Sore itu langit Jakarta mulai memerah di ufuk barat, menyisakan cahaya lembut yang menyelinap melalui jendela kamar 407 di RS Medika Senayan. Andreas baru saja meninggalkan ranjang Maya setelah kunjungan singkat. Kini ia duduk di balik kursi kemudi sedan hitamnya. Andreas berhenti di lampu merah di kawasan Sudirman. Tak jauh dari rumah sakit. Jas hitamnya tergeletak di balik kursi penumpang. Kemeja putih Andreas agak berkeringat setelah hari yang panjang. Ia menyalajan musik klasik, mencoba mengusir keheningan ketika ponsel dalam dashboard bergetar keras.
“Nomor rumah sakit?” batin Andreas. Tak seperti biasanya, jantung Andreas pun berdebup kencang. Dia mencoba menenangkan diri sebelum menekan tombol accept. “Mungkin cuma laporan rutin. Tapi … kenapa nggak secara offline tadi?”
“Halo?” kata Andreas.
“Halo, Pak Andreas?” suara perawat di ujung telepon terdengar canggung dan penuh hati-hati. “Ini dari RS Medika Senayan. Saya … saya perlu bicara soal Ibu Maya.”
“Apa kabarnya?” tanya Andreas cepat. Nada tegas menyembunyikan getaran kecil di ujung kalimat. Tangan mencengkeram kemudi lebih erat, dan mata tertuju ke lampu merah yang masih menyala.
Perawat itu terdiam sejenak, lalu berkata. “Maaf, Pak. Baru saja Ibu Maya … beliau meninggal. Elektrokardiogram di kamar 409 mendadak berubah flatline. Kami sudah mencoba resustasi, tapi tidak ada respon. Dokter Rudi sudah berusaha tetapi tidak ada perubahan apa pun.”
“Apa?” Seketika Andreas merasa dunia sekitarnya membeku. Bunyi klakson mobil di belakangnya terdengar jauh. Lampu merah yang berubah hijau tak lagi ia pedulikan. “Nggak mungkin. Aku baru dari sana, tadi aku di kamarnya! Dia … dia baik-baik saja tadi, sungguh!”
“Saya tahu ini berat, Pak,” balas perawat itu, suaranya penuh empati. “Kami juga kaget, kondisinya masih stabil saat Bapak pergi. Tapi tiba-tiba drop beberapa menit kemudian. Bisa Bapak balik ke sini secepatnya? Dokter Rudi ingin menyampaikan sesuatu.”
Andreas pun tak menjawab dan memutus telepon tanpa pamit. Tangannya gemetar meletakkan ponsel kembali ke dashboard. “Nggak mungkin,” katanya lebih keras seolah menolak kenyataan. Dengan gerakan cepat, Andreas memutar setir mengarahkan mobil menuju rumah sakit yang baru dia tinggalkan. Jalanan sore itu pada, tapi Andreas memaksa masuk celah-celah. Pikiran kacau dan tanpa sadar lelaki itu meneteskan air mata.
“Sayang ….”
Di kamar 407, Andreas berdiri di depan ranjang Maya yang kini kosong. Selimut sudah dilipat rapi dengan buket mawar putih yang dia bawa tadi sore. Kelopaknya mulai gugur. Alat-alat yang biasanya berbunyi kini diam, menyisakan keheningan menusuk ke dalam dada.
Dokter Rudi berdiri di sampingya memegang berkas medis dengan ekspresi muram. Lelaki itu membiarkan Andreas menerimanya dengan tatapan mata kosong.
“Aku benar-benar nggak ngerti, Dok ….” kata Andreas dengan suara serak. “Tadi aku di sini memegang tangannya, dan bakal balik seminggu lagi. Dia juga nggak ngasih tanda apa-apa.”
Dokter Rudi menghela napas panjang. “Kami juga terkejut karena CCTV menampilkan, saat Bapak pergi paramternya masih stabil. Tapi beberapa menit setelah itu detak jantung pasien berhenti tiba-tiba. Kami tim medis mencoba memeriksa kondisinya setelah itu, namun beliau ternyata sudah pergi. Kami mohon maaf sebesar-besarnya.”
Andreas menatap dokter itu, matanya merah. “Jadi, ini salah siapa, Dok? Salahku karena ninggalin dia tadi? Atau Bapak yang nggak merhatiin dia lebih baik?” tukasnya.
“Ini bukan salah siapa-siapa,” jawab Dokter Rudi pelan. “Kecelakaan lima tahun lalu telah mengambil banyak dari hidup pasien. Tubuhnya hanya sanggup bertahan sampai di sini.”
Andreas tertawa kecil, tapi tak ada kegembiraan di dalamnya. “Lima tahun belakangan aku masih ngomong sama dia, dan sekarang Bapak bilang dia pergi begitu saja?” katanya. Dokter Rudi pun meletakkan tangan di Pundak Andreas, untungnya tidak ditepis kasar.
“Bapak sebaiknya istirahat sejenak,” kata Dokter Rudi. Dia pun keluar, untuk membantu proses pemindahan jenazah. Andreas sendiri tahu harus mengurus pemakaman, dokuman dan segalanya secepat mungkin. Namun dirinya duduk dan tenggelam dalam duka yang menyerang tanpa aba-aba. Di dalam dirinya, ada bagian dari hati Andreas yang mati bersama sang istri tercinta.
“Kenapa kamu nggak menunggu aku mikir dulu, May?” batin Andreas. “Kenapa kamu meninggalkan aku kayak gini,”
Seminggu setelah kematian Maya, apartemen Andreas di kawasan Menteng terasa lebih sunyi daripada biasanya. Di meja makan, laporan keuangan perusahaan yang seharusnya ia tandatangani masih terbuka, pena tergeletak begitu saja di samping kopi. Andreas duduk di balkon, memandang lampu kota yang berkelap-kelip, segelas whiski di tangannya hampir kosong. Andreas tak ingat kapan terakhir tidur lebih dari dua jam.Di kantor efek duka tersebut terlihat nyata. Andreas yang biasanya tegas nan penuh kendali, kini sering membatalkan rapat tanpa alasan jelas. Asistennya, Bima sudah tiga kali mengingatkan presentasi penting dengan investor minggu depan, tapi Andreas hanya menjawab dengan tatapan kosong. “Nanti saja,” katanya.Email-email kantor menumpuk di kotak masuk. Telepon dari mitra bisnis hanya dijawab dengan pesan singkat oleh Bima: “Pak Andreas sedang tak bisa diganggu.”Pagi itu pintu apartemen diketuk keras, dan Andreas mengabaikannya. Namun, ketukan itu berubah menjadi dering bel yang tak
Langit Jakarta cerah untuk pertama kalinya dalam seminggu, meski kabut tipis masih menggantung di udara. Andreas melangkah masuk ke kantor di gedung bertingkat di kawasan Kuningan. Setelah absen lama, ia mengenakan jas abu-abu tua sedikit longgar—berat badannya turun beberapa kilo sejak kematian Maya. Dasi biru tua yang dipilih Rina tadi pagi ikut dipakai. Mata Andreas masih sayu dengan lingkar hitam di bawahnya tak bisa disembunyikan. Andreas memaksa diri melangkah, dan kata-kata Maharani serta Rina terus bergema di kepalanya: Kamu harus bangkit perlahan-lahan.Lift terbuka di lantai 23, pada markas perusahaan teknologi yang ia pimpin. Karyawan yang biasanya menyapa antusias kini hanya mengangguk hati-hati. Mereka tak yakin bagaimana harus menyambut bos yang baru kembali. Bima, asistennya langsung mendekat dengan tablet di tangan. “Pak Andreas, selamat pagi! Senang Bapak akhirnya masuk lagi. Jadwal hari ini—”“Nanti aja, Bim,” potong Andreas, suaranya serak tapi tegas. “Aku mau duduk
Awan tipis bergerak lambat seolah tak ingin buru-buru meninggalkan kota. Andreas duduk di kursi kulit dalam ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya memantulkan siluet gedung-gedung tinggi Kuningan. Dokumen dan kertas di meja mulai berkurang, meski ada beberapa laporan belum disentuh. Kopi hitam di cangkir mengepul pelan, aroma pahitnya mengisi udara. Untuk pertama kalinya dalam 2 minggu, Andreas merasa sedikit lebih bersemangat—bukan karena bebannya hilang—tapi belajar menyelesaikannya dengan cara berbeda.Ponsel bergetar di saku jas, pesan dari Rina masuk: “Kak, jangan lupa makan siang. Aku titip ke Bima kalau kamu skip lagi, bakal kukuliahin panjang.” Andreas tersenyum kecil membacanya. Jari-jari mengetik balasan singkat: “Iya, Rin. Tenang aja.” Ia meletakkan ponsel, lalu menatap layar laptop yang menampilkan e-mail dari tim promosi. Subjeknya: Revisi Logo SmartGrid – Draft Final. Pengirimnya Lara.Andreas membukanya. Lampiran berisi tiga variasi logo muncul. Garis-garis lebih t
Lebih ramai daripada biasanya. Jalanan Jakarta dipenuhi deru kendaraan, sementara trotoar penuh dengan langkah para pejalan kaki yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Di sebuah apartemen kecil di bilangan Tebet, lara duduk di meja makan yang berfungsi sebagai tempat bekerja juga. Cahaya mentari menyelinap melalui celah-celah tirai, menerangi banyak sketsa berserakan di sekitar laptop. Secangkir the hijau mengepul di sampingnya, aroma daun bercampur baru kertas dan tinta.Lara menggulir ponsel sambil menyesap teh, mata tertuju pada pesan Andreas yang masuk semalam. “Terima kasih, Lara. Kamu pun jangan lupa beristirahat. Makasih udah bikin hari ini terasa lebih mudah dilalui.” Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa terasa berbobot daripada ungkapan biasa. Ia mengerutkan kening, jari-jarinya berhenti di layar. “Lebih mudah dilalui?” gumamnya heran. “Maksudnya apa ya?”Andreas memang terlihat lelah sejak awal mereka bertemu, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit ditebak. Pesa
Beberapa tahun lalu, di Universitas Trisakti semburat oranye lembut menyelinap diantara pepohon kampus. Andreas, mahasiswa semester akhir jurusan manajemen bisnis, duduk di taman dengan kemeja biru muda. Kainnya agak kusut dipakai seharian kuliah. Di sampingnya Maya, gadis cantik nan sederhana berusia 23 tahun jurusan Teknik indormatika memainkan ujung rambut, Helaiannya tampak indah dan tergerai jatuh. Ia mengenakan rok selutut dan kemeja putih bersih. Mata cokelatnya menatap rumput di bawah kaki ragu. Kata-katanya mengalun seperti angin berdesau lembut. “Andreas, aku nggak ngerti kenapa kamu masih mau sama aku,” katanya. “Liat tuh, cewek-cewek pada ngeliatin kamu kayak bintang film. Aku jadi … aku jadi ngerasa biasa saja karena nggak cantik dan nggak pinter banget. Kayaknya kamu salah pilih begini caranya.”Andreas menoleh, alisnya terangkat sedikit sebelum tertawa kecil. “May, kamu serius nanya gini? Kita udah setahun pacaran loh, dan kamu masih bilang aku salah pilih?” tanyanya.
“Bu Rika, terima kasih banget atas kerjasamanya,” kata Lara sumeringah. “Seneng bisa mengawal proyek ini sampai selesai, semoga SmartGrid sukses tiada usai!” ia berjabat tangan dengan Rika erat.Hiruk pikuk memenuhi gedung perkantoran di kawasan Kuningan pagi itu. Lantai 23, markas perusahaan teknologi yang dipimpin Andreas ramai oleh dekorasi modern. Banner biru dan hijau bertuliskan SmartGrid: Powering Tomorrow menghiasi ruang utama. Karyawan berlalu-lalang, beberapa membawa kota souvenir, sementara tim media menyiapkan kamera untuk acara peluncuran produk. Aroma kopi, kue-kue serta catering memenuhi udara. Menciptakan suasana semangat.Di salah satu sudut ruang rapat, Lara berdiri bersama Rika, kepala tim promosi. Ia mengenakan blazer cokelat dan celana jeans rapi. Tas selempang tergantung di bahu, sebagai tanda ia bersiap pergi. Di tangan terdapat gulungan kertas sketsa SmartGrid yang sudah jadi. Materi iklan sudah diangkat ke udara, terpampang dalam layar-layar besar.Rika membal
Saat Andreas pulang, pintu apartemen terbuka pelan. Rina masuk sambil membawa wadah berisi sop buntut dan nasi. “Kak, nih … Ibu titip. Katanya jangan cuma ngopi, makan yang bener.” Ia meletakannya ke wadah di meja. Lara melirik Andreas sekilas, penasaran sesuatu. “Wah, mukamu seger banget hari ini. Pulang juga nggak buru-buru kayak biasa. Ada apa?”Andreas menoleh sambol menyesap air, mengangguk santai. “Iya, hari ini lancar di kantor. Peluncuran SmartGrid sukses, jadi agak lega,” jawabnya, suara ringan tapia da kehati-hatian yang ingin disembunyikan.Rina mengangguk, lalu duduk di kursi sambil membuka ponsel. “Bagus dong. Seneng denger kakakku balik semangat. Ibu pasti lega mendengar kabar ini,” katanya. “Aku sih … tahu kamu bakal bangkit perlahan-lahan.”“Iya, Rin. Kasih tahu Ibu aku baik-baik aja,” kata Andreas. Ia lalu berjalan ke sofa dan duduk. Tak ingin membuka ruang untuk pertanyaan apapun lagi.“Baiklah, aku balik dulu. Sop buntut-nya jangan lupa dimakan, awas kalau cuma jadi
Sore itu, kafe kecil di kawasan Senopati dipenuhi aroma kopi panggang. Mesin espresso bersuara pelan, meja-meja kayu sederhana berjajar rapi. Dari jendela besar membiarkan cahaya mantahari menyelinap masuk. Andreas dan Lara duduk. Andreas mengenakan kemeja putih, sementara Lara sweater cokelat longgar. Rambutnya disisir rapi dan di meja mereka terdapat kopi hitam mengepul. Segelas latte disesap Lara, memburamkan gambar hati di atasnya.“Jadi, ini tempat ngopi favorit Bos Besar?” tanya Lara dengan mata berkilat penuh godaan. “Aku kira bakal diajak ke kafe fancy yang pake gelas emas gitu.”Andreas tersenyum kecil, tangan memutar cangkir kopinya. “Nggak, aku suka yang sederhana untuk ngobrol santai. Di sini kopinya enak, nggak terlalu rame.”Lara mengangguk, menatap sekeliling. “Bagus sih, cozy. Aku juga lebih suka tempat kayak gini dibanding heboh. Apalagi abis kerja rasanya pengen duduk diam aja.”“Ngomongin kerja.” Andreas meiliriknya. “Setelah dari perusahaanku, kamu sekarang ngapain?
Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional
Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi
Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.
Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil
Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m
Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke
Malam di Bali terasa lembut, ditemani suara ombak yang terdengar dari jendela kamar hotel. Angin laut menyelinap masuk, membawa aroma garam bercampur bunga kamboja taman bawah. Lampu kamar sengaja diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu meja. Suasana itu menciptakan ketenangan yang membungkus Andreas dan Lara, seolah dunia di luar sana berhenti berputar untuk mereka.Lara masih duduk di tepi ranjang, buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil bergerak lincah, menggoreskan garis-garis halus yang perlahan membentuk sesuatu. Andreas yang sudah melepas kemeja luar kini hanya mengenakan kaus sederhana. Sang kekasih duduk di sampingnya sambil memandang penuh perhatian. Andreas tahu Lara suka memberi kejutan, dan ia menikmati momen menunggu.“Jadi, besok pagi ke pantai lagi?” tanya Lara sambil tetap fokus pada gambar.“Ya, aku pengen lihat sunrise bareng kamu,” jawab Andreas. Ia menggeser posisinya sedikit lebih dekat. “Terus abis itu kita cari sarapan. Ada tempat bagus katany
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir seperti bisik.
Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap.“Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.”Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir