Share

9. Kekejaman Iblis

Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.

Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.

Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya.

"Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi pemandangan menarik oleh Felen.

Felen menyilangkan lengannya di bagian payudara, dan beringsut mundur ketika Leon melangkah mendekat. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan!" sahutnya cepat dengan tatapan awas. Leon tersenyum miring melihat itu.

"Aku tidak keberatan dengan yang kau pikirkan, Milady," balas Leon tak kalah cepat.

"Stop di sana!" Felen berseru tegas, tetapi Leon tidak mengindahkannya sama sekali, membuat Felen kembali mundur dengan cepat.

Brak.

Tubuh gadis itu membentur kaca di belakang. Ia tidak bisa lagi melarikan diri ketika Leon kini sudah berdiri menjulang angkuh dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

"Tenanglah. Kau seperti melihat setan saja." Leon tertawa pelan melihat ketakutan di mata calon pengantinnya. Lengan Leon terulur ke arah Felen, dan sebuah jubah besar yang entah muncul dari mana melingkupi tubuh telanjang Felen. Kemudian, ia menepuk pelan puncak kepala Felen sekali lalu mundur dan melangkah ke ranjang. Leon duduk di sana dengan memangku tangan. Sedangkan Felen masih terdiam dengan tubuh kaku. Tidak menyangka dengan tindakan manis Leon.

Kelopak mata Felen mengerjap beberapa kali. Kalau dirinya melupakan identitas asli Leon, sudah dipastikan ia akan jatuh dalam pesona iblis itu. Figur wajah pria itu yang rupawan, terlalu memikat. Proporsi badan yang gagah dengan dada liat yang keras dan otot perut yang kencang, hampir membuat Felen lupa diri dan menyentuhkan telapak tangannya di sana. Yang pasti sosok Leon adalah bahaya terbesar bagi kaum wanita. 

"Kau ‘kan memang setan. Ah tidak ... iblis." Felen bergumam amat pelan setelah sadar dari keterpakuannya. Tentu Leon bisa mendengar gumam gadis itu. 

"Benar. Aku memang iblis," ucap Leon bangga.

Felen berdecak. "Apa yang sudah kau lakukan padaku dan kenapa muncul tanda seperti ini?" desisnya menuntut sembari menunjukkan sedikit ukiran di dadanya.

"Itu tanda kalau kau adalah calon pengantinku. Aku akan memperkenalkan diriku sekali lagi. Aku Lucifer, The Avatar of Pride, The Lord of Corruption. Salah satu dari The Seven Lords from Hell." Suara Leon terdengar tegas.

"Selamat karena telah terjebak denganku, Felenia," lanjutnya dengan senyum miring.

Belum sempat Felen mendebat ucapan Leon, seseorang mengetuk pintu. Lalu, para Bunny putih memasuki kamar dengan membawa banyak gaun ditemani oleh Adrien di belakang. Gaun-gaun tersebut tersusun rapi di gantungan beroda. Warnanya cantik. Sebagai seorang perempuan, Felen menyukai keindahan gaun-gaun itu. Apalagi saat di manor dulu, ia hanya mengenakan gaun polos dengan warna pudar karena yang Barend sediakan memang hanya itu saja.

"Kau menyukainya?" Tiba-tiba saja Leon sudah ada di sampingnya. Berbisik mesra. Felen berbalik dan menghindari dari kungkungan tubuh pria itu. Ia menggosok telinganya yang merinding karena tersentuh oleh bibir Leon.

"He~ ternyata kau sangat sensitif."

"Tidak!" Felen menyahut gusar.

"Tidak apa-apa. Aku menyukainya."

Mata Felen mendelik jijik mendengar ucapan penuh makna tersebut. Kejadian semalam saja sudah cukup membuat ia harus menjaga jarak dari iblis itu. Tidak boleh ada kejadian yang lain demi mempertahankan kewarasannya.

‘Ah, begitu bodoh dirinya karena terbujuk rayuan Leon si iblis tampan namun berbisa itu,’ batin Felen menyesal.

"Benar. Kau begitu bodoh."

"Eh ... ?" Felen terperanjat, dan menatap horor ke arah Leon.

"Dan aku memang tampan."

"Kau bisa membaca pikiranku?" tanya Felen tercekat.

"Entahlah. Cepat ganti pakaianmu. Kita akan berjalan-jalan sebentar di kastilku."

Setelah mengatakan itu, Leon menghilang begitu saja. Adrien yang sejak tadi hanya memerhatikan, menyodorkan gaun perpaduan biru putih berenda. Lengkap dengan sepatu dan aksesorinya.

"Ini gaun Anda, Milady. Para Bunny akan membantu Anda untuk bersiap."

"Te-terima kasih." Felen menjawab gugup. Tatapannya jatuh ke arah telinga dan ekor pelayan itu. 

"Kalau begitu saya permisi." Sama seperti tuannya, Adrien menghilang begitu saja di depan mata. Seperti debu yang terhempas angin. Tidak meninggalkan jejak, tetapi memberikan perasaan tidak nyaman.

"Tidak bisakkah mereka pergi dengan cara normal?" Kepala Felen menggeleng pelan.

Lalu, para Bunny membantu Felen untuk mandi dan berpakaian. Setelahnya, ia mematut diri di cermin, mengagumi penampilannya yang tampak sangat manis. Gaun biru putih itu jatuh dengan lembut di tubuh rampingnya yang berlekuk. Terasa halus dan nyaman untuk dipakai. Sepasang sepatu biru dengan kaus kaki berenda juga sudah tersemat di kedua kakinya. Ditambah aksesoris kepala berbentuk seperti bando dengan hiasan tanduk rusa di kedua sisi semakin mempermanis dirinya. 

Kepala Felen miring ke kanan. "Kenapa harus tanduk rusa?" gumamnya pelan.

"Nona, Tuan sudah menunggu di luar."

Suara halus dan pelan bernada lembut tersebut keluar dari salah satu Bunny yang berada dekat dengan Felen. Mata gadis itu mengerjap beberapa kali. "Kau ... bisa berbicara?" tanyanya tidak percaya. Padahal Felen berpikir mereka tidak bisa berbicara.

"Tentu saja, Nona." Paw mungil milik Bunny itu menggenggam ibu jari Felen, menuntunnya untuk keluar dari kamar. Mereka berjalan berdampingan ke arah Leon yang tengah bersandar dengan tangan bersedekap di lorong. Mata pria itu terpejam erat. Ketika Felen sudah berdiri di sampingnya, kelopak mata Leon langsung terbuka, menampilkan iris abunya yang menyorot dingin.

"Kau lama sekali, Milady."

Felen tidak merasa perlu untuk menanggapi pernyataan Leon. Lagi pula, pikirannya masih penuh oleh ucapan Leon sebelumnya yang mengatakan kalau sekarang dirinya adalah calon pengantin pria itu. Felen belum memahami alasan kenapa Leon perlu mengikatnya menjadi pengantin.

"Pergilah," usirnya pada Bunny yang menemani Felen. Bunny itu membungkuk hormat dan berlalu pergi.

Leon mendekat dan berdiri di depan Felen yang memilih melihat ke luar jendela. Tidak berani menatap ke dalam mata Leon yang dirasa bisa membuatnya tenggelam dalam kubangan dosa. Melihat sikap Felen yang seperti itu, Leon tersenyum tipis.

"Kau sangat memesona dengan gaun itu, Milady." Leon memuji Felen sembari memindai keseluruhan penampilan gadis itu dari ujung kepala sampai kaki. Ia menjilat bibirnya sensual. Tergoda. Felen yang berpakaian tertutup terlihat jauh lebih menggoda untuknya. Leon merasakan darahnya berdesir mendamba.

Kaki Felen mundur satu langkah ke belakang. Instingnya mengatakan ia harus menjauh. Aura pekat yang dikeluarkan terlihat Leon berbahaya. Hampir serupa seperti malam ketika dirinya disiksa dengan suara tawa Leon yang menemani. Hanya dengan mengingatnya saja, tubuh Felen menggigil. Namun, ia mencoba untuk tidak terlihat ketakutan. Tidak ingin membuat Leon berada di atas angin.

Satu hal yang Felen mengerti dari kejadian itu adalah Leon senang melihatnya tersiksa dan menderita. Iblis yang penuh kemisteriusan itu melihat Felen sebagai objek yang mampu menghilangkan kebosanan.

"Ayo, aku akan menunjukkanmu sekitar kastilku." Leon mengulurkan lengannya selayaknya pria sejati yang meminta izin untuk menggenggam tangan pasangannya. Felen yang enggan menyambut, mengabaikan hal itu dan berjalan melewati Leon.

"Kita tidak perlu bergandengan tangan hanya untuk berjalan-jalan di sekitar kastilmu, bukan?"

Alis Leon terangkat sebelah. Ia lalu mengendikan bahunya tidak peduli, dan mengikuti Felen yang sudah berjalan lebih dahulu.

"Dan aku bukan anak kecil yang perlu digandeng!" ketus Felen tidak terima. Leon menutup mulut dengan punggung tangan, menahan semburan tawanya.

"Ya, Milady. Kau seorang wanita dewasa."

Setelahnya, keheningan tercipta. Yang satu kalut dengan pemikirannya, dan yang satu lagi terlena dengan rencana busuk. Felen yang mulai merasa tidak nyaman, akhirnya bersuara.

"Kenapa kita harus berkeliling seperti ini?" Rasa-rasanya kegiatan yang mereka lakukan hanya membuang waktu.

"Setidaknya kau harus mengenali tempat tinggalmu sendiri, bukan?"

Seketika Felen menyadari kalau dirinya mungkin akan tinggal di kastil Leon untuk waktu yang sangat lama. Nada pria itu menunjukkannya dengan sangat jelas. Kini pikirannya semakin kalut. Terjebak dengan Leon bukan hal yang bagus. Kalau bisa, ia ingin pergi dari sini, dan melupakan segalanya.

"Kau ... apa?" Leon mendesis marah.

"Hm?" Felen ikut berhenti ketika Leon tiba-tiba terpaku di tempat. Mata pria itu menatap nyalang. Tanpa Felen sadari, Leon sudah berada sangat dekat dengannya. Lengan kekar pria itu langsung mencekik kuat leher Felen, dan mengangkat tubuh gadis itu ke atas. 

Tenggorokan Felen terasa sakit dan remuk. Tangannya memukul-mukul lengan pria itu, dan kakinya menendang-nendang mencoba mencari pijakan. Ia kesulitan bernapas karena oksigen yang masuk ke paru-parunya berkurang, dan membuat mata Felenmulai berkunang-kunang.

Sesaat sebelum Felen merasa nyawanya menghilang dari tubuh , Leon melemparkan tubuhnya ke luar jendela, dan membuat kaca tersebut pecah kaca berhamburan. Suara pecahan tersebut sangat memekakkan telinga. Felen rasanya ingin berteriak ketika rasa sakit yang amat menyakitkan terasa di seluruh tubuh. Namun, napasnya yang tercekat membuat suara hanya tertahan di tenggorokan. Adrenalin gadis itu berpacu ketika merasakan dirinya terjun bebas. Matanya menatap nyalang ke atas, ke langit gelap yang mulai menurunkan salju putih yang terlihat sangat lembut.

Ketika Felen merasakan kepala belakangnya hancur, dan semua tulang patah dengan posisi mengerikan, siluet tubuh Leon dengan sayap yang terbentang lebar terlihat disisa kesadaran. Ia terbatuk mengeluarkan darah segar. Rasanya luar biasa menyakitkan. Hanya menggerakkan jari saja terasa sangat sulit untuk Felen. Tanpa sadar cairan bening sudah mengalir deras di ujung mata.

Leon terbang rendah di dekat tubuh Felen yang terbujur kaku. Wajahnya menampilkan ekspresi datar. "Itu hukuman untukmu karena berpikir ingin melupakan segalanya," ucapnya sinis.

Bahkan ketika darah segar mulai merembes mengotori putihnya salju di sekitar, Leon tidak berniat menolong Felen yang berada diambang kematian. Sekarat karena perbuatan kejamnya. Leon justru tersenyum senang melihat penderitaan gadis itu. Tubuh bagian bawahnya langsung mengeras tanpa tahu malu.

"Jangan berpikiran seperti itu lagi, atau aku akan semakin menyiksamu, Pengantinku." Leon merunduk, dan mengecup mesra bibir Felen yang mulai membiru. Dijilatnya darah di sekitar dagu gadis itu.

Sebelum kegelapan merenggutnya, pemikiran biadab timbul di hati Felen. Ia mengutuk kedua orang tuanya. Ia mengutuk Sang Pencipta. Dan, ia mengutuk Leon. Perlahan kebencian mulai bersemayam dalam dirinya, mengotori jiwa bersih dan sucinya dengan titik hitam yang pekat.

Leon menyeringai lebar. "Benar. Terus seperti itu sayang. Buat jiwamu semakin gelap." Sayap hitam Leon mengepak kuat. Kepalanya menengadah ke atas, merasakan dingin salju di wajahnya. "Ah ... sayang. Kau begitu menggairahkan." Leon menggeram keras. Tangannya turun ke pangkal paha, meremas miliknya kuat.

"Manusia memang rapuh," gumam Leon senang.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
semakin tesiksa Felen, semakin bahagia Leon
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status