Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.
Ocehan Barend seketika terhenti.
Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan.
"Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.
Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
This is a work of fiction.The following story is purely fictional, and the plot is not to be associated with actual historical records. Names, characters, businesses, places, events and incidents are either the products of the author's imagination or used in a fictitious manner.Any resembles to actual person, living or dead, or actual events is purely coicidental. *** Warnings: Sexual Themes Character Death(s) Moderate Violance and Gor
Keributan besar itu terjadi di pagi hari di mana hujan lebat tengah mengguyur dengan derasnya. Barend dan Aghnya bertengkar hebat hingga beberapa ornamen jatuh pecah di lantai. Ia tidak mengetahui alasan yang melatar belakangi pertengkaran orang tuanya tersebut.Namun, Felen yang menguping pembicaraan para pelayan akhirnya memahami kalau Barend dan Aghnya tengah meributkan tentang dirinya. Barend bersikeras bahwa Felen tidak mungkin menjadi kepala keluarga karena ia seorang perempuan, tetapi Aghnya tidak terima dan bersikeras untuk menjadikan Felen satu-satunya pewaris keluarga."Lalu kau mau bagaimana? Kau hanya memiliki satu anak saja, Barend!" teriak Aghnya frustrasi.Barend yang tidak terima karena Aghnya berteriak keras padanya ikut membalas dengan berteriak. "Jaga nada bicaramu, Aghnya! Siapa bilang aku hanya memiliki satu anak?" Senyum pongah tersemat di bibir Barend." ... A-apa maksudmu?" Kedua bola mata Aghnya membesar ketika mendengar kalimat B
Kereta kuda yang membawa mimpi buruk Felen telah sampai di depan gerbang, dan tinggal menunggu waktu untuk berhenti tepat di depan ia berdiri saat ini. Kereta kuda tersebut mengantarkan Abelard, calon penerus Barend. Anak laki-laki yang mungkin akan merebut semua perhatian Barend darinya.Barend bahkan dengan sengaja memerintah Felen untuk ikut menunggu kedatangan Abelard. Menolak pun percuma karena perintah ayahnya itu mutlak. Entah niat apa yang dimiliki Barend dengan melakukan hal seperti ini.Tidak lama, seperti dugaan Felen, kereta kuda yang membawa Abelard berhenti di depan pintu. Saat pintu dibuka oleh kepala pelayan, seorang anak laki-laki yang tingginya tidak berbeda jauh dengan Felen, melangkah keluar. Barend yang berada di samping Felen maju ke depan seraya merentangkan kedua lengan untuk menyambut kedatangan Abelard."Abelard, anak kandungku sekaligus pewarisku," ucap Barend lantang. Seolah sengaja menyindir Felen yang dikabarkan merupakan anak haram
Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat."Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan."Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi."Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.Perlahan Felen membalikkan tub
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha