Yasmin segera bangkit berdiri begitu melihat siapa yang datang. Sementara Virni, ia hanya menatap Aliandra dengan mulut yang terbuka lebar dan kedua mata yang melotot seakan ingin keluar dari rogganya.
Waluyo berdeham sambil menatap Virni penuh arti. Tetapi percuma saja, yang ditatap malah tidak memperhatikan Waluyo sama sekali. Gadis berkacamata itu masih sibuk menatap Aliandra hingga Yasmin mencubit pipi Virni dengan gemas, membuat gadis itu kembali mendapatkan kesadarannya.
Aliandra tertawa melihat tingkah kedua gadis di hadapannya. “Tidak pernah lihat tongkat?” tanya Aliandra kepada Virni. Saat itu Aliandra memang sedang berdiri dengan menopangkan tubuh pada tongkat kesayangannya.
“Ah, bukan, bukan. Saya hanya tidak pernah melihat malaikat sebelumnya,” ujarnya dengan santai, yang lagi-lagi membuat Yasmin mengeluh dalam hati.
“Malaikat?” Aliandra berucap sambil tersenyum manis.
“Iya, benar. Malaikat tampan. Anda tampan sekali, oh, astaga!” Virni meremas ujung kaosnya dengan gemas.
Yasmin dan Waluyo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Virni.
“Silakan masuk, Tuan.” Yasmin mempersilakan Aliandra untuk masuk, sebelum akhirnya ia menghampiri sofa tua yang berada di tengah ruangan dan menepuk-nepuk Sofa itu dengan tangan kosong, bermaksud untuk menghilangkan debu yang menempel di sana.
“Terima kasih.” Aliandra tersenyum lalu mulai melangkah memasuki rumah sederhana itu. Waluyo membantu Aliandra berjalan menuju sofa yang telah dibersihkan oleh Yasmin hingga Aliandra duduk dengan nyaman di atas sofa sederhana itu
“Tuan?” Virni mengerjap bingung.
“Iya, Vir. Tuan ini adalah Tuan Aliandra.” Yasmin menjawab. Segera setelah Yasmin mengatakan hal itu, Virni menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti permintaan maaf dan ia pun berlari menuju ke kamar Yasmin untuk bersembunyi.
Yasmin memaklumi tindakan Virni, temannya itu pasti merasa takut sekali, karena telah berani berbuat kurang ajar kepada Aliandra. Dirinya pun melakukannya hal yang sama kemarin, saat dengan tidak sengaja ia berani berbuat tidak sopan kepada Aliandra.
“Mau minum apa, Tuan? Biar saya buatkan,” tanya Yasmin, tanpa memandang wajah Aliandra sama sekali. Ia masih merasa gugup.
“Memangnya ada apa saja di sini?” tanya Aliandra.
“Ada air putih, air putih dan air putih,” jawab Yasmin sambil terkekeh.
“Memangnya tidak ada teh atau kopi, Yas?” tanya Waluyo.
“Ada, Yah, tapi gulanya habis.”
Waluyo menepuk keningnya dengan keras. Ia merasa malu sekali, saat tuannya memutuskan untuk bertandang ke kediaman sederhananya, ia justru tidak memiliki apa-apa untuk disuguhkan. “Biar aku beli kalau begitu,” ucap Waluyo sambil bersiap pergi dari hadapan Yasmin dan Aliandra.
“Tidak perlu, Waluyo. Duduklah dan mari kita bicara,” titah Aliandra. “Kamu juga, Nona mata panda. Duduklah,” tambah Aliandra saat melihat Yasmin mengendap-endap hendak pergi dari ruangan itu. Mungkin ingin ikut bersembunyi bersama dengan temannya.
Yasmin untuk sesaat terlihat terkejut, tetapi ia segera mematuhi permintaan Aliandra. Gadis itu duduk dengan kaku di hadapan Aliandra, masih dengan wajah yang menunduk. Tidak sekali pun ia mendongak untuk menatap Waluyo atau Aliandra.
Keheningan meliputi mereka bertiga. Hanya terdengar deru napas yang memburu, tanda tengah terjadi kegugupan yang entah dari mana asalnya. Mungkin dari Aliandra yang memang sedang merasa gugup sekali. Ia merasa bingung dan bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana caranya melamar seorang gadis dengan benar. Belum lagi ditambah detak jantungnya yang mulai berdetak dengan cepat. Terasa aneh dan tidak normal.
Akan tetapi, bisa juga kegugupan itu berasal dari Waluyo yang memang tidak tahu harus bagaimana bersikap di depan Aliandra yang sebentar lagi pasti akan berstatus sebagai menantunya. Tentu saja ia sekarang merasa sangat gugup dan juga canggung. Atau bisa juga suara deru napas itu merupakan bentuk dari rasa gugup seorang Yasmin. Ya, Yasmin tentu saja merasa sangat gugup saat berhadapan kembali dengan Aliandra. Baru kemarin ia berciuman dengan pria itu dan memintanya untuk berbohong. Jadi tidak terlalu mengherankan jika suara deru napas itu paling mungkin berasal dari Yasmin. Membayangkan bagaimana lembutnya bibir Aliandra saat bertemu dengan bibirnya membuat Yasmin merasa jantungnya seakan hendak copot.
Aliandra kemudian berdeham untuk memecah keheningan yang terasa tidak nyaman. Seketika itu juga Yasmin dan Waluyo mengangkat wajah mereka dan memberikan perhatian kepada Aliandra.
“Ada yang ingin kukatakan kepadamu, Yas,” ucap Aliandra.
“Apa tentang kejadian kemarin?” tebak Yasmin dengan gugup. “Saya sungguh minta maaf, Tuan, kemarin saya telah bersikap kurang ajar kepada Anda. Saya mohon jangan pecat Ayah saya.”
Aliandra menatap Yasmin dengan kening berkerut. Rupanya gadis itu telah salah mengartikan kedatangannya. Aliandra menggunakan kesempatan itu untuk menjahili Yasmin. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan kepada siapa pun, tetapi kali ini ia ingin melakukannya.
Aliandra kemudian berdeham dan menatap Yasmin dengan wajah serius. “Dari mana kamu tahu jika kedatanganku ke rumah ini untuk membahas masalah kemarin dan untuk memecat Waluyo?”
Mendengar perkataan Aliandra, wajah Yasmin terlihat menegang. ‘Ah, sial. Padahal aku cuma menebak-nebak saja agar dia iba, tapi ternyata dia benar-benar ingin memecat ayah. Sabar, sabar. Ingin rasanya aku meninju wajah sok tampan itu. Seandainya saja aku tidak kasihan melihat keadaannya, pasti akan kuhajar dia!’ batin Yasmin.
“Apa yang sedang kamu pikirkan? Ingin menghajarku atau menciumku?” tanya Aliandra begitu melihat ekspresi di wajah Yasmin
Wajah Yasmin semakin tegang, begitu juga dengan Waluyo. Pria tua itu bingung karena Aliandra menggunakan kata sevulgar itu kepada putrinya yang masih kecil. Ya, kecil menurutnya, tetapi tidak demikian menurut Aliandra.
“Ci-cium? Tidak, saya ... saya ... kemarin itu tidak sengaja,” ucap Yasmin dengan terbata-bata. “Siapa suruh Anda banyak bergerak.”
“Bergerak? Apanya yang banyak bergerak? Dan ciuman apa maksud kalian, hah?” Tanya Waluyo dengan mata melotot. Memang Aliandra adalah majikannya, tetapi sekarang dirinya sedang berperan sebagai calon ayah mertua. Tentu saja ia harus bersikap galak, apalagi Aliandra dan Yasmin membahas masalah ciuman yang tidak ia ketahui dan tidak ia sangka juga.
“Sstt, Ayah. Santai, santai, dia majikan kita,” desis Yasmin. Ia terkejut karena ayahnya berani memelototkan mata seperti itu kepada Aliandra.
Mendengar perkataan Yasmin, Waluyo segera mengatur napas dan kembali bersikap biasa. Walaupun terasa sulit, tetapi ia tetap berusaha.
Aliandra tertawa melihat apa yang Waluyo lakukan. Pria tua itu berusaha menahan amarahnya. “Marahlah jika ingin marah, Waluyo. Toh mulai hari ini kamu bukan asistenku lagi—“
“Plis, jangan pecat Ayahku,” ucap Yasmin memohon.
“Sayang sekali aku harus memecatnya. Semua karena kamu.” Aliandra menatap Yasmin yang terlihat sedih. Karena merasa tidak tega mempermainkan gadis itu lebih lama lagi lantas ia melanjutkan, “Karena Waluyo akan segera menjadi mertuaku.”
Yasmin terlihat bingung. Ia merasa jika pendengarannya pasti bermasalah. Maka ia menepuk-nepuk kedua telinganya lalu berkata kepada Aliandra, “Coba ulangi!”
Aliandra tertawa, tawa renyah yang membuat Yasmin terpesona. “Dia akan menjadi mertuaku. Menikahlah denganku, Yasmin. Sekarang ini aku sedang melamarmu.”
“Hah, menikah!” Virni yang sejak tadi menguping di balik tirai tiba-tiba muncul. Sementara Yasmin, gadis itu terlihat tidak sadarkan diri.
“Dia pingsan!” teriak Virni lagi.
***
Irene merintih kesakitan saat dokter memeriksa pergelangan kakinya. Sebenarnya kaki itu hanya terkilir dan sudah ditangani dengan baik oleh dokter sejak kemarin. Hanya saja bukan Irene namanya jika tidak melebih-lebihkan sesuatu.
Sejak dokter mengatakan bahwa kakinya tidak apa-apa, sejak saat itu juga Irene telah mengganti sedikitnya lima dokter. Barangkali ada salah satu dari dokter yang memeriksa dirinya mengatakan bahwa kakinya patah. Namun, semua sama saja. Mereka semua mengatakan bahwa tendangan rivalnya tidak begitu fatal untuk membuat kakinya patah.
“Kamu hanya perlu beristirahat dan mengoleskan krim yang telah kuberikan. Dengan begitu keadaanmu akan segera membaik, Irene,” ujar dokter pribadi Irene.
Iren berdecak kesal lalu meminta dokter wanita itu untuk pergi. Ia merasa kesal sekali karena tidak dapat memperpanjang masalahnya dengan Yasmin. Ya, kecuali ia mengadu pada kakeknya. Kakeknya tidak pernah membiarkan dirinya terluka sedikit pun. Dengan begitu maka Yasmin yang dibencinya akan mendapat balasan yang setimpal. Berani sekali gadis miskin itu menendang kakinya.
“Tunggu pembalasanku. Jika aku mengadukan pada kakek, maka tamatlah riwayatmu Yasmin miskin!” gumamnya.
Bersambung ....
Waluyo dan Virni berusaha untuk menyadarkan Yasmin. Mereka semua kebingungan karena gadis itu tiba-tiba saja jatuh pingsan saat Aliandra mengutarakan niat untuk melamarnya.Waluyo berpikir, Yasmin pastilah terkejut. Siapa yang tidak terkejut jika tiba-tiba saja mendapat lamaran mendadak dari seseorang yang belum dikenal sama sekali. Bertemu saja baru satu kali dan pertemuan singkat itu tidak dapat dikatakan sebagai pertemuan yang baik pula.Namun, tidak demikian yang Aliandra pikirkan. Pria tampan itu menatap kedua kakinya dengan sedih. Saat yang lain sedang berusaha untuk membuat Yasmin sadar, ia justru memikirkan hal lain. ‘Pasti karena kakiku,’ batinya. Tiba-tiba saja perasaan tak nyaman menjalar ke dalam hatinya. Ia merasa telah melakukan kesalahan dengan melamar anak Waluyo. Gadis itu adalah gadis yang cantik dan periang. Ia bisa dapatkan pria mana pun yang ia mau dengan Kecantikannya. Jika bisa mendapatkan pria yang lebih baik, untuk apa juga harus me
Wajah Burhan Lubis terlihat merah padam. Tentu saja karena ia merasa marah sekali. Ya, saat ini pria tua itu sedang benar-benar marah. Bagaimana tidak jika ia melihat kondisi cucu tersayangnya sangatlah memprihatinkan. Terlihat bekas cakaran yang mulai mengering di pipi dan dagu Irene, belum lagi ia melihat cucunya itu berjalan dengan terpincang-pincang menghampirinya.“Siapa yang melakukannya, Irene?” tanya Burhan Lubis. Nada suaranya sangat menakutkan. Seperti telah siap untuk memakan seseorang.Irene memasang wajah memelas dan sesekali meringis kesakitan. “Salah satu teman di kampusku, Kek. Dia kasar sekali. Lihatlah, Kek, dia bahkan tidak segan melukai wajahku.”“Teman kampus! Bagaimana bisa universitas terkemuka seperti itu menerima mahasiswi yang berkelakuan seperti preman? Bisa-bisanya dia melukaimu seperti ini, Irene.”Irene memeluk Burhan, lalu mulai terisak. Tentu saja isakan palsu yang terlihat meyakinkan. Ir
Aliandra menaikkan sebelah alisnya, masih menatap lurus ke arah Yasmin. "Setidaknya turunlah dulu dari pangkuanku. Sampai kapan kamu mau terus aku pangku begini?"Mendengar ucapan Aliandra, Yasmin segera bangkit dan berkali-kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf kepada pria tampan itu."Maafkan aku, aku sungguh tidak bermaksud untuk duduk di atas sana," ujar Yasmin, sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal."Iya juga tidak apa-apa," ucap Aliandra tanpa ekspresi. “Katakan ada keperluan apa sehingga kamu menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumahku?”“Sudah aku bilang ‘kan tadi, kalau aku ingin makan cokelat dengan Anda,” jawab Yasmin.“Oh, ya, dalam rangka apa? Apa dalam rangka karena kamu telah berhasil menolak lamaran dariku kemarin. Sehingga kamu merasa kasihan padaku lalu berusaha menghiburku dengan sebatang cokelat! Maaf saja, Yasmin, aku ini bukan anak kecil. Rasa kesal dan sakitku t
Yasmin duduk dengan gelisah sambil menggerakkan kakinya di dalam sebuah kamar besar dan sederhana. Tidak ada interior yang istimewa di kamar itu. Hanya terdapat rak buku yang terletak di sudut ruangan dan juga meja kerja yang berukuran besar di tengah ruangan, tepat di hadapan sebuah ranjang berukuran King Size yang sekarang sedang ia duduki. Dadanya berdetak dengan kencang menanti kedatangan si pemilik kamar yang beberapa waktu lalu ia ketahui masih berada di kantor.Yasmin meraih ponsel dari dalam tasnya lalu kembali membaca pesan yang pagi tadi Aliandra kirimkan padanya.‘Mau ke kampus? Mampirlah ke rumah. Ada yang ingin kubicarakan, tapi sekarang aku masih di kantor. Tunggu aku sebentar saja dan jangan lupa berhati-hatilah di jalan, Yas.’Begitulah isi pesan yang membuat dada Yasmin seketika menghangat. Ia memang sudah lama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang pria. Maklum saja karena dirinya memang selalu bersikap dingin kepada
Yasmin membelalak, menatap dengan takjub pada apa yang ada di depannya. Rasa takjubnya itu bahkan membuatnya lupa pada rasa yang lain, seperti rasa bingung dan penasaran.Seharusnya ia bertanya pada Aliandra atau pada ayahnya tentang semua yang sekarang sedang ia lihat—ruangan dengan dekorasi berwarna putih, beberapa tamu yang berpakaian rapi, meja kecil di tengah ruangan dan ratusan atau bahkan ribuan kelopak mawar putih yang tergeletak anggun di atas karpet merah yang akan ia lewati.“Ayo, Yas. Pak penghulu sudah menunggu.” Waluyo menepuk pundak Yasmin, membuat Yasmin tersadar dari lamunan.Tanpa banyak bertanya, Yasmin mengekor langkah Waluyo menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Meja berkaki pendek itu dilapisi dengan taplak berwarna putih juga, di hadapannya duduk seorang pria berjas hitam yang terlihat sangat tampan. Pria itu adalah Aliandra.“Rilekslah. Setelah akad, kita akan langsung menuju hotel,” bisik Alian
Burhan Lubis menatap Aliandra dan istrinya dengan tatapan tidak suka. Pria berambut putih itu bahkan tidak segan untuk menunjukkan kemarahannya di hadapan tamu undangan yang hadir. Apalagi saat ia melihat Aliandra dan juga istri barunya berciuman dengan mesra di hadapan semua orang.Awalnya Burhan berpikir bahwa Aliandra pasti hanya memainkan siasat agar kedudukannya di perusahaan tidak terancam dan pernikahan yang sedang berlangsung pastilah pernikahan pura-pura. Jika memang benar begitu, maka mudah baginya untuk membuat para pemegang saham lainnya berpikir bahwa pernikahan Aliandra hannyalah sebuah sandiwara. Namun, kemudian Aliandra berciuman di depan para tamu undangan. Seolah menegaskan bahwa tidak ada sandiwara di antara dirinya dan juga wanita yang sekarang berstatus sebagai Nyonya Mahesa. Dengan mempertontonkan adegan romantis seperti itu, maka sulit bagi Burhan untuk meracuni pikiran rekan bisnis lainnya.“Bagaimana ini? Kita tidak bisa menyingkirkannya,
Keesokan harinya, Yasmin terbangun dengan keadaan yang masih sangat mengantuk. Bagaimana tidak mengantuk jika dirinya tidak dapat tidur semalaman.Yasmin tidak bisa tertidur dengan nyenyak jika ia terus merasa gugup. Jika ditanya kenapa dirinya merasa gugup? Maka jawabannya sudah pasti karena Aliandra!Pria tampan itu tidur di sebelahnya tanpa mengenakan pakaian. “Panas,” kata Aliandra saat Yasmin menanyakan alasannya membuka pakaian dan hanya mengenakan kolor berwarna hitam.Panas! Ya, tentu saja panas. Yasmin merasa sangat kepanasan saat melihat punggung Aliandra membelakanginya, membuat dirinya berpikiran gila untuk menanggalkan pakaiannya sendiri lalu memeluk tubuh kekar itu dari belakang. Kulit bertemu kulit pasti akan nyaman sekali.Semalam Yasmin sungguh merasa penasaran bagaimana bisa Aliandra tertidur pulas. Tidakkah pria itu merasa gelisah seperti dirinya? Tidakkah jantung Aliandra merasa ingin terlepas dari tempatnya.Sekaran
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend
Sinar matahari masuk melalui jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Cahayanya yang terasa hangat langsung terjatuh di wajah cantik Yasmin, membuat gadis itu menggeliat dan membuka matanya dengan perlahan.Aliandra yang bersiap hendak pergi ke kantor melempar tatapannya sejenak ke arah gadis berambut panjang itu sebelum akhirnya ia kembali fokus mengikat dasi di kemejanya.“Selamat pagi,” sapa Yasmin, sambil mengucek mata. Setelah kantuk pada kedua matanya benar-benar hilang, segera ia bangkit dan berlari menghampiri Aliandra. “Biar aku bantu,” ujarnya, sambil meletakkan kedua tangan pada dasi yang Aliandra coba kenakan.Aliandra menepis tangan Yasmin. “Terima kasih, tapi aku sudah terbiasa sendiri.”“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada aku di sini. Biar aku bantu.” Yasmin tidak mau kalah, ia masih berusaha melakukan pendekatan dengan suaminya yang tiba-tiba saja berubah.Aliandra mendengkus kes
Wajah Yasmin menegang begitu membaca pesan yang Virni kirimkan padanya. Ia sungguh merasa kesal pada sikap Iren dan juga Kakeknya yang angkuh itu. Bagaimana mungkin masalah yang sepele seperti itu mereka bawa hingga ke jalur hukum. Bukankah dirinya juga terluka, bukan hanya Iren yang manja itu yang terluka. Lagi pula Irenlah yang menyerangnya terlebih dahulu, ia hanya membela diri. Siapa yang tidak akan menangkis dan membalas serangan dari Iren jika saat itu ia dikeroyok.“Ada apa?” tanya Eza, seketika terlihat khawatir.“Tidak ada apa-apa. Aku masuk dulu, Za.” Yasmin menjawab singkat dan membalikkan tubuh, hendak pergi dari hadapan Eza. Akan tetapi, pria itu menahannya.“Katakan padaku jika ada hal buruk yang terjadi dan jangan sungkan, aku akan membantumu sebisaku,” ucap Eza, masih menyentuh lengan Yasmin.Yasmin tersenyum. “Terima kasih, tapi aku benar-benar tidak apa-apa.”“Oke, selamat isti
Yasmin memikirkan kembali perkataan Dokter Marcel ketika dokter itu telah pergi. Yasmin menyentuh bibirnya, terlihat sedang serius merencanakan sesuatu untuk pengobatan Aliandra. Ia kemudian bangkit berdiri dan berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, ia harus menghentikan langkah ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Untunglah orang yang ia tabrak menariknya tepat waktu, sehingga dirinya terhindar dari kecelakaan yang tidak perlu.“Aaaah!” rintih Yasmin, dengan kedua tangan memeluk pinggang si penolong.“Anda tidak apa-apa?”Yasmin menjauhkan tubuhnya dan mendongak untuk menatap pria tinggi yang sedang berdiri di hadapannya. “Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Yasmin. Ternyata yang ia tabrak adalah Eza Mahesa. Satu-satunya saudara yang dimiliki Aliandra.“Syukurlah kalau begitu, Kaka ipar. Maaf, aku tidak melihat Anda tadi, aku sedang terburu-buru.” Eza tersenyum manis ke arah Yas
Dokter Marcel memeriksa kondisi Aliandra dengan saksama, tidak ingin melewatkan hal penting yang dapat berakibat fatal. Setelah memastikan Aliandra dalam kondisi baik dan hanya mengalami lebam pada pelipis sebelah kirinya, Dokter Marcel pamit undur diri.“Dok, temui istri saya. Saya rasa dia juga terluka,” ucap Aliandra.Dokter Marcel mengangguk, lalu segera keluar dari kamar itu. Sepeninggalan Dokter Marcel, Aliandra mengalihkan pandangannya ke arah Waluyo berdiri.“Maafkan aku, Waluyo, soal Yasmin. Aku ... entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman dia mengetahui kelemahanku. Bagaimanapun dia itu istriku, dan saat traumaku muncul tepat di hadapannya, aku merasa sangat malu,” ucap Aliandra.“Tidak masalah, Tuan, wajar jika Anda merasa demikian—““Ck, sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan tuan lagi. Aku ini menantumu.”Aliandra memotong ucapan Waluyo.“Aah, maaf, Andra.&rd
“Argh!” Yasmin meringis saat kepalanya terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Sementara Aliandra terlihat ketakutan. Wajah pria itu pucat pasi dan tubuh berkeringat dingin.Yasmin menjadi panik dan segera menggeser tubuhnya untuk mendekati Aliandra. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Yasmin. Namun, Aliandra tidak menjawab sama sekali.Toni segera turun dari mobil dan menuju pintu belakang sedan mewah tersebut. “Tuan, astaga, maafkan aku, Tuan. Ayo kita ke rumah sakit.”Aliandra berontak saat Toni berusaha untuk membantunya keluar dari dalam mobil. Alih-alih menerima bantuan dari Toni, Aliandra justru mengamuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Yasmin menjadi bingung melihat semua itu. Perlahan ia menyentuh pundak Aliandra dan menepuknya dengan lembut. “Sayang, ayo kita keluar dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Ayo!”“Jangan, jangan ... sentuh kakiku, jangan, jangan!&rd
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege
Yasmin mengembuskan napas dengan kesal setelah Burhan keluar dari ruangan Rektor. Ia kesal sekali karena Irene yang sombong itu ternyata sangat berlebihan. Bisa-bisanya gadis itu membawa-bawa kakeknya dalam urusan mereka. Kekesalannya semakin bertambah saat mengetahui bahwa kakek Irene adalah salah satu pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan Aliandra. Kakek dan cucu sama menyebalkannya!Segera Yasmin keluar dari ruang Rektor dan berjalan menuju kelas, mencari Virni.“Virni!” teriak Yasmin, begitu ia melihat sahabatnya itu sedang sibuk memainkan ponsel di dalam kelas.“Apa?!” Virni balas berteriak, tanpa memandang wajah Yasmin. Gadis itu masih terlalu sibuk dengan ponselnya.Yasmin menghampiri Virni dan segera menarik ponsel gadis itu. “Aku memanggilmu. Ke mana perhatianmu?” ucap Yasmin.Virni terkekeh sambil menatap wajah kesal Yasmin. “Ada apa?” tanya Virni.“Ajari aku membuat ku
Yasmin melambai riang begitu melihat Aliandra dari kejauhan. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan setelah jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy. Belum lagi ditambah dengan kacamata yang ia kenakan, membuatnya terlihat semakin memesona.Yasmin mengecup pipi Aliandra begitu ia tiba di samping pria tampan yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Aliandra terkejut dengan sikap Yasmin, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Apalagi banyak mata yang sedang mengawasinya saat ini.“Selamat siang, semua,” ucap Yasmin, tersenyum ramah kepada semua orang yang sedang duduk bersama dengan suaminya.Mereka yang disapa, balas tersenyum dan menyapa Yasmin dengan ramah.“Istri Anda sangat cantik, Pak Andra. Anda sangat beruntung mendapatkan istri secantik dia,” ucap salah satu rekan bisnis Aliandra.Aliandra yang sejak tadi sibuk membaca dokumen seketika mendongak dan melempar senyum ramah kepada rekan bisnisnya itu.
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend