Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares.
"Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini." Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu. "Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu. "Sebentar lagi, Laura." "Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares." Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura, namun tangannya tetap memegangi bahu Laura yang tidak tertutup gaun pengantin. Gadis yang baru saja resmi menjadi Mrs. Smith itu bergidik ngeri saat beradu pandang dengan anak bungsu keluarga Jackzares. Ada kekecewaan dan perasaan terluka di dalam mata yang dulu selalu menyorot ceria itu. Aro telah berubah, pikir Laura. "Kau hanya memanggilku Jackzares saat marah padaku," Aro berkata, tanpa sadar dia mencengkram bahu Laura hingga lelaki itu mengaduh pelan. "Siapa yang seharusnya marah di sini, Laura?" Aro mengatakannya dengan nada tegas sekaligus lirih. Bola mata Laura terasa memanas hingga cairan bening merembes dari balik kelopak pucat yang terkatup rapat. Dia tidak ingin melihat kemarahan Aro yang tersulut semenjak dia mengakhiri hubungan mereka hari itu. "Padahal aku sangat mencintaimu, aku ingin menikahimu, juga punya anak denganmu. Tetapi apa yang kaulakukan, Laura?" Laura mulai terisak. Kening mereka bersentuhan, Aro mengusap lembut pipi Laura dengan jari telunjuknya lalu turun ke bibir. Permukaan lembut berwarna merah muda yang dulu pernah dirasakannya, sampai saat ini pun masih sangat disukainya. Laura senantiasa menjadi bagian permanen dalam hidupnya. Cinta sejatinya. "Bagaimana aku harus menerima semua ini, Laura? Melepaskanmu setelah apa yang kita lalui bersama, apa salahku sampai kau lebih memilih pria itu tiba-tiba?" Aro terus menuntut jawaban darinya. Aura Aro yang begitu mengintimidasi membuatnya tidak nyaman dan ketakutan. "K-kau ... sama sekali tidak salah, Aro, ini keputusanku sendiri, maafkan aku." "Ini terlalu menyakitkan, Laura." "Maaf ... aku mohon lepaskan, Aro." Kedua bahu pucatnya berupaya menggeliat dari cengkraman Aro. Tubuh kecil dalam balutan gaun putih itu memberontak tetapi Aro malah berbalik memeluknya lagi. Semakin Laura melawan kungkungan Aro, lelaki itu kian menguatkan lengannya di sekeliling Laura. Wajahnya yang berlinang air mata pun dibenamkan di dadanya yang bidang sampai Laura menyerah dan semakin sesenggukan tak kuasa karena takut dan merasa bersalah. "Jangan seperti ini, Aro, aku sudah menikah. Tolong mengertilah!" "Lalu bagaimana dengan perasaanku dan kau sendiri, apakah kau sungguh mencintainya?” Laura terbungkam tak bisa menjawab. Ingatan ketika Adler menegaskan bahwa tidak akan pernah ada cinta di pernikahan mereka hari itu bergaung hingga membuat kepalanya seketika berdenging. Laura tidak mencintainya, begitu pula dengan Adler. Atau setidaknya belum. Apa pun itu yang pasti mereka sudah menikah, tidak perlu alasan lain bagi Laura untuk tetap mencintai Aro seperti dulu saat dia masih seorang Rosaria. “Kau tak bisa menjawabnya, kan?” Aro berbisik, satu tangannya terangkat mengelus puncak kepala yang tertutup tudung pengantin tipis. Tubuh Laura semakin bergetar seiring aliran sungai kecil di kedua belah pipinya. Hatinya sudah sangat sakit karena kehilangan figur seorang ayah. Perasaannya tercabik-cabik harus melepaskan lelaki yang mencintai dan dicintainya. Tetapi di atas semua itu, janji tetaplah janji. Laura tidak bisa seenaknya mengingkari. “Lepaskan dia, Aro.” Suara lain menginterupsi tetapi bukan Adler. Dua orang yang masih melekat itu menoleh dengan ekspresi yang berbeda, Laura terkejut sedangkan Aro masih bertahan dengan raut sedingin es. Zack Jackzares menghampiri mereka. Pria yang satu ini adalah kakak tiri Aro juga salah satu rekan bisnis Adler. Matanya serupa milik Aro namun lebih hangat dan memancarkan humor. Akhirnya Laura bisa menghirup sedikit napas lega tatkala Aro menarik lengannya dan menjatuhkan di sisi tubuh. Cairan kental dalam pembuluh darahnya mendesir deras sementara Otot-ototnya menegang kaku