Aliandra, satu-satunya pewaris di sebuah perusahaan besar yang ternama--Mahesa Group. Sejak ayahnya meninggal secara tragis, dirinyalah yang seharusnya menggantikan posisi sangat ayah. Namun, keadaan fisiknya yang tidak sempurna membuat banyak orang yang menantang keputusan tersebut. Di tengah kericuhan yang terjadi, pengacara membacakan wasiat yang mengatakan bahwa Aliandra bisa menguasai perusahaan dengan aman jika ia menikah. Tentu saja Aliandra terkejut dan tidak menyetujui peraturan di surat wasiat tersebut. Namun, pada akhirnya mau tidak mau ia harus tetap mematuhi peraturan tersebut. Aliandra pun mulai mencari gadis yang tidak mempermasalahkan kondisi fisiknya yang tidak sempurna untuk menjalankan pernikahan pura-pura. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Yasmin, anak dari asistennya yang memiliki sikap ramah tetapi, keras kepala. Awalnya mereka memang melakukan pernikahan di atas kertas. Namun, benih-benih cinta mulai tumbuh dan Alia ndra pun mengharapkan sesuatu yang lebih dari sekadar pernikahan pura-pura. Ya, Aliandra mengharapkan malam yang panas terjadi di antara mereka.
View More“Hanya dia yang tersisa! Ya, benar, hanya pemuda cacat itu, bukan?”
“Benar, si cacat itu adalah pewaris satu-satunya.“
“Tidak benar, bukankah dia memiliki saudara tiri?”
“Ya, ya, ayahnya ‘kan memiliki dua orang istri!”
“Pasti saudaranya yang menjadi pewaris, tidak mungkin si cacat itu!”
Desas-desus terdengar semakin jelas di telinga seorang pria yang tengah duduk di atas sebuah kursi roda. Seolah dirinya tidak ada. Semua orang membicarakannya dengan suara keras seakan dirinya itu hanyalah sebuah patung. Padahal dirinyalah yang sekarang ini sedang menjadi pusat desas-desus murahan itu.
Aliandra Mahesa. Siapa yang tidak kenal dengannya, satu-satunya pewaris dari Mahesa Group. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang pariwisata dan perhotelan.
Kematian ayahnya yang mendadak membuat namanya semakin sering digaungkan oleh para pemegang saham.
Bukan sebuah kalimat penyemangat atau sekadar ucapan turut berbelasungkawa, tetapi sebuah cemooh yang sangat menyakiti hati. Bahkan sekarang, saat sedang di pemakaman pun para relasi ayahnya itu masih membicarakan dirinya.
‘Dasar tidak sopan!’ batinya.
Waluyo memutar kursi roda Aliandra, saat satu per satu pelayat mulai meninggalkan gundukan kecoklatan itu.
Aliandra mengangkat sebelah tangannya, meminta Waluyo untuk berhenti.
“Tinggalkan saja aku. Aku ingin di sini sendirian untuk beberapa saat!”
“Tapi, Tuan—“
“Turuti perkataanku, Waluyo!”
Waluyo mengangguk, lalu segera berbalik meninggalkan Aliandra. Pria tua yang selalu setia merawat Aliandra itu duduk di bawah sebuah pohon besar yang tidak jauh dari Aliandra. Sehingga ia dapat segera menghampiri Aliandra jika terjadi sesuatu.
Aliandra kembali memutar kursi rodanya menghadap gundukan coklat yang masih basah. Tangannya menyentuh gundukan itu dan setetes bulir bening mulai melesak keluar dari sudut matanya.
Ada rasa sesak yang mengimpit dada saat ia kembali mengingat perdebatan yang terjadi sebelum sang ayah meninggal dunia.
Kurnia Mahesa, yang sekarang memiliki gelar mendiang memanggilnya untuk datang ke ruang kerja malam itu. Sudah jelas sang ayah pasti ingin membahas perdebatan yang masih menggantung sore tadi.
Melalui panggilan telepon, sang ayah terus menghubunginya. Padahal saat itu mereka sama-sama sedang berada di rumah dan seharusnya ayahnya tahu bahwa dirinya tidak mungkin turun ke lantai bawah seorang diri. Akan tetapi Kurnia terus menghubunginya.
Aliandra sama sekali tidak menaruh curiga jika ternyata nyawa sang ayah saat itu sedang terancam. Aliandra bahkan tidak memperhatikan typo yang berserakan pada isi pesan yang dikirimkan Kurnia kepadanya.
“Andra, ruang kerja. Sekarang!”
Seharusnya seperti itulah isi pesan yang benar, tetapi Kurnia Mahesa malah mengirimkan pesan yang sulit sekali diartikan, jika saja Aliandra tidak terbiasa dengan isi pesan seperti itu ia pasti tidak akan mengerti juga.
“Aabndsra, truang jkwrja. Aeksrang!”
Kacau sekali. Sepertinya diketik dengan terburu-buru.
Benar saja. Tidak lama setelah panggilan terakhir dari Kurnia yang juga diabaikan oleh Aliandra, terdengar suara tembakan dari lantai bawah—di mana ruang kerja Kurnia Mahesa berada.
Aliandra segera bangkit dari ranjang. Tangannya meronta di udara, berusaha meraih tongkat yang berada terlalu jauh dari ranjangnya. Bahkan kursi rodanya pun berada jauh sekali dari jangkauannya.
“Argh! Shit! Kaki sialan!” ujarnya geram. “Waluyo!, Waluyo!”
Waluyo tidak datang saat itu. Kemudian ia menyadari bahwa tidak ada satu pun orang di rumah saat itu, hanya ada dirinya dan sang ayah. Semua pelayan pergi ke suatu tempat atas perintah seseorang.
“Seseorang!” gumamnya.
Aliandra menyentuh nisan yang bertuliskan nama pria yang paling disayanginya. Wajahnya mendekat ke nisan itu dan bibirnya mulai membisikan sebuah kalimat. “Aku tahu siapa dia, Ayah, tunggulah. Aku akan menguburnya di samping makammu. Aku janji!”
***
Hari berganti tetapi tidak dengan keadaan. Tepat satu bulan setelah kepergian Kurnia Mahesa, Aliandra Mahesa pun memegang kendali atas perusahaan yang selama ini dikelola oleh mendiang ayahnya.
“Hanya untuk sementara, sebelum saudara Anda tiba di Indonesia.” Salah seorang pemegang saham yang cukup berpengaruh mendelik dengan menyebalkan ke arah Aliandra.
Pria congkak yang memiliki senyum dan tatapan menyebalkan itu merupakan sahabat Kurnia Mahesa. Ya, setidaknya begitulah yang orang-orang ketahui, tetapi Aliandra tahu bagaimana busuknya pikiran pria dengan rambut yang sudah memutih itu.
“Aku pewaris satu-satunya, Pak Burhan, jadi sampai kapan pun tidak ada yang bisa menggeser posisiku bahkan saudaraku sendiri.” Aliandra menatap sinis seorang Burhan Lubis yang masih mendelik kepadanya.
Burhan tertawa hingga matanya berair. “Tidak ada yang bisa menggeser posisi Anda! Yang benar saja, Pak Andra! Aku rasa cucuku di rumah saja dapat menggeser posisi Anda dengan mudah!” ujarnya, lalu mendorong kursi roda yang di duduki Aliandra dengan kakinya, membuat kursi roda itu bergeser dari tempatnya semula. “See, aku menggeser Anda dengan mudah. Sadarlah, Anda itu cacat!”
Aliandra tersenyum miring. Senyum khas yang ia miliki itu membuat wajahnya terlihat semakin dingin dan menakutkan. Pria itu kemudian mendongak dan menatap tajam langsung ke dalam mata Burhan Lubis yang berdiri tidak jauh di hadapannya.
“Aku cacat. Ya, aku mengakuinya. Aku memang cacat, tapi perlu Anda ketahui, Pak Burhan, bahwa aku pria cacat yang cerdas. Aku tidak bodoh! Jikalau nanti pun akhirnya aku akan tersingkir dengan mudah, maka ingatlah bahwa aku pasti akan kembali dengan mudah.”
Burhan Lubis menatap Aliandra dengan benci. “Kita lihat saja nanti—“
“Ya, kita lihat saja nanti. Untuk sekarang cepat keluar dari ruangan ini! Keluar sekarang juga, Pak Burhan, sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!” Aliandra berteriak.
Melihat raut kemarahan di wajah Aliandra, membuat Burhan seketika berlari untuk keluar dari ruangan itu. Pria tua itu tahu betul siapa dan bagaimana perangai Aliandra. Seandainya pria muda itu tidak cacat, sungguh Burhan sama sekali tidak berani membuat Aliandra kesal.
***
“Tidak baik jika Anda terus berteriak, kepada mereka, Tuan. Sama sekali tidak ada gunanya.” Waluyo segera memasuki ruangan ketika melihat Burhan Lubis berlari dengan wajah cemas melintasi koridor kantor.
Hanya dengan melihat wajah pria tua itu, ia tahu bahwa Tuannya pasti baru saja mengamuk.
“Waluyo. Kamu selalu tiba di saat yang tepat. Tolong ambilkan aku air dingin. Aku sangat haus,” perintah Aliandra.
Waluyo mengangguk dan segera menghampiri lemari pendingin yang terletak di sudut ruangan. Setelahnya, ia kembali menghampiri Aliandra dengan sebuah botol air mineral dingin di tangannya.
“Thanks!” ujar Aliandra, lalu segera meneguk air dingin yang Waluyo berikan.
“Pengacara tiba setengah jam yang lalu, Tuan. Saat Anda masih sibuk dengan si Tua dari keluarga Lubis.” Waluyo berkata dengan tenang.
Aliandra melirik pria tua yang selama ini selalu sabar menghadapinya itu. Sudah banyak asisten yang ia miliki dan ia pecat juga pastinya karena ketidakcocokkan antara dirinya dan juga si Asisten. Namun, tidak demikian dengan Waluyo. Pria tua itu terlalu tenang dan selalu dapat memahami suasana hatinya dengan baik. Sehingga ia sama sekali tidak punya keluhan atau alasan untuk memecat pria tua itu seperti asisten-asisten sebelumnya.
“Setelah membesarkan seorang putri sendirian, sungguh Anda bukanlah masalah besar buat saya, Tuan. Jika Anda tahu bagaimana sifat keras kepala putri saya, maka Anda pun pasti akan merasa bahwa Anda sama sekali tidak keras kepala! Anda itu belum ada setengahnya dari putri saya.”
Hal itulah yang selalu Waluyo katakan kepada Aliandra. Aliandra sendiri belum pernah bertemu dengan putri dari Waluyo. Jika memang Waluyo memiliki putri sekejam itu, sungguh ia sama sekali tidak ingin bertemu dengan gadis itu.
“Ehem, Anda tidak ingin mendengar kelanjutannya, Tuan?” Waluyo mengagetkan lamunan Aliandra.
“Lanjutkanlah, aku menyimak,” jawab Aliandra, kembali meneguk air mineral.
“Para pemegang saham memang tidak akan menyetujui kepemimpinan Anda, dikarenakan keadaan Anda. Akan tetapi, di dalam surat wasiat jelas sekali tertulis bahwa Anda bisa mengendalikan segalanya hanya dengan satu syarat yang mudah.”
Aliandra mengerutkan keningnya dengan bingung. Melihat Aliandra tidak berniat untuk menanyakan persyaratan yang dimaksud, maka Waluyo kembali melanjutkan penjelasannya.
“Anda hanya perlu menikah, Tuan!”
Mendengar kata menikah, membuat Aliandra terkejut dan menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.
“Menikah?!” teriaknya.
Waluyo mengangguk pelan. "Ya, menikah!"
“Argh! Shit!”
Bersambung ....
Sinar matahari masuk melalui jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Cahayanya yang terasa hangat langsung terjatuh di wajah cantik Yasmin, membuat gadis itu menggeliat dan membuka matanya dengan perlahan.Aliandra yang bersiap hendak pergi ke kantor melempar tatapannya sejenak ke arah gadis berambut panjang itu sebelum akhirnya ia kembali fokus mengikat dasi di kemejanya.“Selamat pagi,” sapa Yasmin, sambil mengucek mata. Setelah kantuk pada kedua matanya benar-benar hilang, segera ia bangkit dan berlari menghampiri Aliandra. “Biar aku bantu,” ujarnya, sambil meletakkan kedua tangan pada dasi yang Aliandra coba kenakan.Aliandra menepis tangan Yasmin. “Terima kasih, tapi aku sudah terbiasa sendiri.”“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada aku di sini. Biar aku bantu.” Yasmin tidak mau kalah, ia masih berusaha melakukan pendekatan dengan suaminya yang tiba-tiba saja berubah.Aliandra mendengkus kes
Wajah Yasmin menegang begitu membaca pesan yang Virni kirimkan padanya. Ia sungguh merasa kesal pada sikap Iren dan juga Kakeknya yang angkuh itu. Bagaimana mungkin masalah yang sepele seperti itu mereka bawa hingga ke jalur hukum. Bukankah dirinya juga terluka, bukan hanya Iren yang manja itu yang terluka. Lagi pula Irenlah yang menyerangnya terlebih dahulu, ia hanya membela diri. Siapa yang tidak akan menangkis dan membalas serangan dari Iren jika saat itu ia dikeroyok.“Ada apa?” tanya Eza, seketika terlihat khawatir.“Tidak ada apa-apa. Aku masuk dulu, Za.” Yasmin menjawab singkat dan membalikkan tubuh, hendak pergi dari hadapan Eza. Akan tetapi, pria itu menahannya.“Katakan padaku jika ada hal buruk yang terjadi dan jangan sungkan, aku akan membantumu sebisaku,” ucap Eza, masih menyentuh lengan Yasmin.Yasmin tersenyum. “Terima kasih, tapi aku benar-benar tidak apa-apa.”“Oke, selamat isti
Yasmin memikirkan kembali perkataan Dokter Marcel ketika dokter itu telah pergi. Yasmin menyentuh bibirnya, terlihat sedang serius merencanakan sesuatu untuk pengobatan Aliandra. Ia kemudian bangkit berdiri dan berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, ia harus menghentikan langkah ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Untunglah orang yang ia tabrak menariknya tepat waktu, sehingga dirinya terhindar dari kecelakaan yang tidak perlu.“Aaaah!” rintih Yasmin, dengan kedua tangan memeluk pinggang si penolong.“Anda tidak apa-apa?”Yasmin menjauhkan tubuhnya dan mendongak untuk menatap pria tinggi yang sedang berdiri di hadapannya. “Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Yasmin. Ternyata yang ia tabrak adalah Eza Mahesa. Satu-satunya saudara yang dimiliki Aliandra.“Syukurlah kalau begitu, Kaka ipar. Maaf, aku tidak melihat Anda tadi, aku sedang terburu-buru.” Eza tersenyum manis ke arah Yas
Dokter Marcel memeriksa kondisi Aliandra dengan saksama, tidak ingin melewatkan hal penting yang dapat berakibat fatal. Setelah memastikan Aliandra dalam kondisi baik dan hanya mengalami lebam pada pelipis sebelah kirinya, Dokter Marcel pamit undur diri.“Dok, temui istri saya. Saya rasa dia juga terluka,” ucap Aliandra.Dokter Marcel mengangguk, lalu segera keluar dari kamar itu. Sepeninggalan Dokter Marcel, Aliandra mengalihkan pandangannya ke arah Waluyo berdiri.“Maafkan aku, Waluyo, soal Yasmin. Aku ... entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman dia mengetahui kelemahanku. Bagaimanapun dia itu istriku, dan saat traumaku muncul tepat di hadapannya, aku merasa sangat malu,” ucap Aliandra.“Tidak masalah, Tuan, wajar jika Anda merasa demikian—““Ck, sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan tuan lagi. Aku ini menantumu.”Aliandra memotong ucapan Waluyo.“Aah, maaf, Andra.&rd
“Argh!” Yasmin meringis saat kepalanya terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Sementara Aliandra terlihat ketakutan. Wajah pria itu pucat pasi dan tubuh berkeringat dingin.Yasmin menjadi panik dan segera menggeser tubuhnya untuk mendekati Aliandra. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Yasmin. Namun, Aliandra tidak menjawab sama sekali.Toni segera turun dari mobil dan menuju pintu belakang sedan mewah tersebut. “Tuan, astaga, maafkan aku, Tuan. Ayo kita ke rumah sakit.”Aliandra berontak saat Toni berusaha untuk membantunya keluar dari dalam mobil. Alih-alih menerima bantuan dari Toni, Aliandra justru mengamuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Yasmin menjadi bingung melihat semua itu. Perlahan ia menyentuh pundak Aliandra dan menepuknya dengan lembut. “Sayang, ayo kita keluar dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Ayo!”“Jangan, jangan ... sentuh kakiku, jangan, jangan!&rd
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege
Yasmin mengembuskan napas dengan kesal setelah Burhan keluar dari ruangan Rektor. Ia kesal sekali karena Irene yang sombong itu ternyata sangat berlebihan. Bisa-bisanya gadis itu membawa-bawa kakeknya dalam urusan mereka. Kekesalannya semakin bertambah saat mengetahui bahwa kakek Irene adalah salah satu pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan Aliandra. Kakek dan cucu sama menyebalkannya!Segera Yasmin keluar dari ruang Rektor dan berjalan menuju kelas, mencari Virni.“Virni!” teriak Yasmin, begitu ia melihat sahabatnya itu sedang sibuk memainkan ponsel di dalam kelas.“Apa?!” Virni balas berteriak, tanpa memandang wajah Yasmin. Gadis itu masih terlalu sibuk dengan ponselnya.Yasmin menghampiri Virni dan segera menarik ponsel gadis itu. “Aku memanggilmu. Ke mana perhatianmu?” ucap Yasmin.Virni terkekeh sambil menatap wajah kesal Yasmin. “Ada apa?” tanya Virni.“Ajari aku membuat ku
Yasmin melambai riang begitu melihat Aliandra dari kejauhan. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan setelah jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy. Belum lagi ditambah dengan kacamata yang ia kenakan, membuatnya terlihat semakin memesona.Yasmin mengecup pipi Aliandra begitu ia tiba di samping pria tampan yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Aliandra terkejut dengan sikap Yasmin, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Apalagi banyak mata yang sedang mengawasinya saat ini.“Selamat siang, semua,” ucap Yasmin, tersenyum ramah kepada semua orang yang sedang duduk bersama dengan suaminya.Mereka yang disapa, balas tersenyum dan menyapa Yasmin dengan ramah.“Istri Anda sangat cantik, Pak Andra. Anda sangat beruntung mendapatkan istri secantik dia,” ucap salah satu rekan bisnis Aliandra.Aliandra yang sejak tadi sibuk membaca dokumen seketika mendongak dan melempar senyum ramah kepada rekan bisnisnya itu.
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments