Home / Romansa / Balada Cinta Sang Presdir / Bab 3: Sisa Pecahan

Share

Bab 3: Sisa Pecahan

Author: Rihanna Roi
last update Last Updated: 2025-01-10 14:42:26

Seminggu setelah kematian Maya, apartemen Andreas di kawasan Menteng terasa lebih sunyi daripada biasanya. Di meja makan, laporan keuangan perusahaan yang seharusnya ia tandatangani masih terbuka, pena tergeletak begitu saja di samping kopi. Andreas duduk di balkon, memandang lampu kota yang berkelap-kelip, segelas whiski di tangannya hampir kosong. Andreas tak ingat kapan terakhir tidur lebih dari dua jam.

Di kantor efek duka tersebut terlihat nyata. Andreas yang biasanya tegas nan penuh kendali, kini sering membatalkan rapat tanpa alasan jelas. Asistennya, Bima sudah tiga kali mengingatkan presentasi penting dengan investor minggu depan, tapi Andreas hanya menjawab dengan tatapan kosong. “Nanti saja,” katanya.

Email-email kantor menumpuk di kotak masuk. Telepon dari mitra bisnis hanya dijawab dengan pesan singkat oleh Bima: “Pak Andreas sedang tak bisa diganggu.”

Pagi itu pintu apartemen diketuk keras, dan Andreas mengabaikannya. Namun, ketukan itu berubah menjadi dering bel yang tak henti-henti. Dengan langkah gontai, Andreas membukanya. Di depan sana berdiri Rina, sang adik perempuan yang berusia 32 tahun. Bersama sang ibu, yang telah menua tapi masih tampak segar.

“Kak, ya Tuhan kok kamu jadi gini?” Rina masuk tanpa permisi. Matanya langsung memindai kekacauan dalam ruangan. “Ini apa? Kamu nggak makan ya? Lihat, mukamu sampai pucet banget!” serunya cemas.

“Masuk aja, Rin,” jawab Andreas lemah. Suaranya datar, dan ia kembali ke balkon tak peduli sang ibu mengikuti dengan tatapan khawatir.

Mahrani duduk di kursi seberang Andreas, tangannya memegang tas kecil yang selalu ia bawa. “Nak, Ibu tahu kamu lagi susah hati. Maya pergi … itu pasti berat buat kamu dan keluarganya. Tapi kamu nggak boleh gini terus. Kedua mertuamu lho sampai menanyakan kemarin. Bagaimana kondisi Andreas? Kata mereka, sampai Ibu bingung bagaimana menjelaskannya. Lihat dirimu, kayak orang ilang jiwa.”

Andreas menatap gelas wiskinya. Rina yang sibuk memeriksa dapur kembali dengan berkacak pinggang. “Kak! Kulkasmu kosong melompong, terus ada laporan di meja kantor numpuk banget! Kamu nggak kerja lagi sekarang? Perusahaan gimana?”

“Perusahaan baik-baik saja,” balas Andreas terdengar dingin. “Ada orang lain yang ngurus, jadi kamu diem aja. Semua ini nggak ada hubungannya sama kamu.”

“Baik-baik aja kata Kakak?” Rina mendekat, suaranya menunggi. “Padahal aku denger dari temenku di kantormu, katanya kamu nggak pernah bales e-mail. Rapat banyak yang batal, investor pada bingung ngadepin kamu. Kak, aku paham kamu sedih, tapi jangan nyerah gini!”

“Rina, cukup,” potong Maharani lembut. Matanya tak lepas dari Andrewaa. “Nak, Ibu nggak mau maksa kamu cerita, tapi kurang tega melihatmu hancur berantakan. Maya udah pergi, tapo hidupmu nggak boleh ikutan berhenti, hm?”

Andreas tertawa pelan, tapi pahit. “Hidupku sudah berhenti lima tahun lalu, Bu. Waktu istriku kecelakaan. Sekarang lebih jelas aja.”

Rina menggeleng, matanya berkaca-kaca. “Kak, kita semua sayang Maya. Aku sudah menganggapnya kakak sendiri. Tapi lihat … kamu udah nggak mandi berapa hari? Bajumu bahkan sama dari kemarin. Aku takut, Kak. Kamu merusak kehidupan yang udah dibangun selama ini—jadi tolong. Perhatiin diri kamu juga.”

“Aku baik-baik aja, Rin,” balas Andreas, tapi suaranya kosong tak meyakinkan. Ia menuang sedikit whiski ke gelas, tangannya agak gemetar.

“Kamu bilang gitu tapi nyatanya nggak Kak!” Rina hampir berteriak. “Kantor butuhin kamu, keluarga butuhin kamu. Aku juga butuh kamu—aku ingin … melihat kakakku bahagia lagi seperti dulu. Jangan sampai aku kehilangan kakakku gara-gara peristiwa ini.”

Maharani mengangkat tangan, menenangkan Rina lalu menatap Andreas dalam-dalam. “Nak, Ibu rasa kamu sangat kehilangan. Bapakmu pergi waktu kamu kecil, Ibu juga ngerasa dunia ini selesai. Tapi kamu punya banyak perbedaan. Kamu masih muda dan pantas memperbaiki banyak hal lebih dini. Kamu juga punya tanggung jawab. Atas pekerjaanmu dan orang-orang yang ngandelin kamu. Ibu yakin Maya pun nggak mungkin seneng lihat kamu kayak gini.”

Andras memandang ibunya, matanya mulai basah tapi masih berusaha ditahan. “Bu, aku cuma butuh waktu. Aku … nggak tahu caranya lanjut. Setiap membuka mata dan bangun tidur, aku berpikir masih berada di rumah sakit. Aku genggam tangan Maya. Tapi sekarang dia nggak ada.”

Rina duduk di samping Andreas, menggenggam tangannya begitu erat. “Kak, aku nggak bilang kamu harus lupain Maya. Kamu hanya harus tetep hidup baik. Kalau nggak buat kamu sendiri, buat kami. Buat perusahaan yang udah kamu pegang selama bertahun-tahun. Aku tahu Kakak bisa.”

Andreas menunduk, jari-jarinya mencengkeram gelas lebih erat. “Aku coba, Rin. Tapi aku capek. Capek ngurus semuanya, capek pura-pura kuat.”

Maharani mengangguk, lalu berdiri memeluk Andreas dari samping. “Sayang, kamu nggak harus kuat sendirian. Kami di sini untuk kamu. Bangkit pelan-pelan ya Nak. Mulai pekerjaanmu dan hidupmu.”

Andreas tak menjawab, tapi pelukan ibunya begitu hangat. Sesuatu yang lama tak dia rasakan. Rina menghela napas, lalu mengambil gelas wiski dari tangan sang kakak. “Mulai sekarang nggak ada minuman kayak begini lagi. Aku masakin kamu, terus kamu mandi. Besok kamu ke kantor, aku anterin kalau perlu.”

“Rin, aku nggak—”

Andreas mulai protes tapi Rina memotongnya.

“Nggak ada tapi-tapian! Aku adikmu, pokoknya harus boleh maksa!” tegasnya lalu berjalan ke dapur dengan langkah tegap.

Maharani pun tersenyum kecil sebelum duduk kembali. “Dengerin tuh Adikmu. Dia bahkan rela ke sini dan membatalkan kencan dengan pacarnya. Rina khawatir banget, ingin kamu supaya lekas-lekas menjalani segalanya dengan bahagia seperti dulu.”

Andreas hanya menghela napas pasrah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 4: Di Tengah Kabut

    Langit Jakarta cerah untuk pertama kalinya dalam seminggu, meski kabut tipis masih menggantung di udara. Andreas melangkah masuk ke kantor di gedung bertingkat di kawasan Kuningan. Setelah absen lama, ia mengenakan jas abu-abu tua sedikit longgar—berat badannya turun beberapa kilo sejak kematian Maya. Dasi biru tua yang dipilih Rina tadi pagi ikut dipakai. Mata Andreas masih sayu dengan lingkar hitam di bawahnya tak bisa disembunyikan. Andreas memaksa diri melangkah, dan kata-kata Maharani serta Rina terus bergema di kepalanya: Kamu harus bangkit perlahan-lahan.Lift terbuka di lantai 23, pada markas perusahaan teknologi yang ia pimpin. Karyawan yang biasanya menyapa antusias kini hanya mengangguk hati-hati. Mereka tak yakin bagaimana harus menyambut bos yang baru kembali. Bima, asistennya langsung mendekat dengan tablet di tangan. “Pak Andreas, selamat pagi! Senang Bapak akhirnya masuk lagi. Jadwal hari ini—”“Nanti aja, Bim,” potong Andreas, suaranya serak tapi tegas. “Aku mau duduk

    Last Updated : 2025-01-10
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 5: Sisa Pecahan

    Awan tipis bergerak lambat seolah tak ingin buru-buru meninggalkan kota. Andreas duduk di kursi kulit dalam ruang kerjanya, jendela besar di belakangnya memantulkan siluet gedung-gedung tinggi Kuningan. Dokumen dan kertas di meja mulai berkurang, meski ada beberapa laporan belum disentuh. Kopi hitam di cangkir mengepul pelan, aroma pahitnya mengisi udara. Untuk pertama kalinya dalam 2 minggu, Andreas merasa sedikit lebih bersemangat—bukan karena bebannya hilang—tapi belajar menyelesaikannya dengan cara berbeda.Ponsel bergetar di saku jas, pesan dari Rina masuk: “Kak, jangan lupa makan siang. Aku titip ke Bima kalau kamu skip lagi, bakal kukuliahin panjang.” Andreas tersenyum kecil membacanya. Jari-jari mengetik balasan singkat: “Iya, Rin. Tenang aja.” Ia meletakkan ponsel, lalu menatap layar laptop yang menampilkan e-mail dari tim promosi. Subjeknya: Revisi Logo SmartGrid – Draft Final. Pengirimnya Lara.Andreas membukanya. Lampiran berisi tiga variasi logo muncul. Garis-garis lebih t

    Last Updated : 2025-01-10
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 6: Rasa Penasaran

    Lebih ramai daripada biasanya. Jalanan Jakarta dipenuhi deru kendaraan, sementara trotoar penuh dengan langkah para pejalan kaki yang bergegas menuju tujuan masing-masing. Di sebuah apartemen kecil di bilangan Tebet, lara duduk di meja makan yang berfungsi sebagai tempat bekerja juga. Cahaya mentari menyelinap melalui celah-celah tirai, menerangi banyak sketsa berserakan di sekitar laptop. Secangkir the hijau mengepul di sampingnya, aroma daun bercampur baru kertas dan tinta.Lara menggulir ponsel sambil menyesap teh, mata tertuju pada pesan Andreas yang masuk semalam. “Terima kasih, Lara. Kamu pun jangan lupa beristirahat. Makasih udah bikin hari ini terasa lebih mudah dilalui.” Kalimat itu sederhana, tapi entah kenapa terasa berbobot daripada ungkapan biasa. Ia mengerutkan kening, jari-jarinya berhenti di layar. “Lebih mudah dilalui?” gumamnya heran. “Maksudnya apa ya?”Andreas memang terlihat lelah sejak awal mereka bertemu, tapi ada sesuatu di balik matanya yang sulit ditebak. Pesa

    Last Updated : 2025-01-11
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 7: Memori Masa Lalu

    Beberapa tahun lalu, di Universitas Trisakti semburat oranye lembut menyelinap diantara pepohon kampus. Andreas, mahasiswa semester akhir jurusan manajemen bisnis, duduk di taman dengan kemeja biru muda. Kainnya agak kusut dipakai seharian kuliah. Di sampingnya Maya, gadis cantik nan sederhana berusia 23 tahun jurusan Teknik indormatika memainkan ujung rambut, Helaiannya tampak indah dan tergerai jatuh. Ia mengenakan rok selutut dan kemeja putih bersih. Mata cokelatnya menatap rumput di bawah kaki ragu. Kata-katanya mengalun seperti angin berdesau lembut. “Andreas, aku nggak ngerti kenapa kamu masih mau sama aku,” katanya. “Liat tuh, cewek-cewek pada ngeliatin kamu kayak bintang film. Aku jadi … aku jadi ngerasa biasa saja karena nggak cantik dan nggak pinter banget. Kayaknya kamu salah pilih begini caranya.”Andreas menoleh, alisnya terangkat sedikit sebelum tertawa kecil. “May, kamu serius nanya gini? Kita udah setahun pacaran loh, dan kamu masih bilang aku salah pilih?” tanyanya.

    Last Updated : 2025-02-26
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 8: Belum Usai

    “Bu Rika, terima kasih banget atas kerjasamanya,” kata Lara sumeringah. “Seneng bisa mengawal proyek ini sampai selesai, semoga SmartGrid sukses tiada usai!” ia berjabat tangan dengan Rika erat.Hiruk pikuk memenuhi gedung perkantoran di kawasan Kuningan pagi itu. Lantai 23, markas perusahaan teknologi yang dipimpin Andreas ramai oleh dekorasi modern. Banner biru dan hijau bertuliskan SmartGrid: Powering Tomorrow menghiasi ruang utama. Karyawan berlalu-lalang, beberapa membawa kota souvenir, sementara tim media menyiapkan kamera untuk acara peluncuran produk. Aroma kopi, kue-kue serta catering memenuhi udara. Menciptakan suasana semangat.Di salah satu sudut ruang rapat, Lara berdiri bersama Rika, kepala tim promosi. Ia mengenakan blazer cokelat dan celana jeans rapi. Tas selempang tergantung di bahu, sebagai tanda ia bersiap pergi. Di tangan terdapat gulungan kertas sketsa SmartGrid yang sudah jadi. Materi iklan sudah diangkat ke udara, terpampang dalam layar-layar besar.Rika membal

    Last Updated : 2025-02-26
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 9: Cahaya Dan Bayangan

    Saat Andreas pulang, pintu apartemen terbuka pelan. Rina masuk sambil membawa wadah berisi sop buntut dan nasi. “Kak, nih … Ibu titip. Katanya jangan cuma ngopi, makan yang bener.” Ia meletakannya ke wadah di meja. Lara melirik Andreas sekilas, penasaran sesuatu. “Wah, mukamu seger banget hari ini. Pulang juga nggak buru-buru kayak biasa. Ada apa?”Andreas menoleh sambol menyesap air, mengangguk santai. “Iya, hari ini lancar di kantor. Peluncuran SmartGrid sukses, jadi agak lega,” jawabnya, suara ringan tapia da kehati-hatian yang ingin disembunyikan.Rina mengangguk, lalu duduk di kursi sambil membuka ponsel. “Bagus dong. Seneng denger kakakku balik semangat. Ibu pasti lega mendengar kabar ini,” katanya. “Aku sih … tahu kamu bakal bangkit perlahan-lahan.”“Iya, Rin. Kasih tahu Ibu aku baik-baik aja,” kata Andreas. Ia lalu berjalan ke sofa dan duduk. Tak ingin membuka ruang untuk pertanyaan apapun lagi.“Baiklah, aku balik dulu. Sop buntut-nya jangan lupa dimakan, awas kalau cuma jadi

    Last Updated : 2025-02-26
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 10: Pertemuan Hati

    Sore itu, kafe kecil di kawasan Senopati dipenuhi aroma kopi panggang. Mesin espresso bersuara pelan, meja-meja kayu sederhana berjajar rapi. Dari jendela besar membiarkan cahaya mantahari menyelinap masuk. Andreas dan Lara duduk. Andreas mengenakan kemeja putih, sementara Lara sweater cokelat longgar. Rambutnya disisir rapi dan di meja mereka terdapat kopi hitam mengepul. Segelas latte disesap Lara, memburamkan gambar hati di atasnya.“Jadi, ini tempat ngopi favorit Bos Besar?” tanya Lara dengan mata berkilat penuh godaan. “Aku kira bakal diajak ke kafe fancy yang pake gelas emas gitu.”Andreas tersenyum kecil, tangan memutar cangkir kopinya. “Nggak, aku suka yang sederhana untuk ngobrol santai. Di sini kopinya enak, nggak terlalu rame.”Lara mengangguk, menatap sekeliling. “Bagus sih, cozy. Aku juga lebih suka tempat kayak gini dibanding heboh. Apalagi abis kerja rasanya pengen duduk diam aja.”“Ngomongin kerja.” Andreas meiliriknya. “Setelah dari perusahaanku, kamu sekarang ngapain?

    Last Updated : 2025-02-27
  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 11: Kenangan Dulu

    Tumpukan sketsa menghiasi apartemen Lara. Lampu meja tua di sudut ruang tamu menyala redup. Milo, kucing oranye-nya meringkuk di atas bantal sofa. Dia mendengkur, menemani Lara yang duduk bersila di karpet. Ponsel menyala dengan notifikasi yang diabaikan sedari tadi. Pikirannya terpaku pada nama di layar: Rendra.Dengan napas berat, Lara akhirnya mengetuk pesan itu. Layar terbuka, menampilkan rangkaian kata yang membuat jantungnya bergetar. “Lara, apa kabar? Aku tahu udah lama banget nggak kontak tiga tahun ini. Aku kerja di USA, tapi minggu depan balik ke Indo bentar. Mau ketemu boleh? Ada yang pengen aku omongin.”Lara mengerutkan kening. Jarinya berhenti di atas tombol balas. “Udah bertahun-tahun, mendadak mau ketemu? Mau ngapain?” Nadanya penuh sarkasme. “Dasar nggak penting.”Setelah beberapa menit menatap layar, Lara mengetik balasan singkat. Ia tekan send, lalu meletakkan ponsel di karpet. Berusaha mengalihkan perhatian ke sketsa-nya. Tak sampai lima menit, sebuah pesan dari Ren

    Last Updated : 2025-02-28

Latest chapter

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 26: Menuju Pengadilan

    Pagi di Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Langit abu-abu tebal menyelimuti kota, seolah mencerminkan beban yang kini Andreas pikul. Di kantornya di Kuningan, ruang rapat besar dipenuhi suasana tegang. Meja panjang dikelilingi tim hukum perusahaan, Bima, dan beberapa staf senior, sementara Andreas duduk di ujung, tangannya mencengkeram pena dengan tatapan tajam. Lara duduk di sampingnya, kali ini tak hanya sebagai pendamping, tapi sebagai bagian dari perjuangan yang kini mereka hadapi bersama. Di depan mereka, layar proyektor menampilkan dokumen-dokumen lama terkait saham Maya—bukti yang akan menjadi senjata mereka.“Pak Andreas,” mulai Rudi, kepala tim hukum, dengan suara tenang tapi tegas. “Kami udah cek semua dokumen. Saham yang diminta Pak Hartono dan Bu Siska memang awalnya atas nama Alm. Maya Wirawan, tapi itu udah dilebur ke aset perusahaan tiga tahun lalu atas persetujuan tertulis dari beliau. Secara hukum, posisi kita kuat. Tapi mereka bisa bawa ini ke ranah emosional

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 25: Berjuang Bersama

    Sore itu, kantor Andreas di Kuningan terasa hening setelah kepergian Pak Hartono, Bu Siska, dan pengacara mereka. Ruang rapat yang tadi penuh ketegangan kini kosong, hanya menyisakan aroma kopi dingin dan kertas-kertas yang berceceran di meja. Andreas duduk di kursi utama, tangannya mencengkeram sisi meja, matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan siluet gedung-gedung Jakarta di bawah langit kelabu. Lara berdiri di sampingnya, tangannya memegang pundak Andreas lembut, memberikan kekuatan tanpa kata.“Kamu baik-baik aja?” tanya Lara pelan, suaranya hati-hati tapi penuh perhatian.Andreas menarik napas dalam, lalu menoleh ke Lara dengan senyum lemah. “Aku nggak tahu, Sayang,” katanya jujur, suaranya serak. “Aku pikir aku udah siap hadepin mereka, tapi denger Bu Siska bilang aku berubah … itu ngena banget.”Lara duduk di kursi sebelah, tangannya kini menggenggam tangan Andreas erat. “Kamu nggak berubah, Andreas. Kamu cuma lanjut hidup, dan itu nggak salah. Mereka lagi

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 24: Harga Kepercayaan

    Pagi di rumah keluarga Andreas di Menteng terasa dingin, meski matahari sudah menyelinap melalui celah-celah jendela. Aroma teh dan roti bakar dari dapur tak mampu mencairkan ketegangan yang masih menggantung sejak malam sebelumnya. Andreas duduk di meja makan, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, matanya sayu menatap ponsel di depannya. Lara berdiri di dekat jendela ruang tamu, memandang taman kecil yang dipenuhi bunga mawar putih—bunga yang mengingatkannya pada cerita Andreas tentang Maya. Rina sibuk di dapur, berusaha menciptakan suasana normal dengan menggoreng telur, sementara Maharani duduk di sofa, tangannya mencengkeram buku doa tua yang tak dibuka.“Andreas,” panggil Maharani pelan, suaranya serak tapi tegas. “Kamu udah telepon Bima? Soal investor sama surat dari Hartono, kita nggak boleh diem aja.”Andreas menoleh, mengangguk lelet. “Udah, Bu. Bima bilang rapat sama investor bisa diatur besok pagi. Soal surat Hartono, aku minta dia cek ke pengacara perusahaan.

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 23: Bayang di Ambang Pintu

    Malam di rumah Andreas terasa lebih hidup dari biasanya. Aroma udang saus asam manis dan nasi goreng buatan Lara mengisi udara. Denting piring dan gelak tawa dari Rina membuat suasana makin meriah. Andreas berdiri di samping Lara untuk memotong bawang dengan gerakan canggung. Sesekali lelaki itu melirik Lara dengan senyuman. Maharani duduk di meja makan, mengamati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca—antara kaku dan agak melunak.“Kamu beneran jago masak, ya,” komentar Rina, mencicipi sambal dari ujung sendok. “Kak Andreas beruntung banget, aku aja nggak bisa bikin gini.”Lara pun tertawa kecil. “Makasih, Rina. Ini cuma resep sederhana, kok. Kalau mau, aku ajarin kamu kapan-kapan,” katanya.Di sisi lain Andreas melirik ibunya, mencoba membaca apa yang Maharani pikirkan. “Bu, kalau tertarik coba rasanya ini enak banget,” katanya.Namun Maharani hanya menanggapi singkat. “Ibu makan kalau udah jadi,” jawabnya, lantas tedengar bunyi bel di pintu. Rina pun mengerutkan kening sambil

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 22: Bukanlah Jurang

    Bab 22:Pesawat mendarat di Jakarta membawa Andreas dan Lara kembali ke hiruk-pikuk kota yang kontras dengan ketenangan Bali. Langit kelabu menyambut mereka, seolah mencerminkan ketegangan menanti. Di dalam mobil yang dikemudikan Pak Hadi, Andreas duduk di samping Lara sambil menggenggam tangannya. Ia memberi isyarat bahwa betul-betul di sisi sang kekasih. Lara memandangnya dari samping dengan mata penuh kecemasan.“Kamu yakin nggak apa-apa ketemu Ibu sekarang?” tanya Andreas. “Aku nggak mau kamu jadi sasaran karena Ibu lagi sensi. Tapi kalau sanggup pasti kubantuin mengobrol.”Lara tersenyum kecil. “Aku yakin, Andreas. Aku nggak mau jadi pacar yang disembunyiin. Kalau Ibu sama Rina nggak terima aku, biar aku hadepin sendiri. Aku nggak takut,” katanya tegasAndreas menatapnya lekat. Ada kelegaan bercampur kekaguman di matanya. “Makasih, Lara. Aku cuma nggak m

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 21: Konfrontasi Mama

    Pagi di Bali terasa segar dengan aroma laut bercampur embun. Andreas dan Lara menginap duduk di balkon, menghadap pemandangan pantai yang masih sepi. Di meja kayu dua cangkir kopi hitam mengepul pelan. Lara mengenakan kaus longgar dengan motif bunga dan rambutnya dikuncir. Andreas masih memakai kemeja putih yang kusut dari malam sebelumnya.Andreas memandang laut dengan tangan memutar cangkir kopi miliknya.Lara memperhatikan. “Kamu kenapa dari tadi diam aja?” tanyanya. “Capek apa kangen sama Jakarta?”Andreas menoleh. “Bukan,” katanya. “Cuma … tadi malem Rina telepon dan kamunya udah tidur.”Lara mengerutkan kening. “Rina? Ada apa? Semuanya baik-baik aja?”Andreas menggeleng. “Sepertinya ada masalah di rumah yang membuat Ibu sama Rina ribut besar. Mereka nggak menyangka aku ke Bali sama kamu tanpa bilang ke

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 20: Malam Hangat

    Malam di Bali terasa lembut, ditemani suara ombak yang terdengar dari jendela kamar hotel. Angin laut menyelinap masuk, membawa aroma garam bercampur bunga kamboja taman bawah. Lampu kamar sengaja diredupkan, hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu meja. Suasana itu menciptakan ketenangan yang membungkus Andreas dan Lara, seolah dunia di luar sana berhenti berputar untuk mereka.Lara masih duduk di tepi ranjang, buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil bergerak lincah, menggoreskan garis-garis halus yang perlahan membentuk sesuatu. Andreas yang sudah melepas kemeja luar kini hanya mengenakan kaus sederhana. Sang kekasih duduk di sampingnya sambil memandang penuh perhatian. Andreas tahu Lara suka memberi kejutan, dan ia menikmati momen menunggu.“Jadi, besok pagi ke pantai lagi?” tanya Lara sambil tetap fokus pada gambar.“Ya, aku pengen lihat sunrise bareng kamu,” jawab Andreas. Ia menggeser posisinya sedikit lebih dekat. “Terus abis itu kita cari sarapan. Ada tempat bagus katany

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 19: Kejujuran Andreas

    Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap. “Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.” Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir seperti bisik.

  • Balada Cinta Sang Presdir   Bab 18: Foto Kencan Pertama

    Langit Bali sore membentang luas dengan gradasi oranye dan ungu, menyatu sempurna di ufuk barat. Pantai Kuta ramai oleh suara ombak bergulung diiringi tawa wisatawan dan deru angin laut membawa aroma garam. Andreas dan Lara duduk berdampingan di atas tikar sederhana yang mereka sewa. Di depan mereka, kotak makanan buatan Lara sudah terbuka. Udang saus asam manis tinggal beberapa potong, sementara cumi goreng hampir habis. Andreas memegang tusuk sate kecil, matanya berbinar kagum setiap kali menyuap.“Lara, ini beneran enak banget,” katanya sambil mengunyah, suaranya. “Aku nggak nyangka kamu jago masak gini. Kalau tiap hari dikasih bekal aku bisa lupa makan di restoran.”Lara tersenyum kecil. “Jangan alay, Andreas,” balasnya sambil memainkan ujung rambut. “Aku cuma takut rasanya kurang pas, makanya bikin simpel aja. Lagian, ini pertama kalinya aku masak buat … pacar.” Kata terakhir hampir

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status