Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.
***
"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.
Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.
Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padahal kedua orang tua Aghnya melarang keras pernikahan tersebut.
Namun, dengan dalih suatu saat nanti sikap Barend akan berubah, ia memaksakan kehendak, dan mengabaikan peringatan dari kedua orang tuanya. Penyesalan yang akan terus membekas sampai akhir hayat hidup Aghnya.
"Mom ..." Felen terisak pelan. Tangannya yang berada dalam genggaman Aghnya menguat seriring dengan seruan beringas anak buah Barend.
"Sttt ... tidak apa-apa, Sayang. Kita pasti bisa menyelamatkan diri. Maaf, maafkan ibumu yang bodoh ini," lirihnya penuh penyesalan karena baru menyadari kebodohannya yang berakibat pada Felen.
Tidak dipedulikan tubuh lelahnya yang terasa remuk redam. Aghnya terus berlari demi menyelamatkan diri bersama Felen yang tampak lelah seperti dirinya. Tak akan Aghnya biarkan Barend tertawa senang di atas makamnya karena berhasil mendapatkan hal yang diinginkan.
"Mommy ... aku takut ... "
Tanpa menghentikan langkah kaki untuk memasuki hutan, Aghnya terus menenangkan Felen dengan kalimat-kalimat meyakinkan.
"Tidak apa-apa, sayang. Kita pasti selamat. Mommy berjanji padamu," lirih tegas terucap dari bibir wanita itu. Harapan terus ditanamkan dalam hati bahwa akan ada seseorang yang menyelamatkan mereka meski kemungkinan tersebut sangat kecil.
Dor! Dor! Dor!
Letusan nyaring pistol mengagetkan Aghnya dan Felen. Rasa panas dan perih yang terasa di punggung membuat Aghnya langsung ambruk ke tanah dengan darah merembes di pakaiannya. Punggung Aghnya tertembak timah panas tersebut.
"Mommy ... !" Felen memekik kaget melihat Aghnya jatuh tersungkur, kemudian tergeletak bersimbah darah di depannya.
"Mom ... ?" Telapak tangan Felen menyentuh pipi pucat Aghnya. Memastikan kalau ibunya itu masih bernapas meski matanya tertutup.
"Ya, sa ... yang ...?" balas Aghnya terputus-putus.
Setiap embusan napasnya terasa menyakitkan karena luka tembak di punggung. Aghnya meringis kesakitan dengan air mata mengalir deras di pipi. Hati wanita itu menjerit pilu saat merasakan hidupnya tidak akan lama lagi. Aghnya belum ingin mati, dan meninggalkan Felen begitu saja setelah selama beberapa tahun terakhir ia mengabaikan keberadaan putrinya tersebut karena terlalu terpuruk oleh pengkhianatan Barend.
"Mommy, kau tidak apa-apa ‘kan?" tanya Felen dengan isak tangis yang mengeras ketika melihat darah yang merembes keluar dari tubuh Aghnya semakin banyak.
Hati Aghnya terasa sakit. Kepedulian yang Felen tunjukkan padanya membuat ia merasa malu. Aghnya gagal menjadi ibu yang baik bagi Felen, tetapi gadis itu masih tetap mengkhawatirkannya.
"Mereka di sini!"
Teriakkan tiba-tiba itu sontak membuat Aghnya langsung menyumpahi Barend.
‘Terkutuklah kau Barend! Aku pastikan akan menyeretmu ke neraka karena melakukan ini padaku dan gadis kecilku. Demi iblis penghuni neraka terdalam, kau akan merasakan rasa sakit yang teramat mengerikan,’ batinnya berteriak.
Wush...
Embusan angin dingin datang secara tiba-tiba. Berputar angkuh setelah Aghnya mengumpati suaminya-- Barend. Seolah doa dan harapannya terkabul. Dari dalam putaran angin muncul sesosok tampan dengan pakaian keseluruhan berwarna hitam layaknya prajurit dewa kematian. Pria itu tersenyum dingin ke arah Aghnya dan Felen.
Aghnya yang melihat itu seketika diserang tremor hebat. Bahkan ketika ajal siap menghampiri, sosok di hadapannya tetap memberi ketakutan sampai membuat tubuh wanita itu bergetar hebat. Walau begitu, melihat sosok tersebut, harapan yang hampir pupus dalam hatinya muncul kembali. Bermekaran selayaknya bunga di musim semi.
Tatapan dingin pria tersebut tertuju pada Felen. Terlihat tertarik, dengan kilat kejam di netra abunya. Ia bersimpuh di hadapan Felen yang menatap lekat ke arahnya dengan mata memancar berani.
"Hallo, gadis manusia," sapa sosok itu dengan nada ceria. Senyum lebarnya terlihat menawan sekaligus mengerikan.
"Kau ... siapa?"
"Hm ... ?" Pria itu terlihat berpikir keras, lalu menjawab. "Kau bisa memanggilku Leon. Siapa namamu gadis kecil?"
Felen tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Mata hijau cemerlangnya menelisik sosok di depannya dengan sangat teleti. "Aku ... Felenia," jawab gadis itu sedikit tersendat gugup.
Leon tertawa renyah merasakan kegugupan Felen ketika ia menampilkan senyum manis nan rupawan. Iblis itu sangat senang karena akhirnya bisa menunjukkan wujud terbaiknya pada Felen. Bukan wujud hewan berkaki empat yang hanya bisa mengeong. Tatapannya kemudian beralih pada Aghnya yang tergeletak lemah di samping Felen. Seringai lebar terbit di bibir Leon melihat darah segar yang menggenang di sekitar tubuh wanita itu. Ia mengulurkan tangan, lalu mengusap lembut pipi Aghnya.
"Dan kau wanita, siapa namamu?"
"Aghnya Sashenka Henzie," jawabnya lirih. Hanya dengan sekali melihat, Aghnya mengetahui kalau pria di hadapannya bukan manusia.
"Nah, Aghnya, apa keinginanmu?" Leon bertanya dengan senyum semakin cerah. Namun, belum sempat wanita itu membalas Leon, seruan kasar seorang pria menyela. Pria yang tadi menembak Aghnya menatap berang ke arah Leon.
"Siapa kau?" tanya pria itu dengan suara keras.
Raut wajah Leon menggelap. Ia berdecak pelan. Kedatangan pria-pria itu tentu sangat mengganggunya, dan ia tidak menyukai hal itu sama sekali. Leon mengibaskan tangan sekali, dan pria-pria itu terhempas oleh angin kuat yang langsung melukai tubuh mereka. Tidak ada yang selamat dari hempasan angin tersebut. Mereka semua tergeletak, tak bernapas lagi.
"Nah... sampai di mana kita tadi?" Leon kembali duduk nyaman di depan Felen dan Aghnya setelah menyingkirkan para pengganggu. Ia mengabaikan raut wajah kaget keduanya.
"Tolong... lindungi putriku, dan balaskan dendamku... pada suamiku, Ba... rend," lirih Aghnya susah payah. Luka tembak di tubuhnya terasa sangat menyakitkan. Hanya untuk bernapas saja ia kesulitan.
"Mom ... !" sahut Felen tidak terima karena Aghnya meminta tolong pada Leon yang tidak diketahui identitas sebenarnya.
"He~ merepotkan."
"Kumohon ... Aku tahu ... kau bisa mengabulkannya ..." Aghnya memohon sembari menangis, mengabaikan protes tidak terima dari Felen.
"Apa yang aku dapatkan dengan melakukan itu?"
"Akan kuberikan semua harta benda yang kumiliki. Kau bisa mengambilnya," sahut Aghnya cepat. Tangannya menyentuh kantung kumal yang berada di pinggang.
"Aku tidak tertarik dengan harta, Manusia." Leon tersenyum miring, terlihat merendahkan ucapan Aghnya.
"Ehm ... Leon?" Felen kembali menyela pembicaraan Aghnya dan Leon. Melihat ibunya yang terlihat sangat putus asa membuat Felen mau tidak mau ikut andil dalam percakapan mereka. Terlebih, perkara yang tengah dibicarakan menyangkut tentang dirinya.
"Hm, ada apa?"
Awalnya Felen ragu untuk menanyakan rasa penasarannya, tetapi ia merasa harus menyampaikan pertanyaan tersebut. Bagaimana pun pria itu sangat mencurigakan dengan muncul tiba-tiba, lalu menawarkan bantuan begitu saja.
"Kau ... bukan manusia ‘kan?"Leon tersenyum, lalu mengendikan bahu. Ia tidak berniat membalas pertanyaan Felen sama sekali. Pria itu justru bertanya balik. "Menurutmu?"
Fokus Leon kembali pada Aghnya, mengabaikan Felen yang menatapnya sengit. "Aghnya, kau ingin membalaskan dendam pada suamimu, bukan?"
Aghnya yang sejak tadi menunggu dalam diam, menoleh ketika Leon bertanya padanya. Kemudian, ia mengangguk tanpa keraguan.
"Ya, dan tolong lindungi putriku, Felenia," lirihnya pelan. Aghnya merasa tubuhnya tidak sanggup lagi untuk bertahan. Kegelapan terasa sangat dekat dan bisa merenggutnya kapan saja.
"Mom, lebih baik kau meminta dia menyembuhkan lukamu. Bukan malah meminta balas dendam!" Air mata Felen mengucur deras. Ia tidak terima dengan permintaan Aghnya yang terdengar sangat egois. Padahal, gadis itu tidak ingin kehilangan ibunya.
"Baiklah, aku akan mengabulkannya. Lagi pula itu bukan hal sulit."
"Tunggu!" Felen menyahut cepat. "Kalau begitu kabulkan juga permintaanku!" lanjutnya keras kepala.
"Sayangnya kau bukan orang yang memanggilku, jadi aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu, Gadis Kecil."
Gelengan tegas Leon membuat Felen kecewa. Tangisnya semakin keras. Ia merasa tak berguna karena tidak bisa menyelamatkan Aghnya.
"Mom, ganti permintaanmu. Kumohon jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau sendirian lagi." Felen memohon sembari menggenggam erat tangan Aghnya yang mulai terasa dingin.
Di antara sisa kesadarannya, Aghnya mengusap lembut pipi Felen yang banjir oleh air mata. Ia menyadari kalau permintaannya egois, tetapi dendam dan sakit hati wanita itu terlalu besar sehingga Aghnya memilih untuk mementingkan dendamnya daripada hidup bahagia bersama Felen.
"Maafkan keputusanku yang egois ini, tapi semua ini untukmu juga, Felenia. Tolong balaskan dendam Mom, ya?" Meski suara Aghnya terdengar lemah, tatapan wanita itu terlihat membara oleh kebencian.
Rahang Felen mengetat. Tidak mengangguk, tidak juga menolak lantang permintaan Aghnya. Setelahnya, ia hanya diam ketika napas Aghnya mulai semakin melemah. Perasaan gadis itu campur aduk, dan sulit untuk digambarkan dengan jelas. Namun, yang paling mendominasi adalah kehampaan dan perasaan terkhianat. Dada Felen terasa diremas oleh tangan tak kasat mata. Saat ini sesak yang tidak tertahankan tengah ia rasakan.
"Great. Tenang saja, aku akan memberi ibumu kedamaian sejati."
Kemudian, sepasang sayap hitam besar muncul di punggung Leon. Tanduk hitam seperti kambing mencuat di kepalanya. Netra abunya juga ikut berubah menjadi keemasan seiring dengan menelengkupnya sayap tersebut ke tubuh Aghnya. Di bawah tubuh wanita itu sebuah pentagram menyala terang. Felen memerhatikan itu dengan mata mengerjap.
Perlahan kesadaran Aghnya ditelan kegelapan. Tubuhnya yang tadi terasa berat dan menyakitkan menjadi ringan tanpa beban, selayaknya awan di langit yang diembus angin sepoi-sepoi. Lalu, kegelapan tersebut berubah menjadi ruangan putih, dan berubah lagi menjadi taman bunga yang amat indah. Aghnya akhirnya merasakan kedamaian abadi.
Sayap hitam Leon yang tadi terbentang lebar di punggungnya berpendar, lalu berhambur menjadi serpihan bulu gagak yang jatuh dengan indah melingkupi tubuh Aghnya. Beberapa terbang terhempas angin, dan beberapa lagi jatuh di sekitar Leon dan Felen. Felen mencoba meraih bulu hitam selembut sutra tersebut, tetapi saat tangan Felen menyentuhnya, bulu tersebut menghilang.
***
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi
SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption."Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya."Angkat kepalamu."Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya."Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan."Salam, Your Majesty." Suara berat bernada
PAKAIAN Felen yang berbeda dari siswa lainnya membuat gadis itu terlihat mencolok. Mantel putih yang ia pakai sangat kontras dengan seragam siswa Academy of אשמדאי (Ashmedai) yang berwarna hitam legam.Untuk beberapa alasan, Felen menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena pakaian saja, tetapi karena iblis yang menjalin kontrak dengannya adalah Lucifer-- iblis terkuat yang saat ini memiliki pangkat paling tinggi, dan berkuasa di dunia kegelapan di mana para iblis hidup dan tinggal layaknya manusia. Terlebih ia juga merupakan calon pengantin resmi yang dipilih Leon.Lucifer adalah raja dari para raja iblis.Fakta tersebut membuat para makhluk itu penasaran dengan alasan yang berbeda-beda.Salah satunya adalah iblis wanita berambut emas yang saat ini tengah memerhatikan Felen. Matanya tidak sedikit pun beralih ketika mengamati setiap gerak-gerak gadis itu, bahkan gerakan kecil seperti ketukan jari sekali pun."Sebaiknya kau jangan berani bermai
Forest of Wonders adalah hutan terbesar dan terluas di dunia iblis. Hutan ini berbeda dengan hutan lain yang berada di dunia iblis. Selain ukuran dan luasnya, tidak ada yang mengetahui kehidupan dan makhluk seperti apa saja yang tinggal di sana. Hanya segelintir iblis bangsawan dengan kekuatan tinggi yang mengetahui rahasia di balik Forest of Wonders.Hutan ini sangat berbahaya. Terutama untuk manusia, makhluk selain iblis, dan iblis berkekuatan rendah. Hutan terlarang adalah julukan yang tepat karena setiap makhluk yang memasuki Forest of Wonders selalu melihat hal yang berbeda. Hal itu lah yang membuat hutan tersebut berbahaya.Hutan itu menyesatkan. Sama seperti sifat iblis yang sering menyesatkan.The Forest of Wonders only brings despair.Begitu lah penjelasan singkat yang tertulis di dalam sebuah buku yang ditulis oleh para tetua iblis terdahulu. Buku tersebut tersimpan rapi di salah satu rak di dalam perpustakaan iblis yang berada di jantung kota,
Ketika Leon kembali ke kastilnya, ia bergegas menuju kamar Felen dengan cara masuk melewati balkon kamar. Hal pertama yang menyedot atensi netra keemasannya adalah Felen yang tengah duduk menyandar ke sofa. Meski penampilan gadis itu tampak biasa dengan gaun tidur berwarna putih polos, entah bagaimana di mata Leon, Felen terlihat sangat cantik hingga membuatnya sejenak terpaku menikmati keindahan tersebut."Kau sedang apa di sana?"Suara lembut Felen yang bernada ketus menarik Leon dari keterpakuannya. Pria itu berhasil mengendalikan diri agar tidak terlihat bodoh karena tertangkap basah oleh objek yang tengah ia pandangi."Kau harusnya menyambutku dengan pelukan hangat atau setidaknya kalimat mesra," ucapnya sembari melompat dari pagar pembatas."Kenapa aku harus menyambut orang yang masuk tanpa izin ke kamarku?" Kedua lengan Felen menyilang angkuh." ... Sayangnya aku bukan orang?"Jawaban santai Leon yang berbalut nada tanya mencipt
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te