Beranda / Romansa / Wasiat Cinta Ayah / Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

Share

Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

Penulis: Rihanna Roi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 14:26:57

Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.

“Laura?”

Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.

Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan dia membuka pintunya. Dia langsung disambut suara rintihan dari arah bak mandi. Laura berada di sana, meringkuk di bawah pancuran yang terus mengucurkan air dingin. Tubuhnya gemetar tetapi Laura tampak sama sekali tak ingin beranjak dari sana.

Dia menangis?

“Laura?”

Pandangan mereka bertemu pada detik berikutnya. Saling mengunci cukup lama hingga Adler pun memutuskan kontak dan berdeham pelan. Dia memandang ke arah lain, apa saja asal bukan tubuh Laura yang berbalut kemeja tipis dan basah kuyup.

“Bergegaslah untuk makan malam,” titah Adler. Laura hanya menunduk muram dan mengangguk lesu. “Atau kau ingin makan di kamar?”

Laura tak menjawabriya dan bergerak perlahan untuk berdiri sembari bertumpu pada pinggiran bak mandi. Tapi lutut dan seluruh persendiannya terasa goyah sehingga dia terpeleset akibat licin. Pergelangan kakinya nyeri, Laura memekik tertahan.

Melihat lelaki mungil itu kesakitan, Adler pun menghampiri Laura lantas membantunya agar duduk di pinggir bak mandi lalu memeriksa kakinya yang terkilir. Laura meringis setiap kali bagian yang terasa nyeri disentuh jemari Adler. “Sakit?”

Laura mengangguk, jari-jari lentiknya mencengkram pinggiran bak menahan nyeri yang menusuk-nusuk pergelangan kakinya. Adler berdiri dan menyuruhnya menunggu lalu pergi begitu saja. Pria itu kembali tak lama kemudian dengan membawa handuk yang membungkus potongan es batu. Dengan penuh kehati-hatian, Adler menempelkan benda itu di pergelangan kaki Laura, memberinya kompres dingin supaya tidak membengkak.

“Apa masih sakit?” Adler bertanya lagi tanpa melihat Laura yang sedang menggigit bibir bawahnya.

Sengatan rasa dingin ternyata ampuh meredakan nyeri, Laura menjawab dengan gumaman rendah dan ragu-ragu. “T-terima kasih.”

“Setidaknya kau tidak boleh berjalan selama dua hari, kakimu harus dipastikan pulih.”

“Mana bisa? Aku tidak bisa berdiam diri selama itu.”

Adler mendongakan wajah pada Laura yang mengernyit tidak suka. Ekspresi lelaki itu sungguh lucu seperti bocah yang merajuk. Untuk sesaat dia terperangah menyaksikan perubahan ekspresi Laura yang semula muram kini cemberut padanya. Hatinya kini bertanya-tanya, apakah gadis selalu seperti ini? Begitu mudah merajuk layaknya anak-anak. Seharusnya itu tidak mengherankan karena gadis sendiri adalah wujud feminitas, gadis tetap sosok yang feminin dan sangat kekanak-kanakan.

“Aku tidak suka dibantah, Laura, menurutlah.” Adler meletakkan bungkusan es di wastafel lalu berdiri sambil bersedekap. “Kau akan sangat merepotkanku jika cedera lagi.”

Berbeda dengan gadis, pria adalah wujud maskulinitas. Mereka terlahir sebagai pemimpin sejati. Membawa karisma dan ketegasan yang jantan semenjak dilahirkan, menjadikan mereka makhluk yang amat penuh dengan testosteron dan mendominasi.

Mendengar kalimat Adler yang dirasa kurang ajar itu, keinginan Laura untuk meriendangnya langsung berkobar-kobar. Akan tetapi, niat itu diurungkan begitu menyadari kondisinya yang tidak mendukung dan perasaan enggan untuk menyusahkan keluarga Smith yang tersisa. "Maaf."

Meskipun diucapkan sangat lirih, Adler masih bisa mendengar Laura bergumam. Gadis itu hanya menunduk dan menautkan jemarinya di pangkuan. "Untuk apa kau minta maaf?"

"Aku telah banyak merepotkan Tuan Smith," ucapnya dengan bahu bergetar menahan isakan.

"Tidak ada gunanya, lupakan saja."

Terkejut lalu Laura teringat sesuatu. "Tetapi, Adler... tentang-"

"Aku akan tetap menikahimu, Laura."

Si mungil tersentak karena pernyataan yang dilontarkan dengan penuh penekanan itu. Laura melirih. "Tidak ada cinta di sini, Adler."

"Kau benar." Adler tiba-tiba berlutut di hadapannya dan menangkup wajah pucat Laura dengan kedua tangan besarnya. "Tak akan ada cinta di pernikahan kita nanti. Tapi aku juga tidak akan mengabaikan keinginan terakhir ayahku hanya karena aku tak pernah mencintaimu."

Laura ingin menangis namun dia memaksa untuk menatap Adler tepat di kedua matanya. Mencoba menguak dan menyelami setiap rasa yang tersembunyi jauh di kedalaman mata bak samudera luas itu. Sesungguhnya. hatinya tersayat karena Adler hanya akan menikahinya atas nama wasiat terakhir sang ayah, tetapi dia juga merasa tak sanggup menolak harapan dari orang yang paling menyayanginya.

Bab terkait

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 5: Istriku Secantik Itu?

    - Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 6: Kecemburuan Cinta

    Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10

Bab terbaru

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 6: Kecemburuan Cinta

    Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 5: Istriku Secantik Itu?

    - Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 4: Gundah Gulana

    Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 3: Batas Menyakitkan

    Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 2: Hari Pernikahan Dingin

    Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,

  • Wasiat Cinta Ayah   Bab 1: Wasiat Cinta Ayah

    Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan

  • Wasiat Cinta Ayah   Prolog

    Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status