Awan tipis bergerak lambat seolah tak ingin buru-buru meninggalkan kota. Andreas duduk di kursi kulit dalam ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya memantulkan siluet gedung-gedung tinggi Kuningan. Dokumen dan kertas di meja mulai berkurang, meski ada beberapa laporan belum disentuh. Kopi hitam di cangkir mengepul pelan, aroma pahitnya mengisi udara. Untuk pertama kalinya dalam 2 minggu, Andreas merasa sedikit lebih bersemangat—bukan karena bebannya hilang—tapi belajar menyelesaikannya dengan cara berbeda.
Ponsel bergetar di saku jas, pesan dari Rina masuk: “Kak, jangan lupa makan siang. Aku titip ke Bima kalau kamu skip lagi, bakal kukuliahin panjang.” Andreas tersenyum kecil membacanya. Jari-jari mengetik balasan singkat: “Iya, Rin. Tenang aja.” Ia meletakkan ponsel, lalu menatap layar laptop yang menampilkan e-mail dari tim promosi. Subjeknya: Revisi Logo SmartGrid – Draft Final. Pengirimnya Lara.
Andreas membukanya. Lampiran berisi tiga variasi logo muncul. Garis-garis lebih tegas, dan warna biru lebih hidup seperti yang ia sarankan. Hijau tetap lembut, tetapi tidak tenggelam. Ada catatan singkat dari Lara di badan e-mail: “Ini versi terbaru, Pak Bos. Kalau masih ada masukan kasih tahu, ya. Jangan lupa makan banyak biar bersemangat! Sesekali orang dewasa perlu beli es krim juga loh!” Diakhiri dengan emotikon es krim banyak. Andreas menggeleng pelan, tapi sudut bibirnya terangkat. Ada sesuatu dalam cara Lara berkomunikasi—ringa, santai, tapi tulus—semua itu membuatnya sulit tidak tersenyum.
Sebelum ia sempat membalas, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dua kali. Bima masuk dengan ekspresi sedikit tegang. Di tangannya sebuah tablet menyala terang, menampilkan suatu lembar kerja. “Pak, maaf ganggu. Ada kabar dari tim produksi SmartGrid. Mereka bilang jadwal peluncuran bisa dipercepat kalau logo dan branding selesai minggu ini. Tapi … investor minta ketemu Bapak sore ini buat konfirmasi anggaran," katanya.
Andreas menghela napas, jari-jarinya mencengkeram sisi meja sesaat. “Sore ini? Bima, aku ada janji sama Dokter Rudi jam lima. Bisa ditunda nggak?”
Bima mengerutkan kening, lalu mengecek tablet: “Susah, Pak. Mereka dari Singapura, cuma transit di Jakarta hari ini. Besok pagi sudah balik.”
Andreas menghela napas, pikirannya berputar cepat. Kunjungan ke dokter adalah janji yang ia buat seminggu lalu—bukan untuk Maya, melainkan dirinya sendiri. Setelah desakan Rina dan Maharani, ia setuju dengan konselor yang direkomendasikan untuk menghadapi duka. Tapi pekerjaan ini … SmartGrid adalah proyek besar, ia tahu perusahaan membutuhkan kehadiran yang pemimpin dalam kendali penuh.
“Jam berapa mereka datang?” tanya Andreas akhirnya. Ia terlihat penasaran. Sang asisten menoleh padanya.
“Jam empat, Pak,” jawab Bima sambil tersenyum. “Mungkin selesai dalam satu jam kalau cepat," katanya.
“Ya sudah atur aja, tapi pastikan aku bisa ke RS Medika sebelum jam lima. Suruh supir stand by.”
Bima mengangguk dan bergegas keluar. Andreas kembali menatap layar laptop, lalu mengetik balasan untuk Lara: “Logonya bagus, aku suka yang kedua. Kirim ke tim produksi secepatnya, terima kasih.” Ia ragu sejenak lalu menambahkan. “Untuk es krim, lain kali aku akan membelinya. Mari bersama-sama membuat proyek sukses sampai akhir.” Ia tekan send, lalu bersandar di kursi sambil terkekeh lembut.
***
Ruang rapat dipenuhi aroma teh dan kertas-kertas. Dua investor dari Singapura—pria paruh baya dengan jas Armani—duduk di seberang Andreas, sementara Rika dan Bima menemaninya di sisi meja. Presentasi belajar lancar, angka-angka dilemparkan, bahkan pertanyaan mereka dijawab begitu tegas. Andreas kembali menemukan ritmenya, meski sesekali pikiran melayang ke bayang-bayang rumah sakit dan kenangannya.
“Jadi, Pak Andreas. Kami setuju anggaran ini bila peluncurannya dapat dimajukan bulan depan,” kata salah satu investor, tangannya menunjuk ke grafik layar. “SmartGrid punya potensi, tapi kami butuh kepastian.”
Andreas mengangguk, matanya tajam meski lelah. “Aku pastikan tim produksi siap. Produk dan branding selesai minggu ini, sisanya tinggal eksekusi. Kami tidak akan mengecewakan Anda sekalian.”
Mereka berjabat tangan, dan selesai rapat tepat pukul lima. Andrea langsung bergegas ke mobil, jasnya dilepas dan diletakkan di kursi belakang. Ia sampai di RS Medika Senayan pukul lima lebih seperempat jam. Napas agak tersengal saat melangkah ke ruang konselor di lantau tiga.
Dokter Lisa, konselor yang direkomendasikan Dokter Rudi menyambutnya dengan senyum hangat.Wanita berusia awal empat puluhan itu mengenakan kacamata tipis dan blazer biru tua. “Pak Andreas, selamat sore. Senang akhirnya kitab bisa bertemu.”
Andreas mengangguk, duduk di kursi empuk di depan meja kayu kecil. “Sore, Dok. Maaf kalau agak terlambat. Tadi ada urusan kantor.”
“Tidak apa-apa, Pak,” jawab Dokter Lisa pengertian. “Bagaimana perasaan Bapak hari ini?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi sukses membuat Andreas terdiam. Ia menatap jendela, lalu kembali ke Dokter Lisa. “Capek,” katanya jujur. “Tapi … entah kenapa aku merasa harus tetap jalan. Keluarga bilang aku harus bangkit, pekerjaan nyata-nyata butuh aku. Tapi di dalam sini—” Ia menunjuk dada. “—kayak ada yang kosong.”
Dokter Lisa mengangguk, mencatat sesuatu di buku kecilnya. “Itu wajar, Pak. Kehilangan seseorang yang dicintai, apalagi Anda bertahan selama lima tahun penuh harapan. Pasti meninggalkan lubang besar. Apakah Bapak merasa bersalah karena melanjutkan hidup?”
Andreas menatap tangannya sendiri, jari-jarinya saling mengunci. Salah satunya ada cincin pernikahan yang tidak ia lepas sampai sekarang. Lelaki itu menatap dengan bentangan memori membias dalam. “Iya, aku merasa … kayak ninggalin Maya setiap kali mulai seneng. Tapi akhir-akhir ini aku ketemu dengan seseorang, yang entah kenapa membuat aku lupa beban dan kesedihan. Itu justru bikin aku takut.”
“Takut karena apa?” Nada Dokter Lisa tetap tenang.
“Taku aku lupa Maya sepenuhnya,” jawab Andreas pelan. “Atau mungkin … aku nggak seharusnya bahagia setelah istriku sakit dan berjuang selama ini. Aku tidak cukup mumpuni untuk mempertahankan dia.”
Dokter Lisa tersenyum kecil. “Bapak tidak akan pernah kehilangan Maya, Pak. Dia bagian dari hidup Bapak, dan itu nggak akan pernah berubah. Ia pernah hadir, kalian pun memiliki waktu tersendiri dan momen manis bersama. Tapi, bahagia lagi bukan berarti Bapak mengkhianatinya. Itu berarti Bapak menghormati hidup yang masih Bapak punya. Coba ceritakan tentang orang yang Bapak temui itu.”
Andreas terlihat ragu, tetapi akhirnya bicara. “Hm—itu … Namanya Lara. Aku bertemu dengannya di kafe kapan hari, cuma ngobrol biasa. Tapi sekarang dia kerja bareng timku untuk sebuah proyek perusahaan. Dia … entah kenapa membuatku merasa normal kembali. Seperti orang yang tidak tahu apa pun, tetapi tulus setiap berkata-kata.”
“Itu kabar bagus, Pak,” kata Dokter Lisa. “Kadang kita butuh orang untuk melihat kita apa adanya sekarang, bukan sekedar bayangan kejadian baik yang pernah kita alami. Bapak boleh kasih ruang untuk itu sedikit demi sedikit. Tidak ada yang salah dalam usaha memperbaiki diri.”
Sesi berlangsung sejam, dan Andreas keluar dengan langkah tak terlalu berat. Di parkiran ia menatap langit yang mulai gelap. Bintang-bintang kecil mulai bermunculan, ponselnya bergetar lagi—pesan dari Lara: “Logo kedua udah kukirim ke tim produksi. Semoga sukses ya, Bos besar! Aku menunggu kabar bahagianya!”
Andreas refleks mengulum senyum saat menatap pesan tersebut. Dia membalas “Terima kasih, Lara. Kamu pun jangan lupa beristirahat. Makasih udah bikin hari ini terasa lebih mudah dilalui.” Setelahnya ia masuk ke mobil. Malam itu, untuk pertama kalinya Andreas dapat terlelap hingga pagi tiba.
Lebih ramai daripada biasanya. Jalanan Jakarta dipenuhi deru kendaraan, sementara trotoar penuh dengan langkah para pejalan kaki yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Di sebuah apartemen kecil di bilangan Tebet, lara duduk di meja makan yang berfungsi sebagai tempat bekerja juga. Cahaya mentari menyelinap melalui celah-celah tirai, menerangi banyak sketsa berserakan di sekitar laptop. Secangkir the hijau mengepul di sampingnya, aroma daun bercampur baru kertas dan tinta.Lara menggulir ponsel sambil menyesap teh, mata tertuju pada pesan Andreas yang masuk semalam. “Terima kasih, Lara. Kamu pun jangan lupa beristirahat. Makasih udah bikin hari ini terasa lebih mudah dilalui.” Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa terasa berbobot daripada ungkapan biasa. Ia mengerutkan kening, jari-jarinya berhenti di layar. “Lebih mudah dilalui?” gumamnya heran. “Maksudnya apa ya?”Andreas memang terlihat lelah sejak awal mereka bertemu, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit ditebak. Pesa
Beberapa tahun lalu, di Universitas Trisakti semburat oranye lembut menyelinap diantara pepohon kampus. Andreas, mahasiswa semester akhir jurusan manajemen bisnis, duduk di taman dengan kemeja biru muda. Kainnya agak kusut dipakai seharian kuliah. Di sampingnya Maya, gadis cantik nan sederhana berusia 23 tahun jurusan Teknik indormatika memainkan ujung rambut, Helaiannya tampak indah dan tergerai jatuh. Ia mengenakan rok selutut dan kemeja putih bersih. Mata cokelatnya menatap rumput di bawah kaki ragu. Kata-katanya mengalun seperti angin berdesau lembut. “Andreas, aku nggak ngerti kenapa kamu masih mau sama aku,” katanya. “Liat tuh, cewek-cewek pada ngeliatin kamu kayak bintang film. Aku jadi … aku jadi ngerasa biasa saja karena nggak cantik dan nggak pinter banget. Kayaknya kamu salah pilih begini caranya.”Andreas menoleh, alisnya terangkat sedikit sebelum tertawa kecil. “May, kamu serius nanya gini? Kita udah setahun pacaran loh, dan kamu masih bilang aku salah pilih?” tanyanya.
“Bu Rika, terima kasih banget atas kerjasamanya,” kata Lara sumeringah. “Seneng bisa mengawal proyek ini sampai selesai, semoga SmartGrid sukses tiada usai!” ia berjabat tangan dengan Rika erat.Hiruk pikuk memenuhi gedung perkantoran di kawasan Kuningan pagi itu. Lantai 23, markas perusahaan teknologi yang dipimpin Andreas ramai oleh dekorasi modern. Banner biru dan hijau bertuliskan SmartGrid: Powering Tomorrow menghiasi ruang utama. Karyawan berlalu-lalang, beberapa membawa kota souvenir, sementara tim media menyiapkan kamera untuk acara peluncuran produk. Aroma kopi, kue-kue serta catering memenuhi udara. Menciptakan suasana semangat.Di salah satu sudut ruang rapat, Lara berdiri bersama Rika, kepala tim promosi. Ia mengenakan blazer cokelat dan celana jeans rapi. Tas selempang tergantung di bahu, sebagai tanda ia bersiap pergi. Di tangan terdapat gulungan kertas sketsa SmartGrid yang sudah jadi. Materi iklan sudah diangkat ke udara, terpampang dalam layar-layar besar.Rika membal
Saat Andreas pulang, pintu apartemen terbuka pelan. Rina masuk sambil membawa wadah berisi sop buntut dan nasi. “Kak, nih … Ibu titip. Katanya jangan cuma ngopi, makan yang bener.” Ia meletakannya ke wadah di meja. Lara melirik Andreas sekilas, penasaran sesuatu. “Wah, mukamu seger banget hari ini. Pulang juga nggak buru-buru kayak biasa. Ada apa?”Andreas menoleh sambol menyesap air, mengangguk santai. “Iya, hari ini lancar di kantor. Peluncuran SmartGrid sukses, jadi agak lega,” jawabnya, suara ringan tapia da kehati-hatian yang ingin disembunyikan.Rina mengangguk, lalu duduk di kursi sambil membuka ponsel. “Bagus dong. Seneng denger kakakku balik semangat. Ibu pasti lega mendengar kabar ini,” katanya. “Aku sih … tahu kamu bakal bangkit perlahan-lahan.”“Iya, Rin. Kasih tahu Ibu aku baik-baik aja,” kata Andreas. Ia lalu berjalan ke sofa dan duduk. Tak ingin membuka ruang untuk pertanyaan apapun lagi.“Baiklah, aku balik dulu. Sop buntut-nya jangan lupa dimakan, awas kalau cuma jadi
Sore itu, kafe kecil di kawasan Senopati dipenuhi aroma kopi panggang. Mesin espresso bersuara pelan, meja-meja kayu sederhana berjajar rapi. Dari jendela besar membiarkan cahaya mantahari menyelinap masuk. Andreas dan Lara duduk. Andreas mengenakan kemeja putih, sementara Lara sweater cokelat longgar. Rambutnya disisir rapi dan di meja mereka terdapat kopi hitam mengepul. Segelas latte disesap Lara, memburamkan gambar hati di atasnya.“Jadi, ini tempat ngopi favorit Bos Besar?” tanya Lara dengan mata berkilat penuh godaan. “Aku kira bakal diajak ke kafe fancy yang pake gelas emas gitu.”Andreas tersenyum kecil, tangan memutar cangkir kopinya. “Nggak, aku suka yang sederhana untuk ngobrol santai. Di sini kopinya enak, nggak terlalu rame.”Lara mengangguk, menatap sekeliling. “Bagus sih, cozy. Aku juga lebih suka tempat kayak gini dibanding heboh. Apalagi abis kerja rasanya pengen duduk diam aja.”“Ngomongin kerja.” Andreas meiliriknya. “Setelah dari perusahaanku, kamu sekarang ngapain?
Tumpukan sketsa menghiasi apartemen Lara. Lampu meja tua di sudut ruang tamu menyala redup. Milo, kucing oranye-nya meringkuk di atas bantal sofa. Dia mendengkur, menemani Lara yang duduk bersila di karpet. Ponsel menyala dengan notifikasi yang diabaikan sedari tadi. Pikirannya terpaku pada nama di layar: Rendra.Dengan napas berat, Lara akhirnya mengetuk pesan itu. Layar terbuka, menampilkan rangkaian kata yang membuat jantungnya bergetar. “Lara, apa kabar? Aku tahu udah lama banget nggak kontak tiga tahun ini. Aku kerja di USA, tapi minggu depan balik ke Indo bentar. Mau ketemu boleh? Ada yang pengen aku omongin.”Lara mengerutkan kening. Jarinya berhenti di atas tombol balas. “Udah bertahun-tahun, mendadak mau ketemu? Mau ngapain?” Nadanya penuh sarkasme. “Dasar nggak penting.”Setelah beberapa menit menatap layar, Lara mengetik balasan singkat. Ia tekan send, lalu meletakkan ponsel di karpet. Berusaha mengalihkan perhatian ke sketsa-nya. Tak sampai lima menit, sebuah pesan dari Ren
Lima hari kemudian, di sebuah lapangan terbuka di kawasan Kemang, sebuah bazaar seni dan desain lokal digelar. Booth-booth kayu berjejer dihiasi lampu gantung dan kain warna-warna. Tempat itu menawarkan karya seni dan pernak-pernik handmade. Pedagang kaki lima juga andil menjajakan makanannya secara keliling.Lara berdiri di salah satu booth, mengenakan jaket denim longgar. Di depannya terdapat meja kecil berisi sketsa cetak dan stiker desain buatannya. Lara kadang mengerjakan proyek sampingan untuk menambah penghasilan. Ia melayani pembeli sambil mengobrol dengan mereka. Selama lima hari Lara mencoba melupakan kekesalannya terhadap Rendra dengan terus berkarya. Kepalanya refleks menepis bayang-bayang lelaki itu setiap datang.Tak jauh dari situ, Andreas melangkah masuk area bazaar. Ia datang atas saran Bima, asistennya yang bilang ada booth bertema teknologi di sini yang mungkin bisa dijadikanmitra proyek berikutnya. Lebih dari itu, Andreas butuh udara segar. Kantor terasa pengap akhi
Pertemuan tak sengaja itu terasa berbeda bukan hanya karena kehadiran Rendra yang membawa ketegangan, tapi senyum Lara yang lagi-lagi meringankan beban dada. Andreas menghela napas, jari-jarinya memutar gelas air. "May, aku nggak tahu ini apa," gumamnya dalam keheningan malam. "Aku cuma ngobrol sama dia, tapi rasanya menyenangkan banget."Malam itu, langit Jakarta digantungi awan tipis. Andreas duduk di balkon apartemen sambil membawa segelas air. Benda itu menggantikan wiski yang menemani hari-hari sebelumnya.Pesan Lara menyadarkan Andreas dari lamunan: "Pak Bos, stikernya udah dipasang belum? Jangan cuma disimpan ya? Milo bakal sedih." Disertai emotikon kucing menangis.Andreas segera menanggapi gadis itu sambil membayangkan wajahnya. "Makasih buat sore tadi, seru banget liat kamu jualan. Bentar lagi aku pakai."Tak sampai semenit Lara menyahut: "Sama-sama, seneng kamu di sana. Tapi lain kali bantu jualan beneran ya. Aku kasih komisi 30%, pasti laris manis kalau yang handle ganteng
Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke
Malam di Bali terasa lembut, ditemani suara ombak yang terdengar dari jendela kamar hotel. Angin laut menyelinap masuk, membawa aroma garam bercampur bunga kamboja taman bawah. Lampu kamar sengaja diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu meja. Suasana itu menciptakan ketenangan yang membungkus Andreas dan Lara, seolah dunia di luar sana berhenti berputar untuk mereka.Lara masih duduk di tepi ranjang, buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil bergerak lincah, menggoreskan garis-garis halus yang perlahan membentuk sesuatu. Andreas yang sudah melepas kemeja luar kini hanya mengenakan kaus sederhana. Sang kekasih duduk di sampingnya sambil memandang penuh perhatian. Andreas tahu Lara suka memberi kejutan, dan ia menikmati momen menunggu.“Jadi, besok pagi ke pantai lagi?” tanya Lara sambil tetap fokus pada gambar.“Ya, aku pengen lihat sunrise bareng kamu,” jawab Andreas. Ia menggeser posisinya sedikit lebih dekat. “Terus abis itu kita cari sarapan. Ada tempat bagus katany
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir seperti bisik.
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap.“Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.”Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir