Yasmin berbaring telentang di atas ranjang kayu yang beralas matras dengan seprai berwarna merah muda. Gadis itu berbaring dengan tangan direntangkan di kedua sisi tubuhnya dan pandangan lurus menatap langit-langit kamar. Sesekali terdengar helaan napas yang ia embuskan dengan berat. Kejadian siang tadi masih terbayang di dalam kepalanya. Terus berulang bagai filem yang diputar tanpa henti.
Sejak tadi Yasmin berusaha untuk mengenyahkan bayangan kejadian itu dari dalam kepalanya, tapi tidak bisa. Setiap kali ia berusaha melupakannya, maka bayangan kejadian itu semakin jelas menari-nari di dalam kepalanya. Seolah mengejek kebodohan yang ia lakukan dengan sempurna.
“Aaah, apa yang telah aku lakukan, ya, Tuhan!” keluh Yasmin, sambil mengacak rambut dengan frustrasi. “Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa kamu bodoh sekali, Yasmin?” ia kembali berteriak sambil menenggelamkan wajah ke dalam bantal.
“Ya, kenapa kamu bodoh sekali, hah?”
Terdengar suara berat seorang pria yang sudah sangat akrab di telinganya. Suara itu adalah suara sang ayah. Yasmin segera bangkit dan menghampiri Waluyo yang tengah berdiri di bingkai pintu dengan tangan dilipat di depan dada.
“Ayah. Bagaimana?” tanya Yasmin dengan wajah khawatir begitu ia tiba di hadapan Waluyo.
“Apanya yang bagaimana?” Waluyo balas bertanya.
“Tuan itu, Ayah. Apa dia marah? Apa dia memarahi Ayah? Atau jangan-jangan dia memecatmu, Ayah?”
Waluyo memasang wajah sedih sebelum berbalik pergi meninggalkan Yasmin yang terlihat benar-benar khawatir. Yasmin tidak tinggal diam, gadis itu segera mengekor langkah Waluyo menuju dapur.
“Ayah, katakanlah sesuatu,” pinta Yasmin. “Apa benar dia memecatmu? Benarkah?”
“Tidak usah pikirkan apa yang kualami. Sekarang katakan saja bagaimana bisa kamu menjadi seperti ini, hah?” Waluyo menunjuk lebam pada wajah Yasmin.
“Ah, ini? Ini bukti ketangguhanku, Ayah.”
Waluyo mengetuk kepala Yasmin dengan tangan, membuat gadis itu menjerit kesakitan. “Ketangguhan apa? Bisa-bisanya kamu bertengkar dengan Irene dan membuatnya cedera. Untung kakinya tidak patah, apa yang kamu lakukan padanya, Yasmin?”
Yasmin membelalak menatap Waluyo. “Sungguh, kakinya tidak patah? Ah, sayang sekali, padahal aku berusaha keras untuk mematahkannya.”
Mendengar perkataan Yasmin, Waluyo kembali mengetuk kepala sang putri. Namun, di detik berikutnya ia menarik lengan Yasin dan memintanya untuk duduk di kursi yang ada di ruangan itu, sementara ia menghampiri lemari yang ada di ruang keluarga untuk mengambil kotak obat-obatan.
“Apa yang Ayah lakukan?” tanya Yasmin saat melihat Waluyo kembali dengan membawa kotak obat-obatan.
“Tentu saja mengobatimu. Sejak tadi kenapa kamu belum juga mengobati luka-lukamu, Nak. Setidaknya tutup dengan perban agar tidak infeksi.” Waluyo segera mengeluarkan obat merah, kasa, alkohol, perban dan juga plaster. Lalu ia mulai merawat luka pada kening Yasmin.
“Sebenarnya aku sengaja tidak mengobatinya, Ayah, agar—“
“Agar aku yang melakukannya?” potong Waluyo. Ia hafal sekali dengan tingkah Yasmin.
“Tentu saja,” cengirnya. “Katakan, Ayah, apa dia marah padamu atau padaku?”
“Tidak. Dia tidak marah,” jawab Waluyo sambil memasang perban pada kening Yasmin.
“Benarkah?” Yasmin mengerjap bingung. Rasanya mustahil sekali jika tuan muda itu tidak marah. Bukankah ia terkenal arogan dan tidak punya hati.
Seperti dapat membaca isi kepala Yasmin, Waluyo pun mengatakan, “Dia tidak sekejam yang terlihat, Yas. Jika kamu sudah mengenalnya, kamu akan tahu serapuh apa dia. Tuan Aliandra adalah pribadi yang baik. Ia hanya terlalu banyak mengalami kepahitan dalam hidupnya, sehingga hal itu berpengaruh pada sikapnya.”
“Sepahit apa hingga dia menjadi seperti itu? Dia kaya raya, seorang pewaris tunggal dari perusahaan ternama. Dia pasti tidak pernah tahu rasanya dipermalukan di depan kelas karena terlambat membayar uang sekolah. Dia juga pasti tidak tahu bagaimana rasanya makan nasi hanya dengan garam.”
Waluyo menatap putrinya lekat-lekat. “Harta bukan segalanya, Yasmin. Kamu tahu apa yang paling manusia butuhkan selain harta? Coba kamu pikirkan, Nak. Apakah kamu akan bahagia jika kamu memiliki banyak uang tetapi aku tidak ada di sampingmu? Apa makan daging akan terasa lebih nikmat jika kamu makan seorang diri tanpa ada aku yang ikut makan di sampingmu?”
Mendengar perkataan sang ayah membuat mata Yasmin berkaca-kaca. Gadis cantik itu kemudian menggeleng dan tanpa ia sadari bulir bening melesak keluar dari sudut mata indahnya.
Waluyo tersenyum lalu merangkul Yasmin dan menepuk halus punggungnya. “Sebuah kasih sayang dan sebuah kebersamaan tidak akan tergantikan, Yas, bahkan dengan harta sekalipun,” ucap Waluyo. “Terima kasih untuk hari ini. Aku sungguh berterima kasih kepadamu.”
“Terima kasih untuk apa, Ayah? Seharusnya akulah yang mengucapkan terima kasih, karena Ayah tidak marah padaku.”
Waluyo melepaskan rangkulannya pada tubuh Yasmin. “Terima kasih karena telah membuat Tuan Aliandra tertawa. Karena perbuatanmu itu, maka aku tidak akan menghukummu, tapi lain kali tidak ada ampun buatmu, Nak.” Waluyo mengacak rambut Yasmin, lalu melenggang pergi meninggalkan putrinya yang terlihat bingung.
“Tertawa? Kapan? Aku tidak melihatnya tertawa,” gumam Yasmin.
***
Di minggu pagi yang cerah, seperti biasa Aliandra mengenakan pakaian santai untuk berjemur di bawah sinar matahari. Hal yang tidak bisa dilakukannya di hari-hari biasa, karena biasanya ia akan sibuk untuk bersiap berangkat ke kantor. Namun, di hari minggu ia akan menyempatkan waktu untuk berjemur dan menikmati sejuknya angin di balkon lantai atas kediamannya. Seandainya saja kakinya berfungsi sebagaimana mestinya, maka ia pasti akan melakukan lari pagi, bukannya hanya duduk diam di atas kursi roda sambil menatap langit.
Membosankan!
Baru saja ia keluar dari dalam kamar dengan Waluyo yang mendorong kursi rodanya, Eza tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Jangan merusak hariku dengan cara menampakan diri di hadapanku, Eza. Jika kamu butuh sesuatu maka katakan pada pelayanan. Mereka semua bisa memberikan apa yang kamu butuhkan. Sementara aku, aku tidak bisa banyak membantu. See, aku bahkan tidak bisa berjalan,” ucap Aliandra dengan malas.
“Mari kita bicara, Andra,” pinta Eza.
“Aku tidak ada waktu. Ayo, Waluyo.”
“Plis!” Eza menghentikan kursi roda yang mulai bergerak sesuai perintah Aliandra.
Aliandra menatap Eza dengan kesal. Sebenarnya sangat berat bagi Aliandra untuk membenci seorang Eza Mahesa. Ya, mereka memang berbeda ibu, walaupun demikian mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Eza tidak pernah sekalipun membuat Aliandra merasa kesal. Akan tetapi semua berubah setelah hari itu. Hari di mana Aliandra mengetahui sebuah kebenaran yang mengerikan.
“Lima menit. Ikuti aku!” titah Aliandra.
Eza tersenyum, lalu segera mengekor di belakang Waluyo. “Bolehkah aku yang mendorong kursi rodanya?” tanya Eza dengan riang.
“Jangan macam-macam. Aku masih tidak menyukaimu sama seperti sebelumnya, Eza,” ujar Aliandra dengan sinis.
“Ah, baiklah, maafkan aku, Kakak.” Eza sengaja menekankan kalimat terakhir pada ucapannya. Ia ingin Aliandra tahu, bahwa dirinya masih sangat menyayangi Aliandra. Sama seperti dulu, bahkan setelah semua yang terjadi.
Aliandra tidak menghiraukan ucapan Eza. Ia telah membangun pertahanan diri yang kokoh di sekitaran hatinya. Sehingga tidak akan mudah tersentuh oleh perasaan apa pun. Perasaan sayang dan peduli, semua itu adalah penyebab utama retaknya sebuah hati. Maka Aliandra sebisa mungkin menghindari semua perasaan itu untuk menjaga hatinya yang memang sudah retak. Ia tidak ingin merusak bagian di dalam dirinya itu lebih banyak lagi hanya karena orang-orang munafik yang tidak penting.
Setibanya di balkon. Waluyo segera undur diri, ia harus memberikan privasi kepada tuannya. Namun, di luar dugaan, Aliandra menahannya dan memintanya untuk tetap berdiri di belakangnya sementara ia meladeni permintaan Eza. Entah apa yang ingin dikatakan oleh pria bermata sendu itu.
“Aku tidak akan mendorongmu dari atas sini,” ucap Eza.
“Ragaku tidak sepenting itu sekarang, Eza. Aku hanya ingin Waluyo tahu setiap permasalahanku. Dia baru bekerja dua tahun di sini, dia pasti belum tahu banyak tentangmu selain desas-desus yang beredar bahwa kamu akan menjadi penggantiku di perusahaan. Maka dari itu aku memintanya untuk tetap di sini. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan. Jangan merasa terganggu akan keberadaannya,” jelas Aliandra.
“Aku tidak merasa terganggu, sungguh. Aku hanya berpikir mungkinkah kamu mengira aku akan berbuat jahat kepadamu. Padahal aku tidak seperti itu, Kakak.”
“Jangan sebut aku seperti itu, Za. Maaf, tapi aku merasa sangat tidak nyaman. Panggil saja namaku,” pinta Aliandra, tanpa memandang Eza sekalipun.
Eza hanya mengangguk paham. Sebenarnya ia merasa sangat terpukul dengan sikap yang Aliandra tunjukan padanya. Akan tetapi ia berusaha untuk mengabaikan perasaan itu. Ia dapat memahami luka yang dirasakan oleh saudaranya, sehingga lukanya sendiri menjadi tidak begitu penting.
Eza menghela napas sebelum memulai pembicaraan nya dengan Aliandra. “Ini tentang perusahaan, Ndra—“
“Aku sudah menebaknya.” Aliandra memotong ucapan Eza.
“Masalah kepemimpinan itu, aku—“
“Sama seperti ibumu. Kamu memang serakah!”
“Aku sama sekali tidak berminat untuk menduduki posisi itu—“
“Tidak mungkin. Apa ini siasat?” Aliandra menatap Eza dengan sinis dan tidak percaya.
“Ini bukan siasat. Aku sudah membaca wasiat yang ayah tujukan untuk kita dan juga email yang Tuan Lubis kirimkan padaku beberapa hari lalu. Mereka ingin menggesermu hanya karena kondismu dan menggantikannya denganku, bukankah begitu?”
“Tepat sekali.”
“Aku tidak berminat, Andra. Aku akan menolaknya saat rapat besok. Dengan begitu mereka tidak akan berusaha untuk menggesermu lagi.” Eza berkata dengan sungguh-sungguh.
“Benarkah?” Aliandra tersenyum sinis. Masih tidak percaya akan ucapan Eza. Ia tahu benar bagaimana perangai Ibu Eza yang suka berpura-pura baik dan bisa saja perangai itu menempel pada putra semata wayangnya. “Bagaimana jika mereka memaksa?” tanya Aliandra lagi.
“Aku akan membuka identitas asliku.” Eza menjawab singkat dengan suara bergetar. “Aku tahu jika kamu sudah mengetahuinya, ‘kan?”
Suasana seketika menjadi hening. Aliandra dan Eza saling menatap satu sama lain.
“Seharusnya kamu katakan sejak dulu kepadaku, Andra. Aku baru mengetahuinya satu tahun yang lalu.” Eza tertawa sinis dengan air mata yang mulai tampak menggenang di kelopak matanya. “Mungkin kamu berpikir bahwa aku menutup-nutupi kenyataan itu, tapi yang sebenarnya adalah aku sama sekali tidak tahu. Aku sungguh tidak tahu.” Eza menekankan kata-katanya. Pria itu bahkan mulai terisak, membuat Waluyo yang sejak tadi menyimak pembicaraan mereka menjadi iba kepada Eza. Serumit apa permasalahan keluarga kaya ini. Kenapa semuanya terlihat seperti benang kusut?
“Kamu tenang saja. Aku akan menghadiri rapat besok dan akan mengungkapkan semuanya.” Eza kemudian berbalik pergi meninggalkan Aliandra yang tiba-tiba saja merasa bersalah kepada Eza.
“Waluyo,” panggil Aliandra.
“Ya, Tuan.” Waluyo menjawab dengan suara pelan.
“Bolehkah aku menjadikan Yasminmu sebagai Yasminku?” tanya Aliandra tanpa keraguan sedikit pun.
Waluyo terkejut bukan main mendengar pertanyaan dari Aliandra. “Ma-maksud, Tuan?”
Aliandra tersenyum. “Aku melamar putrimu, Pak Tua!”
Bersambung ....
Waluyo terkejut akan apa yang baru saja didengarnya. Pria tua itu bahkan harus mencubit dirinya sendiri berkali-kali untuk meyakinkan apakah dirinya bermimpi atau tidak.Namun, setelah berkali-kali mencubit lengannya sendiri hingga terasa sakit akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak bermimpi. Apa yang baru saja ia dengar dari Aliandra benar adanya. Tentu saja dirinya sangat terkejut. Bagaimana bisa Aliandra melamar Yasminnya?Selama dua tahun menjadi pelayanan pria muda itu, ia tahu bahwa Aliandra tidak tertarik dengan sebuah ikatan pernikahan. Pria tampan itu memutuskan untuk melajang seumur hidupnya.‘Apa ini karena wasiat itu? Wasiat yang mengharuskan Aliandra menikah. Jika memang iya, lalu kenapa harus Yasminnya. Bukankah masih banyak gadis cantik di luaran sana?’ batin Waluyo.“Apa kamu tidak ingin memberikan Yasminmu, kepadaku karena keadaanku, Waluyo?” tanya Aliandra.Pertanyaan Aliandra itu membuat Waluyo tersadar
Yasmin segera bangkit berdiri begitu melihat siapa yang datang. Sementara Virni, ia hanya menatap Aliandra dengan mulut yang terbuka lebar dan kedua mata yang melotot seakan ingin keluar dari rogganya.Waluyo berdeham sambil menatap Virni penuh arti. Tetapi percuma saja, yang ditatap malah tidak memperhatikan Waluyo sama sekali. Gadis berkacamata itu masih sibuk menatap Aliandra hingga Yasmin mencubit pipi Virni dengan gemas, membuat gadis itu kembali mendapatkan kesadarannya.Aliandra tertawa melihat tingkah kedua gadis di hadapannya. “Tidak pernah lihat tongkat?” tanya Aliandra kepada Virni. Saat itu Aliandra memang sedang berdiri dengan menopangkan tubuh pada tongkat kesayangannya.“Ah, bukan, bukan. Saya hanya tidak pernah melihat malaikat sebelumnya,” ujarnya dengan santai, yang lagi-lagi membuat Yasmin mengeluh dalam hati.“Malaikat?” Aliandra berucap sambil tersenyum manis.“Iya, benar. M
Waluyo dan Virni berusaha untuk menyadarkan Yasmin. Mereka semua kebingungan karena gadis itu tiba-tiba saja jatuh pingsan saat Aliandra mengutarakan niat untuk melamarnya.Waluyo berpikir, Yasmin pastilah terkejut. Siapa yang tidak terkejut jika tiba-tiba saja mendapat lamaran mendadak dari seseorang yang belum dikenal sama sekali. Bertemu saja baru satu kali dan pertemuan singkat itu tidak dapat dikatakan sebagai pertemuan yang baik pula.Namun, tidak demikian yang Aliandra pikirkan. Pria tampan itu menatap kedua kakinya dengan sedih. Saat yang lain sedang berusaha untuk membuat Yasmin sadar, ia justru memikirkan hal lain. ‘Pasti karena kakiku,’ batinya. Tiba-tiba saja perasaan tak nyaman menjalar ke dalam hatinya. Ia merasa telah melakukan kesalahan dengan melamar anak Waluyo. Gadis itu adalah gadis yang cantik dan periang. Ia bisa dapatkan pria mana pun yang ia mau dengan Kecantikannya. Jika bisa mendapatkan pria yang lebih baik, untuk apa juga harus me
Wajah Burhan Lubis terlihat merah padam. Tentu saja karena ia merasa marah sekali. Ya, saat ini pria tua itu sedang benar-benar marah. Bagaimana tidak jika ia melihat kondisi cucu tersayangnya sangatlah memprihatinkan. Terlihat bekas cakaran yang mulai mengering di pipi dan dagu Irene, belum lagi ia melihat cucunya itu berjalan dengan terpincang-pincang menghampirinya.“Siapa yang melakukannya, Irene?” tanya Burhan Lubis. Nada suaranya sangat menakutkan. Seperti telah siap untuk memakan seseorang.Irene memasang wajah memelas dan sesekali meringis kesakitan. “Salah satu teman di kampusku, Kek. Dia kasar sekali. Lihatlah, Kek, dia bahkan tidak segan melukai wajahku.”“Teman kampus! Bagaimana bisa universitas terkemuka seperti itu menerima mahasiswi yang berkelakuan seperti preman? Bisa-bisanya dia melukaimu seperti ini, Irene.”Irene memeluk Burhan, lalu mulai terisak. Tentu saja isakan palsu yang terlihat meyakinkan. Ir
Aliandra menaikkan sebelah alisnya, masih menatap lurus ke arah Yasmin. "Setidaknya turunlah dulu dari pangkuanku. Sampai kapan kamu mau terus aku pangku begini?"Mendengar ucapan Aliandra, Yasmin segera bangkit dan berkali-kali membungkukkan tubuh untuk meminta maaf kepada pria tampan itu."Maafkan aku, aku sungguh tidak bermaksud untuk duduk di atas sana," ujar Yasmin, sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal."Iya juga tidak apa-apa," ucap Aliandra tanpa ekspresi. “Katakan ada keperluan apa sehingga kamu menjelajahi seluruh ruangan yang ada di rumahku?”“Sudah aku bilang ‘kan tadi, kalau aku ingin makan cokelat dengan Anda,” jawab Yasmin.“Oh, ya, dalam rangka apa? Apa dalam rangka karena kamu telah berhasil menolak lamaran dariku kemarin. Sehingga kamu merasa kasihan padaku lalu berusaha menghiburku dengan sebatang cokelat! Maaf saja, Yasmin, aku ini bukan anak kecil. Rasa kesal dan sakitku t
Yasmin duduk dengan gelisah sambil menggerakkan kakinya di dalam sebuah kamar besar dan sederhana. Tidak ada interior yang istimewa di kamar itu. Hanya terdapat rak buku yang terletak di sudut ruangan dan juga meja kerja yang berukuran besar di tengah ruangan, tepat di hadapan sebuah ranjang berukuran King Size yang sekarang sedang ia duduki. Dadanya berdetak dengan kencang menanti kedatangan si pemilik kamar yang beberapa waktu lalu ia ketahui masih berada di kantor.Yasmin meraih ponsel dari dalam tasnya lalu kembali membaca pesan yang pagi tadi Aliandra kirimkan padanya.‘Mau ke kampus? Mampirlah ke rumah. Ada yang ingin kubicarakan, tapi sekarang aku masih di kantor. Tunggu aku sebentar saja dan jangan lupa berhati-hatilah di jalan, Yas.’Begitulah isi pesan yang membuat dada Yasmin seketika menghangat. Ia memang sudah lama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari seorang pria. Maklum saja karena dirinya memang selalu bersikap dingin kepada
Yasmin membelalak, menatap dengan takjub pada apa yang ada di depannya. Rasa takjubnya itu bahkan membuatnya lupa pada rasa yang lain, seperti rasa bingung dan penasaran.Seharusnya ia bertanya pada Aliandra atau pada ayahnya tentang semua yang sekarang sedang ia lihat—ruangan dengan dekorasi berwarna putih, beberapa tamu yang berpakaian rapi, meja kecil di tengah ruangan dan ratusan atau bahkan ribuan kelopak mawar putih yang tergeletak anggun di atas karpet merah yang akan ia lewati.“Ayo, Yas. Pak penghulu sudah menunggu.” Waluyo menepuk pundak Yasmin, membuat Yasmin tersadar dari lamunan.Tanpa banyak bertanya, Yasmin mengekor langkah Waluyo menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Meja berkaki pendek itu dilapisi dengan taplak berwarna putih juga, di hadapannya duduk seorang pria berjas hitam yang terlihat sangat tampan. Pria itu adalah Aliandra.“Rilekslah. Setelah akad, kita akan langsung menuju hotel,” bisik Alian
Burhan Lubis menatap Aliandra dan istrinya dengan tatapan tidak suka. Pria berambut putih itu bahkan tidak segan untuk menunjukkan kemarahannya di hadapan tamu undangan yang hadir. Apalagi saat ia melihat Aliandra dan juga istri barunya berciuman dengan mesra di hadapan semua orang.Awalnya Burhan berpikir bahwa Aliandra pasti hanya memainkan siasat agar kedudukannya di perusahaan tidak terancam dan pernikahan yang sedang berlangsung pastilah pernikahan pura-pura. Jika memang benar begitu, maka mudah baginya untuk membuat para pemegang saham lainnya berpikir bahwa pernikahan Aliandra hannyalah sebuah sandiwara. Namun, kemudian Aliandra berciuman di depan para tamu undangan. Seolah menegaskan bahwa tidak ada sandiwara di antara dirinya dan juga wanita yang sekarang berstatus sebagai Nyonya Mahesa. Dengan mempertontonkan adegan romantis seperti itu, maka sulit bagi Burhan untuk meracuni pikiran rekan bisnis lainnya.“Bagaimana ini? Kita tidak bisa menyingkirkannya,
Sinar matahari masuk melalui jendela yang tirainya tidak tertutup rapat. Cahayanya yang terasa hangat langsung terjatuh di wajah cantik Yasmin, membuat gadis itu menggeliat dan membuka matanya dengan perlahan.Aliandra yang bersiap hendak pergi ke kantor melempar tatapannya sejenak ke arah gadis berambut panjang itu sebelum akhirnya ia kembali fokus mengikat dasi di kemejanya.“Selamat pagi,” sapa Yasmin, sambil mengucek mata. Setelah kantuk pada kedua matanya benar-benar hilang, segera ia bangkit dan berlari menghampiri Aliandra. “Biar aku bantu,” ujarnya, sambil meletakkan kedua tangan pada dasi yang Aliandra coba kenakan.Aliandra menepis tangan Yasmin. “Terima kasih, tapi aku sudah terbiasa sendiri.”“Kamu sekarang tidak sendiri lagi, ada aku di sini. Biar aku bantu.” Yasmin tidak mau kalah, ia masih berusaha melakukan pendekatan dengan suaminya yang tiba-tiba saja berubah.Aliandra mendengkus kes
Wajah Yasmin menegang begitu membaca pesan yang Virni kirimkan padanya. Ia sungguh merasa kesal pada sikap Iren dan juga Kakeknya yang angkuh itu. Bagaimana mungkin masalah yang sepele seperti itu mereka bawa hingga ke jalur hukum. Bukankah dirinya juga terluka, bukan hanya Iren yang manja itu yang terluka. Lagi pula Irenlah yang menyerangnya terlebih dahulu, ia hanya membela diri. Siapa yang tidak akan menangkis dan membalas serangan dari Iren jika saat itu ia dikeroyok.“Ada apa?” tanya Eza, seketika terlihat khawatir.“Tidak ada apa-apa. Aku masuk dulu, Za.” Yasmin menjawab singkat dan membalikkan tubuh, hendak pergi dari hadapan Eza. Akan tetapi, pria itu menahannya.“Katakan padaku jika ada hal buruk yang terjadi dan jangan sungkan, aku akan membantumu sebisaku,” ucap Eza, masih menyentuh lengan Yasmin.Yasmin tersenyum. “Terima kasih, tapi aku benar-benar tidak apa-apa.”“Oke, selamat isti
Yasmin memikirkan kembali perkataan Dokter Marcel ketika dokter itu telah pergi. Yasmin menyentuh bibirnya, terlihat sedang serius merencanakan sesuatu untuk pengobatan Aliandra. Ia kemudian bangkit berdiri dan berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, ia harus menghentikan langkah ketika tiba-tiba tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Untunglah orang yang ia tabrak menariknya tepat waktu, sehingga dirinya terhindar dari kecelakaan yang tidak perlu.“Aaaah!” rintih Yasmin, dengan kedua tangan memeluk pinggang si penolong.“Anda tidak apa-apa?”Yasmin menjauhkan tubuhnya dan mendongak untuk menatap pria tinggi yang sedang berdiri di hadapannya. “Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Yasmin. Ternyata yang ia tabrak adalah Eza Mahesa. Satu-satunya saudara yang dimiliki Aliandra.“Syukurlah kalau begitu, Kaka ipar. Maaf, aku tidak melihat Anda tadi, aku sedang terburu-buru.” Eza tersenyum manis ke arah Yas
Dokter Marcel memeriksa kondisi Aliandra dengan saksama, tidak ingin melewatkan hal penting yang dapat berakibat fatal. Setelah memastikan Aliandra dalam kondisi baik dan hanya mengalami lebam pada pelipis sebelah kirinya, Dokter Marcel pamit undur diri.“Dok, temui istri saya. Saya rasa dia juga terluka,” ucap Aliandra.Dokter Marcel mengangguk, lalu segera keluar dari kamar itu. Sepeninggalan Dokter Marcel, Aliandra mengalihkan pandangannya ke arah Waluyo berdiri.“Maafkan aku, Waluyo, soal Yasmin. Aku ... entahlah, aku hanya merasa tidak nyaman dia mengetahui kelemahanku. Bagaimanapun dia itu istriku, dan saat traumaku muncul tepat di hadapannya, aku merasa sangat malu,” ucap Aliandra.“Tidak masalah, Tuan, wajar jika Anda merasa demikian—““Ck, sudah aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan tuan lagi. Aku ini menantumu.”Aliandra memotong ucapan Waluyo.“Aah, maaf, Andra.&rd
“Argh!” Yasmin meringis saat kepalanya terbentur kaca jendela mobil dengan keras. Sementara Aliandra terlihat ketakutan. Wajah pria itu pucat pasi dan tubuh berkeringat dingin.Yasmin menjadi panik dan segera menggeser tubuhnya untuk mendekati Aliandra. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Yasmin. Namun, Aliandra tidak menjawab sama sekali.Toni segera turun dari mobil dan menuju pintu belakang sedan mewah tersebut. “Tuan, astaga, maafkan aku, Tuan. Ayo kita ke rumah sakit.”Aliandra berontak saat Toni berusaha untuk membantunya keluar dari dalam mobil. Alih-alih menerima bantuan dari Toni, Aliandra justru mengamuk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.Yasmin menjadi bingung melihat semua itu. Perlahan ia menyentuh pundak Aliandra dan menepuknya dengan lembut. “Sayang, ayo kita keluar dari sini. Kita harus ke rumah sakit. Ayo!”“Jangan, jangan ... sentuh kakiku, jangan, jangan!&rd
Yasmin terkejut saat bibir Aliandra tiba-tiba mendarat di atas bibirnya. Akan tetapi, ia tidak berusaha untuk menolak. Wanita normal mana yang bisa menolak kecupan luar biasa seperti itu dari seorang pria tampan seperti Aliandra. Alih-alih menjauhkan bibirnya. Yasmin malah ikut berpartisipasi dengan mengangkat tangannya untuk menyusuri wajah bercambang tipis itu. Hanya sekadar ciuman. Aliandra sama sekali tidak ingin melanjutkan lebih jauh. Bagaimanapun juga, dirinya sadar akan kekurangan yang dimilikinya. Jika dirinya saja terkadang malu dan merasa terhina saat orang-orang mulai membicarakan kakinya, bagaimana dengan anaknya atau istrinya? Itulah sebabnya, Aliandra sama sekali tidak ingin memiliki keturunan. Ia tidak mau jika orang-orang yang disayanginya merasa malu akan kondisinya kelak. Aliandra tersenyum sambil menyentuh pipi Yasmin dengan lembut saat akhirnya bibir mereka saling menjauh. “Terima kasih,” ujarnya. Kedua pipi Yasmin merona. Ia sege
Yasmin mengembuskan napas dengan kesal setelah Burhan keluar dari ruangan Rektor. Ia kesal sekali karena Irene yang sombong itu ternyata sangat berlebihan. Bisa-bisanya gadis itu membawa-bawa kakeknya dalam urusan mereka. Kekesalannya semakin bertambah saat mengetahui bahwa kakek Irene adalah salah satu pemegang saham yang berusaha untuk menjatuhkan Aliandra. Kakek dan cucu sama menyebalkannya!Segera Yasmin keluar dari ruang Rektor dan berjalan menuju kelas, mencari Virni.“Virni!” teriak Yasmin, begitu ia melihat sahabatnya itu sedang sibuk memainkan ponsel di dalam kelas.“Apa?!” Virni balas berteriak, tanpa memandang wajah Yasmin. Gadis itu masih terlalu sibuk dengan ponselnya.Yasmin menghampiri Virni dan segera menarik ponsel gadis itu. “Aku memanggilmu. Ke mana perhatianmu?” ucap Yasmin.Virni terkekeh sambil menatap wajah kesal Yasmin. “Ada apa?” tanya Virni.“Ajari aku membuat ku
Yasmin melambai riang begitu melihat Aliandra dari kejauhan. Pria itu terlihat sangat rupawan dengan setelah jas berwarna hitam dan dasi berwarna navy. Belum lagi ditambah dengan kacamata yang ia kenakan, membuatnya terlihat semakin memesona.Yasmin mengecup pipi Aliandra begitu ia tiba di samping pria tampan yang sekarang berstatus sebagai suaminya tersebut. Aliandra terkejut dengan sikap Yasmin, tetapi ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Apalagi banyak mata yang sedang mengawasinya saat ini.“Selamat siang, semua,” ucap Yasmin, tersenyum ramah kepada semua orang yang sedang duduk bersama dengan suaminya.Mereka yang disapa, balas tersenyum dan menyapa Yasmin dengan ramah.“Istri Anda sangat cantik, Pak Andra. Anda sangat beruntung mendapatkan istri secantik dia,” ucap salah satu rekan bisnis Aliandra.Aliandra yang sejak tadi sibuk membaca dokumen seketika mendongak dan melempar senyum ramah kepada rekan bisnisnya itu.
Eza memasuki ruang makan dan duduk tepat di hadapan Aliandra. Ia menyapa saudara tirinya itu dengan ramah sebelum mengambil sepotong roti yang tersaji di atas meja.“Selamat pagi, Ayah mertua!” Eza juga menyapa Waluyo.Waluyo dan Aliandra sama-sama tersedak mendengar kalimat yang diucapkan oleh Eza Mahesa.“Ada apa? Aku salah bicara?” tanya Eza, lalu menyuapkan sepotong roti dengan utuh ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan kasar.“Aku yang menikah, lalu kenapa Waluyo menjadi ayah mertuamu juga? Bukankah dia hannyalah ayah mertuaku,” ujar Aliandra.Eza tertawa terbahak-bahak mendengar kejengkelan dalam nada bicara Aliandra. “Jangan bilang kalau kamu cemburu? Tenang saja, aku tidak akan menyebut Yasmin sebagai istriku juga,” ucapnya dengan seringai jahil. “Walaupun harus kuakui, tadinya aku hampir tertarik dengan istrimu itu. Untunglah aku dapat mengendalikan diri.”Aliandra mend