated : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

    Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan

    Last Updated : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

    Last Updated : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

    Last Updated : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

    Last Updated : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 5: Istriku Secantik Itu?

    - Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe

    Last Updated : 2025-01-10

Latest chapter

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 6: Kecemburuan Cinta

    Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 5: Istriku Secantik Itu?

    - Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

    Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan

  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status