saat menyadari bahwa Aro sangat marah dengan keputusannya, ketidakrelaan yang tercetak jelas di wajahnya. “Kau bisa melukainya, Aro, kendalikan emosimu.” “Aku tidak terima.” Aro menggeram. “Tapi kau hanya akan memberinya masalah besar,” sergah Zack, “dia sudah menjadi istri Adler. Kau harus mengerti.” Laura menyaksikan Zack yang menarik lengan adiknya hendak membawanya pergi tetapi tubuh jangkung dan atletis itu sama sekali tidak tergerak. Mata cokelat itu menggelap pada Laura yang masih terguncang akibat emosinya. “Maafkan aku,” Laura berbisik rendah. “Semuanya akan beres, Laura, sebaiknya kau kembali pada Adler.” “Tapi Aro ...” “Dia dalam pengawasanku,” janji Zack. Ekspresinya seolah berkata, jangan khawatir. “Laura?” Sosok lain akhirnya muncul. Adler masih terlihat bugar meskipun dia telah bergerak ke sana ke mari menyambut tamu-tamu yang berdatangan. Sekilas dia beralih kepada Jackzares bersaudara, menyapa mereka dengan senyuman tipis. “Senang semuanya berjalan lancar.” Zack menyikut pelan rusuk Aro. “Kalian benar-benar pasangan yang serasi, iya ‘kan?” Jaczares berambut gelap berdeham lalu menyahut. “Kelihatannya begitu.” Aro terdengar kesal, Laura tahu dia masih menolak kenyataan. Walaupun Aro juga memberikan senyuman kecil, itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan rasa sakit hatinya. Laura mendapati sekujur tubuhnya gemetar, cemas dan resah karena dia sangat mengenal Aro. Lelaki itu kalau sudah terobsesi pada sesuatu, apa pun akan dilakukannya bahkan jika dia harus melukai orang lain. Laura sangat takut kalau Aro sampai melakukan sesuatu yang tak terduga Waktu hampir mendekati tengah malam namun Laura masih belum terlelap. Adler sedang berada di ruang kerjanya, ada berkas yang harus diperiksa katanya. Namun Laura tahu itu hanya kedok belaka karena semestinya dia mendapatkan hari libur sebab pernikahan. Tak mungkin perusahaan mengharuskannya tetap bekerja saat cuti, ‘kan? Adler hanya ingin menghindari malam pertama mereka, memikirkan hal itu. Membuat Laura tersenyum prihatin. Bukan karena dia berharap Adler akan langsung menyentuhnya, melainkan karena dia merasa miris dengan pernikahan ini. Mereka tak saling mencintai tetapi harus terikat dalam pernikahan atas nama wasiat. Menyedihkan sekali pernikahan ini, Laura meledek dirinya sendiri. Selain itu, bayang-bayang Aro juga masih menghantui pikirannya. Menghunjamkan rasa nyeri yang menyayat hati, membuat jiwanya menjeritkan derita akibat perasaan bersalah, ketakutan, dan bimbang. Laura merapatkan lututriya ke dada dan memeluknya. Tiba-tiba pintu dibuka dari luar, menampakkan tubuh tegap Adler yang kelihatan letih. Entah apa saja yang sudah dia lakukan di ruang kerja, Laura memilih diam dan menunggu sampai pria itu mengunci pintu lalu menekan saklar sehingga suasana berubah temaram. Langkah tegas Adler yang menuju ranjang mengisi keheningan kamar. Jemari Laura meremat piyama satin yang dikenakannya, masih bergeming ketika sisi lain ranjang diduduki Adler. “Kau tak perlu menungguku,” kata Adler. Bernada rendah dan dingin. “Aku hanya tidak bisa tidur.” “Hari ini sangat melelahkan. Tidurlah, Laura.” Laura memandang sejenak Adler yang membaringkan diri dengan punggung menghadap ke arahnya. Mengabaikan dirinya yang diserang insomnia. Sepanjang malam.Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan
Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu
- Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe
Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..
Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang
Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan
Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..
- Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe
Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu
Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan
Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,
Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan
Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang