This is a work of fiction.
The following story is purely fictional, and the plot is not to be associated with actual historical records.Names, characters, businesses, places, events and incidents are either the products of the author's imagination or used in a fictitious manner.
Any resembles to actual person, living or dead, or actual events is purely coicidental.***
Warnings:
Sexual Themes
Character Death(s)
Moderate Violance and Gore
***
Sesosok mahluk bertanduk kambing dengan sayap hitam di punggungnya tengah duduk nyaman di peraduan. Tubuh telanjang mahluk itu hanya ditutupi sehelai kain tipis di bagian pinggang.
Di kedua sisinya, dua succubus tengah menggerayangi tubuh maskulinnya yang kekar. Namun sosok tersebut terlihat tidak peduli, dan larut dalam lamunan sembari menyesap cairan merah dari gelas emas.
"Kau terlihat bosan, My Lord," ucap salah satu succubus tersebut.
"Hm," gumamnya malas. Sosok tersebut memang tengah dilanda kebosanan yang tiada akhir. Kehidupannya terasa monoton, dan tidak menarik sama sekali beberapa ribu tahun ini. Ia membutuhkan hiburan demi mengisi kejenuhannya.
"Tidak adakah yang bisa menghiburku?" Sosok itu mendesah, berharap hal menyenangkan menghampirinya.
"Bagaimana kalau kau bermain denganku, My Lord? Aku menyerahkan diriku agar kau bisa bersenang-senang, My Lord." Succubus di sisi kanan mendekatkan dirinya pada sosok tersebut.
Seringai tipis terbit di wajah rupawan sosok itu. "Hm, kemari lah. Buat diriku senang. Aku akan memusnahkanmu kalau kau tidak bisa memuaskanku, mengerti?" Tatapan keji dihadiahkan pada succubus di hadapannya.
"Ah~ Yes, My Lord." Tubuh succubus itu bergetar merasakan tatapan keji berbalut gairah dari sosok yang menjadi tuannya tersebut. Ia menaiki sosok itu, dan mulai meliukkan tubuh.
Succubus tersebut membiarkan sesuatu yang keras milik tuannya itu berada di dalamnya. Terbenam di titik yang paling dirinya inginkan. Ia menggigil ketika merasakan nikmat menghantam tubuhnya. Energi tuannya yang ia terima terlalu kuat dan gelap, namun terasa manis dan menyegarkan hingga membuat kepalanya pening.
"Ah~ My Lord~"
Succubus lain yang sejak tadi hanya memerhatikan sembari memainkan kain tipis milik tuannya, mulai terpengaruh oleh permainan kedua mahluk itu. Tubuhnya memanas dan menginginkan hal yang sama seperti temannya.
"My Lord," ucap succubus itu dengan wajah memelas.
"Kemari."
Perintah sosok tersebut segera dilakukan oleh succubus itu. Ia mendekatkan tubuhnya pada tubuh kekar sang lord, meraba dan menyentuh tubuh itu dengan gerakan sensual. Bibirnya menyusuri kulit kecoklatan yang berpendar keemasan itu sembari memberikan kecupan ringan di setiap inchinya.
"Teruskan." Sosok itu menggeram dan melenguh ketika merasakan dirinya akan meledak.
Kedua succubus yang menggerayangi tubuh sosok tersebut semakin bersemangat memberikan kenikmatan pada tuannya. Tubuh sosok itu yang kini dibasahi oleh peluh, berkilat menggoda di keremangan sinar parafin-- membuat para succubus itu bergetar menunggu pelepasan tuannya.
"Ah~ Ampun, My Lord." Succubus yang tengah bergerak tepat di atas tubuh sosok tersebut menjerit memohon ampun ketika energi yang besar dialirkan ke dalam tubuhnya. Meski terdengar seperti kesakitan, wajah succubus tersebut menunjukkan kenikmatan dan kepuasaan yang membuatnya merasa di surga. Tempat yang tidak akan pernah ia injakkan kaki.
Sosok itu menyeringai sembari menjilat bibir merah gelapnya. Matanya berkilat ketika merasakan hasratnya semakin menggebu.
"Lagi. Puaskan aku lagi."
Satu succubus yang belum mendapatkan tembakkan energi dari sosok tersebut memposisikan dirinya. Ia memasukkan milik tuannya yang masih keras itu ke dalam tubuhnya.
"Ah~ My Lord." Succubus tersebut mendesah ketika aliran seperti listrik menyengat di inti tubuhnya. Ia mulai bergerak naik turun demi meresapi energi tuannya.
Ketika tengah menikmati permainan succubus tersebut, tiba-tiba saja sosok itu merasakan kekuatan besar dari dunia manusia yang berada di bawah kekuasaannya. Keningnya mengernyit, tetapi ujung bibirnya tertarik ke atas.
Sosok tersebut segera menyelesaikan permainan, dan membiarkan energi miliknya menghantam kuat ke dalam tubuh succubus itu. Lalu, tanpa menunggu lagi ia segera bangkit, dan menyingkirkan dua succubus di sisinya yang kelelahan setelah melayani nafsunya.
Dalam sekejap sosok tersebut sudah berpindah tempat ke dunia manusia. Jubah hitamnya berkibar angkuh tertiup oleh angin. Posisinya yang berada di atap gedung tinggi membuat sosok itu dengan mudah memperhatikan sekeliling. Seulas senyum lebar terbit ketika melihat buruannya tertangkap mata.
Lagi, sosok tersebut menggunakan kekuatan teleportasinya. Saat ini ia sudah berdiri tenang di ujung ruangan. Selain dirinya, terdapat tiga manusia dan satu malaikat di dalam sana.
Perhatian sosok itu sepenuhnya tertuju pada bayi mungil yang tengah menatap kagum ke arah malaikat dengan sayap putih bersih di punggungnya. Malaikat tersebut menyerahkan setangkai bunga Lili di samping kepala bayi itu.
"Hm ... ? Tidak biasanya Gabriel turun langsung seperti ini."
"Dan apa yang kau lakukan di sini, Lucifer?"
Malaikat tersebut tiba-tiba muncul begitu saja di depan sosok bernama Lucifer tersebut.
"Aku lebih suka dipanggil Leon daripada Lucifer."
"Aku tidak peduli, Lucifer."
"Untuk ukuran sesosok malaikat, kau terlalu menyebalkan, Gabriel."
Gabriel berdecih malas. "Apa yang kau lakukan di sini, Iblis?" tanyanya.
"Hanya berkunjung."
"Kau bukan jenis iblis yang datang hanya untuk berkunjung."
"Ah ... kau benar." Leon tersenyum tipis.
"Aku datang karena bayi itu. Jiwanya terlalu bersih, putih dan bercahaya, dan itu menyebalkan." Tunjuk Leon pada bayi mungil di depannya. Wajah iblis itu berubah gelap dan suram ketika mengatakan kalimat itu.
"Aku tidak peduli."
"Kau ... ternyata memang sangat menyebalkan. Lebih menyebalkan daripada Raphael dan Michael."
Wush.
Pedang panjang dengan hiasan bunga Lili di gagangnya terhunus di leher Leon. Darah hitam mengalir dari luka sabet pedang tersebut. Leon menanggapinya dengan biasa. Ia tidak terpengaruh oleh sikap tidak sopan yang ditunjukan Gabriel padanya.
"Berani sekali kau memanggil para Archangel hanya dengan namanya." Gabriel mendesis tidak suka.
Leon menyingkirkan mata pedang yang masih terarah padanya dengan mudah. Hanya satu jentikan jari, dan Gabriel terdorong cukup jauh darinya.
"Hati-hati, Anak Muda," ucapnya tenang dengan nada tajam syarat akan peringatan. Tangan Leon mengibas ringan seolah menghilangkan debu tak kasat mata dari tubuhnya.
Tidak ingin memancing keributan yang lebih besar, Gabriel segera pergi dari sana setelah mendapat panggilan telepati dari Archangel Michael. Tanpa pamit atau kata perpisahan, malaikat itu meninggalkan Leon dan ketiga manusia yang tidak menyadari kehadirannya tersebut.
"Dasar! Tidak ada sopan santun."
Langkah Leon semakin mendekat ke arah bayi mungil yang tengah menggenggam bunga Lili di tangannya. Bunga yang melambangkan jiwa suci.
Tangan mungil bayi tersebut mencoba meraih jemari Leon, tetapi pria itu tidak membiarkannya. Akan sangat berbahaya untuknya mendekati bayi murni yang baru lahir, apalagi dengan semua berkat yang diterima dari Sang Pencipta.
"Kita akan bertemu lagi suatu saat nanti, Bayi Mungil."
Walaupun sebenarnya Leon sangat tergoda untuk segera mengotori jiwa suci bayi itu. Namun bukan sekarang waktunya. Ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan sekarang. Pandangan Leon jatuh pada ayah si bayi yang berada di samping kanan. Ia menyeringai lebar ketika melihat titik hitam besar yang berada dalam jiwa pria itu.
"Ah ... manusia itu mulai jatuh dalam kegelapan."
Lalu, dimulailah bujuk rayuan dan bisikan-bisakan manis yang terus dilancarkan oleh Leon pada ayah si bayi suci, Barend. Sampai berada di titik di mana pria itu percaya bahwa bayi kecilnya bukan lah putri kandungnya.
Secara tidak langsung, Leon ikut andil membuat Barend memiliki keinginan untuk menghabisi istri dan putri kandungnya sendiri. Ia juga menanamkan benih keangkuhan, membiarkan pria bodoh itu mempercayai bahwa dirinya tidak membutuhkan kemurahan hati Sang Pencipta.
"Manusia memang mahluk rapuh yang mengerikan," gumamnya penuh kemenangan.
***
Keributan besar itu terjadi di pagi hari di mana hujan lebat tengah mengguyur dengan derasnya. Barend dan Aghnya bertengkar hebat hingga beberapa ornamen jatuh pecah di lantai. Ia tidak mengetahui alasan yang melatar belakangi pertengkaran orang tuanya tersebut.Namun, Felen yang menguping pembicaraan para pelayan akhirnya memahami kalau Barend dan Aghnya tengah meributkan tentang dirinya. Barend bersikeras bahwa Felen tidak mungkin menjadi kepala keluarga karena ia seorang perempuan, tetapi Aghnya tidak terima dan bersikeras untuk menjadikan Felen satu-satunya pewaris keluarga."Lalu kau mau bagaimana? Kau hanya memiliki satu anak saja, Barend!" teriak Aghnya frustrasi.Barend yang tidak terima karena Aghnya berteriak keras padanya ikut membalas dengan berteriak. "Jaga nada bicaramu, Aghnya! Siapa bilang aku hanya memiliki satu anak?" Senyum pongah tersemat di bibir Barend." ... A-apa maksudmu?" Kedua bola mata Aghnya membesar ketika mendengar kalimat B
Kereta kuda yang membawa mimpi buruk Felen telah sampai di depan gerbang, dan tinggal menunggu waktu untuk berhenti tepat di depan ia berdiri saat ini. Kereta kuda tersebut mengantarkan Abelard, calon penerus Barend. Anak laki-laki yang mungkin akan merebut semua perhatian Barend darinya.Barend bahkan dengan sengaja memerintah Felen untuk ikut menunggu kedatangan Abelard. Menolak pun percuma karena perintah ayahnya itu mutlak. Entah niat apa yang dimiliki Barend dengan melakukan hal seperti ini.Tidak lama, seperti dugaan Felen, kereta kuda yang membawa Abelard berhenti di depan pintu. Saat pintu dibuka oleh kepala pelayan, seorang anak laki-laki yang tingginya tidak berbeda jauh dengan Felen, melangkah keluar. Barend yang berada di samping Felen maju ke depan seraya merentangkan kedua lengan untuk menyambut kedatangan Abelard."Abelard, anak kandungku sekaligus pewarisku," ucap Barend lantang. Seolah sengaja menyindir Felen yang dikabarkan merupakan anak haram
Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat."Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan."Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi."Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.Perlahan Felen membalikkan tub
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi