Acara gala dinner berlangsung lebih lama dari yang Alina perkirakan. Setelah berbincang dengan beberapa rekan bisnis, Revan akhirnya harus menghadapi bagian yang lebih melelahkan, kerabatnya.
Begitu mereka memasuki ruang privat di restoran mewah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang laki laki muda langsung menyambut mereka. "Revan!" Wanita itu, yang Alina tebak adalah tantenya, tersenyum lebar. "Akhirnya kau datang. Kami sudah menunggu." Revan hanya memberikan anggukan kecil. Alina bisa merasakan ketegangan dalam bahunya. "Oh?" Laki laki muda di sebelah wanita itu menatap Alina dari atas ke bawah. "Kau membawa seseorang?" Tatapan mereka seketika berubah penuh penilaian. "Siapa dia, Revan?" suara tantenya terdengar lebih tajam. Sebelum Revan sempat menjawab, sepupunya sudah berseru dengan ekspresi dramatis. "Jangan bilang dia kekasihmu! Kau bahkan tidak pernah mengenalkan siapa pun kepada kami!" Alina nyaris tertawa. Kekasih? Tidak, dia jauh dari itu, saat remaja mereka bahkan pernah tidur bersama. Tapi Alina tidak mungkin mengatakan identitas aslinya. "Revan, kau tahu keluarga kita tidak bisa sembarangan menerima orang luar. Keluarga kita punya reputasi yang harus dijaga!" Alina tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Saya sekretarisnya," jawab Alina dengan tenang, mencoba menjaga sikap profesional meskipun hatinya mulai panas. Namun, reaksi keluarga Revan sungguh keterlaluan. "Hah? Sekretaris?" Sepupunya tertawa sinis. "Oh, aku kira siapa. Sekretaris pribadi rupanya." Tantenya mengangkat alis. "Revan, kenapa kau membawa seorang sekretaris ke acara keluarga? Jangan bilang kau punya hubungan tidak pantas dengannya?" Alina mengepalkan tangan, geram. Mereka tidak hanya meremehkannya, tapi juga menuduhnya sebagai perempuan murahan. "Dia sekretarisku, tidak lebih. Dan ini bukan acara keluarga tetapi pesta perayaan dengan klien penting. kalian saja yang datang tanpa diundang dengan menggunakan namaku" ujar Revan dingin, seolah menutup pembicaraan dengan sarkasmenya yang tajam. Namun sarkasme yang dilontarkan Revan belum cukup untuk meluruhkan muka tembok tantenya. Wanita setengah baya itu belum selesai mengganggu. "Kalau begitu, mari kita bahas hal yang lebih penting. Perjodohanmu, Revan. Kali ini, kami sudah menemukan gadis yang benar-benar sepadan denganmu. Keluarganya kuat di bidang real estate, dan—" "Berhenti," potong Revan, suaranya tiba-tiba terdengar sangat tajam. Mata pria itu menatap tajam kerabatnya yang sejak dulu menjadi walinya, mata elang Revan membuat mereka sedikit tersentak. "Aku tidak tertarik dengan perjodohan," lanjutnya. "Aku sudah pernah menikah, dan aku tidak akan mengulanginya lagi." Alina terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat Revan menolak dengan begitu tegas. Selama ini, ia mengira Revan hanya menjalani pernikahan bisnis tanpa perasaan. Tapi dari reaksinya, Alina bisa melihat bahwa Revan sangat mencintai mendiang istrinya. Pertemuan itu berakhir tanpa hasil. Revan pergi tanpa mengucapkan perpisahan, sementara Alina mengekor di belakangnya. Di dalam mobil, suasana terasa begitu menekan. Revan tidak mengatakan apa pun, tatapannya kosong ke depan. Namun, insting Alina yang sudah terlatih menangkap sesuatu yang janggal. "Kita sedang diikuti, Pak" bisiknya pelan. Revan mengerutkan kening, lalu melirik kaca spion. "Siapa?" "Ada dua sepeda, mereka sudah membuntuti kita sejak keluar dari parkiran" jawab Alina dengan tenang. Namun, bukannya segera kembali ke apartemen, Revan malah membelokkan mobilnya ke sebuah bar. "Apa yang akan anda lakukan? Tidak aman jika kita berada di luar terlalu lama." tanya Alina, tidak percaya. "Minum," jawab Revan singkat, sebelum keluar dari mobil tanpa menunggu Alina. "Bereskan mereka." Lanjutnya kemudian. Alina mendesah, lalu mengikutinya masuk ke dalam bar. Revan langsung menuju meja bartender dan memesan beberapa gelas whiskey. Sial. Revan tidak dalam keadaan yang baik, dan mereka sedang diikuti. Alina memutuskan untuk tidak ikut minum. Ia hanya duduk di sudut, mengamati sekeliling sambil memastikan tidak ada ancaman mendekat. Setelah beberapa saat, ia menyelinap keluar untuk memeriksa siapa yang mengikuti mereka. Benar saja. Dua pria bertubuh kekar berdiri di dekat mobil mereka, berbicara dengan pelan. Tatapan mereka waspada, seolah sedang menunggu sesuatu. Tukang pukul bayaran. Alina tersenyum kecil. Ini akan menyenangkan. Dengan langkah ringan, ia berjalan melewati mereka, sengaja menarik perhatian. Salah satu pria itu menoleh, lalu mengangguk kepada rekannya. Mereka langsung mengikuti Alina ke gang gelap di samping bar. Begitu mereka cukup jauh dari keramaian, Alina berhenti dan menoleh. "Jadi, untuk apa kalian mengikuti kami?" tanyanya santai. Pria bertato di sebelah kanan menyeringai. "Kau terlalu ingin tahu, nona." Tanpa peringatan, pria itu mengayunkan pukulannya. Namun, Alina sudah lebih dulu bergerak. Ia menghindar dengan cepat, lalu menendang perut pria itu dengan kekuatan penuh. Pria itu terhuyung ke belakang, sementara rekannya mencoba menyerangnya dari samping. Sayangnya bagi mereka, Alina bukanlah perempuan biasa. Gadis itu tidak bisa ditaklukkan oleh preman kroco seperti mereka. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, keduanya sudah tergeletak di tanah, mengerang kesakitan. Yang satu patah tulang di bagian lengan, satunya mengalami dislokasi pada sendi kakinya. Alina berjongkok di samping mereka, menekan lututnya ke dada salah satu pria. "Siapa yang menyuruh kalian?" Tanyanya, mengeluarkan pisau lipat yang sedari ia simpan rapi di balik baju. Pria itu terbatuk, takut takut melihat kilatan tajam ujung pisau yang hampir menyentuh leher. "Ka-kami hanya dibayar. Kami tidak tahu siapa dalangnya." Alina menekan lebih kuat. Darah dari kulit yang tersayat mulai mengalir. "Jangan main-main denganku!" Bentaknya. Namun, sebelum ia bisa mendapatkan jawaban lebih jauh, salah satu pria yang bebas tiba-tiba melemparkan sesuatu—bom asap kecil. Dalam sekejap, gang itu dipenuhi asap putih tebal. Ketika asap mulai menghilang, Alina mendapati bahwa mereka telah melarikan diri. Sial. Mereka cukup terlatih untuk sekadar preman biasa. Tetapi mereka tidak cerdas. Alina yakin seseorang telah membuat rencana ini. Tapi siapa dan untuk apa? Jika tujuannya untuk membunuh, tidak mungkin preman seperti itu yang dikirim. Dengan napas sedikit memburu, Alina kembali ke dalam bar, di mana Revan masih duduk dengan ekspresi kosong, menatap gelas whiskey di tangannya. "Kita harus pergi, Pak" kata Alina, meraih lengannya. Revan menatapnya sekilas sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kau sudah membereskan mereka?" "Sudah, Pak. Tapi saya tidak mendapatkan informasi mengenai tujuan maupun siapa yang mengirim mereka." "Aku." Mata almond Alina mengerjab bingung. "Aku yang mengirim mereka untuk menguji kemampuanmu." Hah! Laki laki licik ini. Alina tersenyum manis mendengar pengakuan tanpa tahu malu Revan. "Apa saya lulus, Pak?" "Ya, aku mengakui kemampuanmu." Revan menepis tangan Alina, mendorong gadis itu menjauh. Lalu berjalan dengan tegas di depan. Alina mengikuti. "Tapi pak, anda jahat sekali. Anda membuat saya bertarung dengan memakai gaun seperti ini. Ah saya khawatir dua pria tadi melihat celana dalam saya." Revan tertawa sinis. "Memangnya kenapa? Setelah kau kalahkan, aku yakin mereka tidak akan berani memandangmu sebagai seorang wanita." "Anda benar, Pak. Lalu bagaimana dengan anda?" Alina maju. Mencegat langkah Revan. Pria itu berhenti dengan tepat, tidak sampai menabraknya. Meskipun sudah menghabiskan sebotol alkohol, Revan memiliki daya tahan yang kuat. Ia tidak mabuk. "Maksudmu?" Tanyanya, menaikkan alis. Alina meraih tangan Revan. Menyentuhkannya di belahan dadanya yang besar, yang kali ini ketat karena gaunnya yang sempit. "Dengan kelicikan anda, anda sudah mengalahkan saya. Membuat saya bermain di telapak tangan anda bahkan saat saya sedang memakai gaun seperti ini." Alina mengangkat ujung gaun merahnya yang terbelah, bukan hanya betis, kali ini lebih naik lagi menunjukkan pahanya yang putih mulus dan berisi. Tidak berhenti di situ, dengan gerakan pelan dan erotis, Alina terus menariknya semakin tinggi. "Berhenti." Cegah Revan. Menahan tangan Alina. Revan menatap aneh melihat tingkah murahan sekretarisnya. Perubahan itu membuat Alina khawatir. Gadis itu langsung tertawa meledek. "Sekarang anda yang kena, Pak! Haa... Saya kan hanya mengerjai anda, kenapa anda serius sekali. Haha... Artinya di permainan ini saya yang menang ya!" Mengerjai? Jadi yang dilakukan gadis ini tadi hanyalah untuk mempermainkannya? "Jangan marah, Pak Revan. Ini cara saya membalas perlakuan anda tadi. Kita impas sekarang." Setelah Revan pergi melewatinya, Alina menggigit bibir. Wajahnya yang semula tertawa, berubah menjadi serius. Ah gawat, ia hampir saja menghancurkan rencananya sendiri. Ia tidak boleh tergesa gesa. Revan belum tertarik padanya sebagai lawan jenis. Alina akan mendekatinya perlahan dan tidak menggunakan cara frontal seperti tadi. Ah ia pikir Revan akan sedikit lengah karena alkohol. Ternyata, laki laki dengan harga diri selangit itu tak mudah ditaklukan, ia seperti gunung es Antartika yang hampir tidak mungkin dicairkan.Pagi itu, Alina berdiri di depan gedung apartemen mewah yang menjulang tinggi di pusat kota. Dengan koper besar di sampingnya, ia menatap bangunan yang elegan dengan ekspresi terpukau. Ini jelas bukan tempat tinggal orang biasa. "Jujur, aku masih tidak percaya kau benar-benar setuju pindah ke sini," kata Wiliam, yang berdiri di sebelahnya dengan beberapa kotak di tangannya. Alina menghela napas. "Bukan pilihan yang buruk. Daripada harus bolak-balik dengan jarak yang jauh, lebih baik aku di sini saja. Lagipula, ini demi pekerjaan." Wiliam menyeringai. "Atau demi bos dingin itu?" Sindirnya.Alina meliriknya sekilas. "Hah, sepertinya benar. Meskipun bukan bagian dari rencana, aku bisa mendekatinya dengan lebih cepat di tempat ini." Mereka pun masuk ke dalam, dan seorang petugas langsung menyambut mereka dengan ramah. Proses administrasi berjalan cepat karena semuanya sudah diurus oleh pihak perusahaan Revan. Dalam waktu singkat, Alina mendapatkan kunci unit apartemennya. "Kau yaki
Malam di kota berpendar dengan cahaya lampu jalan dan gedung-gedung tinggi, tetapi bagi Revan, semua itu tidak ada artinya. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, melainkan karena pikirannya sendiri.Alina baru saja pulang dari kantor ketika melihat apartemen Revan dari balkon unitnya. Lampunya masih menyala, seperti malam-malam sebelumnya. "Belum tidur lagi?" batinnya.Sudah beberapa hari sejak ia resmi pindah ke apartemen ini, dan selama itu pula Alina memperhatikan kebiasaan aneh Revan. Pria itu jarang terlihat tidur di jam yang normal. Setiap pagi saat Alina keluar untuk jogging atau membeli kopi, Revan sudah lebih dulu pergi ke kantor. Dan setiap malam ketika ia hendak tidur, apartemen pria itu masih terang benderang. 'Apakah dia punya insomnia?' pikir Alina.Alina akhirnya mengabaikan pikirannya dan masuk ke dalam. Namun, baru beberapa menit ia hendak bersantai, suara barang pecah keras dari unit sebelah membuatnya tersentak. [Prang!]Alina langsung keluar. Pintu apartem
Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t
Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir
Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta
Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo
Alina keluar dari kamarnya dengan wajah segar sehabis mandi. Rambut hitamnya terurai lembut, sedikit bergelombang karena dikeringkan asal. Kemeja putih longgar dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang jenjang. Celana pendek krem membungkus pahanya yang mulus ditambah dengan wangi parfum manis samar-samar tercium, memberi kesan santai tapi tetap... menggoda. Wanita itu membawa nampan berisi semangkuk sop ayam hangat, sepiring nasi putih, dan sambal kecap yang terlihat menggiurkan. Ini adalah makanan yang sederhana, tapi aroma kaldu ayam yang gurih membuat perut siapa pun pasti langsung keroncongan. Alina mendorong pintu kamar Revan dengan sikunya. "Waktunya makan siang Pak Revan!" Alina berseru senang. Namun semangatnya langsung menguap saat melihat Revan masih sibuk menatap layar laptop di meja kerjanya. Jika mengikuti insting 'wanita berburu' milinya, Alina pasti akan bergelayut manja di baju Revan dan membujuknya untuk makan bersama. Tapi tida
"Aku tidak percaya kau tinggal di unit milik orang yang kau benci. Kau sudah berhasil merayunya? Apa misi pribadimu sudah selesai?" Tanya William memecah keheningan. Di balik nada ramahnya, ada sarkasme yang dapat ditangkap oleh intuisi Alina. Alina menggeleng, "Revan belum melihatku sebagai lawan jenis." "Mana mungkin, kurasa dia hanya berpura pura begitu supaya kau berlama lama di rumahnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menyergapmu." "Revan bukan orang yang seperti itu, Liam." Alina melirik tidak suka atas tuduhan tak berdasar itu. "Ahaa Alina, sekarang kau bahkan membelanya. Kenapa ini, bukan dia yang menyukaimu tapi malah sebaliknya? Kau luluh lagi padanya? Kau tidak ingat sudah dipakai dan dibuang olehnya tujuh tahun lalu. Saat usiamu bahkan belum genap delapan belas tahun." Alina mengepalkan tangan. Kenapa William memaksanya untuk ikut dan malah menghancurkan mood baiknya hari ini. "Turunkan aku. Tepikan mobilnya." Alina berusaha membuka pintu mobil. Mobil dengan keaman
Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,
Helaan nafas Alina bergetar, tangannya masih menekan dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya bersandar di tembok dingin, berusaha menenangkan detak jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Udara malam begitu menusuk, tapi rasa dingin itu tidak bisa mengalahkan panas yang membakar tubuhnya akibat sisa efek lilin aromaterapi sialan itu. Kakinya gemetar, lututnya hampir menyerah. Namun, otaknya terus memaksa tubuhnya bergerak. Kabur... 'Aku harus kabur...' Alina menatap tali yang menjuntai dari jendela. Jendela yang sudah terbuka sejak tadi. Laki laki itu sengaja membuka jendela agar asap lilin segera berganti dengan udara segar. Dan tali... William. Alina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pria itu... Bahkan dalam kekejamannya, William tetap membukakan jalan untuknya. Tapi dengan caranya sendiri. Alina menggigit bibir hingga terasa asin oleh darah. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia meraih tali dan mulai menuruni dinding pelan-pelan. Udara dingin membelai kulitnya yang hanya ber
Napas Alina memburu. Kelopak matanya terasa berat, namun kesadarannya masih menggantung di antara nyata dan mimpi. Tubuhnya terasa panas, seakan ada api yang membakar perlahan di dalam dirinya. Aroma lilin aromaterapi menyesakkan dada, menambah kekacauan dalam pikirannya. Dalam kesadarannya yang setengah kabur, Alina merasakan tangan hangat menyentuh pipinya. Nafas seseorang berhembus lembut di atas wajahnya. "Alina... kau begitu cantik." Suara William terdengar begitu lembut, nyaris mendesah. Tidak. Alina ingin memberontak, tapi tubuhnya seperti terkunci. Tangan dan kakinya seolah tak memiliki kekuatan sama sekali. Kepalanya pusing, lidahnya kelu. 'Tidak, aku harus sadar... aku harus bangun!' William mendekatkan wajahnya, jemarinya menyusuri garis rahang Alina dengan penuh kehati-hatian. Mata pria itu menatap penuh obsesi. Tangan William naik, menyingkap anak rambut yang menempel di pelipis Alina. Sentuhan hangatnya membuat wanita itu sedikit menggeliat, bibirnya yang pucat t
"Aku tidak percaya kau tinggal di unit milik orang yang kau benci. Kau sudah berhasil merayunya? Apa misi pribadimu sudah selesai?" Tanya William memecah keheningan. Di balik nada ramahnya, ada sarkasme yang dapat ditangkap oleh intuisi Alina. Alina menggeleng, "Revan belum melihatku sebagai lawan jenis." "Mana mungkin, kurasa dia hanya berpura pura begitu supaya kau berlama lama di rumahnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menyergapmu." "Revan bukan orang yang seperti itu, Liam." Alina melirik tidak suka atas tuduhan tak berdasar itu. "Ahaa Alina, sekarang kau bahkan membelanya. Kenapa ini, bukan dia yang menyukaimu tapi malah sebaliknya? Kau luluh lagi padanya? Kau tidak ingat sudah dipakai dan dibuang olehnya tujuh tahun lalu. Saat usiamu bahkan belum genap delapan belas tahun." Alina mengepalkan tangan. Kenapa William memaksanya untuk ikut dan malah menghancurkan mood baiknya hari ini. "Turunkan aku. Tepikan mobilnya." Alina berusaha membuka pintu mobil. Mobil dengan keaman
Alina keluar dari kamarnya dengan wajah segar sehabis mandi. Rambut hitamnya terurai lembut, sedikit bergelombang karena dikeringkan asal. Kemeja putih longgar dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang jenjang. Celana pendek krem membungkus pahanya yang mulus ditambah dengan wangi parfum manis samar-samar tercium, memberi kesan santai tapi tetap... menggoda. Wanita itu membawa nampan berisi semangkuk sop ayam hangat, sepiring nasi putih, dan sambal kecap yang terlihat menggiurkan. Ini adalah makanan yang sederhana, tapi aroma kaldu ayam yang gurih membuat perut siapa pun pasti langsung keroncongan. Alina mendorong pintu kamar Revan dengan sikunya. "Waktunya makan siang Pak Revan!" Alina berseru senang. Namun semangatnya langsung menguap saat melihat Revan masih sibuk menatap layar laptop di meja kerjanya. Jika mengikuti insting 'wanita berburu' milinya, Alina pasti akan bergelayut manja di baju Revan dan membujuknya untuk makan bersama. Tapi tida
Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo
Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta
Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir
Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t