Waluyo terkejut akan apa yang baru saja didengarnya. Pria tua itu bahkan harus mencubit dirinya sendiri berkali-kali untuk meyakinkan apakah dirinya bermimpi atau tidak.
Namun, setelah berkali-kali mencubit lengannya sendiri hingga terasa sakit akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak bermimpi. Apa yang baru saja ia dengar dari Aliandra benar adanya. Tentu saja dirinya sangat terkejut. Bagaimana bisa Aliandra melamar Yasminnya?
Selama dua tahun menjadi pelayanan pria muda itu, ia tahu bahwa Aliandra tidak tertarik dengan sebuah ikatan pernikahan. Pria tampan itu memutuskan untuk melajang seumur hidupnya.
‘Apa ini karena wasiat itu? Wasiat yang mengharuskan Aliandra menikah. Jika memang iya, lalu kenapa harus Yasminnya. Bukankah masih banyak gadis cantik di luaran sana?’ batin Waluyo.
“Apa kamu tidak ingin memberikan Yasminmu, kepadaku karena keadaanku, Waluyo?” tanya Aliandra.
Pertanyaan Aliandra itu membuat Waluyo tersadar dari lamunannya. “Bukan begitu, Tuan. Hanya saja Yasmin saya tidaklah setara untuk Anda, Tuan.”
“Tidak setara. Apa karena dia normal sedangkan aku cacat?” Aliandra meletakkan telapak tangannya di dagu dan membiarkannya di sana. Sementara sorot matanya menatap tajam pada Waluyo yang sekarang telah berdiri di hadapannya.
“Bu-bukan begitu, Tuan. Sungguh bukan itu maksud saya, tapi ....” Waluyo menggantungkan ucapannya.
“Tapi apa?” tanya Aliandra.
“Anda seorang Tuan muda. Anda kaya raya, Tuan. Sementara Yasmin, dia hannyalah putri dari seorang pelayanan yang melayani Anda. Tentu saja pernikahan ini akan ditentang oleh keluarga besar Anda. Harga diri Anda akan jatuh karena hal ini.” Waluyo menjelaskan. “Mungkin Anda ingin segera menikah karena desakkan dari surat wasiat itu. Aku akan mencarikan Anda pengantin yang setara dengan Anda, Tuan. Pengantin yang akan mengangkat derajat Anda dan—“
“Aku hanya ingin Yasmin, Waluyo. Mungkin bagimu aku terlihat ingin memanfaatkan putrimu saja. Benar, ‘kan?” Aliandra tersenyum. “Tidak seperti itu, sungguh. Ya, aku akui aku akan melakukan pernikahan demi menyelamatkan perusahaan dan tentu saja menyelamatkan Eza. Jika aku tidak segera menikah, maka Eza-lah yang harus menggantikanku. Namun, jika Eza tidak mau menggantikanku maka Eza harus mengungkapkan jati dirinya. Jika ia melakukan hal itu maka akan sangat berbahaya bagi hidupnya. Aku yakin hidupnya pasti akan dipersulit oleh keluarga besar kami. Itulah sebabnya aku ingin segera menikah. Akan tetapi kamu juga harus tahu, Waluyo, bahwa aku bukan tipe yang sembarangan menjatuhkan pilihan. Aku memang cacat, tetapi aku yakin banyak wanita yang tidak keberatan akan kekuranganku ini. Aku bisa memilih salah satu dari yang terbaik, tetapi tidak aku lakukan karena ... um, karena aku tertarik pada putrimu.”
“Tertarik?” Waluyo kembali terkejut.
“Ya, tertarik. Aku memang belum mencintainya, tapi entah mengapa aku merasa bahwa kelak aku akan mencintainya.” Aliandra tersenyum kepada Waluyo. Sementara Waluyo merasakan jantungnya berdetak tidak karuan.
“Tidak ada yang istimewa pada Yasmin saya, Tuan. Dia sungguh tidak pantas untuk Anda, bagaimana bisa Anda menjatuhkan pilihan pada dirinya. Apalagi Yasmin masih kuliah, dia akan diwisuda enam bulan lagi. Itu juga jika dia berhasil lulus dari ujian dan lain-lain. Jika tidak, maka ia akan mengulang satu semester lagi, Tuan.” Waluyo masih berusaha meyakinkan Aliandra bahwa putrinya tidak pantas untuk menjadi pengantin seorang CEO seperti Aliandra. Mungkin Aliandra memang tertarik dan menyukainya Yasmin, tapi bagaimana dengan keluarga besar Aliandra. Ia takut Yasmin akan mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga kaya itu.
Aliandra mengembuskan napas dengan berat melihat kekhawatiran dan keraguan di wajah Waluyo. Sepertinya pelayannya itu tidak percaya dengan perkataannya bahwa dirinya tertarik dengan Yasmin. “Katakan saja kalau kamu memang tidak mengizinkanku untuk menjadikan Yasminmu sebagai Yasminku juga. Ya sudah, aku tidak bisa memaksa.” Aliandra tersenyum kecut.
“Bukan, Tuan. Sungguh saya merasa terhormat sekali karena Anda meminta Yasmin saya untuk menjadi istri Anda. Saya hanya sedikit terkejut,” ucap Waluyo dengan gugup. “Apakah saya harus meminta Yasmin datang kemari?”
Aliandra tersenyum mendengar ucapan Waluyo. Belakangan ini ia memang sering sekali tersenyum, terutama setelah pertemuannya dengan gadis bermata panda itu. “Bolehkah jika aku yang datang ke rumahmu? Bukankah aku yang melamar, tidak lucu jika calon pengantinku yang datang kemari,” pinta Aliandra.
Waluyo meneguk saliva begitu mendengar permintaan Aliandra. “Rumah saya terlalu kecil dan tidak pantas untuk Anda datangi, Tuan, bagaimana kalau—“
Aliandra tertawa mendengar ucapan Waluyo. “Kamu ini kenapa, Waluyo. Aku bukan seorang dewa. Kenapa semuanya tidak ada yang pantas untukku? Jika aku menganggap Yasminmu pantas untukku, maka segala yang ada pada dirimu dan juga Yasminmu akan menjadi pantas juga buatku. Bersikap santailah, Waluyo. Kamu itu calon mertuaku.” Aliandra mengakhiri ucapannya sambil meninju pelan dada Waluyo. Ia ingin pria tua itu bersikap biasa kepadanya. Toh sebentar lagi hubungan mereka akan berubah. Bukan sebagai majikan dan pelayanan, tetapi menantu dan mertua. Memikirkannya saja membuat dada Aliandra berdebar. Yasmin sungguh mempengaruhi pikirannya hingga ke titik darurat. Wajah gadis itu selalu melintas di dalam kepalanya. Aneh!
***
Yasmin sedang duduk di ruang tamu sambil menatap layar laptopnya dengan kesal. Ia frustrasi sekali karena makalah yang seharusnya sudah selesai sejak kemarin belum juga dapat diselesaikannya. Padahal ia telah mendapatkan waktu tambahan selama satu minggu untuk menyelesaikan makalah itu. Namun, entah mengapa otaknya seperti buntu sekali. Tidak ada satu tugas kuliah pun yang dapat diselesaikannya dengan baik. Mungkin karena beberapa hari ini ia terus-terusan berperang dengan Irene dan komplotannya sehingga ia tidak dapat berkonsentrasi untuk belajar. Ya, pasti karena hal itu.
“Yasmiiin!”
Suara teriakan seseorang mengejutkannya. Yasmin segera membalikkan tubuhnya menghadap ke pintu masuk dan menatap sosok manis yang sekarang tengah berdiri di hadapannya.
“Ngagetin,” gerutu Yasmin.
Virni terkekeh lalu segera duduk di samping Yasmin. “Sedang apa?” tanya gadis manis berkacamata itu.
“Sedang kencan.” Yasmin menjawab dengan malas.
Virni tertawa mendengar jawaban Yasmin. Gadis itu lalu memperhatikan wajah Yasmin dengan saksama. Sorot matanya terfokus pada lebam di sekitar mata Yasmin dan perban di kening sahabatnya itu. “Benar-benar jagoan. Untuk apa kamu berkelahi dengan Irene kemarin? Kudengar kakinya cidera.”
“Beruntung hanya cidera. Padahal aku berniat untuk mematahkannya.”
