Annawa Salsabila terpaksa menghabiskan malam bersama seorang pria saat perusahaan tempatnya bekerja mengadakan tour. Nawa saat itu dalam pengaruh obat perang*ang. Sementara pria bernama Brama yang menjadi lawan mainnya dalam kondisi setengah mabuk karena frustrasi memergoki kekasihnya selingkuh. Nawa gadis muslimah yang selalu berpakaian tertutup dan menjaga diri, begitu terpukul setelah kejadian itu. Namun, hidup harus terus berjalan. Ia berusaha tegar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Berbeda dengan Nawa yang takacuh, Brama si pria bermata biru itu justru mencari informasi tentang wanita tersebut melalui orang-orangnya. Terkuaklah ternyata Nawa adalah karyawan di kantor cabang milik orang tuanya. Brama menyamar menjadi pria tompelan dan bergigi hitam, bekerja di kantor yang sama dengan Nawa untuk melancarkan aksinya. Keduanya menjalin kedekatan dan Brama melamarnya, tetapi penolakan yang diterima. Saat kebenaran terkuak bahwa Brama ternyata putra CEO dan diangkat menjadi Presdir menggantikan Presdir sebelumnya, Nawa justru muak dan merasa dipermainkan. Apalagi ia harus menjadi sekretaris pribadi si bos songong itu. "Daripada menjadi sekretaris Anda, lebih baik saya resign, Tuan Brama yang terhormat." "Boleh. Tapi jangan terkejut. Karena video kita waktu itu akan saya sebar." "Silakan disebar. Bukan hanya nama baik saya yang hancur. Anda juga." "Simpel. Saya tinggal menikahimu, nama baik kita berdua aman lagi." "No! Saya nggak sudi!" "Yakin nggak sudi?" Brama mendekatkan wajah. "Yakin ada pria lain yang mau menikahimu selain saya? Kamu itu bekas saya. Mau mengelak seperti apa pun, tapi itulah kenyataannya," bisik Brama menyebalkan. Bagaimana nasib Nawa selanjutnya di tangan pria pemaksa itu?
View MoreNawa masih menatap beberapa alat tes kehamilan itu dengan pandangan berkabut. Sesekali pandangannya beralih pada objek lain, lalu kembali fokus melihatnya untuk memastikan. Beberapa kali dilakukan agar ia benar-benar yakin dengan apa yang dilihatnya. Bahwa semua itu sungguhan, bukan mimpi.Wanita itu mengambilnya satu dengan tangan gemetar, lalu menatap lekat-lekat. Jantungnya berdegup menggila. “Ini mataku normal, kan? Nggak salah lihat, kan?"Isak tangis Nawa tambah kencang. Ia mengucek mata, menghapus air mata yang menghalangi pandang. Benar, semua testpack itu menunjukkan garis dua.“Si–“ Ucapan Nawa terhenti. Awalnya ia ingin memanggil sang suami, tetapi diurungkan. Ia menggeleng. Wanita itu berpikir, sebaiknya membuat kejutan manis untuk kabar bahagia ini.Nawa mengembuskan napas panjang. Dipegangi dadanya yang masih belum berdetak normal. Ia lalu memasukkan semua testpack tadi pada sebuah wadah yang sudah disiapkan dan disembunyikan di tempat aman agar tidak ditemukan Brama.“A
“Sekarang dia di mana?” tanya Brama sambil mengambil jaket dan memakainya. “Di rumah, Tuan. Nyonya diantar pulang setelah sadar.”“Baik, saya ke sana sekarang.”Panggilan pun dimatikan.“Bim, gue pergi dulu. Ada hal darurat yang harus gue urus. Mom, titip Bima.”“Ck! Kamu bersikap kayak gini kayak nggak percaya saja sama Mommy, Bram. Bima anak Mommy, tanpa kamu perjelas juga akan Mommy jaga.”“Bukan gitu. Jangan sampai daddy menghabisi anak durhaka satu ini. Karena hanya aku yang boleh melakukannya. Aku pergi dulu. Assalamualaikum.” Brama tergesa-gesa keluar ruangan.Salam Brama dijawab lirih oleh Bima dan Gahayu.“Hah, dasar! Mau bilang khawatir saja gengsi. Brama gimana menurut Mommy?” tanya Bima.“Gimana maksudnya?”“Ya, penampilannya, perkembangan dia.”“Tambah berisi, tambah tampan. Tapi sayang, istrinya nggak sederajat.”“Meskipun nggak sederajat, dia terbukti pintar ngurus Brama. Lihat aku? Makin kurus, nggak keurus. Mom, aku minta maaf karena sudah salah mengambil jalan. Kuki
“Boby, mana anak brengs*kmu itu!” Sebuah suara keras terdengar.Boby, Brama, dan beberapa orang yang ada di depan kamar operasi menoleh. Ada papanya Stevie berdiri pongah di sana. Ada beberapa orang yang mengawal di belakangnya “Gara-gara anakmu anak saya celaka!” pekiknya lagi.“Hey! Anak jal*ngmu itu yang memang membawa sial!” Boby merangsek maju, tetapi dihalangi anak buah papanya Stevie.Kesempatan untuk Brama melepaskan diri dari para anak buah Boby. Ia menginjak kaki orang yang ada di samping kiri dan kanannya. “Lepaskan saya, Breng*ek!”Cekalan itu akhirnya mengendur.Brama bergerak maju di tengah-tengah dua kubu yang saling bersitegang. “Ini rumah sakit dan ada banyak pasien yang butuh ketenangan. Di sini bukan arena gulat. Kalau kalian ingin menyelesaikan masalah, cari tempat lain!”Boby dan papanya Stevie saling pandang dengan sorot permusuhan. Dua petinggi perusahaan sekaligus pesaing bisnis tersebut menatap saling menyalahkan.“Saya akan menyewa satu tempat di luar rumah
Meski mata masih berat karena efek baru bangun tidur, Nawa menelepon suaminya. Mata memang masih berat, tetapi ia tidak sabar ingin mendengar kabar adik iparnya. Panggilannya langsung dijawab.“Morning, Baby,” sapa suara di seberang. “Baru bangun? Apa tidurmu nyenyak?”“Hm. Sekarang Sir di rumah sakit mana? Mereka gimana? Kandungan Stevie gimana?”“Pertanyaannya langsung diborong. Mentang-mentang kaya, apa-apa suka diborong.”“Sir, bukan waktunya bercanda!”“Justru aku butuh candaan, Sayang. Lelah badan lelah pikiran sejak semalam. Untung kamu telepon. Gimana? Masih meriang?”“Meriangku nggak penting. Gimana mereka?”“Ya, kayak yang sudah kukirim ke kamu. Sudah kamu lihat, kan?"“Kandungan Stevie?”Brama terdiam. Hanya terdengar embusan napas berat dari seberang.“Sir.”“Nggak selamat. Bayinya sudah nggak ada detak jantungnya. Stevie belum sadar, pendarahan. Ini tenaga medisnya masih terus berusaha agar setidaknya kondisinya stabil biar bisa dioperasi untuk mengeluarkan bayinya.”Nawa
Brama berhenti sejenak, lalu kakinya kembali mengayun.“Gilang! Keluarkan mobilnya lagi!” teriak Brama.Stevie mendesis seraya menahan rasa tidak nyaman di pinggangnya. Meskipun begitu, ia mengulum senyum. Ia sudah berhasil membuat huru-hara dengan dramanya tanpa harus menunggu saat acara doa nanti.Nawa menatap sambil bersungut-sungut. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, tidak habis pikir dengan sikap sang suami yang dinilai tidak masuk akal. Di mana Brama yang biasanya selalu membelanya? Kenapa sekarang kembali termakan dengan hasutan Stevie?“Satu.” Nawa mulai menghitung. Jika sampai hitungan sepuluh dan Brama tetap memilih percaya dengan sandiwara Stevie, ia akan mengambil tindakan tegas. Entah apa nanti. Pergi dari rumah misalnya.Gilang melaksanakan titah sang majikan. Ia kembali menaiki dan memundurkan mobil.“Dua.”Brama mendekati mobil setelah Gilang membuka pintunya. Ia memasukkan Stevie ke dalamnya.“Tiga.” Nawa masih terus mengawasi sang suami dengan tatapan maut. Ia tidak
“Setelah sekian lama, kenapa kamu bertanya lagi tentang mereka?” tanya Brama.“Penasaran aja. Hubungan Sir sama mereka baik, kan?”“Baik. Tapi hanya baik sama Bima dan nggak pernah bahas betina. You know betina? Kamu sama Stevie. Karena kalau sudah bahas kalian, ujungnya kami bertengkar.”“Berarti Sir tahu tempat tinggal mereka?”Brama mengangguk. "Tahu. Ruko itu pun aku yang kasih."“Ayo kita ke sana.”“Ngapain?”“Pengen lihat mereka, tapi lihat dari jauh aja, nggak usah turun.”“Buat apa?”“Pengen aja. Cuma pengen lihat kalau mereka sehat.”"Jangan bilang kalau kamu kangen pengen ketemu Bima?"Nawa memukul pelan lengan suaminya. "Pikirannya buruk terus sama aku! Heran! Ya udah, nggak jadi."Brama terpingkal-pingkal. Meski begitu, ia melajukan mobil ke ruko berlantai dua milik Bima."Ngapain ke sini? Ayo pulang," sungut Nawa.“Katanya pengen lihat mereka. Itu tempat tinggal mereka." Brama menunjuk salah satu ruko. "Dia membuka jasa fotokopi sama jasa print kayak Mas Zidan. Sudah puny
Beberapa minggu berlalu. Hari-hari dilalui dengan kebahagiaan dan berusaha melupakan pahitnya pertengkaran di masa lalu. Baik Nawa maupun Brama lebih berhati-hati dalam menjalani hari, berharap terhindar dari masa kelabu.Sampai pada akhirnya, Nawa mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya.“Sir, ayo kita pijat perut biar sehat dan aku segera hamil.”“Apa!”Nawa mengulangi dengan takut.“Nggak usah neko-neko! Apalagi sampai pijat perut. No! Aku melarang kamu melakukan itu!”“Tapi, Sir–““Sudah berapa kali aku ngomong, anak itu bukan prioritas penting! Jadi jangan menyusahkan diri sendiri atau nyari penyakit! Kamu pikir nggak bahaya? Kalau sakit, siapa yang susah? Aku, kamu juga!”Nawa menunduk, cemberut.Brama mengembuskan napas panjang. “Nawa, sudah ratusan kali aku bilang, jangan terlalu stres mikir punya anak! Tapi kamu ... susah sekali diingatkan!”“Aku hanya berusaha, Sir. Tapi kamu malah marah.”“Jelas marah karena usahanya di luar nalar dan bahaya kayak gini! Jangan apa-apaka
Pandangan Nawa memang menatap jalanan ramai yang tampak di luar jendela, tetapi sejatinya pandangannya kosong. Pandangan hampa itu seiring pikiran yang bergemuruh layaknya jalanan padat yang tengah dilihatnya. Silih berganti masalah berseliweran dalam benak.Meskipun sudah berdamai dengan Brama, ada masalah yang masih membuatnya sesak. Terutama masalah kehamilan.Tiap bulan, Nawa selalu kontrol untuk program hamil. Semua dinyatakan sehat dan subur. Obat dan vitamin juga sudah rutin dikonsumsi. Sampai beberapa kali ganti dokter pun, semua dinyatakan baik-baik saja. Namun, tamu bulanannya juga masih rutin menghampiri.Setiap datang bulan, Nawa selalu murung. Kadang seperti mengalami gejala depresi. Mengamuk sendiri, menangis sendiri, menyakiti diri sendiri. Itu dilalui selama hampir setahun ini tanpa sepengetahuan Brama. Jika di hadapan sang suami, ia akan bersikap seolah-olah semua baik-baik saja. Padahal sebenarnya ia tersiksa, merasa tidak percaya diri, dan menyalahkan diri sendiri k
“Oh, punya anak duda? Lalu kamu juga masih ngarep dijadikan mantu sama dia?” tanya Brama seraya mengangguk-angguk. Ia bersedekap dan menatap tajam istrinya.“Sir tahu sendiri, kan, sikapnya beliau sama aku kayak apa? Baiknya nggak ketulungan pokoknya. Aku yakin beliau masih mengharapkanku jadi bagian keluarganya.” Nawa sengaja memanas-manasi. Bisa dibilang, ajang balas dendam secara halus.Telinga Brama mulai terbakar.“Jadi, ceritanya istri dari kakaknya Mas Agung itu meninggal nggak lama setelah kita nikah. Dia kerja di perusahaan batu bara di Kaliman–““Informasimu sangat nggak penting,” potong Brama. Ia menyerobot kasar makanan di kantong plastik dari tangan istrinya. Tanpa banyak kata, ia langsung masuk ke rumah.“Sir, mau kamu bawa ke mana!” pekik Nawa seraya mengejar.“Mau kubuang. Aku bisa membelikan yang lebih mahal, lebih enak, dan lebih sehat dari bubur sampah ini.”“Sir, jangan!”“Apa ini ribut-ribut?” tanya Heru yang keluar dari kamar.“Bubur dari Tante Nurul mau dibuang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.