Malam di kota berpendar dengan cahaya lampu jalan dan gedung-gedung tinggi, tetapi bagi Revan, semua itu tidak ada artinya. Hari ini melelahkan, bukan karena pekerjaan, melainkan karena pikirannya sendiri.
Alina baru saja pulang dari kantor ketika melihat apartemen Revan dari balkon unitnya. Lampunya masih menyala, seperti malam-malam sebelumnya. "Belum tidur lagi?" batinnya. Sudah beberapa hari sejak ia resmi pindah ke apartemen ini, dan selama itu pula Alina memperhatikan kebiasaan aneh Revan. Pria itu jarang terlihat tidur di jam yang normal. Setiap pagi saat Alina keluar untuk jogging atau membeli kopi, Revan sudah lebih dulu pergi ke kantor. Dan setiap malam ketika ia hendak tidur, apartemen pria itu masih terang benderang. 'Apakah dia punya insomnia?' pikir Alina.Alina akhirnya mengabaikan pikirannya dan masuk ke dalam. Namun, baru beberapa menit ia hendak bersantai, suara barang pecah keras dari unit sebelah membuatnya tersentak. [Prang!] Alina langsung keluar. Pintu apartemen Revan sedikit terbuka, dan tanpa berpikir panjang, ia masuk. Di dalam, ia mendapati Revan terduduk di lantai dengan napas memburu. Dahinya berkeringat, tangannya mencengkeram rambutnya seolah sedang menahan rasa sakit yang luar biasa. Sebuah gelas kaca tergeletak pecah di lantai, dan meja di depannya tampak berantakan. "Revan!" Alina terkejut dan tanpa sadar menyebut namanya langsung. Namun, saat ia menyadari kesalahannya, ia segera mengoreksi diri. "Pak Revan," suaranya lebih terkendali sekarang. Pria itu mengangkat wajahnya, matanya merah, bukan karena tangis, tapi karena kurang tidur. "Pergi," desisnya pelan. Alina berlutut di depannya, mengabaikan pecahan kaca yang berserakan. "Apa yang terjadi? Apa anda sakit?" Revan menatapnya tajam, seolah marah karena Alina ada di sini. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya mendesah panjang sebelum berdiri dan berjalan ke dapur. Alina mengikutinya. "Anda mengalami gangguan tidur?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih profesional. Revan tidak menjawab. Ia hanya membuka kulkas dan mengambil sebotol air, lalu meminumnya dalam satu tegukan panjang. "Jangan ikut campur!" akhirnya ia menjawab. "Tugas saya adalah memastikan kondisi Anda tetap baik, Pak. Jika Anda mengalami kesulitan tidur, itu bisa berdampak pada pekerjaan." ujar Alina dengan nada tenang namun tegas. Revan tertawa kecil, tapi tidak terdengar seperti tawa bahagia. "Jadi sekarang kau juga berperan sebagai dokterku?" Sarkasnya. Alina tetap bersikap profesional. " Saya bukan dokter anda, tapi saya bisa mengantar anda ke dokter sekarang." Revan menghembuskan napas panjang, meletakkan botol di meja dengan sedikit kasar. "Aku baik-baik saja." Alina menatapnya skeptis. "Saya rasa pecahan gelas di lantai tadi mengatakan sebaliknya." Revan mendongak, menatapnya tajam. Tapi kali ini, tidak ada kemarahan di matanya. Hanya kelelahan yang dalam. "Aku mau tidur. Sekarang pergilah!" Revan mencengkeram tangan Alina. Itu cengkeraman yang kuat. Pria itu menariknya keluar dari unit apartemennya. Lalu menutup pintu dengan membantingnya di depan wajah gadis itu. 'Pria brengsek tidak punya adab.' geram Alina sambil mengacungkan tinju di depan pintu. *** Pagi ini, apartemen masih sepi ketika Alina melangkah keluar dari unitnya. Ia mengenakan blazer hitam di atas blouse putihnya, siap berangkat ke kantor. Namun, sebelum ia bisa berjalan lebih jauh, suara ketukan terdengar dari unit sebelah. Alina menoleh. Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahunan berdiri di depan pintu apartemen Revan. Rambutnya yang panjang diikat rapi, dan ia mengenakan kemeja biru muda serta rok pensil hitam. Wajahnya terlihat tenang, tapi ada sedikit kerutan di dahinya, menunjukkan kekhawatiran. Karena penasaran, Alina mendekat. "Permisi, Anda mencari Pak Revan?" Wanita itu menoleh dan tersenyum sopan. "Ya. Saya dipanggil ke sini pagi ini, tapi Revan tidak menjawab telepon maupun pintu." Alina mengerutkan kening. "Anda siapa?" "Saya Lucy, dokter pribadinya," jawab wanita itu. "Saya sering datang untuk memeriksa kondisinya, terutama ketika Revan melewatkan pemeriksaan rutin." Alina melirik pintu apartemen Revan yang masih tertutup rapat. "Tadi saya tidak mendengar suara apa pun dari dalam. Sudah mencoba menelepon lagi?" Dr. Lucy menunjukkan ponselnya. "Sudah beberapa kali, tapi tidak diangkat." Perasaan tidak enak langsung menyelimuti hati Alina. Ia tahu Revan memang sering kurang tidur, tetapi pagi ini terasa berbeda. Biasanya, pria itu sudah bersiap berangkat ke kantor lebih awal darinya. Apalagi kejadian tadi malam. Alina lalu teringat sesuatu. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu akses apartemen. "Saya punya akses cadangan," katanya. Dr. Lucy terlihat terkejut. "Anda diberi akses?" Alina mengangguk. "Sebagai sekretarisnya, saya harus bisa masuk kalau ada keadaan darurat." Tanpa membuang waktu, Alina menempelkan kartunya di pemindai dan memasukkan kode akses yang sudah diberikan padanya. Pintu berbunyi pelan, lalu terbuka. Begitu masuk, keduanya langsung disambut oleh suasana kamar yang tidak biasa. Ruangan masih dalam keadaan gelap dengan tirai tertutup rapat. Udara di dalam terasa sedikit pengap, seperti seseorang yang terlalu lama menghabiskan waktu di sana tanpa ventilasi yang baik. Dan di sofa, Revan terbaring dalam posisi meringkuk. Ia masih mengenakan kemeja yang sudah dirapikan untuk bekerja, tetapi dasinya melonggar, dan lengan bajunya tergulung tidak beraturan. Wajahnya terlihat pucat, dan napasnya sedikit berat. Dr. Lucy langsung mendekat dan berlutut di sampingnya. Ia menyentuh dahi Revan, lalu menghela napas. "Demam. Sepertinya imsomnianya semakin parah." Alina ikut berjongkok di samping sofa, menatap pria itu dengan perasaan bercampur aduk. Ia tidak pernah melihatnya seterbuka ini, begitu rapuh dan tidak berdaya. "Sejak kapan ini terjadi?" gumamnya. Dr. Lucy mengambil alat medis kecil dari tasnya, lalu mulai memeriksa suhu tubuh Revan. "Tidak perlu khawatir berlebihan. Dia sudah sering begini." "Sering?" Alina mengulang, matanya melebar. Dr. Lucy mengangguk. "Revan sering memaksakan diri untuk bekerja tanpa cukup istirahat. Stres, kurang tidur, dan beban mental yang terlalu besar membuat daya tahan tubuhnya melemah." Alina menggigit bibirnya. Ia tahu Revan adalah tipe orang yang keras kepala dan tidak ingin menunjukkan kelemahannya pada siapa pun. Tak lama, setelah diberi obat dan air putih, Revan mulai tertidur lebih nyenyak. Nafasnya lebih teratur, wajahnya tidak lagi sekaku tadi. Alina dan Dr. Lucy duduk di meja makan, membiarkan Revan beristirahat. "Sebenarnya, apa yang dia alami selama ini? Apa dokter tahu sesuatu?" tanya Alina akhirnya. Dr. Lucy menghela napas. "Aku akan memberitahumu karena kamu adalah orang yang dipercaya olehnya. Revan itu, sejak kecil selalu dituntut untuk menjadi sempurna. Dia harus kuat, cerdas, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Apalagi setelah tujuh tahun lalu..." Alina menunggu dengan sabar, merasa bahwa ini adalah sesuatu yang sangat penting. "Di usianya yang baru 20 tahun, dia mengalami kecelakaan yang merenggut segalanya," lanjut Dr. Lucy. "Orang tuanya meninggal, dan tunangannya..." Alina terkejut. "Tunangan? Bukankah Pak Revan sudah menikah?" Dr. Lucy menggeleng. "Mereka belum menikah. Tapi Revan tidak menghentikan rumor yang disebar oleh keluarga mendiang tunangannya. Mereka menyebar rumor itu untuk mendapatkan uang kompensasi yang besar darinya." Alina tidak bisa berkata-kata. "Karena trauma, Revan melupakan beberapa ingatannya. Dan dia membentuk keyakinan yang keliru di dalam kepalanya" Dr. Lucy melanjutkan, "Bahwa siapa pun yang dekat dengannya akan ditimpa kemalangan. Karena itu, Revan menjaga jarak dari semua orang." Alina mengerti sekarang. Itu sebabnya Revan selalu menjaga batas dengan siapa pun, menghindari keterikatan emosional, dan terus bekerja tanpa henti, mungkin untuk melupakan sesuatu yang terus menghantuinya. Tatapannya kembali ke arah sofa, tempat Revan masih terlelap.Pagi mulai menjelang ketika sinar matahari samar menyelinap dari celah tirai apartemen. Revan masih terlelap di sofa, sesekali meringis dalam tidurnya. Alina duduk di kursi seberang, memperhatikannya dalam diam. Siapa sangka pria dingin tanpa ekspresi itu menyimpan luka yang begitu dalam?"Aku harus pergi sekarang. Aku sudah memberinya obat tidur, tapi jika Revan terbangun sebelum siang, tolong pastikan dia makan sesuatu," ujar Dr. Lucy seraya membereskan tas medisnya.Alina hanya mengangguk pelan."Aku berterima kasih karena ada kamu di sini. Aku jadi tidak terlalu khawatir meninggalkannya sendirian. Dan juga, ini hanya pendapatku, tapi kamu terlihat sangat muda, Alina." tambah Lucy sebelum pergi. Alina tersenyum tanggung, ia memang masih muda, usia yang ada di identitasnya sudah di manipulasi."Terima kasih dokter." Alina menunduk sopan.Gadis itu menatap punggung dokter Lucy hingga pintu tertutup. Suasana kembali sunyi. Ia mengalihkan pandangannya ke Revan. Wajah pria itu masih t
Alina menghela napas pelan. Sapu di tangannya bergerak cepat, membersihkan sudut ruangan yang penuh debu. Sesekali ia melirik ke arah Revan, memastikan pria itu tidak pingsan mendadak. Namun, bukannya beristirahat, Revan justru sibuk mengetik di laptop, jemarinya lincah menari di atas keyboard meski sesekali batuk kecil terdengar. Dasar pria keras kepala! "Kalau pingsan jangan harap saya menolong lagi." gumam Alina tanpa menoleh. Ia mengatakannya karena sebal saat Revan tidak mengindahkan peringatannya. "Aku tidak butuh pertolonganmu." balas Revan tanpa mengangkat wajah. Alina memutar bola matanya kesal. Ingin rasanya ia menghantam kepala pria itu dengan sapu di tangannya. "Bapak ini kenapa sih? Apa takut kalau istirahat barang sebentar, perusahaan bapak langsung bangkrut?" sindir Alina. Revan menoleh sekilas, tatapannya dingin seperti biasa. "Aku tidak bekerja untuk perusahaan, aku bekerja untuk diriku sendiri." Alina terdiam, tidak menduga jawaban itu. Ada nada getir
Alina membuka koper kecilnya di kamar yang baru saja Revan tunjuk. Kamar itu bersih, wangi, dan sudah lengkap dengan lemari besar, meja rias, serta ranjang queen size yang terlihat mahal. "Cuma jadi pembantu, tapi dikasih kamar mewah. Ah dasar orang kaya." gumam Alina, matanya berbinar.Ia menyampirkan cardigan di kursi, lalu keluar untuk memasak seperti yang Revan inginkan. Unit Revan benar-benar seperti hotel bintang lima. Ruang TV ada di tengah, terbuka tanpa sekat. Lantai marmer mengilap, sofa kulit mahal, dan lampu gantung kristal yang menggantung anggun di langit-langit. Ada lima kamar di sini. Tiga di antaranya kamar tidur, satu ruang kerja, dan satu lagi ruang penyimpanan barang. AC sentral membuat udara sejuk merata ke seluruh ruangan. Dan tentu saja... dapurnya mewah. Dilengkapi peralatan elektronik canggih yang mungkin baru bisa Alina sentuh kalau main drama di TV. Alina mulai memotong bawang, mengabaikan tatapan Revan yang sesekali melirik dari sofa. "Kopi," perinta
Pintu apartemen di ketuk berkali kali. Revan yang sedang mengurung diri di kamar tidak mempedulikannya. Padahal Alina yakin Revan pasti mendengar suara ketukan pintu di depan sana. Alina bertanya tanya, apakah karena mereka sudah tinggal di unit yang sama sekarang bahkan hal hal kecil begini harus Alina yang bergerak? Bagaimana jika yang di luar sana adalah tamu penting Revan. Pasti siapapun itu akan sangat terkejut melihat wanita yang seperti 'istri' ini membuka pintu. Alina yang baru selesai menyapu dapur, langsung melangkah ke pintu tanpa curiga. Wajahnya masih polos, cuma pakai kaos longgar santai dan rambut dicepol asal. Begitu pintu terbuka... Sebuah suara tinggi langsung menyayat gendang telinga. "Astaga... Siapa wanita buruk rupa ini?!" Wanita buruk rupa? Alina mengerjap, langsung meneliti wanita yang berdiri di depannya. Seorang wanita paruh baya berdiri dengan angkuh. Bibirnya merah menyala, rambut disasak rapi, dan aroma parfum mahal menusuk hidung. Di sampingnya, seo
Alina keluar dari kamarnya dengan wajah segar sehabis mandi. Rambut hitamnya terurai lembut, sedikit bergelombang karena dikeringkan asal. Kemeja putih longgar dengan kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit tulang selangkanya yang jenjang. Celana pendek krem membungkus pahanya yang mulus ditambah dengan wangi parfum manis samar-samar tercium, memberi kesan santai tapi tetap... menggoda. Wanita itu membawa nampan berisi semangkuk sop ayam hangat, sepiring nasi putih, dan sambal kecap yang terlihat menggiurkan. Ini adalah makanan yang sederhana, tapi aroma kaldu ayam yang gurih membuat perut siapa pun pasti langsung keroncongan. Alina mendorong pintu kamar Revan dengan sikunya. "Waktunya makan siang Pak Revan!" Alina berseru senang. Namun semangatnya langsung menguap saat melihat Revan masih sibuk menatap layar laptop di meja kerjanya. Jika mengikuti insting 'wanita berburu' milinya, Alina pasti akan bergelayut manja di baju Revan dan membujuknya untuk makan bersama. Tapi tida
"Aku tidak percaya kau tinggal di unit milik orang yang kau benci. Kau sudah berhasil merayunya? Apa misi pribadimu sudah selesai?" Tanya William memecah keheningan. Di balik nada ramahnya, ada sarkasme yang dapat ditangkap oleh intuisi Alina. Alina menggeleng, "Revan belum melihatku sebagai lawan jenis." "Mana mungkin, kurasa dia hanya berpura pura begitu supaya kau berlama lama di rumahnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menyergapmu." "Revan bukan orang yang seperti itu, Liam." Alina melirik tidak suka atas tuduhan tak berdasar itu. "Ahaa Alina, sekarang kau bahkan membelanya. Kenapa ini, bukan dia yang menyukaimu tapi malah sebaliknya? Kau luluh lagi padanya? Kau tidak ingat sudah dipakai dan dibuang olehnya tujuh tahun lalu. Saat usiamu bahkan belum genap delapan belas tahun." Alina mengepalkan tangan. Kenapa William memaksanya untuk ikut dan malah menghancurkan mood baiknya hari ini. "Turunkan aku. Tepikan mobilnya." Alina berusaha membuka pintu mobil. Mobil dengan keamana
Napas Alina memburu. Kelopak matanya terasa berat, namun kesadarannya masih menggantung di antara nyata dan mimpi. Tubuhnya terasa panas, seakan ada api yang membakar perlahan di dalam dirinya. Aroma lilin aromaterapi menyesakkan dada, menambah kekacauan dalam pikirannya. Dalam kesadarannya yang setengah kabur, Alina merasakan tangan hangat menyentuh pipinya. Nafas seseorang berhembus lembut di atas wajahnya. "Alina... kau begitu cantik." Suara William terdengar begitu lembut, nyaris mendesah. Tidak. Alina ingin memberontak, tapi tubuhnya seperti terkunci. Tangan dan kakinya seolah tak memiliki kekuatan sama sekali. Kepalanya pusing, lidahnya kelu. 'Tidak, aku harus sadar... aku harus bangun!' William mendekatkan wajahnya, jemarinya menyusuri garis rahang Alina dengan penuh kehati-hatian. Mata pria itu menatap penuh obsesi. Tangan William naik, menyingkap anak rambut yang menempel di pelipis Alina. Sentuhan hangatnya membuat wanita itu sedikit menggeliat, bibirnya yang pucat t
Helaan nafas Alina bergetar, tangannya masih menekan dadanya yang terasa sesak. Tubuhnya bersandar di tembok dingin, berusaha menenangkan detak jantung yang seolah berlomba dengan waktu. Udara malam begitu menusuk, tapi rasa dingin itu tidak bisa mengalahkan panas yang membakar tubuhnya akibat sisa efek lilin aromaterapi sialan itu. Kakinya gemetar, lututnya hampir menyerah. Namun, otaknya terus memaksa tubuhnya bergerak. Kabur... 'Aku harus kabur...' Alina menatap tali yang menjuntai dari jendela. Jendela yang sudah terbuka sejak tadi. Laki laki itu sengaja membuka jendela agar asap lilin segera berganti dengan udara segar. Dan tali... William. Alina mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pria itu... Bahkan dalam kekejamannya, William tetap membukakan jalan untuknya. Tapi dengan caranya sendiri. Alina menggigit bibir hingga terasa asin oleh darah. Dengan sisa tenaga yang ia punya, ia meraih tali dan mulai menuruni dinding pelan-pelan. Udara dingin membelai kulitnya yang hanya ber
Bagaimanapun Alina tidak bisa mengakui bahwa gadis ini menganggap Revan hanya sekedar 'kakak' atau mantan kakak iparnya. Lihatlah bagaimana gadis itu terlihat sangat terang terangan mendekati Revan dan mencari perhatiannya. Jika ia seekor anjing, Alina yakin ekornya sudah bergoyang tanpa henti sejak melihat Revan di dekatnya. "Kenapa tidak makan?" Revan bertanya pada Alina yang sudah meletakkan sendoknya. "Tidak selera." "Pesan menu yang lain jika tidak suka dengan yang kau makan." "Bukan karena rasanya." Alina melirik kesal gadis yang sedang mengambil makanan dari piring Revan. "Kak, aku lebih suka daging ini. Boleh tukar?" Tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Revan. "Kau bisa pesan lagi jika suka." Revan mengatakan hal yang sama. "Aku tidak mau menunggu. Tukar ya?" "Kau makan saja." Revan mengalah. Membiarkan Keira mengambil piringnya. Alina hampir memutar bola matanya melihat betapa mudahnya Revan dikendalikan oleh Keira. Gadis itu mengambil potongan daging dari piring
Alina masih menatap Revan dengan ekspresi tidak percaya. Roommate? Serius? Ia sudah siap kalau Revan akan memperkenalkannya sebagai pacar, seperti yang mereka bicarakan di mobil tadi. Tapi ternyata, pria itu malah dengan santainya menyebutnya sebagai roommate, bukan pacar, bukan juga asisten atau rekan kerja. Keira, gadis yang baru saja mereka jemput, memiringkan kepala sedikit. Matanya yang tadinya tampak cerah mendadak berubah dingin saat menatap Alina. Namun, dalam sekejap, ia kembali memasang senyum manis dan berpura-pura tidak peduli. "Oh, roommate, ya?" Keira mengulang dengan nada yang sulit ditebak. Alina menelan ludah. Ia bisa merasakan sorot mata Keira yang penuh penilaian. Revan tidak menyadari perubahan atmosfer di antara dua wanita itu. Ia hanya mengambil koper Keira dan menariknya menuju mobil. "Ayo, kita pergi dari sini. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Keira langsung menggandeng lengan Revan dengan manja. "Iya, Kak. Aku benar-benar butuh makana
'Aku akan tiba di bandara jam 8 nanti malam. Bisa menjemputku, kak?' 'Kak Revan, sibuk ya?' 'Bisa telepon sekarang?' 'Aku tidak bisa datang ke pemakaman kakakku, Kak Revan datang kan?' Alina tanpa sengaja membaca pesan-pesan yang muncul di layar ponsel Revan yang tergeletak di meja. Matanya menyipit, menelusuri deretan teks yang masuk. Hanya ada dua belas digit nomor tanpa nama yang menghubungi Revan. Siapa yang mengirim pesan ini? Kakakku? Pemakaman? Sebelum Alina bisa berpikir lebih jauh, terdengar suara gerakan dari ranjang. "Apa sudah pagi?" Alina spontan menoleh dan mendapati Revan menggeliat malas, matanya masih sedikit sembab karena kurang tidur. "Ah iya, sudah siang lebih tepatnya," jawabnya ringan. Revan duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebelum melirik Alina yang berdiri di dekat meja dengan nampan berisi makanan. "Kau mau ke mana?" Tanyanya dengan nada datar. "Mau ngajak sarapan bareng." Revan mengerutkan kening. "Sepertinya kau sudah menganggap ka
Revan masih duduk di sofa, memandangi Alina yang sibuk di dapur. Setelah mimpi buruk itu, ia tak bisa memejamkan mata lagi. Kepalanya masih terasa berat, tapi bukan hanya karena mimpi yang mengganggu, melainkan juga karena kehadiran Alina. Wanita itu tampak santai, sesekali menggumam kecil sambil mengaduk kopi. Seakan yang terjadi semalam bukan hal besar. "Pak Revan nggak tidur lagi? Karena bapak mengikuti saya, berarti ada yangaj dibicarakan ya?" Revan hanya menjawab dengan gelengan. Alina pun membuat satu cangkir lagi kopi spesial untuk bos-nya itu. Alina berbalik dengan dua cangkir di tangannya, lalu berjalan ke sofa dan duduk di samping Revan. Ia menyodorkan satu cangkir. "Minum dulu, Pak. Siapa tahu bisa bikin kepala bapak lebih ringan." Revan menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menyesap sedikit, lalu menatap Alina dengan tatapan serius. "Semalam, apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya. Alina menaikkan alisnya, pura-pura bingung. "Semalam? Maksud bapak?" Revan menatapn
"Setelah semua yang kita lakukan, kau bilang mau pergi dari hidupku?! Itu tidak adil! Kau bajingan..." Gadis itu hanya bisa menangis setelah puas memukul dada laki laki yang tertunduk penuh penyesalan. "... Kau bilang akan menggunakan segala cara... Bahkan meskipun dengan menghamiliku... Kau brengsek!" "Kita masih terlalu muda untuk ini... Aku tidak bisa mengorbankan masa depanku untukmu." Wajah gadis itu berderai air mata. Mendongak. Melihat dengan seksama bagaimana ekspresi yang dibuat oleh laki laki yang sudah merengut keperawanannya. Laki laki itu mengalihkan pandangan, menutup matanya. "Apa di masa depanmu itu tidak ada aku?" Tanya sang gadis, tangannya mulai bergetar menahan emosi yang bisa meledak kapan saja. Laki laki itu hanya mengangguk, lantas pergi dari gang kumuh dimana sang gadis tinggal. Ya, tempat ini bukanlah tempatnya, bukan salah dirinya jika ia pergi dari sini. Revan mengepalkan tangan. Lagi lagi ia melihat kejadian menyebalkan ini di dalam mimpinya. Tanpa bi
"Lalu bagaimana denganmu, Alina. Apa kau pernah membunuh?" Jika Alina seorang amatiran, pertanyaan itu akan cukup mengejutkannya. Sayangnya bahkan ia adalah wanita yang bisa berpura pura menyukai laki laki yang ia benci setengah mati di dekatnya ini. Menjawab pertanyaan receh begitu, bukan masalah baginya. "Wah, kenapa bapak tanya begitu? Saya itu belajar berkelahi untuk melindungi diri, Pak. Bukan untuk melakukan kejahatan." Jawab santai Alina. "Kau memang terlihat begitu. Polos dan apa adanya, tapi mawar itu berduri, Alina. Aku tidak yakin apa yang kau perlihatkan padaku selama ini adalah dirimu yang sebenarnya." "Bapak ngomong apa sih. Kita sudah tinggal hampir 2 mingguan loh. Masa bapak tidak tahu jati diri saya seperti apa." Jawab Alina "Oh iya saya baru ingat, pak Revan kan selalu cuek sama semua hal. Kayaknya kalau ada orang jatuh di depan pak Revan pun, bapak gak bakal peduli." "Kau benar." Alina terdiam sebentar. "Nah, maka dari itu banyak yang tidak suka pada bapak. Pa
Revan tidak pernah benar-benar peduli dengan kehadiran orang lain di apartemennya. Ia terbiasa dengan kesunyian, dengan hidup yang hanya diisi pekerjaan dan kesibukan tanpa henti. Namun, entah bagaimana, sejak Alina tinggal di sini, semuanya berubah. Tidurnya lebih nyenyak. Makan dan istirahatnya lebih teratur. Apartemennya yang biasanya sunyi kini terasa lebih hidup. Bukannya Revan tidak sadar akan perubahan ini. Dia hanya memilih untuk mengabaikannya. Alina memang aneh, suka menggoda tanpa malu, tapi tetap saja Revan tidak bisa mengelak pada fakta bahwa wanita itu adalah sekretaris yang luar biasa, Alina bekerja dengan cepat, cekatan, dan selalu memahami apa yang ia butuhkan tanpa banyak bicara. Dan malam ini, Revan kembali merasakan kecekatan wanita itu. Saat ia sedang meeting online dengan beberapa manajer cabang luar negeri, Alina duduk di sampingnya dengan serius mencatat poin-poin penting rapat. Sesekali, dia mengangguk atau menuliskan sesuatu, seolah lebih fokus darip
Alina merebahkan diri di sofa, membiarkan kepalanya tenggelam di bantal empuk. Matanya terpejam, tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya tetap sibuk. Sejak percakapan terakhirnya dengan Revan tadi siang, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tatapan pria itu, caranya berbicara… seolah-olah dia tahu lebih banyak dari yang Alina kira. Ia menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Ia harus fokus pada tujuannya. Tidak boleh ada yang membuatnya goyah. Namun, ketenangan yang baru saja ia dapatkan terganggu oleh perasaan asing yang tiba-tiba muncul. Seseorang ada di luar. Alina menegang. Dengan gerakan hati-hati, ia bangkit dari sofa, berjalan mendekati pintu apartemennya. Suara derap langkah samar terdengar di luar, tapi tidak ada yang mengetuk pintu. Siapa? Ia mengintip melalui lubang intip. Jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat sosok yang berdiri di sana. William. Alina menelan ludah. Pria itu berdiri diam, wajahnya tidak terlihat je
Suara alarm berdering tajam, menggema di dalam apartemen. Alina mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Kepala masih sedikit berdenyut, tapi jauh lebih baik daripada tadi malam. Ia menoleh ke sekitar. Kamar yang asing. Bukan kamarnya. Tapi juga bukan kamar di rumah William. Oh… benar. Ia mengingat kembali bagaimana Revan menjemputnya, bagaimana pria itu menutup kaca jendela agar ia tidak kedinginan. Dan sekarang, ia ada di sini, di apartemen Revan, dimana dirinya tinggal. Alina menghela napas, lalu bangkit perlahan. Bajunya sudah berganti. Piyama longgar yang terasa nyaman di kulitnya. Bukan sesuatu yang biasanya ia kenakan, dan jelas bukan sesuatu yang ia bawa sendiri. ‘Siapa yang menggantikan bajuku?’ Wajahnya langsung panas memikirkan kemungkinan itu. Tapi kemudian ia menggeleng cepat. Tidak, pasti bukan Revan. Dia bukan tipe pria yang akan melakukan sesuatu tanpa izin, apalagi dalam keadaan seperti itu. Mungkin dokter yang dipanggil Revan. Ia menyibak selimut,