Alina dan Revan dulu adalah pasangan cinta pertama saat sekolah, tapi suatu kejadian membuat Revan mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatan tentang Alina. Bertahun-tahun kemudian, Revan menikah dalam perjodohan bisnis, tapi istrinya meninggal dalam kecelakaan misterius. Saat Alina kembali ke kehidupannya sebagai sekretaris pribadi, dia menyadari Revan sama sekali tak mengingatnya. Didorong oleh rasa sakit dan dendam tersembunyi, Alina mulai memainkan peran sebagai wanita penggoda—entah untuk membuktikan dirinya masih punya tempat di hati Revan atau untuk membuat pria itu merasakan sakit yang pernah ia rasakan. Tapi semakin lama mereka bersama, Alina mulai menyadari ada yang aneh dengan pernikahan Revan yang dulu. Apakah istrinya benar-benar mati karena kecelakaan? Ataukah ada konspirasi yang lebih besar di baliknya?
View MoreBagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya.Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya."Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya."Tidak selera.""Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan.""Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan."Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan."Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama."Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?""Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya.Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring Revan ta
Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana
'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka
Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn
"Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi
"Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa
Revan tidak pernah benar-benar peduli dengan kehadiran orang lain di apartemennya. Ia terbiasa dengan kesunyian, dengan hidup yang hanya diisi pekerjaan dan kesibukan tanpa henti. Namun, entah bagaimana, sejak Alina tinggal di sini, semuanya berubah. Tidurnya lebih nyenyak. Makan dan istirahatnya lebih teratur. Apartemennya yang biasanya sunyi kini terasa lebih hidup. Bukannya Revan tidak sadar akan perubahan ini. Dia hanya memilih untuk mengabaikannya. Alina memang aneh, suka menggoda tanpa malu, tapi tetap saja Revan tidak bisa mengelak pada fakta bahwa wanita itu adalah sekretaris yang luar biasa, Alina bekerja dengan cepat, cekatan, dan selalu memahami apa yang ia butuhkan tanpa banyak bicara. Dan malam ini, Revan kembali merasakan kecekatan wanita itu. Saat ia sedang meeting online dengan beberapa manajer cabang luar negeri, Alina duduk di sampingnya dengan serius mencatat poin-poin penting rapat. Sesekali, dia mengangguk atau menuliskan sesuatu, seolah lebih fokus darip
Alina merebahkan diri di sofa, membiarkan kepalanya tenggelam di bantal empuk. Matanya terpejam, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya tetap sibuk. Sejak percakapan terakhirnya dengan Revan tadi siang, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tatapan pria itu, caranya berbicara… seolah-olah dia tahu lebih banyak dari yang Alina kira. Ia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Ia harus fokus pada tujuannya. Tidak boleh ada yang membuatnya goyah. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan terganggu oleh perasaan asing yang tiba-tiba muncul. Seseorang ada di luar. Alina menegang. Dengan gerakan hati-hati, ia bangkit dari sofa, berjalan mendekati pintu apartemennya. Suara derap langkah samar terdengar di luar, tapi tidak ada yang mengetuk pintu. Siapa? Ia mengintip melalui lubang intip. Jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat sosok yang berdiri di sana. William. Alina menelan ludah. Pria itu berdiri diam, wajahnya tidak terlihat je
Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,
Napas itu memburu, berpadu dengan desir angin malam yang menerobos jendela kamar sempit itu. Di bawah temaram cahaya bulan, tubuh mereka menyatu. Gerakan mereka kaku, canggung, tapi penuh gairah yang membara. Jemari itu menelusuri kulitnya dengan ragu, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Bibirnya bergetar saat membisikkan namanya di antara desahan tertahan."Revan…"Sebuah permohonan.Sebuah kepasrahan.Saat itu, dia percaya. Bahwa perempuan ini adalah segalanya. Bahwa malam itu akan menjadi awal dari kisah mereka selamanya. Bahwa cinta pertama tidak akan pernah berakhir.Tapi ia salah. Sebuah takdir dari status yang selama ini ia sembunyikan menariknya menjauh dari pelukan hangat gadis itu.Dan kini, yang tersisa hanyalah bayangan samar. Seakan ada sesuatu yang memisahkan mereka dengan paksa."Jangan tinggalkan aku…" suara itu kembali terdengar, lemah dan menyedihkan.Revan mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok itu… tapi dalam sekejap, semuanya menghilang. Cahaya meredup. Keh...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments