Kereta kuda yang membawa mimpi buruk Felen telah sampai di depan gerbang, dan tinggal menunggu waktu untuk berhenti tepat di depan ia berdiri saat ini. Kereta kuda tersebut mengantarkan Abelard, calon penerus Barend. Anak laki-laki yang mungkin akan merebut semua perhatian Barend darinya.
Barend bahkan dengan sengaja memerintah Felen untuk ikut menunggu kedatangan Abelard. Menolak pun percuma karena perintah ayahnya itu mutlak. Entah niat apa yang dimiliki Barend dengan melakukan hal seperti ini.
Tidak lama, seperti dugaan Felen, kereta kuda yang membawa Abelard berhenti di depan pintu. Saat pintu dibuka oleh kepala pelayan, seorang anak laki-laki yang tingginya tidak berbeda jauh dengan Felen, melangkah keluar. Barend yang berada di samping Felen maju ke depan seraya merentangkan kedua lengan untuk menyambut kedatangan Abelard.
"Abelard, anak kandungku sekaligus pewarisku," ucap Barend lantang. Seolah sengaja menyindir Felen yang dikabarkan merupakan anak haram Aghnya dengan pria lain, padahal Felen dan Barend memiliki warna mata sama yang menegaskan ikatan darah keduanya.
Suasana hangat di antara Barend dan Abelard membuat Felen sangat iri. Anak laki-laki yang entah berasal dari mana itu berhasil mengambil alih posisi Felen, dan membuat semua usahanya agar bisa dianggap oleh Barend menjadi sia-sia serta tak berarti.
Kehadiran Felen di sana bahkan hanya menjadi pelengkap yang tidak penting. Ketika Abelard, Barend dan para pelayan memasuki manor pun, ia justru ditinggalkan begitu saja. Felen tertawa miris atas perlakuan tidak adil tersebut.
Setelah mengambil napas panjang demi menghalau air mata yang hampir tumpah, Felen melangkah pelan memasuki manor. Ia merasa sangat malas kalau harus ikut merayakan penyambutan Abelard, dan ingin langsung masuk ke dalam kamar saja. Namun, Barend tidak akan membiarkan Felen melakukan hal itu.
Di ruang utama yang sudah dihias oleh berbagai macam pernak-pernik, pesta penyambutan Abelard dilaksanakan, dan pemeran utama hari itu tengah tertawa bahagia. Felen tidak memedulikan hal tersebut. Matanya justru mengedar ke sekeliling, mencari keberadaan Aghnya yang sudah lama tidak ia lihat. Namun, ibunya itu tidak terlihat di mana pun.
"Felenia, dari mana saja kau? Ayo, perkenalkan dirimu pada adikmu, Abelard." Suara Barend naik beberapa oktaf, membuat Felen sedikit terkejut.
"Ah, baik, Papa." Meski Felen menjawab patuh dengan nada biasa, ia sebenarnya sedang sangat kesal.
"Aku Felenia Sashenka Henzie, salam kenal," ucap Felen memperkenalkan diri dengan nama belakang keluarga Aghnya. Ia sengaja melakukan itu sebagai bentuk pemberontakan kecil pada Barend.
Satu hal yang menjadi perhatian Felen saat berhadapan dengan tatapan lekat Abelard adalah mata anak laki-laki itu. Hijau seperti matanya dan mata Barend. Ciri khas yang hanya dimiliki oleh keturunan keluarga Leister.
"Halo, Kakak. Aku Abelard Philip Leister."
Cara Abelard yang memperkenalkan diri layaknya bangsawan muda berpendidikan, membuat dahi Felen mengernyit dalam. Menurut gosip yang beredar di antara para pelayan, Abelard hanyalah rakyat biasa dari daerah kumuh. Namun, sikap anak laki-laki itu tidak menunjukkan hal tersebut. Justru memperlihatkan kesempurnaan yang menimbulkan keheranan.
Sejak merasakan keanehan dari sikap Abelard, Felen sebaik mungkin untuk tidak berpapasan dengan anak laki-laki itu, apalagi sampai berada dalam satu ruangan. Terkecuali atas perintah Barend. Seperti sekarang ini, menghabiskan waktu dengan minum teh bersama di rumah kaca.
"Kakak, kau melamunkan apa sampai tidak menyentuh camilan enak ini? Apa kau sakit? Kau tampak pucat," tunjuk Abelard pada berbagai jenis kudapan manis dan asin terhidang di atas meja, lalu kembali memerhatikan Felen dengan lekat.
Felen berjengit, lalu menatap ragu pada Abelard yang tengah menampilkan ekspresi khawatir. Berbanding terbalik dengan bibirnya yang tersenyum manis. Entah kenapa, ia merasa kalau aura yang dikeluarkan Abelard sangat gelap dan mengintimidasi.
"Aku ... baik-baik saja. Mungkin itu hanya perasaanmu saja," balas Felen mengelak.Alasan Felen menghindari Abelard adalah karena ia merasa tidak nyaman jika harus berdekatan dengan Abelard. Anak laki-laki yang sikapnya terlampau dewasa dari umurnya tersebut seperti terus menerus memperhatikan gerak-gerik Felen.
Kelihaian Abelard beradaptasi dalam lingkungan bangsawan yang ketat oleh etika, dan tidak tampaknya kecanggungan ketika berinteraksi dengan Felen serta para pelayan menumbuhkan kecurigaan dalam diri Felen. Bagaimana pun sikap dan pembawaan Abelard terlalu sempurna. Tanpa celah, seolah sudah terencana dengan baik.
"Aku sekarang yakin kalau pikiran Kakak sedang tidak berada di sini."
Sebelah ujung mata Felen berkedut ketika tebakan Abelard tepat sasaran. Namun, ia berusaha menyembunyikannya dengan tidak menyangkal secara berlebihan.
"Aku memang sedikit memikirkan sesuatu, tapi itu bukan hal penting." Senyum tipis tersemat di bibir Felen.
"Daripada itu--" Ucapan Felen seketika terhenti saat kucing hitam yang mulai menetap di kamarnya meloncat ke atas meja kecil di mana teh dan beberapa kudapan manis dan asin tersaji.
"Goldie!" Tanpa sadar Felen berteriak cukup kencang, melupakan etika kebangsawanan yang sebelumnya ia junjung tinggi. Fokus Felen yang tertuju pada kucing hitam tersebut membuatnya sejenak melupakan kehadiran Abelard yang tengah menatap horor pada hewan berbulu lembut itu.
Abelard tampak ketakutan hingga secara perlahan mundur selangkah demi selangkah untuk menjauh dari kucing hitam tersebut. Namun, kucing itu justru malah semakin mendekat, dan mau tidak mau membuat Abelard semakin mundur. Tidak menyadari bahwa sebuah kolam dengan kedalaman lima meter berada di belakangnya.
"Awas--"
Seruan Felen yang berusaha memberitahu Abelard tentang kolam di belakangnya sudah terlambat karena anak laki-laki itu langsung terjengkang melewati pembatas, kemudian tercebur ke kolam tanpa sempat menyeimbangkan diri.
Felen yang melihat Abelard tidak bisa berenang, dan mencoba untuk tetap berada di permukaan air meski tampak kesulitan, tidak langsung memanggil pelayan untuk menyelamatkan adik tirinya itu. Ia hanya terdiam di tempat sembari memeluk erat Goldie-- kucing hitam bermata emas, dalam pangkuan tangan.
"Fele--nia! Tolong ... !"
Tidak peduli sekeras apa pun suara Abelard yang meminta tolong, Felen tetap terpaku di tempat. Ia merasa Abelard layak mendapatkan hal tersebut karena telah menghancurkan keharmonisan keluarganya secara tidak langsung. Akan tetapi, pikiran tersebut tidak berlangsung lama ketika salah satu pelayan meneriakkan nama Abelard, kemudian meminta bantuan pelayan lain untuk membantu menolong Abelard.
Pelayan yang pertama datang langsung meloncat masuk ke dalam kolam demi menyelatkan Abelard. Tidak lama, pelayan lain mulai berdatangan secara berbondong-bondong. Felen yang sejak tadi hanya diam saja, mulai merasakan kepanikan ketika mendengar suara Barend yang menggelegar.
"Apa-apaan ini?!" Meski raut wajah Barend terlihat datar, dan nada suaranya tenang, jejak kepanikan terlihat di mata pria itu.
Para pelayan yang berada di sana hanya menunduk ketakutan. Mereka tidak bisa memberikan penjelasan karena tidak melihat kejadian secara langsung. Sedangkan Abelard yang baru diselamatkan, tidak memungkinkan untuk bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Anak laki-laki itu hanya mampu terbatuk keras akibat air yang masuk ke tenggorokan.
Namun, mata Abelard yang menatap lekat pada Felen, seketika membuat Barend berasumsi buruk. Ia menghampiri anak pertamanya itu dengan langkah lebar. "Apa yang kau lakukan padanya? Kau mendorongnya? Apa kau berniat melukai penerusku?" tanya Barend beruntun tanpa jeda.
"Ti-- tidak, Papa. Aku tidak mungkin melakukan hal jahat seperti itu." Suara Felen bergetar. Pandangan sinis Barend membuatnya ciut.
Barend tidak mengalihkan tatapan matanya dari Felen untuk beberapa detik. Ia tidak melihat adanya kebohongan, tetapi emosinya yang sedikit kalap membuat Barend melihat Felen sebagai pelaku.
"Berbohong hanya akan membuat hukumanmu semakin berat, Felenia." Barend berucap dingin dengan sorot mata yang membuat Felen terbungkam.Felen berdiri gamang dengan tangan terkepal erat. Hatinya sakit karena Barend tidak mempercayai perkataannya sama sekali, padahal ia tidak mendorong Abelard. Meski Felen sebenarnya tetap bersalah karena tidak langsung memanggil bantuan ketika Abelard tenggelam semakin dalam ke dasar kolam.
"Bawa Abelard ke kamarnya, dan segera panggilkan dokter!" perintah Barend tegas. Lalu, matanya kembali beralih pada Felen. Memandang tajam anak pertamanya tersebut.
"Dan kau Felenia, datang ke ruanganku setelah makan malam."
Belum sempat Felen menjawab, Barend lebih dahulu pergi bersama para pelayan. Lagi-lagi meninggalkan Felen yang masih terpaku di tempat.
"Baik, Papa," lirih gadis itu di antara keheningan.
Air mata yang tadi Felen tahan, luruh di kedua pipi. Ia terisak pelan sembari menutup kedua mata dengan lengan. Kucing hitam bermata emas yang berada di dekat Felen menguselkan tubuhnya pada kaki gadis itu. Mencoba menghibur tanpa kata, dan memberitahu Felen kalau ia tidak benar-benar sendirian.
Meski Felen masih terisak, senyum kecil kini tersemat di bibirnya. Ia berjongkok, lalu mengelus lembut bulu hitam kucing tersebut. Perasaan gadis itu sedikit membaik dengan kehadiran kucing tersebut. Walau tetap saja rasa sesak di dadanya tidak hilang secara sempurna.
***Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat."Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan."Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi."Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.Perlahan Felen membalikkan tub
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi
SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption."Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya."Angkat kepalamu."Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya."Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan."Salam, Your Majesty." Suara berat bernada