Napas itu memburu, berpadu dengan desir angin malam yang menerobos jendela kamar sempit itu. Di bawah temaram cahaya bulan, tubuh mereka menyatu. Gerakan mereka kaku, canggung, tapi penuh gairah yang membara. Jemari itu menelusuri kulitnya dengan ragu, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. Bibirnya bergetar saat membisikkan namanya di antara desahan tertahan.
"Revan…" Sebuah permohonan. Sebuah kepasrahan. Saat itu, dia percaya. Bahwa perempuan ini adalah segalanya. Bahwa malam itu akan menjadi awal dari kisah mereka selamanya. Bahwa cinta pertama tidak akan pernah berakhir. Tapi ia salah. Sebuah takdir dari status yang selama ini ia sembunyikan menariknya menjauh dari pelukan hangat gadis itu. Dan kini, yang tersisa hanyalah bayangan samar. Seakan ada sesuatu yang memisahkan mereka dengan paksa. "Jangan tinggalkan aku…" suara itu kembali terdengar, lemah dan menyedihkan. Revan mengulurkan tangan, mencoba meraih sosok itu… tapi dalam sekejap, semuanya menghilang. Cahaya meredup. Kehangatan itu lenyap. Dan yang tersisa hanyalah kekosongan. Siapa? Ia menutup matanya, mencoba mengingat. Tapi seperti biasa, hanya ada potongan-potongan yang tidak utuh. Sentuhan lembut, bisikan penuh emosi, dan aroma manis vanilla yang begitu familiar. Tapi wajahnya? Kosong. Sejak kecelakaan itu, ada bagian dari hidupnya yang terasa seperti lubang hitam. Sesuatu yang hilang, tapi dia bahkan tidak tahu apa. *** Alina melangkah masuk ke gedung megah itu dengan kepala tegak, meskipun di dalam hatinya ada badai yang berputar liar. Matanya menatap logo Revan Corp, perusahaan yang kini berada di bawah kendali pria yang dulu pernah ia cintai, dan kini bahkan tak mengingatnya. Tujuh tahun. Sudah tujuh tahun sejak Revan menghilang dari hidupnya, meninggalkan luka yang tak pernah sembuh. Dulu, ia pikir mereka akan selalu bersama, tapi kecelakaan itu mengubah segalanya. Revan lupa siapa dirinya, lalu menikah dengan wanita lain dalam pernikahan bisnis, sementara Alina harus merangkak sendirian untuk bertahan hidup. Dan kini, takdir membawanya kembali. "Dari CV yang saya terima, Anda memenuhi kualifikasi sebagai sekretaris baru CEO." Wanita di hadapannya, HRD perusahaan, meneliti berkasnya dengan ekspresi datar. "Kita akan langsung bertemu dengan Pak Revan. Pastikan Anda bekerja secara profesional." Alina hanya tersenyum tipis. Profesional? Itu akan sulit, karena bagi Alina, ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah ajang pembalasan. HRD mengetuk pintu kantor CEO sebelum membukanya. "Silakan masuk." Alina menarik napas dalam, lalu melangkah ke dalam ruangan itu. Dan di sana, duduk di balik meja kayu mahoni, adalah pria yang telah menghancurkan hidupnya. Revan Arkana Alexander CEO tampan itu sedang fokus pada layar laptopnya, tanpa sedikit pun mengangkat kepala. Sosoknya masih sama seperti yang Alina ingat, bahkan mungkin lebih dewasa dan dingin. Jas hitamnya rapi tanpa cela, wajahnya begitu tenang, tapi aura pria itu kini lebih tajam, lebih berbahaya. "Pak Revan, ini sekretaris baru Anda," ucap HRD. Perlahan, Revan mengangkat wajahnya. Sejenak, mata mereka bertemu. Dan di detik itu, jantung Alina seolah berhenti berdetak. Apakah dia akan mengenalinya? Namun, yang keluar dari mulut pria itu justru… "Siapa namamu?" Dada Alina terasa sesak. Ingin rasanya tertawa pahit. Tujuh tahun lalu, pria ini pernah bersumpah akan mencintainya seumur hidup. Dan kini, dia bahkan tak tahu siapa dirinya. "Alina Delora, Pak." jawabnya, sembari meletakkan berkas data diri di meja CEO perusahaan elektronik ternama di negara ini. Revan membukanya. Membacanya dengan sekilas. Laki laki itu hanya fokus kepada bidang keahlian sekretaris barunya. "Bela diri apa yang kau kuasai?" "Taekwondo, Pak." Mata Revan menatapnya tajam, menyelidik. Sorot matanya mengintimidasi, seolah menelanjangi setiap inci keberadaannya. "Taekwondo?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Alina tetap berdiri tegak, menjaga ekspresinya tetap netral. "Tidak banyak wanita yang menguasai bela diri, apalagi mendaftar sebagai sekretaris," lanjut Revan. "Ada banyak hal yang bisa terjadi dalam dunia bisnis, Pak," jawab Alina datar. "Dan saya lebih suka jika bisa melindungi diri sendiri." Revan menyandarkan punggungnya ke kursi. Sudut bibirnya sedikit terangkat, tapi matanya tetap tajam. "Bukan hanya diri sendiri," ujarnya pelan. "Mulai sekarang, kau juga harus melindungiku." Alina menahan napas. Tangannya mengepal tanpa sadar. Sial, permainan ini dimulai lebih cepat dari dugaannya. "Maaf, Pak?" Revan melipat tangannya di atas meja. "Aku tidak hanya membutuhkan sekretaris biasa. Ancaman terhadap perusahaanku semakin besar, dan aku tidak bisa mempercayai banyak orang. Aku butuh seseorang yang bisa bekerja di dekatku, mengatur jadwalku, sekaligus memastikan aku tetap hidup. Karena itulah, meskipun kau lulusan universitas biasa dengan nilai dan prestasi biasa. Kau punya keunggulan yang tidak dimiliki calon lainnya." Alina mengeraskan rahangnya. Sebuah ironi. Pria yang dulu menghancurkan hidupnya, yang melupakannya begitu saja, kini meminta perlindungannya? Jika dulu ia hanya ingin mendekati Revan untuk balas dendam, kini keadaannya lebih menguntungkan. Dengan posisinya sebagai sekretaris sekaligus bodyguard, ia bisa masuk lebih dalam ke dalam lingkaran pria itu. Ia bisa mengendalikan permainan ini. Dengan senyum kecil, ia menjawab, "Saya mengerti, Pak. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan baik." Revan menatapnya sejenak, sebelum mengangguk puas. "Bagus. Mulai besok, kau akan bekerja lebih dekat denganku. Jangan kecewakan aku, Alina. Dan, selain bela diri, belajarlah menggunakan pistol. Aku sendiri yang akan mengajarimu setiap weekend. Kau tidak keberatan kan bekerja 24/7 untukku?!" "Tentu saja, Pak. Sekarang saya tahu kenapa gaji saya besar sekali." Revan membalas dengan senyum congkak. Hanya satu ujung bibirnya yang terangkat. "Sekarang pergilah. Persiapkan dirimu untuk esok hari." Alina membungkuk sedikit, lalu melangkah keluar dari ruangan itu dengan ekspresi tanpa cela. Tapi begitu pintu tertutup, ia menarik napas panjang. Sebuah permainan berbahaya baru saja dimulai. Dan kali ini, ia tidak akan menjadi pihak yang kalah.Alina berdiri di depan kaca besar di apartemennya yang sederhana. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Revan, pria itu benar-benar tidak mengingatnya. Bahkan ketika mereka berhadapan langsung, tak ada sedikit pun tanda kebingungan di matanya. Tidak ada secercah kenangan yang muncul.Tujuh tahun. Apa benar waktu bisa menghapus segalanya?Alina meraih pistol Glock 19 yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya mengelus permukaannya, lalu dengan cekatan ia membuka magasin, memastikan semua terisi penuh sebelum menguncinya kembali. Revan ingin mengajarinya menembak? Sial. Dia bahkan lebih terlatih daripada yang pria itu kira. "Revan Arkana Alexander," gumamnya pelan, menatap bayangannya sendiri di cermin. "Dia sudah berubah."Tak ada lagi Revan yang manis, ramah, dan pandai merayu itu. Yang tersisa sekarang hanyalah seorang CEO tegas yang berhasil menaikkan penjualan dan saham perusahannya di angka yang tertinggi dari perusahaan elektronik lainnya.Sebuah dering telepon memecah keheninga
Acara gala dinner berlangsung lebih lama dari yang Alina perkirakan. Setelah berbincang dengan beberapa rekan bisnis, Revan akhirnya harus menghadapi bagian yang lebih melelahkan, kerabatnya. Begitu mereka memasuki ruang privat di restoran mewah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang laki laki muda langsung menyambut mereka. "Revan!" Wanita itu, yang Alina tebak adalah tantenya, tersenyum lebar. "Akhirnya kau datang. Kami sudah menunggu." Revan hanya memberikan anggukan kecil. Alina bisa merasakan ketegangan dalam bahunya. "Oh?" Laki laki muda di sebelah wanita itu menatap Alina dari atas ke bawah. "Kau membawa seseorang?" Tatapan mereka seketika berubah penuh penilaian. "Siapa dia, Revan?" suara tantenya terdengar lebih tajam. Sebelum Revan sempat menjawab, sepupunya sudah berseru dengan ekspresi dramatis. "Jangan bilang dia kekasihmu! Kau bahkan tidak pernah mengenalkan siapa pun kepada kami!" Alina nyaris tertawa. Kekasih? Tidak, dia jauh dari itu, saat remaja mereka ba
Pagi itu, Alina berdiri di depan gedung apartemen mewah yang menjulang tinggi di pusat kota. Dengan koper besar di sampingnya, ia menatap bangunan yang elegan dengan ekspresi terpukau. Ini jelas bukan tempat tinggal orang biasa. "Jujur, aku masih tidak percaya kau benar-benar setuju pindah ke sini," kata Wiliam, yang berdiri di sebelahnya dengan beberapa kotak di tangannya. Alina menghela napas. "Bukan pilihan yang buruk. Daripada harus bolak-balik dengan jarak yang jauh, lebih baik aku di sini saja. Lagipula, ini demi pekerjaan." Wiliam menyeringai. "Atau demi bos dingin itu?" Sindirnya.Alina meliriknya sekilas. "Hah, sepertinya benar. Meskipun bukan bagian dari rencana, aku bisa mendekatinya dengan lebih cepat di tempat ini." Mereka pun masuk ke dalam, dan seorang petugas langsung menyambut mereka dengan ramah. Proses administrasi berjalan cepat karena semuanya sudah diurus oleh pihak perusahaan Revan. Dalam waktu singkat, Alina mendapatkan kunci unit apartemennya. "Kau yaki
Malam di kota berpendar dengan cahaya lampu jalan dan gedung-gedung tinggi, tetapi bagi Revan, semua itu tidak ada artinya. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, melainkan karena pikirannya sendiri.Alina baru saja pulang dari kantor ketika melihat apartemen Revan dari balkon unitnya. Lampunya masih menyala, seperti malam-malam sebelumnya. "Belum tidur lagi?" batinnya.Sudah beberapa hari sejak ia resmi pindah ke apartemen ini, dan selama itu pula Alina memperhatikan kebiasaan aneh Revan. Pria itu jarang terlihat tidur di jam yang normal. Setiap pagi saat Alina keluar untuk jogging atau membeli kopi, Revan sudah lebih dulu pergi ke kantor. Dan setiap malam ketika ia hendak tidur, apartemen pria itu masih terang benderang. 'Apakah dia punya insomnia?' pikir Alina.Alina akhirnya mengabaikan pikirannya dan masuk ke dalam. Namun, baru beberapa menit ia hendak bersantai, suara barang pecah keras dari unit sebelah membuatnya tersentak. [Prang!]Alina langsung keluar. Pintu apartem
Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t
Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir
Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta
Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo
Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,
Helaan nafas Alina bergetar, tangannya masih menekan dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya bersandar di tembok dingin, berusaha menenangkan detak jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Udara malam begitu menusuk, tapi rasa dingin itu tidak bisa mengalahkan panas yang membakar tubuhnya akibat sisa efek lilin aromaterapi sialan itu. Kakinya gemetar, lututnya hampir menyerah. Namun, otaknya terus memaksa tubuhnya bergerak. Kabur... 'Aku harus kabur...' Alina menatap tali yang menjuntai dari jendela. Jendela yang sudah terbuka sejak tadi. Laki laki itu sengaja membuka jendela agar asap lilin segera berganti dengan udara segar. Dan tali... William. Alina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pria itu... Bahkan dalam kekejamannya, William tetap membukakan jalan untuknya. Tapi dengan caranya sendiri. Alina menggigit bibir hingga terasa asin oleh darah. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia meraih tali dan mulai menuruni dinding pelan-pelan. Udara dingin membelai kulitnya yang hanya ber
Napas Alina memburu. Kelopak matanya terasa berat, namun kesadarannya masih menggantung di antara nyata dan mimpi. Tubuhnya terasa panas, seakan ada api yang membakar perlahan di dalam dirinya. Aroma lilin aromaterapi menyesakkan dada, menambah kekacauan dalam pikirannya. Dalam kesadarannya yang setengah kabur, Alina merasakan tangan hangat menyentuh pipinya. Nafas seseorang berhembus lembut di atas wajahnya. "Alina... kau begitu cantik." Suara William terdengar begitu lembut, nyaris mendesah. Tidak. Alina ingin memberontak, tapi tubuhnya seperti terkunci. Tangan dan kakinya seolah tak memiliki kekuatan sama sekali. Kepalanya pusing, lidahnya kelu. 'Tidak, aku harus sadar... aku harus bangun!' William mendekatkan wajahnya, jemarinya menyusuri garis rahang Alina dengan penuh kehati-hatian. Mata pria itu menatap penuh obsesi. Tangan William naik, menyingkap anak rambut yang menempel di pelipis Alina. Sentuhan hangatnya membuat wanita itu sedikit menggeliat, bibirnya yang pucat t
"Aku tidak percaya kau tinggal di unit milik orang yang kau benci. Kau sudah berhasil merayunya? Apa misi pribadimu sudah selesai?" Tanya William memecah keheningan. Di balik nada ramahnya, ada sarkasme yang dapat ditangkap oleh intuisi Alina. Alina menggeleng, "Revan belum melihatku sebagai lawan jenis." "Mana mungkin, kurasa dia hanya berpura pura begitu supaya kau berlama lama di rumahnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menyergapmu." "Revan bukan orang yang seperti itu, Liam." Alina melirik tidak suka atas tuduhan tak berdasar itu. "Ahaa Alina, sekarang kau bahkan membelanya. Kenapa ini, bukan dia yang menyukaimu tapi malah sebaliknya? Kau luluh lagi padanya? Kau tidak ingat sudah dipakai dan dibuang olehnya tujuh tahun lalu. Saat usiamu bahkan belum genap delapan belas tahun." Alina mengepalkan tangan. Kenapa William memaksanya untuk ikut dan malah menghancurkan mood baiknya hari ini. "Turunkan aku. Tepikan mobilnya." Alina berusaha membuka pintu mobil. Mobil dengan keaman
Alina keluar dari kamarnya dengan wajah segar sehabis mandi. Rambut hitamnya terurai lembut, sedikit bergelombang karena dikeringkan asal. Kemeja putih longgar dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang jenjang. Celana pendek krem membungkus pahanya yang mulus ditambah dengan wangi parfum manis samar-samar tercium, memberi kesan santai tapi tetap... menggoda. Wanita itu membawa nampan berisi semangkuk sop ayam hangat, sepiring nasi putih, dan sambal kecap yang terlihat menggiurkan. Ini adalah makanan yang sederhana, tapi aroma kaldu ayam yang gurih membuat perut siapa pun pasti langsung keroncongan. Alina mendorong pintu kamar Revan dengan sikunya. "Waktunya makan siang Pak Revan!" Alina berseru senang. Namun semangatnya langsung menguap saat melihat Revan masih sibuk menatap layar laptop di meja kerjanya. Jika mengikuti insting 'wanita berburu' milinya, Alina pasti akan bergelayut manja di baju Revan dan membujuknya untuk makan bersama. Tapi tida
Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo
Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta
Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir
Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t