Forest of Wonders adalah hutan terbesar dan terluas di dunia iblis. Hutan ini berbeda dengan hutan lain yang berada di dunia iblis. Selain ukuran dan luasnya, tidak ada yang mengetahui kehidupan dan makhluk seperti apa saja yang tinggal di sana. Hanya segelintir iblis bangsawan dengan kekuatan tinggi yang mengetahui rahasia di balik Forest of Wonders.
Hutan ini sangat berbahaya. Terutama untuk manusia, makhluk selain iblis, dan iblis berkekuatan rendah. Hutan terlarang adalah julukan yang tepat karena setiap makhluk yang memasuki Forest of Wonders selalu melihat hal yang berbeda. Hal itu lah yang membuat hutan tersebut berbahaya.
Hutan itu menyesatkan. Sama seperti sifat iblis yang sering menyesatkan.
The Forest of Wonders only brings despair.
Begitu lah penjelasan singkat yang tertulis di dalam sebuah buku yang ditulis oleh para tetua iblis terdahulu. Buku tersebut tersimpan rapi di salah satu rak di dalam perpustakaan iblis yang berada di jantung kota,
Ketika Leon kembali ke kastilnya, ia bergegas menuju kamar Felen dengan cara masuk melewati balkon kamar. Hal pertama yang menyedot atensi netra keemasannya adalah Felen yang tengah duduk menyandar ke sofa. Meski penampilan gadis itu tampak biasa dengan gaun tidur berwarna putih polos, entah bagaimana di mata Leon, Felen terlihat sangat cantik hingga membuatnya sejenak terpaku menikmati keindahan tersebut."Kau sedang apa di sana?"Suara lembut Felen yang bernada ketus menarik Leon dari keterpakuannya. Pria itu berhasil mengendalikan diri agar tidak terlihat bodoh karena tertangkap basah oleh objek yang tengah ia pandangi."Kau harusnya menyambutku dengan pelukan hangat atau setidaknya kalimat mesra," ucapnya sembari melompat dari pagar pembatas."Kenapa aku harus menyambut orang yang masuk tanpa izin ke kamarku?" Kedua lengan Felen menyilang angkuh." ... Sayangnya aku bukan orang?"Jawaban santai Leon yang berbalut nada tanya mencipt
Udara di Devil Reign terasa semakin dingin. Langit pun berubah mendung dengan awan hitam yang bergelung lembut di langit. Kegelapan seolah melahap langit di tempat itu secara perlahan. Namun, salju yang turun memenuhi setiap sudut kota terlihat sangat kontras dan tumpang tindih. Putih dan hitam yang mencoba bersatu padu itu seperti sebuah lukisan monokrom. Felen memerhatikan semua perubahan tersebut dari atas balkon kamarnya. Pemandangan indah sekaligus mengerikan itu membuat gadis itu takjub. Embusan angin yang mengenai kulit terbukanya terasa panas, pedih dan menusuk. Pun, memberikan sengatan menyakitkan. Seolah partikel-partikel yang terbawa oleh angin itu adalah belati kecil berapi. Gadis itu membuka telapak tangannya untuk merasakan salju putih tersebut. Kemudian, ia berjengit kaget ketika titik kecil salju yang menyentuh telapak tangannya membuat kulit melepuh. "Aku mulai bertanya-tanya, apa kau sebenarnya penikmat masokisme, Felenia?" Suara ser
Malam masih panjang, dan kegilaan para manusia itu masih berlanjut. Namun, Felen yang sudah tidak sanggup menyaksikan semua itu, meminta pada Leon agar membiarkannya keluar dari tempat laknat itu."Leon, aku ingin keluar dari sini," lirih Felen sangat pelan. Cengkeramannya di lengan Leon mengerat tatkala suara desahan, erangan, dan geraman para manusia yang tengah dimabuk oleh kepuasan diri itu semakin membahana."Kumohon ... " Felen menyerah. Ia akhirnya memohon, menurunkan egonya yang meraung tidak terima karena merendahkan diri pada seorang iblis."Baiklah."Felen beruntung karena kali ini Leon tidak menolak keinginannya. Pria itu menahan tubuh Felen yang sedikit limbung. Perutnya yang luar biasa mual membuat pandangan Felen sedikit kabur, dan fokusnya terpecah ruah."Tubuh manusia ternyata memang sangat lemah," ucap Leon yang melihat Felen kesulitan untuk berjalan.Tak Felen tanggapi ejekan Leon yang terang-terangan itu. Ia sudah c
Langit malam telah berganti dengan matahari yang bersinar, dan perjalanan Felen di dunia manusia-- tempat seharusnya ia tinggal, tetapi terasa asing itu belum selesai hanya pada satu tempat saja. Setelah melodrama drama akibat menyaksikan kejadian yang menjadi pengalaman traumatis, Felen kembali dibawa Leon ke tempat yang tidak ia ketahui. Akan tetapi, tidak seperti sebelumnya di mana Leon menggunakan sihir tidak terlihat agar manusia lain tidak menyadari kehadiran mereka berdua, kali ini Leon dan Felen ikut berbaur dengan manusia lainnya. Mereka layaknya sepasang kekasih yang tengah berkencan. Saling perpegangan tangan dengan mesra. Felen hanya mengikuti Leon tanpa banyak berbicara. Ia masih dalam keadaan kalut dan syok. Pikirannya tengah berkelana ke tempat lain. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya nyaris menabrak tiang lampu jalan yang berada tepat di depan hidung. Keadaan sekitar yang ramai dengan lalu lalang manusia juga membuat kepalanya peni
Kehancuran paling berat seorang manusia adalah ketika mereka ditinggalkan dan dikhianati.***"Nah, jadi apa yang ingin kau lakukan, Milady?" Leon bertanya penasaran. Pria itu berdiri di samping Felen, menunggu dengan sabar keputusan yang akan diambil calon pengantinnya itu.Saat ini, mereka berada di sebuah gedung tinggi yang memudahkan untuk melihat keadaan sekitar. Felen yang tengah mengamati dan memerhatikan Barend serta keluarga barunya dari jarak yang cukup jauh, mengabaikan pertanyaan Leon.Benak gadis itu tengah berpikir keras setelah melihat Abelard yang sudah tumbuh dewasa. Anak laki-laki itu tampak sangat mirip dengan Barend muda. Mereka bagai pinang di belah dua. Felen yakin tidak akan ada yang meragukan Abelard sebagai putra Barend meski orang lain mengetahui kalau anak laki-laki itu lahir di daerah kumuh.Pemikiran yang sebelumnya tidak terlintas dalam benak Felen kini muncul ke permukaan.Tanpa sadar Felen melirik ke ara
Kotak Pandora itu mulai terbuka. Di antara harapan, keputusasaan, dan pemahaman-- manakah yang akan muncul dan menyambut Felen nanti?***Felen memasuki manor keluarga Leister dengan rencana kecil yang mulai tersusun rapi di otak cerdasnya. Gadis manusia itu masih menampilkan senyum polos yang tampak manis. Berharap hal tersebut berhasil meminimalisir timbulnya kecurigaan bahwa kedatangannya membawa niat buruk, terutama pada Barend.Tatapan tajam nan menusuk yang Abelard berikan, Felen abaikan. Tidak sekali pun ia menoleh pada anak laki-laki itu. Meski Felen sempat membenci Abelard karena merebut kasih sayang sekaligus posisinya, saat ini ia tidak ingin terlibat lagi dengan adik tirinya itu. Tujuan Felen hanya satu, yaitu membalaskan dendam Aghnya pada Barend."Sebaiknya kau ganti pakaian lebih dahulu, lalu ikut makan malam dengan kami," ucap Barend pada Felen."Pelayan ini akan membantu semua kebutuhanmu."Kemudian, seorang pelayan wanita m
Sebenarnya apa arti sebuah keluarga?***‘Ramuan mematikan?’Felen tertawa keras dalam hati. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan seringai lebar yang mampu membuat orang lain merinding merasakan kengerian. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali seperti semula.Terlepas dari tujuan Leon sebenarnya, Felen berterima kasih pada iblis itu karena telah memberitahukan informasi berharga tersebut sehingga ia tidak perlu lagi merasakan kematian menghampiri.Sebelum melangkah ke arah meja makan di mana terdapat Barend serta istri barunya, Felen berbalik dan meraih tangan Abelard yang lebih besar darinya. Kekagetan terlihat di mata hijau jernih anak laki-laki itu ketika sikap Felen berubah 180 derajat, menjadi ramah dan terlihat mudah didekati. Seolah perseteruan mereka yang tadi menguras cukup emosi tidak pernah terjadi. Meski kebingungan, Abelard memilih mengikuti permainan yang tengah Felen lakukan."Ayo, Abelard," ajaknya
Sering kali manusia melebihi ekspektasi kami-- para iblis.***Ruang kerja Barend tepat berada di hadapannya, tetapi Felen masih belum berani untuk memasuki ruangan yang menjadi kekuasaan ayahnya itu. Tempat yang juga menjadi saksi bisu hukuman masa kecilnya itu memberikan aura kengerian tersendiri hingga setitik keraguan dan kegelisahan muncul di dalam hati.Felen tidak abai. Sesuai perkataan Abelard saat di balkon, nyawa Felen dalam bahaya karena kemungkinan Barend menghabisinya malam ini sangat besar. Kematian dan berada di ambang kematian adalah ketakutan terbesar gadis itu."Apa kau ragu karena ketakutanmu lebih besar daripada rasa ingin balas dendammu? Atau karena kau terpengaruh oleh perkataan anak laki-laki itu?" Leon kali ini tidak hanya memperdengarkan suara saja, tetapi juga memperlihatkan sosoknya yang seperti dewa kematian di hadapan Felen."Lemah!" lanjutnya, kembali mencemooh Felen.Kebimbangan adalah kelemahan fatal yang suat