Share

Gala dinner

Author: Camelia
last update Last Updated: 2025-02-12 21:35:55

Alina berdiri di depan kaca besar di apartemennya yang sederhana. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Revan, pria itu benar-benar tidak mengingatnya. Bahkan ketika mereka berhadapan langsung, tak ada sedikit pun tanda kebingungan di matanya. Tidak ada secercah kenangan yang muncul.

Tujuh tahun. Apa benar waktu bisa menghapus segalanya?

Alina meraih pistol Glock 19 yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya mengelus permukaannya, lalu dengan cekatan ia membuka magasin, memastikan semua terisi penuh sebelum menguncinya kembali.

Revan ingin mengajarinya menembak?

Sial. Dia bahkan lebih terlatih daripada yang pria itu kira.

"Revan Arkana Alexander," gumamnya pelan, menatap bayangannya sendiri di cermin. "Dia sudah berubah."

Tak ada lagi Revan yang manis, ramah, dan pandai merayu itu. Yang tersisa sekarang hanyalah seorang CEO tegas yang berhasil menaikkan penjualan dan saham perusahannya di angka yang tertinggi dari perusahaan elektronik lainnya.

Sebuah dering telepon memecah keheningan. Alina mengangkat ponselnya. Itu Wiliam, teman dari perguruan bela diri dan tempat latihan senjata yang sama dengannya. Alina meminta bantuan Wiliam untuk mencari informasi mengenai Revan melalui akses jaringan gelap yang ia miliki.

"Kau berurusan dengan pria yang sulit, Al. Laki laki itu sudah terdaftar 7 kali sebagai target pembunuhan. Tapi dia masih selamat."

"Begitu ya, siapa yang menargetkannya?"

"Tidak tahu. Nama klien kan dirahasiakan. Mungkin saingan bisnisnya. Bagaimana dengan panggilan hari ini?" Tanya Wiliam, mengalihkan topik pembicaraan yang membuatnya penasaran.

"Aku diterima, menjadi sekretarisnya."

"Haha, sepertinya akan mudah. CEO itu polos sekali. Dengan cara apa kau akan membunuhnya?"

Membunuh?

"Aku tidak pernah bilang akan membunuh Revan. Kenapa kau berfikir begitu?"

"Tidak membunuhnya? Lalu apa yang akan kau lakukan dengan menjadi orang yang bisa dekat dengannya? Kau tidak akan merayunya dan menikahinya kan, Alina?!"

Tawa renyah Alina membuat Wiliam bernapas lega. Bagi Alina, menikah bahkan lebih konyol daripada melanjutkan hobi berkelahinya yang seperti seorang laki laki. Alina tidak lagi mencintai Revan. Bahkan mungkin Alina merasa bahwa ia membencinya.

"Aku hanya akan membunuh perasaannya. Aku akan membuat Revan jatuh cinta padaku dan mencampakkannya seperti yang dia lakukan dahulu."

"Hubungi aku kapanpun kau membutuhkanku, Alina."

"Terima kasih Liam. Tapi tidak perlu, urusan ini akan ku selesaikan sendiri. Ini adalah masalah pribadiku." Jawab Alina, dengan senyum tulus. Wiliam adalah rekan sekaligus teman baik yang selalu membantunya menghadapi kesulitan. Meskipun Alina pernah menolak pernyataan cinta Wiliam, Wiliam tidak menjauhinya dan tetap mendukungnya sebagai seorang teman.

"Aku mengkhawatirkanmu. Bagaimanapun, pria yang kau targetkan bukan orang biasa." dari seberang telepon, Alina dapat mendengar suara lembut Wiliam yang peduli padanya.

"Jangan khawatir, Liam. Aku punya rencana dan kemampuan untuk menaklukkan Revan."

"Tidak baik terlalu percaya diri, Alina. Aku percaya padamu, tapi kau juga harus tetap berhati hati."

"Aku tahu, dan aku juga bisa sendiri."

Alina menutup telepon setelah tak ada hal penting lagi yang bisa mereka bicarakan. Gadis 24 tahun itu membuka softfile berkas yang ia terima melalui G***l. Ada rincian jadwal rutin yang harus dilakukan Revan selama satu bulan kedepan. Juga Alina memiliki tugas khusus menemani Revan kemanapun CEO itu pergi.

Bagus, tugas khusus itu menguntungkan untuk kelancaran rencananya.

***

Keesokan paginya, Alina tiba di kantor lebih awal. Mengenakan setelan formal berwarna hitam, ia melangkah masuk ke lantai paling atas dengan percaya diri. Hari pertama sebagai sekretaris CEO, sekaligus bodyguard pribadinya.

"Masuk."

Tanpa ragu, Alina membuka pintu dan melangkah ke dalam ruangan luas itu. Revan sudah duduk di kursinya, jasnya dilepas, menyisakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka.

Pria ini memang selalu menjadi pusat perhatian, dan sialnya, pesonanya tidak berkurang sedikit pun sejak terakhir kali mereka bertemu tujuh tahun yang lalu.

"Kita akan mulai dari sekarang," ujar Revan, menatapnya dengan dingin.

"Mulai apa, Pak?" Alina menaikkan sebelah alis.

Revan melempar sebuah kartu akses ke atas meja. "Ini akses ke seluruh ruangan penting di gedung ini, termasuk apartemenku."

Alina menahan ekspresinya agar tetap netral.

"Apartemen Anda?"

"Sebagai bodyguard, kau harus selalu siap sedia. Aku butuh seseorang yang bisa melindungiku, bukan hanya saat bekerja, tapi juga di luar jam kantor," jawabnya santai.

Jantung Alina berdegup lebih cepat. Ini bukan sekadar pekerjaan.

"Jadi, mulai hari ini saya harus tinggal di apartemen Anda?" tanyanya, pura-pura terkejut. Revan menyandarkan punggungnya ke kursi, sudut bibirnya melengkung sedikit. "Ada masalah?"

Bajingan.

"Tidak," jawab Alina cepat. "Saya akan menjalankan tugas saya dengan baik."

Revan menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Bagus. Malam ini, kita akan ke acara gala dinner perusahaan. Aku ingin kau ikut sebagai pasanganku."

Alina mengerutkan kening. "Maksud Anda, sebagai pendamping atau sebagai pengawal?"

"Kenapa tidak keduanya?"

Sial. Revan sedang bermain api, dan Alina harus memastikan dialah yang memegang kendali dalam permainan ini.

"Dress code?" tanyanya akhirnya.

"Merah," jawab Revan tanpa ragu.

Ini adalah tantangan pertamanya. Dan Alina tak pernah mundur dari tantangan.

Malamnya, Alina mengenakan gaun merah anggun dengan belahan tinggi di salah satu sisi kakinya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan bibirnya diberi warna senada dengan gaunnya. Namun di balik semua itu, ia tetap membawa sesuatu yang tersembunyi di pahanya, pisau lipat kecil, senjata favoritnya.

Begitu ia memasuki ruangan, tatapan orang-orang langsung tertuju padanya. Namun hanya satu tatapan yang ia pedulikan.

Revan. Apa yang Revan pikirkan tentang penampilannya malam ini?

Pria itu mengenakan setelan hitam yang begitu sempurna, dasinya longgar, memberikan kesan santai sekaligus mematikan. Tatapan matanya tak lepas dari Alina, menyapu tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai sesuatu.

"Bagus, kupikir gadis tomboy sepertimu akan kesulitan memilih pakaian." gumamnya saat Alina berdiri di hadapannya. "Kau menarik perhatian lebih dari yang kupikirkan."

Alina tersenyum tipis. "Bukan salah saya jika saya terlalu menonjol, Pak. Bukan karena pakaian, tapi karena wajah dan tubuh saya. Bukankah begitu?"

Revan hanya terkekeh, ia tidak terkejut dengan jawaban Alina yang terlalu lancang. Ia mengulurkan tangan.

"Mari kita mulai malam ini."

"Tentu, Pak. Dengan senang hati."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Permainan

    Acara gala dinner berlangsung lebih lama dari yang Alina perkirakan. Setelah berbincang dengan beberapa rekan bisnis, Revan akhirnya harus menghadapi bagian yang lebih melelahkan, kerabatnya. Begitu mereka memasuki ruang privat di restoran mewah itu, seorang wanita paruh baya dan seorang laki laki muda langsung menyambut mereka. "Revan!" Wanita itu, yang Alina tebak adalah tantenya, tersenyum lebar. "Akhirnya kau datang. Kami sudah menunggu." Revan hanya memberikan anggukan kecil. Alina bisa merasakan ketegangan dalam bahunya. "Oh?" Laki laki muda di sebelah wanita itu menatap Alina dari atas ke bawah. "Kau membawa seseorang?" Tatapan mereka seketika berubah penuh penilaian. "Siapa dia, Revan?" suara tantenya terdengar lebih tajam. Sebelum Revan sempat menjawab, sepupunya sudah berseru dengan ekspresi dramatis. "Jangan bilang dia kekasihmu! Kau bahkan tidak pernah mengenalkan siapa pun kepada kami!" Alina nyaris tertawa. Kekasih? Tidak, dia jauh dari itu, saat remaja mereka ba

    Last Updated : 2025-02-12
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Pindahan dan usaha

    Pagi itu, Alina berdiri di depan gedung apartemen mewah yang menjulang tinggi di pusat kota. Dengan koper besar di sampingnya, ia menatap bangunan yang elegan dengan ekspresi terpukau. Ini jelas bukan tempat tinggal orang biasa. "Jujur, aku masih tidak percaya kau benar-benar setuju pindah ke sini," kata Wiliam, yang berdiri di sebelahnya dengan beberapa kotak di tangannya. Alina menghela napas. "Bukan pilihan yang buruk. Daripada harus bolak-balik dengan jarak yang jauh, lebih baik aku di sini saja. Lagipula, ini demi pekerjaan." Wiliam menyeringai. "Atau demi bos dingin itu?" Sindirnya.Alina meliriknya sekilas. "Hah, sepertinya benar. Meskipun bukan bagian dari rencana, aku bisa mendekatinya dengan lebih cepat di tempat ini." Mereka pun masuk ke dalam, dan seorang petugas langsung menyambut mereka dengan ramah. Proses administrasi berjalan cepat karena semuanya sudah diurus oleh pihak perusahaan Revan. Dalam waktu singkat, Alina mendapatkan kunci unit apartemennya. "Kau yaki

    Last Updated : 2025-02-13
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Sisi lain

    Malam di kota berpendar dengan cahaya lampu jalan dan gedung-gedung tinggi, tetapi bagi Revan, semua itu tidak ada artinya. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, melainkan karena pikirannya sendiri.Alina baru saja pulang dari kantor ketika melihat apartemen Revan dari balkon unitnya. Lampunya masih menyala, seperti malam-malam sebelumnya. "Belum tidur lagi?" batinnya.Sudah beberapa hari sejak ia resmi pindah ke apartemen ini, dan selama itu pula Alina memperhatikan kebiasaan aneh Revan. Pria itu jarang terlihat tidur di jam yang normal. Setiap pagi saat Alina keluar untuk jogging atau membeli kopi, Revan sudah lebih dulu pergi ke kantor. Dan setiap malam ketika ia hendak tidur, apartemen pria itu masih terang benderang. 'Apakah dia punya insomnia?' pikir Alina.Alina akhirnya mengabaikan pikirannya dan masuk ke dalam. Namun, baru beberapa menit ia hendak bersantai, suara barang pecah keras dari unit sebelah membuatnya tersentak. [Prang!]Alina langsung keluar. Pintu apartem

    Last Updated : 2025-02-13
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Keras Kepala

    Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t

    Last Updated : 2025-03-06
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Tawaran Tinggal Bersama

    Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir

    Last Updated : 2025-03-06
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Tinggal Bersama

    Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta

    Last Updated : 2025-03-07
  • Wanita Penggoda CEO Duda   'Keluarga Revan'

    Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo

    Last Updated : 2025-03-07
  • Wanita Penggoda CEO Duda   Makan Bareng

    Alina keluar dari kamarnya dengan wajah segar sehabis mandi. Rambut hitamnya terurai lembut, sedikit bergelombang karena dikeringkan asal. Kemeja putih longgar dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang jenjang. Celana pendek krem membungkus pahanya yang mulus ditambah dengan wangi parfum manis samar-samar tercium, memberi kesan santai tapi tetap... menggoda. Wanita itu membawa nampan berisi semangkuk sop ayam hangat, sepiring nasi putih, dan sambal kecap yang terlihat menggiurkan. Ini adalah makanan yang sederhana, tapi aroma kaldu ayam yang gurih membuat perut siapa pun pasti langsung keroncongan. Alina mendorong pintu kamar Revan dengan sikunya. "Waktunya makan siang Pak Revan!" Alina berseru senang. Namun semangatnya langsung menguap saat melihat Revan masih sibuk menatap layar laptop di meja kerjanya. Jika mengikuti insting 'wanita berburu' milinya, Alina pasti akan bergelayut manja di baju Revan dan membujuknya untuk makan bersama. Tapi tida

    Last Updated : 2025-03-07

Latest chapter

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Ciuman

    Bagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya. "Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya. "Tidak selera." "Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan." "Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan. "Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan. "Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama. "Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?" "Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya. Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Makan malam paling menyebalkan

    Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Roommate

    'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Kopi dan obrolan di malam hari

    Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Siapa kau

    "Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Tidur Bersama

    "Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Kencan Pertama

    Revan tidak pernah benar-benar peduli dengan kehadiran orang lain di apartemennya. Ia terbiasa dengan kesunyian, dengan hidup yang hanya diisi pekerjaan dan kesibukan tanpa henti. Namun, entah bagaimana, sejak Alina tinggal di sini, semuanya berubah. Tidurnya lebih nyenyak. Makan dan istirahatnya lebih teratur. Apartemennya yang biasanya sunyi kini terasa lebih hidup. Bukannya Revan tidak sadar akan perubahan ini. Dia hanya memilih untuk mengabaikannya. Alina memang aneh, suka menggoda tanpa malu, tapi tetap saja Revan tidak bisa mengelak pada fakta bahwa wanita itu adalah sekretaris yang luar biasa, Alina bekerja dengan cepat, cekatan, dan selalu memahami apa yang ia butuhkan tanpa banyak bicara. Dan malam ini, Revan kembali merasakan kecekatan wanita itu. Saat ia sedang meeting online dengan beberapa manajer cabang luar negeri, Alina duduk di sampingnya dengan serius mencatat poin-poin penting rapat. Sesekali, dia mengangguk atau menuliskan sesuatu, seolah lebih fokus darip

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Tidak mau bertemu

    Alina merebahkan diri di sofa, membiarkan kepalanya tenggelam di bantal empuk. Matanya terpejam, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya tetap sibuk. Sejak percakapan terakhirnya dengan Revan tadi siang, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tatapan pria itu, caranya berbicara… seolah-olah dia tahu lebih banyak dari yang Alina kira. Ia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Ia harus fokus pada tujuannya. Tidak boleh ada yang membuatnya goyah. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan terganggu oleh perasaan asing yang tiba-tiba muncul. Seseorang ada di luar. Alina menegang. Dengan gerakan hati-hati, ia bangkit dari sofa, berjalan mendekati pintu apartemennya. Suara derap langkah samar terdengar di luar, tapi tidak ada yang mengetuk pintu. Siapa? Ia mengintip melalui lubang intip. Jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat sosok yang berdiri di sana. William. Alina menelan ludah. Pria itu berdiri diam, wajahnya tidak terlihat je

  • Wanita Penggoda CEO Duda   Bos yang Aneh

    Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status