Virni berdecak mendengar jawaban Yasmin. “Dia itu anak orang kaya, Yas. Kamu jangan macam-macam. Bagaimanapun juga kamu harus ingat bahwa di dunia ini semua hal adalah masalah, kecuali kamu memiliki banyak uang, maka kamu tidak akan memiliki masalah.”
“Terus kenapa kalau dia anak orang kaya? Bagiku semua sama saja. Jika aku ingin menghajarnya makan akan kuhajar—“
“Kamu ini benar-benar keras kepala. Lagi pula untuk apa sih kamu membela tuan muda itu mati-matian. Biar saja kalau Irene mengejeknya. Toh kamu juga tidak pernah bertemu dengannya. Terlebih lagi tuan muda itu tidak ada untuk mendengarkan ejekan dari Irene. Dia pasti akan baik-baik saja dan tidak akan sakit hati. Hanya karena membela si tuan itu kamu malah jadi banyak belur begini,” omel Virni. Ia tahu betul bagaimana pergelutan yang terjadi antara Irena dan Yasmin di depan perpustakaan.
Saat itu Yasmin baru saja keluar dari perpustakaan untuk menyusul Virni, tetapi di depan pintu perpustakaan Irene dan teman-temannya telah menanti Yasmin untuk kembali menjahilinya.
Irene menarik rambut Yasmin dan mengata-ngatai Ayah Yasmin dan juga majikannya dengan perkataan yang menyakiti hati Yasmin.
Mendengar ayahnya dan si tuan muda terus dihina oleh Irene membuat Yasmin naik pitam. Ia kemudian balas menarik rambut Irene dengan kuat. Akan tetapi Yasmin kalah jumlah. Segera saja gadis-gadis menyebalkan yang selalu mengekor Irene menyerang Yasmin dengan ganas. Virni tiba untuk menyelamatkan Yasmin, tetapi tetap saja Virni tidak bisa banyak membantu.
Namun, bukan Yasmin namanya jika tidak bisa membalikkan keadaan. Dengan lincah ia melepaskan diri dari segerombolan gadis-gadis menyebalkan itu lalu menyerang Irene. Yasmin menendang kaki Irene sekuat yang ia bisa. Ia ingin Irene tahu bagaimana rasanya tidak bisa berjalan sehingga gadis sombong itu tidak lagi menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan lelucon.
“Aku merasa Irene sudah benar-benar keterlaluan, Vir. Ini bukan masalah aku pernah bertemu dengan tuan muda itu atau belum. Hanya saja menurutku sangat tidak adil jika keadaannya yang kurang beruntung itu menjadi bahan lelucon untuk Irene hanya karena Irene tidak menyukaiku. Jika dia tidak menyukaiku maka ejek saja aku, untuk apa dia terus-terusan memperolok ayahku dan tuan muda itu. Irene itu jahat sekali.”
Yasmin dan Virni kemudian asyik bercerita. Bercerita tentang perkelahian seru yang terjadi antara Yasmin dan Irene, juga tentang tuan muda yang akan dibela Yasmin sampai kapan pun. Kedua gadis itu terlalu larut dalam obrolan mereka, sehingga tidak ada yang memperhatikan bahwa sejak tadi ada yang berdiri di ambang pintu dan ikut mendengarkan semua perkataan mereka.
Ia adalah Aliandra dan Waluyo. Aliandra sangat terharu begitu mendengar perkataan Yasmin tentang dirinya. Begitu juga saat ia mendengar alasan Yasmin berkelahi. Ternyata gadis itu berkelahi karena dirinya. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Aliandra tentunya. Selama ini tidak ada yang membelanya. Bukan karena ia tidak membutuhkannya, ia bisa membela dan menjaga dirinya sendiri. Akan tetapi memang tidak ada seseorang yang siap berdiri di depannya dan membelanya ketika terjadi sesuatu. Kecuali Waluyo dan sekarang Yasmin.
“Kurasa kamu harus menikah dengan si tuan itu, Yas, supaya apa yang kamu lakukan untuknya tidak ada yang sia-sia,”ujar Virni sambil tertawa.
Yasmin tertawa mendengar ucapan Virni. “Baiklah, akan kulakukan. Aku akan menikah dengannya besok!”
“Benarkah. Kalau begitu ayo segera kita menikah!”
Yasmin dan Virni secara bersamaan menoleh ke belakang, di mana terdengar suara yang mengejutkan mereka. Seketika itu juga mata keduannya membelalak, terkejut!
“Tu—Tuan!”
Bersambung ....
Yasmin segera bangkit berdiri begitu melihat siapa yang datang. Sementara Virni, ia hanya menatap Aliandra dengan mulut yang terbuka lebar dan kedua mata yang melotot seakan ingin keluar dari rogganya.Waluyo berdeham sambil menatap Virni penuh arti. Tetapi percuma saja, yang ditatap malah tidak memperhatikan Waluyo sama sekali. Gadis berkacamata itu masih sibuk menatap Aliandra hingga Yasmin mencubit pipi Virni dengan gemas, membuat gadis itu kembali mendapatkan kesadarannya.Aliandra tertawa melihat tingkah kedua gadis di hadapannya. “Tidak pernah lihat tongkat?” tanya Aliandra kepada Virni. Saat itu Aliandra memang sedang berdiri dengan menopangkan tubuh pada tongkat kesayangannya.“Ah, bukan, bukan. Saya hanya tidak pernah melihat malaikat sebelumnya,” ujarnya dengan santai, yang lagi-lagi membuat Yasmin mengeluh dalam hati.“Malaikat?” Aliandra berucap sambil tersenyum manis.“Iya, benar. M
Waluyo dan Virni berusaha untuk menyadarkan Yasmin. Mereka semua kebingungan karena gadis itu tiba-tiba saja jatuh pingsan saat Aliandra mengutarakan niat untuk melamarnya.Waluyo berpikir, Yasmin pastilah terkejut. Siapa yang tidak terkejut jika tiba-tiba saja mendapat lamaran mendadak dari seseorang yang belum dikenal sama sekali. Bertemu saja baru satu kali dan pertemuan singkat itu tidak dapat dikatakan sebagai pertemuan yang baik pula.Namun, tidak demikian yang Aliandra pikirkan. Pria tampan itu menatap kedua kakinya dengan sedih. Saat yang lain sedang berusaha untuk membuat Yasmin sadar, ia justru memikirkan hal lain. ‘Pasti karena kakiku,’ batinya. Tiba-tiba saja perasaan tak nyaman menjalar ke dalam hatinya. Ia merasa telah melakukan kesalahan dengan melamar anak Waluyo. Gadis itu adalah gadis yang cantik dan periang. Ia bisa dapatkan pria mana pun yang ia mau dengan Kecantikannya. Jika bisa mendapatkan pria yang lebih baik, untuk apa juga harus me
Wajah Burhan Lubis terlihat merah padam. Tentu saja karena ia merasa marah sekali. Ya, saat ini pria tua itu sedang benar-benar marah. Bagaimana tidak jika ia melihat kondisi cucu tersayangnya sangatlah memprihatinkan. Terlihat bekas cakaran yang mulai mengering di pipi dan dagu Irene, belum lagi ia melihat cucunya itu berjalan dengan terpincang-pincang menghampirinya.“Siapa yang melakukannya, Irene?” tanya Burhan Lubis. Nada suaranya sangat menakutkan. Seperti telah siap untuk memakan seseorang.Irene memasang wajah memelas dan sesekali meringis kesakitan. “Salah satu teman di kampusku, Kek. Dia kasar sekali. Lihatlah, Kek, dia bahkan tidak segan melukai wajahku.”“Teman kampus! Bagaimana bisa universitas terkemuka seperti itu menerima mahasiswi yang berkelakuan seperti preman? Bisa-bisanya dia melukaimu seperti ini, Irene.”Irene memeluk Burhan, lalu mulai terisak. Tentu saja isakan palsu yang terlihat meyakinkan. Ir
Aliandra menaikkan sebelah alisnya, masih menatap lurus ke arah Yasmin. "Setidaknya turunlah dulu dari pangkuanku. Sampai kapan kamu mau terus aku pangku begini?"Mendengar ucapan Aliandra, Yasmin segera bangkit dan berkali-kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf kepada pria tampan itu."Maafkan aku, aku sungguh tidak bermaksud untuk duduk di atas sana," ujar Yasmin, sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal."Iya juga tidak apa-apa," ucap Aliandra tanpa ekspresi. “Katakan ada keperluan apa sehingga kamu menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumahku?”“Sudah aku bilang ‘kan tadi, kalau aku ingin makan cokelat dengan Anda,” jawab Yasmin.“Oh, ya, dalam rangka apa? Apa dalam rangka karena kamu telah berhasil menolak lamaran dariku kemarin. Sehingga kamu merasa kasihan padaku lalu berusaha menghiburku dengan sebatang cokelat! Maaf saja, Yasmin, aku ini bukan anak kecil. Rasa kesal dan sakitku t
Yasmin duduk dengan gelisah sambil menggerakkan kakinya di dalam sebuah kamar besar dan sederhana. Tidak ada interior yang istimewa di kamar itu. Hanya terdapat rak buku yang terletak di sudut ruangan dan juga meja kerja yang berukuran besar di tengah ruangan, tepat di hadapan sebuah ranjang berukuran King Size yang sekarang sedang ia duduki. Dadanya berdetak dengan kencang menanti kedatangan si pemilik kamar yang beberapa waktu lalu ia ketahui masih berada di kantor.Yasmin meraih ponsel dari dalam tasnya lalu kembali membaca pesan yang pagi tadi Aliandra kirimkan padanya.‘Mau ke kampus? Mampirlah ke rumah. Ada yang ingin kubicarakan, tapi sekarang aku masih di kantor. Tunggu aku sebentar saja dan jangan lupa berhati-hatilah di jalan, Yas.’Begitulah isi pesan yang membuat dada Yasmin seketika menghangat. Ia memang sudah lama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang pria. Maklum saja karena dirinya memang selalu bersikap dingin kepada
Yasmin membelalak, menatap dengan takjub pada apa yang ada di depannya. Rasa takjubnya itu bahkan membuatnya lupa pada rasa yang lain, seperti rasa bingung dan penasaran.Seharusnya ia bertanya pada Aliandra atau pada ayahnya tentang semua yang sekarang sedang ia lihat—ruangan dengan dekorasi berwarna putih, beberapa tamu yang berpakaian rapi, meja kecil di tengah ruangan dan ratusan atau bahkan ribuan kelopak mawar putih yang tergeletak anggun di atas karpet merah yang akan ia lewati.“Ayo, Yas. Pak penghulu sudah menunggu.” Waluyo menepuk pundak Yasmin, membuat Yasmin tersadar dari lamunan.Tanpa banyak bertanya, Yasmin mengekor langkah Waluyo menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Meja berkaki pendek itu dilapisi dengan taplak berwarna putih juga, di hadapannya duduk seorang pria berjas hitam yang terlihat sangat tampan. Pria itu adalah Aliandra.“Rilekslah. Setelah akad, kita akan langsung menuju hotel,” bisik Alian
Burhan Lubis menatap Aliandra dan istrinya dengan tatapan tidak suka. Pria berambut putih itu bahkan tidak segan untuk menunjukkan kemarahannya di hadapan tamu undangan yang hadir. Apalagi saat ia melihat Aliandra dan juga istri barunya berciuman dengan mesra di hadapan semua orang.Awalnya Burhan berpikir bahwa Aliandra pasti hanya memainkan siasat agar kedudukannya di perusahaan tidak terancam dan pernikahan yang sedang berlangsung pastilah pernikahan pura-pura. Jika memang benar begitu, maka mudah baginya untuk membuat para pemegang saham lainnya berpikir bahwa pernikahan Aliandra hannyalah sebuah sandiwara. Namun, kemudian Aliandra berciuman di depan para tamu undangan. Seolah menegaskan bahwa tidak ada sandiwara di antara dirinya dan juga wanita yang sekarang berstatus sebagai Nyonya Mahesa. Dengan mempertontonkan adegan romantis seperti itu, maka sulit bagi Burhan untuk meracuni pikiran rekan bisnis lainnya.“Bagaimana ini? Kita tidak bisa menyingkirkannya,
Keesokan harinya, Yasmin terbangun dengan keadaan yang masih sangat mengantuk. Bagaimana tidak mengantuk jika dirinya tidak dapat tidur semalaman.Yasmin tidak bisa tertidur dengan nyenyak jika ia terus merasa gugup. Jika ditanya kenapa dirinya merasa gugup? Maka jawabannya sudah pasti karena Aliandra!Pria tampan itu tidur di sebelahnya tanpa mengenakan pakaian. “Panas,” kata Aliandra saat Yasmin menanyakan alasannya membuka pakaian dan hanya mengenakan kolor berwarna hitam.Panas! Ya, tentu saja panas. Yasmin merasa sangat kepanasan saat melihat punggung Aliandra membelakanginya, membuat dirinya berpikiran gila untuk menanggalkan pakaiannya sendiri lalu memeluk tubuh kekar itu dari belakang. Kulit bertemu kulit pasti akan nyaman sekali.Semalam Yasmin sungguh merasa penasaran bagaimana bisa Aliandra tertidur pulas. Tidakkah pria itu merasa gelisah seperti dirinya? Tidakkah jantung Aliandra merasa ingin terlepas dari tempatnya.Sekaran
Sinar matahari masuk melalui jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Cahayanya yang terasa hangat langsung terjatuh di wajah cantik Yasmin, membuat gadis itu menggeliat dan membuka matanya dengan perlahan.Aliandra yang bersiap hendak pergi ke kantor melempar tatapannya sejenak ke arah gadis berambut panjang itu sebelum akhirnya ia kembali fokus mengikat dasi di kemejanya.“Selamat pagi,” sapa Yasmin, sambil mengucek mata. Setelah kantuk pada kedua matanya benar-benar hilang, segera ia bangkit dan berlari menghampiri Aliandra. “Biar aku bantu,” ujarnya, sambil meletakkan kedua tangan pada dasi yang Aliandra coba kenakan.Aliandra menepis tangan Yasmin. “Terima kasih, tapi aku sudah terbiasa sendiri.”“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada aku di sini. Biar aku bantu.” Yasmin tidak mau kalah, ia masih berusaha melakukan pendekatan dengan suaminya yang tiba-tiba saja berubah.Aliandra mendengkus kes
Wajah Yasmin menegang begitu membaca pesan yang Virni kirimkan padanya. Ia sungguh merasa kesal pada sikap Iren dan juga Kakeknya yang angkuh itu. Bagaimana mungkin masalah yang sepele seperti itu mereka bawa hingga ke jalur hukum. Bukankah dirinya juga terluka, bukan hanya Iren yang manja itu yang terluka. Lagi pula Irenlah yang menyerangnya terlebih dahulu, ia hanya membela diri. Siapa yang tidak akan menangkis dan membalas serangan dari Iren jika saat itu ia dikeroyok.“Ada apa?” tanya Eza, seketika terlihat khawatir.“Tidak ada apa-apa. Aku masuk dulu, Za.” Yasmin menjawab singkat dan membalikkan tubuh, hendak pergi dari hadapan Eza. Akan tetapi, pria itu menahannya.“Katakan padaku jika ada hal buruk yang terjadi dan jangan sungkan, aku akan membantumu sebisaku,” ucap Eza, masih menyentuh lengan Yasmin.Yasmin tersenyum. “Terima kasih, tapi aku benar-benar tidak apa-apa.”“Oke, selamat isti
Yasmin memikirkan kembali perkataan Dokter Marcel ketika dokter itu telah pergi. Yasmin menyentuh bibirnya, terlihat sedang serius merencanakan sesuatu untuk pengobatan Aliandra. Ia kemudian bangkit berdiri dan berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, ia harus menghentikan langkah ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Untunglah orang yang ia tabrak menariknya tepat waktu, sehingga dirinya terhindar dari kecelakaan yang tidak perlu.“Aaaah!” rintih Yasmin, dengan kedua tangan memeluk pinggang si penolong.“Anda tidak apa-apa?”Yasmin menjauhkan tubuhnya dan mendongak untuk menatap pria tinggi yang sedang berdiri di hadapannya. “Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Yasmin. Ternyata yang ia tabrak adalah Eza Mahesa. Satu-satunya saudara yang dimiliki Aliandra.“Syukurlah kalau begitu, Kaka ipar. Maaf, aku tidak melihat Anda tadi, aku sedang terburu-buru.” Eza tersenyum manis ke arah Yas
Dokter Marcel memeriksa kondisi Aliandra dengan saksama, tidak ingin melewatkan hal penting yang dapat berakibat fatal. Setelah memastikan Aliandra dalam kondisi baik dan hanya mengalami lebam pada pelipis sebelah kirinya, Dokter Marcel pamit undur diri.“Dok, temui istri saya. Saya rasa dia juga terluka,” ucap Aliandra.Dokter Marcel mengangguk, lalu segera keluar dari kamar itu. Sepeninggalan Dokter Marcel, Aliandra mengalihkan pandangannya ke arah Waluyo berdiri.“Maafkan aku, Waluyo, soal Yasmin. Aku ... entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman dia mengetahui kelemahanku. Bagaimanapun dia itu istriku, dan saat traumaku muncul tepat di hadapannya, aku merasa sangat malu,” ucap Aliandra.“Tidak masalah, Tuan, wajar jika Anda merasa demikian—““Ck, sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan tuan lagi. Aku ini menantumu.”Aliandra memotong ucapan Waluyo.“Aah, maaf, Andra.&rd
“Argh!” Yasmin meringis saat kepalanya terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Sementara Aliandra terlihat ketakutan. Wajah pria itu pucat pasi dan tubuh berkeringat dingin.Yasmin menjadi panik dan segera menggeser tubuhnya untuk mendekati Aliandra. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Yasmin. Namun, Aliandra tidak menjawab sama sekali.Toni segera turun dari mobil dan menuju pintu belakang sedan mewah tersebut. “Tuan, astaga, maafkan aku, Tuan. Ayo kita ke rumah sakit.”Aliandra berontak saat Toni berusaha untuk membantunya keluar dari dalam mobil. Alih-alih menerima bantuan dari Toni, Aliandra justru mengamuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Yasmin menjadi bingung melihat semua itu. Perlahan ia menyentuh pundak Aliandra dan menepuknya dengan lembut. “Sayang, ayo kita keluar dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Ayo!”“Jangan, jangan ... sentuh kakiku, jangan, jangan!&rd
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege
Yasmin mengembuskan napas dengan kesal setelah Burhan keluar dari ruangan Rektor. Ia kesal sekali karena Irene yang sombong itu ternyata sangat berlebihan. Bisa-bisanya gadis itu membawa-bawa kakeknya dalam urusan mereka. Kekesalannya semakin bertambah saat mengetahui bahwa kakek Irene adalah salah satu pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan Aliandra. Kakek dan cucu sama menyebalkannya!Segera Yasmin keluar dari ruang Rektor dan berjalan menuju kelas, mencari Virni.“Virni!” teriak Yasmin, begitu ia melihat sahabatnya itu sedang sibuk memainkan ponsel di dalam kelas.“Apa?!” Virni balas berteriak, tanpa memandang wajah Yasmin. Gadis itu masih terlalu sibuk dengan ponselnya.Yasmin menghampiri Virni dan segera menarik ponsel gadis itu. “Aku memanggilmu. Ke mana perhatianmu?” ucap Yasmin.Virni terkekeh sambil menatap wajah kesal Yasmin. “Ada apa?” tanya Virni.“Ajari aku membuat ku
Yasmin melambai riang begitu melihat Aliandra dari kejauhan. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan setelah jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy. Belum lagi ditambah dengan kacamata yang ia kenakan, membuatnya terlihat semakin memesona.Yasmin mengecup pipi Aliandra begitu ia tiba di samping pria tampan yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Aliandra terkejut dengan sikap Yasmin, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Apalagi banyak mata yang sedang mengawasinya saat ini.“Selamat siang, semua,” ucap Yasmin, tersenyum ramah kepada semua orang yang sedang duduk bersama dengan suaminya.Mereka yang disapa, balas tersenyum dan menyapa Yasmin dengan ramah.“Istri Anda sangat cantik, Pak Andra. Anda sangat beruntung mendapatkan istri secantik dia,” ucap salah satu rekan bisnis Aliandra.Aliandra yang sejak tadi sibuk membaca dokumen seketika mendongak dan melempar senyum ramah kepada rekan bisnisnya itu.
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend