Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.
Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan. Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan. Nyonya Smith muda itu memang bukan tipe orang yang betah berdiam diri terlalu lama. Selain itu, juga karena dia ingin menjalankan tugasnya sebagai seorang istri untuk melayani suaminya, misalnya saja dengan menyiapkan sarapan di pagi hari. "Mulai sekarang biarkan aku yang mengurus dapur." Suaranya tetap lembut meskipun itu adalah sebuah perintah. "Kalian bisa membantu tapi tolong jangan melarangku." Para pelayan hanya menatap bingung padanya. Dalam pandangan mereka, sosok kecil yang tengah mengikat apron di tengkuknya itu serupa malaikat yang datang guna membawa kebahagiaan. Bahkan sejak pertama kali kehadirannya sebelum menjadi majikan, Laura telah mengubah warna di rumah itu menjadi lebih ceria. Tak heran apabila kepala keluarga sebelumnya sangat menyayanginya dengan tulus. "Oh ya, apa sarapan kesukaan Adler?" "Tuan Smith biasanya hanya sarapan dengan roti selai dan kopi," jawab seorang pelayan yang diketahui Laura bernama Nifa. Laura mengangkat sebelah alis dan bergumam. "Bagaimana dia bisa punya badan sebesar itu hanya dengan sarapan roti selai dan kopi?" Langkah kecilnya mengarah ke kulkas. Tak banyak bahan makanan tetapi cukup untuk membuat sarapan pagi itu. Hari ini Laura belum masuk kuliah, jadi dia memutuskan akan pergi berbelanja kebutuhan rumah bersama Nifa nanti. Rumah ini benar-benar muram sejak kepergian Tuan Smith. Laura membiarkan Nifa membantu. Wanita berambut merah dan modis itu menggoreng telur dan sosis sementara dia membuat beberapa potong pancake. Tak lupa secangkir kopi untuk Adler dan teh hitam untuk dirinya. sendiri. Setelah sarapan siap di meja makan, barulah Laura hendak naik ke atas memanggil Adler. Namun pelayan lain yang baru saja bergabung mengatakan bahwa Adler ingin sarapannya diantar ke ruang kerjanya. "Aku akan mengantarnya sekarang," kata Laura sambil menata sepiring penuh poached egg, sosis goreng, pancake, dan beberapa irisan bacon di nampan bersama cangkir kopi. Laura sempat merasa canggung sejenak sebelum mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Suara Adler terdengar menyahut dari dalam, Laura membuka pintu lantas melangkah masuk. Pandangannya menangkap suaminya yang sedang berkutat di balik laptop yang terbuka. Pria itu tampak menawan dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya. Menegaskan struktur wajahnya yang kokoh dan terpahat indah secara jantan. Luar biasa. Gadis muda itu berusaha untuk tersenyum seringan mungkin. “Selamat pagi, aku membawa sarapan untukmu. Kau ingin memakannya sekarang?” Adler menatapnya sekilas sebelum memindahkan laptop yang masih menyala dan berkas dokumen ke meja lain di belakangnya. Memberi tempat bagi Laura meletakan nampan sarapannya. “Terima kasih.” Ada kegelisahan dan rasa malu di pipi Laura. Tubuhnya bergeming sejenak sebelum memutuskan duduk di kursi yang berhadapan dengan Adler dan menungguinya. Jemarinya kini tertaut di atas pangkuannya. Laura benar- benar gugup. “Kau sudah makan?” Adler bertanya sambil memotong sosis menjadi potongan-potongan kecil, kemudian menusuknya dengan garpu. Mendengarnya membuat Laura terhenyak dan sedikit merona, dia menunduk. “Aku akan menunggumu selesai,” cicitnya. Adler yang baru mengunyah makanannya menatap sosok mungil itu dengan terperanjat. Kedua alisnya terangkat sementara matanya menyorot seolah bertanya, mengapa? Sepertinya Laura tidak menyadari maksud tersebut dan mengalihkan topik pembicaraan. “Pekerjaanmu pasti sangat melelahkan,” katanya sembari memindai ruangan dengan pandangannya. “Aku sangat mencintai pekerjaanku.” Entah bagaimana pernyataan Adler seakan-akan menohoknya. Terdengar seperti peringatan keras yang menggemakan bahwa Adler tidak akan pernah bersikap manis padanya. Adler akan selalu dingin dan kaku terhadapnya. Namun Laura tetap mengulas senyum di bibir dan beralih mengamati deretan buku yang berjejer dalam rak besar di sisi lain ruangan. Terdorong rasa penasaran, Laura bergerak mendekati rak-rak itu dan mencermati dengan penuh minat. Mendadak keningnya berkerut tidak suka mendapati serpihan debu yang melapisi sampul-sampul buku dan permukaan rak kayu. “Apakah tidak ada pelayan yang membersihkan ruangan ini?” Laura bertanya. “Aku tidak mengijinkan siapa pun menyentuh benda di sini.” Laura tersentak, jemarinya lantas diturunkan dari menelusuri jajaran buku, Bibirnya bergetar. Lidahnya terasa kelu tetapi dia menegarkan diri. “Adler, apa kau keberatan jika aku yang membersihkan ruang kerjamu?” Pria itu menelan kunyahan terakhir sebelum berpaling menatap Laura tanpa ingin menjawabnya. Laura seperti tersengat listrik menyadari bahwa Adler mengernyit padanya. Sebenarnya hanya garis-garis samar tapi Laura menyadari itu adalah isyarat yang menunjukan Adler merasa tidak nyaman. Dia menunduk dalam, sinar matanya meredup. “M-maaf, aku... seharusnya tidak bicara seperti itu.” Suasana berubah kaku saat Laura beranjak membereskan nampan dan tergesa-gesa membawanya keluar. Sekilas saja Adler melihat bahu kecil itu bergetar melewati pintu, dia ingin memanggil Laura namun punggungnya terlanjur lenyap dari pandangan. Mengapa dia terburu-buru begitu? *** Aku sudah kelewatan, pikir Laura. Dia menyalahkan dirinya sendiri atas kata- katanya di ruangan Adler tadi. Dia mungkin tersinggung, harusnya aku langsung paham jika dia tak ingin siapa pun mengusik ruang pribadinya. Laura tercenung sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan hingga Nifa menegurnya. “Anda tidak apa-apa?” Gelengan lemah pun menjawab pertanyaan bernada simpatik itu. Laura menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Mobil baru saja melewati gerbang menuju tempat parkir. Tak lama kemudian, dia dan Nifa sudah memasuki sebuah gedung yang menjulang tinggi. Laura tampak tidak bersemangat ketika sedang memilih bahan makanan dan perlengkapan kebersihan. Dia tengah berjuang mengalihkan perhatiannya, namun tetap saja rasa bersalah itu menggerogoti dadanya. Akhirnya Laura menyerahkan urusan belanja pada Nifa dan memilih duduk di salah satu food court. “Aku harus meminta maaf padanya nanti, gumamnya pada diri sendiri. Nifa sepertinya belum selesai berkeliaran entah di mana, Laura akan menghubunginya limabelas menit lagi jika wanita itu tidak segera datang Sungguh beruntung tempat itu menyediakan makanan manis dan teh hitam. Laura merasa sedikit tenang tatkala menikmatinya. Sampai dia terkejut saat seseorang menyapanya. Kedua matanya membelalak kaget menemukan Aro Jaczares berdiri di dekatnya. Lelaki itu tersenyum lembut dan meminta ijin untuk duduk bersamanya. Laura hanya mengangguk kecil membiarkan mantan kekasihnya itu mengambil tempat di depannya. “Kau sendirian?” Aro bertanya. “Bersama Nifa.” “Nifa?” Aro mengernyit namun mengedikan bahunya kemudian. “Senang bertemu denganmu lagi.” Laura merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Aro. Dia memang orang yang ceria, setidaknya sebelum Laura meninggalkannya karena Adler. Tetapi Aro di hadapannya adalah sosok yang misterius walaupun dia menampilkan sikap yang hangat dan bersahabat. Daripada itu, rasanya juga tak mungkin Aro bisa menerima kondisi mereka yang sekarang begitu cepat setelah apa yang terjadi kemarin di hari pernikahannya. “Aro.”Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu
- Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe
Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..
Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang
Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan
Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,
Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.Sejak tragedi Laura telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Adler terhadap Laura. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya. Walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Adler pun membiarkan Laura yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian, Adler belum pernah menyentuh Laura di ranjang sama sekali. Adler Smith bukan seorang pria penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Laura tanpa pakaran yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Adler masih menahan diri ketika Laura sudah memberinya lampu hijau?“Aku telah memenuhi janjicu, Ayah, kau senang di sana?”Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Adler membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.“Tetapi ..
- Flashback -Adler membanting berkas-berkas yang dipegangnya ke meja. Semenjak Laura pergi dari ruangannya, suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Dia bahkan kehilangan sebagian besar konsentrasi karena isi kepalanya kini terisi penuh dengan bayangan Laura yang tampak kecewa sebelum melesat keluar dari ruangannya. Sialan besar.Terdengar bunyi mesin mobil yang dinyalakan dari luar jendela. Karena ingin tahu, Adler segera beranjak dari kursi putarnya lantas memeriksa halaman depan dari balik kaca jendela yang jernih. Di bawah sana, terlihat Laura yang berjalan lambat menuruni undakan lalu menghilang ke dalam kabin belakang Lexus hitam bersama Nifa. “Mungkin dia ingin berbelanja,” Adler menerka-nerka.Berputar di rongga kepalanya, Laura sering bermain-main di dapurnya semasa ayahnya masih hidup. Terkadang dia membuat makan siang atau berbagai kue untuk dinikmati bersama para pelayan. Adler sangat jarang bergabung dengan mereka, bahkan nyaris tidak pernah kecuali jika ayahnya memaksa. Sebe
Aro mengantarnya ke mobil. Nifa dan si sopir terlihat sedang sibuk memasukkan barang belanjaan ke dalam bagasi sementara mereka masih mengobrol di luar pintu. "Kau akan pulang setelah ini?" Aro bertanya, senyum mengembang di bibirnya yang jantan. Untuk kesekian kalinya sejak pertama mengenal Aro, Laura senantiasa mengagumi senyuman itu. Senyum yang hangat dan selalu mampu melumerkan hati ketika menatapnya. Laura merona tatkala terkenang senyuman itu pernah berada di bibirnya. Akan tetapi, dinginnya cincin pernikahan di jari manisnya langsung menyenitak Laura tersadar pada kenyataan. Tak sepantasnya dia mengingat kenangan itu karena dia adalah istri seorang Adler Smith dan bukan Aro Jackzares. Kau benar-benar bodoh! Laura menghardik dirinya dalam hati. Segera dia mengalihkan mata dan meraih gagang pintu. Nifa sudah duduk dengan manis di balik kaca jendela dan menunggunya masuk. "Ya, aku harus pulang, maaf, bisa kau menyingkir?" "Ah, maafkan aku," Aro berkata lalu membuka pintu
Laura sudah bangun dan menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma lavender yang masih baru. Dia sangat menyukai sensasi sejuk sewaktu air mengalir dan menyiram tubuhnya. Menyergap kulitnya yang telanjang juga membekukan rasa sakit yang menggumpal di dada. Desahan halus meluncur dari bibir mungilnya. Laura mengingat pagi ini tidak lagi sama seperti sebelumnya. Jadi, dia mulai memikirkan menu sarapan apa yang digemari Adler setelah selesai berpakaian.Suaminya masih terlelap di ranjang. Laura menimbang untuk membuka tirai jendela atau membiarkan saja tetap tertutup agar tidak mengusik Adler. Pria itu tidur begitu nyenyak, Laura tidak tega membangunkannya. Akhirnya dia hanya menyisir rambut di depan cermin lalu berderap ke dapur. Sepanjang perjalanan menuruni anak tangga, pikirannya berjejalan dengan berbagai menu yang akan dibuatnya untuk sarapan.Meskipun rumah besar itu memiliki beberapa pelayan, Laura dengan keras kepalanya menolak diam saat mereka memintanya menunggu sarapan disiapkan
Pernikahaan itu digelar satu bulan setelah pemakaman Albert Smith dan karena Laura yang meminta, tak ada kemewahan di sana. Seusai upacara pemberkatan di gereja, acara langsung bergulir ke pesta sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat dan rekan-rekan mereka. Kebanyakan adalah kolega Adler, sementara Laura hanya mengundang teman-teman dekatnya di kampus. Termasuk pemuda bernama Aro Jackzares."Selamat untuk pernikahan kalian, aku tidak menyangka akan seperti ini."Laura tertegun saat Aro memeluknya sangat erat dan lama. Napasnya yang hangat terembus kecewa di leher yang terbuka. Saat itu Adler sedang sibuk menyapa rekan bisnisnya, bersyukur suaminya itu tidak bisa melihatnya sedang berada di pelukan lelaki lain karena Aro menariknya menjauh dari kerumunan tamu."Aro, cukup," Laura berkata seraya membebaskan diri dari lengan-lengan kokoh itu."Sebentar lagi, Laura.""Jangan membuatku menyesal telah mengundang dirimu, Jackzares."Terdengar Aro menghela napas lantas melepaskan Laura,
Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Laura termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Adler menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing- masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.“Laura?”Adler telah mengetuk pintu kayu itu berpelitur dua kali. Ini sudah terlewat 15 menit dari jam makan malam, namun Laura tak kunjung keluar dari dalam kamarnya. Semenjak mereka meninggalkan pemakaman, Adler membawa Laura tinggal di rumahnya. Gadis itu tidak membantah, padahal dari cerita mendiang ayahnya dulu, Laura bukan tipe yang mau menerima kebaikan orang lain dengan mudah. Tetapi tadi Laura tidak membantah dan Adler jadi sedikit cemas karenanya.Tepat pada ketukan terakhir, Adler memutuskan untuk masuk. Mata hitamnya memindai sekeliling namun sosok kecil berambut hitam itu tidak ada di sudut ruang mana pun. Adler bergerak ke arah kamar mandi yang ternyata tidak dikunci, perlahan
Aroma seduhan teh tiba-tiba menyapa penciumannya. Laura mengerjap beberapa kali sebelum pandangannya mulai fokus melihat keadaan sekeliling. Ruangan besar ini tampak rapi setelah dia membereskannya dua jam yang lalu."Tuan Smith, maaf, aku ketiduran," ujarnya lalu menguap kecil sambil meregangkan badan di sofa yang ditidurinya.Pria berkacamata itu hanya tersenyum sambil mengusap kepala berambut sehitam tinta. "Kau membereskan seisi ruangan ini, pasti melelahkan. Aku membawa teh kesukaanmu."Gadis itu tersenyun dan mengucapkan terima kasih sebelum mengangkat. cangkir porselen putih itu dengan hati-hati ke bibir lantas menyesap. Hangatnya teh hitam langsung mengaliri kerongkongan dan mengusir sisa- sisa kantuk di wajahnya. Ketika menurunkan cangkir ke meja, tanpa sengaja mata biru kehitaman itu menangkap gambar seorang anak lelaki yang terbingkai indah di dalam bufet.Selama beberapa detik pandangannya terpaku pada sosok bocah yang sedang membaca buku dengan riang di sebuah taman yang