Perjanjian dengan iblis adalah sesuatu yang mengikat, bahkan ketika tubuhmu hancur dan dirimu sudah tak bernyawa, jiwamu akan terus terikat oleh rantai yang membelenggu. *** Dendam Aghya-- ibunda Felenia, menyebabkan Felenia terikat dengan iblis paling kejam, Lucifer-- The Fallen Angel. Ia menjadi pengantin iblis itu. Tubuhnya disiksa berkali-kali hancur dan berada di ambang kematian. Namun Felenia selalu kembali terbangun dengan kondisi seperti semula. Felenia harusnya membenci Lucifer karena berkat pria itu, ia merasakan hal paling menyakitkan dalam hidupnya yaitu kehilangan semua anggota keluarganya. Namun perasaan lain justru muncul di hatinya. Perasaan cinta yang seharusnya tidak Felenia miliki. Namun, benarkah itu cinta? *** "Itulah caraku menunjukkan cinta kasih kepadamu, Wahai Pengantinku. Bagaimana pun, iblis tidak tunduk pada manusia dan mahluk lainnya, bahkan pada Sang Pencipta. Jadi, aku harap kau mengerti hal tersebut." ~Leoniel~ Sang Iblis Agung Lucifer.
view moreThis is a work of fiction.
The following story is purely fictional, and the plot is not to be associated with actual historical records.Names, characters, businesses, places, events and incidents are either the products of the author's imagination or used in a fictitious manner.
Any resembles to actual person, living or dead, or actual events is purely coicidental.***
Warnings:
Sexual Themes
Character Death(s)
Moderate Violance and Gore
***
Sesosok mahluk bertanduk kambing dengan sayap hitam di punggungnya tengah duduk nyaman di peraduan. Tubuh telanjang mahluk itu hanya ditutupi sehelai kain tipis di bagian pinggang.
Di kedua sisinya, dua succubus tengah menggerayangi tubuh maskulinnya yang kekar. Namun sosok tersebut terlihat tidak peduli, dan larut dalam lamunan sembari menyesap cairan merah dari gelas emas.
"Kau terlihat bosan, My Lord," ucap salah satu succubus tersebut.
"Hm," gumamnya malas. Sosok tersebut memang tengah dilanda kebosanan yang tiada akhir. Kehidupannya terasa monoton, dan tidak menarik sama sekali beberapa ribu tahun ini. Ia membutuhkan hiburan demi mengisi kejenuhannya.
"Tidak adakah yang bisa menghiburku?" Sosok itu mendesah, berharap hal menyenangkan menghampirinya.
"Bagaimana kalau kau bermain denganku, My Lord? Aku menyerahkan diriku agar kau bisa bersenang-senang, My Lord." Succubus di sisi kanan mendekatkan dirinya pada sosok tersebut.
Seringai tipis terbit di wajah rupawan sosok itu. "Hm, kemari lah. Buat diriku senang. Aku akan memusnahkanmu kalau kau tidak bisa memuaskanku, mengerti?" Tatapan keji dihadiahkan pada succubus di hadapannya.
"Ah~ Yes, My Lord." Tubuh succubus itu bergetar merasakan tatapan keji berbalut gairah dari sosok yang menjadi tuannya tersebut. Ia menaiki sosok itu, dan mulai meliukkan tubuh.
Succubus tersebut membiarkan sesuatu yang keras milik tuannya itu berada di dalamnya. Terbenam di titik yang paling dirinya inginkan. Ia menggigil ketika merasakan nikmat menghantam tubuhnya. Energi tuannya yang ia terima terlalu kuat dan gelap, namun terasa manis dan menyegarkan hingga membuat kepalanya pening.
"Ah~ My Lord~"
Succubus lain yang sejak tadi hanya memerhatikan sembari memainkan kain tipis milik tuannya, mulai terpengaruh oleh permainan kedua mahluk itu. Tubuhnya memanas dan menginginkan hal yang sama seperti temannya.
"My Lord," ucap succubus itu dengan wajah memelas.
"Kemari."
Perintah sosok tersebut segera dilakukan oleh succubus itu. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh kekar sang lord, meraba dan menyentuh tubuh itu dengan gerakan sensual. Bibirnya menyusuri kulit kecoklatan yang berpendar keemasan itu sembari memberikan kecupan ringan di setiap inchinya.
"Teruskan." Sosok itu menggeram dan melenguh ketika merasakan dirinya akan meledak.
Kedua succubus yang menggerayangi tubuh sosok tersebut semakin bersemangat memberikan kenikmatan pada tuannya. Tubuh sosok itu yang kini dibasahi oleh peluh, berkilat menggoda di keremangan sinar parafin-- membuat para succubus itu bergetar menunggu pelepasan tuannya.
"Ah~ Ampun, My Lord." Succubus yang tengah bergerak tepat di atas tubuh sosok tersebut menjerit memohon ampun ketika energi yang besar dialirkan ke dalam tubuhnya. Meski terdengar seperti kesakitan, wajah succubus tersebut menunjukkan kenikmatan dan kepuasaan yang membuatnya merasa di surga. Tempat yang tidak akan pernah ia injakkan kaki.
Sosok itu menyeringai sembari menjilat bibir merah gelapnya. Matanya berkilat ketika merasakan hasratnya semakin menggebu.
"Lagi. Puaskan aku lagi."
Satu succubus yang belum mendapatkan tembakkan energi dari sosok tersebut memposisikan dirinya. Ia memasukkan milik tuannya yang masih keras itu ke dalam tubuhnya.
"Ah~ My Lord." Succubus tersebut mendesah ketika aliran seperti listrik menyengat di inti tubuhnya. Ia mulai bergerak naik turun demi meresapi energi tuannya.
Ketika tengah menikmati permainan succubus tersebut, tiba-tiba saja sosok itu merasakan kekuatan besar dari dunia manusia yang berada di bawah kekuasaannya. Keningnya mengernyit, tetapi ujung bibirnya tertarik ke atas.
Sosok tersebut segera menyelesaikan permainan, dan membiarkan energi miliknya menghantam kuat ke dalam tubuh succubus itu. Lalu, tanpa menunggu lagi ia segera bangkit, dan menyingkirkan dua succubus di sisinya yang kelelahan setelah melayani nafsunya.
Dalam sekejap sosok tersebut sudah berpindah tempat ke dunia manusia. Jubah hitamnya berkibar angkuh tertiup oleh angin. Posisinya yang berada di atap gedung tinggi membuat sosok itu dengan mudah memperhatikan sekeliling. Seulas senyum lebar terbit ketika melihat buruannya tertangkap mata.
Lagi, sosok tersebut menggunakan kekuatan teleportasinya. Saat ini ia sudah berdiri tenang di ujung ruangan. Selain dirinya, terdapat tiga manusia dan satu malaikat di dalam sana.
Perhatian sosok itu sepenuhnya tertuju pada bayi mungil yang tengah menatap kagum ke arah malaikat dengan sayap putih bersih di punggungnya. Malaikat tersebut menyerahkan setangkai bunga Lili di samping kepala bayi itu.
"Hm ... ? Tidak biasanya Gabriel turun langsung seperti ini."
"Dan apa yang kau lakukan di sini, Lucifer?"
Malaikat tersebut tiba-tiba muncul begitu saja di depan sosok bernama Lucifer tersebut.
"Aku lebih suka dipanggil Leon daripada Lucifer."
"Aku tidak peduli, Lucifer."
"Untuk ukuran sesosok malaikat, kau terlalu menyebalkan, Gabriel."
Gabriel berdecih malas. "Apa yang kau lakukan di sini, Iblis?" tanyanya.
"Hanya berkunjung."
"Kau bukan jenis iblis yang datang hanya untuk berkunjung."
"Ah ... kau benar." Leon tersenyum tipis.
"Aku datang karena bayi itu. Jiwanya terlalu bersih, putih dan bercahaya, dan itu menyebalkan." Tunjuk Leon pada bayi mungil di depannya. Wajah iblis itu berubah gelap dan suram ketika mengatakan kalimat itu.
"Aku tidak peduli."
"Kau ... ternyata memang sangat menyebalkan. Lebih menyebalkan daripada Raphael dan Michael."
Wush.
Pedang panjang dengan hiasan bunga Lili di gagangnya terhunus di leher Leon. Darah hitam mengalir dari luka sabet pedang tersebut. Leon menanggapinya dengan biasa. Ia tidak terpengaruh oleh sikap tidak sopan yang ditunjukan Gabriel padanya.
"Berani sekali kau memanggil para Archangel hanya dengan namanya." Gabriel mendesis tidak suka.
Leon menyingkirkan mata pedang yang masih terarah padanya dengan mudah. Hanya satu jentikan jari, dan Gabriel terdorong cukup jauh darinya.
"Hati-hati, Anak Muda," ucapnya tenang dengan nada tajam syarat akan peringatan. Tangan Leon mengibas ringan seolah menghilangkan debu tak kasat mata dari tubuhnya.
Tidak ingin memancing keributan yang lebih besar, Gabriel segera pergi dari sana setelah mendapat panggilan telepati dari Archangel Michael. Tanpa pamit atau kata perpisahan, malaikat itu meninggalkan Leon dan ketiga manusia yang tidak menyadari kehadirannya tersebut.
"Dasar! Tidak ada sopan santun."
Langkah Leon semakin mendekat ke arah bayi mungil yang tengah menggenggam bunga Lili di tangannya. Bunga yang melambangkan jiwa suci.
Tangan mungil bayi tersebut mencoba meraih jemari Leon, tetapi pria itu tidak membiarkannya. Akan sangat berbahaya untuknya mendekati bayi murni yang baru lahir, apalagi dengan semua berkat yang diterima dari Sang Pencipta.
"Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti, Bayi Mungil."
Walaupun sebenarnya Leon sangat tergoda untuk segera mengotori jiwa suci bayi itu. Namun bukan sekarang waktunya. Ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan sekarang. Pandangan Leon jatuh pada ayah si bayi yang berada di samping kanan. Ia menyeringai lebar ketika melihat titik hitam besar yang berada dalam jiwa pria itu.
"Ah ... manusia itu mulai jatuh dalam kegelapan."
Lalu, dimulailah bujuk rayuan dan bisikan-bisakan manis yang terus dilancarkan oleh Leon pada ayah si bayi suci, Barend. Sampai berada di titik di mana pria itu percaya bahwa bayi kecilnya bukan lah putri kandungnya.
Secara tidak langsung, Leon ikut andil membuat Barend memiliki keinginan untuk menghabisi istri dan putri kandungnya sendiri. Ia juga menanamkan benih keangkuhan, membiarkan pria bodoh itu mempercayai bahwa dirinya tidak membutuhkan kemurahan hati Sang Pencipta.
"Manusia memang mahluk rapuh yang mengerikan," gumamnya penuh kemenangan.
***
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments