Beranda / Romansa / Wasiat Cinta Ayah / Bab 5: Istriku Secantik Itu?

Share

Bab 5: Istriku Secantik Itu?

Penulis: Rihanna Roi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 15:27:39

- Flashback -

Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.

Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.

Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebenarnya dia tidak membeda-bedakan antara dirinya dengan para pelayan, hanya saja waktu itu hidupnya masih dibayang-bayangi masa lalu yang telah mengubahnya menjadi seorang penyendiri.

Kesadarannya kembali ke masa kini sewaktu mobil itu melaju melewati gerbang. Adler masih mengamatinya sampai benar-benar lenyap di jalanan. Kemudian, dia memutuskan duduk di birai jendela sekadar untuk menyegarkan pikirannya yang kacau sejenak. Adler tidak mengingat kapan terakhir kali dia menghabiskan waktu untuk bersantai. Setelah hari yang menghancurkan hatinya, kala itu sudah bertahun-tahun berlalu. Adler jadi lebih gemar membenamkan diri dalam pekerjaannya.

Cukup lama dia termenung di sana. Melamunkan berbagai hal, termasuk nasib rumah tangganya. Laura jelas sekali berusaha untuk menjalankan. Perannya sebagai seorang pasangan. Namun dia terus mengabaikannya dan lebih memilih berkencan dengan pekerjaannya. Membunuh waktu dari pagi sampai malam hanya dengan berkutat di balik laptop yang terbuka dan bergunung-gunung kertas dokumen. Sebenarnya itu sangat mengusiknya, tetapi Adler masih belum menemukan titik terang akan perasaannya sendiri.

Terlebih dia menyadari ada hal yang tidak benar dalam pemikahan ini.

***

Sebelum waktu makan siang tiba, Laura sudah pulang dan menyiapkan. Makan siang untuk mereka. Adler turun ke ruang makan yang menyatu dengan dapur, sekalian memeriksa keadaan Laura tanpa berniat memberi perhatian lebih atau semacamnya. Hanya ingin memastikan bahwa Laura baik-baik saja dan itu sudah cukup baginya. Beban hatinya seketika sirna sewaktu menemukan Laura tengah sibuk menyiapkan makan siang di dapur.

Tak ada pembicaraan di meja makan, Laura bahkan tidak mengatakan apa-apa ketika sedang menyajikan makanan untuknya. Sebelumnya, Laura lebih banyak bicara saat mengantar sarapan untuknya. Tiba-tiba dia menjadi sangat pendiam begini. Jujur saja Adler merasa sangat tak nyaman dengan sikapnya. Laura membuatnya gusar sepanjang waktu makan siang. Gadis itu langsung menghimpun peralatan makan yang kotor, lantas mencucinya di bak. Tanpa sepatah kata apa pun.

Adler masih belum mengerti apa yang telah menyebabkan keceriaan Laura menyurut, namun hatinya mengatakan bahwa dia pasti akan menyesal. Seandainya belum meminta maaf padanya. “Mungkin sebaiknya aku melihat keadaan Laura sekarang.”

“Tuan Laura sedang berada di kamar,” kata Nifa sewaktu Adler berpapasan dengannya dan menanyakan di mana Laura.

Dia menyusuri lorong yang mengarah ke kamarnya seraya mempercepat langkah. Entah mengapa Adler sangat ingin segera melihat keadaan Laura, ya ... mungkin karena dia sedikit gelisah mengingat bagaimana raut wajah terluka Laura tadi pagi. Begitu langkahnva mencapai pintu kavu berpelitur.

Dia menyusuri lorong yang mengarah ke kamarnya seraya mempercepat langkah. Entah mengapa Adler sangat ingin segera melihat keadaan Laura, ya ... mungkin karena dia sedikit gelisah mengingat bagaimana raut wajah terluka Laura tadi pagi. Begitu langkahnya mencapai pintu kayu berpelitur, Adler langsung meraih gagangnya dan menguak perlahan. Daun pintu kayu itu pun terdorong halus ke dalam ruangan dan menyuguhkan pemandangan tak terduga di sana.

Laura tampaknya baru selesai mandi saat berdiri di dekat ranjang dengan posisi agak menyerong membelakangi Adler. Mantel handuknya sudah teronggok pasrah di atas selimut, membiarkan kulit tubuhnya yang mulus, sedikit pucat, dan kencang terbuka dengan tetesan air menitik dari setiap ujung rambutnya. Laura terlihat begitu mungil dan ramping selayaknya gadis pada umumnya, namun parasnya memiliki kesan yang berbeda daripada yang lain. Garis wajahnya terpahat lembut dan feminin.

Adler cukup sering melihat Laura di rumahnya saat ayahnya masih hidup. Namun dia baru menyadari betapa cantiknya Laura dengan kulit wajah yang agak pucat dan bersemu merah muda sebagaimana warna kelopak bunga sakura. Pandangan Adler teralih pada jemari lentik Laura yang sedang mengupas kancing kemeja biru di tangannya. Selintas saja dia terbayang betapa halusnya jemari itu apabila mencakar-cakar kulitnya bagaikan kucing betina yang minta dipuaskan.

Ya, Tuhan!

Sesaat saja Adler mengutuk apa yang tengah terjadi pada tubuhnya. Detak jantungnya bertambah dua kali lebih cepat, sementara darahnya berdesir deras di dalam pembuluhnya seperti aliran jeram di sungai. Desiran itu dengan cepat berpusat ke satu titik yang berada tepat di antara selangkangannya. Inikah reaksi alamiah pria ketika melihat tubuh polos istrinya?

Ada dua pilihan yang timbul di kepalanya. Pertama, segera tutup kembali pintunya dan pergi. Lalu kedua ... bawa Laura ke ranjang. Akal sehat Adler jelas memilih opsi pertama tetapi pilihan kedua terasa sangat menggoda. Tidak!

Adler seharusnya pergi dari sana, namun kedua kakinya bagai dipaku ke lantai marmer sialan dan dingin ini. Dia tidak bisa pergi ke mana pun, bahkan lehernya mendadak kaku. Kenyataan berkata bahwa dia masih berdiri di ambang pintu sambil memandangi Laura yang baru selesai menguak kancing terakhir seolah dia adalah seorang pengintip mesum.

Adler tidak sadar, dia hampir saja melepaskan apa yang selama ini tak pernah dibiarkannya bebas. Sampai lengkingan tinggi menyadarkannya. Sebelum jiwa pria yang bersemayam dalam dirinya menguasai dan memerintahkan untuk menyerang Laura detik itu juga. Tidak jauh di depannya, Laura menjerit panik dan beringsut menjauhinya sampai punggungnya menubruk tembok dingin.

Kemeja linen yang belum sempat dikenakannya kini dijadikan penutup tubuh walau tidak mampu menutup secara keseluruhan. Dalam jarak jauh, Adler masih bisa menyaksikan wajahnya yang menunduk dan memerah sangat manis. Sementara napas Laura terengah-engah. Merasa malu sekaligus terkejut. “Ad ... ler, apa yang kau-“

“Laura aku-“ tiba-tiba Adler tergagap, pandangan matanya masih tertuju pada Laura yang sekarang meringkuk sambil berusaha melindungi area di bawah leher dan selangkangan dari cakupan mata Adler. Terlihat kentara dadanya yang kembang-kempis di balik kemeja linen itu.

“Keluar!” Nada suara Laura meninggi, Adler terhenyak.

Kemudian pria itu menatap Laura sendu seolah ingin meminta maaf sebelum berbalik dan menutup pintu di belakangnya. Debaran itu masih berdentam keras di dadanya, Adler menyandar ke pintu, lalu gravitasi mulai menariknya sampai merosot ke lantai. Tiba-tiba Adler tersentak tatkala sesuatu mengeras di bawah otot perutnya, dia menunduk dan mendapati kejantanannya telah bangkit dari tidur panjangnya selama bertahun-tahun. Adler mendengus kasar sembari memijat pangkal hidung yang berdenyut. Bisa-bisanya dia terangsang begitu saja hanya karena melihat tubuh telanjang Laura.

Terkutuklah dirimu, Adler Smith!

Tatapan biru Adler masih sangat memengaruhinya untuk beberapa waktu. Laura tidak mengetahui apa yang sedang dipikirkan Adler sewaktu menyaksikan tubuhnya tanpa sehelai benang. Namun sorot matanya mengatakan sesuatu yang membuat Laura seketika memanas memikirkannya. “Mana mungkin dia tertarik padaku, mustahil!”

Laura menggeleng-gelengkan kepala. Mencoba menahan pikirannya supaya tidak terseret jauh membayangkan betapa gagahnya seorang Adler Smith. Pria itu adalah dambaan banyak orang. Laura pernah melihat bukti nyata kesempurnaan tubuh Adler saat datang mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya dari ayah Adler. Kala itu Adler baru saja selesai berolahraga sehingga kulitnya yang terbuka mengilat basah oleh keringat. Tubuh atletisnya yang jangkung dan kekar itu memiliki lekukan otot yang sempurna.

Tentu saja Laura waktu itu tak sengaja melihatnya karena tersesat ketika mencari toilet di rumah yang luar biasa besar itu dan sialnya, Adler berbalik memergokinya. Laura masih ingat rasa malu yang begitu besar menyergapnya sampai lututnya gemetar. Akan tetapi, mengingat sikap dingin Adler terhadapnya selama ini mengempaskan harapannya seketika. Sejak pandangan pertama, Adler tak pernah menunjukan sikap manis atau hanya sekadar bersahabat sedikit pun. Adler ibarat sebongkah gunung es yang teramat sulit dicairkan.

Laura merasakan kering yang melanda kerongkongannya. Lalu dia beranjak turun ke dapur untuk mengambil segelas air. Namun sebelum sempat menaiki tangga dan kembali ke kamar, matanya menangkap sosok Adler yang sudah terlelap di sofa. Panjang sofa yang tidak seberapa dibanding panjang tubuhnya memaksa Adler menekuk lutut. Laura berpikir itu akan membuatnya pegal-pegal saat bangun nanti. Tak tega, dia menghampirinya kemudian menepuk bahu Adler agar segera bangun.

“Laura, ada apa?” Adler bertanya, suaranya terdengar serak dan berat khas bangun tidur.

“Naiklah ke atas, kau hanya akan membuat badanmu sakit di sini.”

Adler mengerjap beberapa kali lalu menatapnya tak percaya. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Ah, aku ... minta maaf untuk apa yang telah terjadi.” Pernyataan Adler membuat Laura terperangah. Tak pernah menyangka bahwa suaminya yang terkenal dingin dan kaku ternyata tidak seburuk itu.

Tanpа bisa ditahan-tahan, Laura mengulas senyum manisnya. Dia tak mengerti Adler meminta maaf untuk apa. Tetapi melihat sisi manisnya ini sungguh menyenangkan hatinya.

“Jangan dipikirkan,” ujarnya lirih, “ayo, kita punya kamar yang nyaman.”

“Apa kau tak masalah tidur denganku, Laura?”

Laura mengernyit, pertanyaan Adler terdengar ragu-ragu. Dia merona begitu teringat tragedi memalukan itu lantas tersenyum canggung. “Kau suamiku, Adler, bahkan jika kau ingin mengambil apa yang ada padaku, aku tidak keberatan.”

Bab terkait

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 6: Kecemburuan Cinta

    Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

    Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 6: Kecemburuan Cinta

    Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 5: Istriku Secantik Itu?

    - Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

    Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan

  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status