SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption.
"Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.
Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya.
"Angkat kepalamu."
Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya.
"Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.
Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
"Jadi maksudmu, aku harus memasukkan dia ke Sekolah Iblis?" Setelah hening sesaat, Leon akhirnya menanggapi.
"Benar, My Lord."
Jari telunjuk Leon mengetuk lembut sandaran tangan singgasananya. Sesekali kening iblis itu mengernyit ketika berbagai skenario di dalam pikiran memainkan peran. Lalu, setelah beberapa menit berlalu, Leon memberikan jawaban yang memuaskan bagi Alair.
"Baiklah akan kupikirkan, kalian boleh pergi."
Kepergian para orang kepercayaannya membuat Leon kembali berpikir tentang usulan Alair. Menurutnya, yang disampaikan Alair tidak salah. Felen memang membutuhkan pengetahuan tentang Devil Reign sebelum resmi menjadi pengantinnya, dan cara paling efektif adalah bersekolah.
Pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan.
Namun, membiarkan Felen bersekolah berarti mengundurkan tahap peresmian gadis itu untuk menjadi calon pengantinnya. Leon tidak terlalu menyukai gagasan tersebut. Padahal ia sangat menantikan untuk bercinta dengan Felen, dan mengotori energi suci dalam diri gadis manusia itu dengan gelap nan kelam energi miliknya.
Lalu, ada beberapa hal yang Leon cukup khawatirkan. Termasuk, bisakah Felen bertahan di kelilingi berbagai macam makhluk, bukan hanya iblis saja. Apalagi satu-satunya sekolah yang ada di Devil Reign adalah milik saudaranya, Asmodeus. Saudara sekaligus bawahan setianya itu pasti setidaknya sekali saja ingin bermain-main dengan Felen untuk menghakimi pantas tidaknya gadis itu untuk menjadi pengantinnya.
Leon tidak ingin pengantinnya disakiti, apalagi dilukai oleh iblis lain yang mungkin memiliki dendam dan obsesi tersendiri padanya. Cukup dirinya saja yang boleh menghancurkan Felen hingga hancur berkeping-keping.
Namun, bayangan Felen yang menangis dan berteriak ketakutan hingga gadis itu tidak memiliki pilihan selain meminta tolong padanya, membuat gairah dalam diri Leon membuncah dengan kegilaan yang terpatik sempurna. Leon menyeringai lebar sembari menjilat sensual bibir merah gelapnya.
***
Felen terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya dibanjiri oleh peluh yang membuat kulitnya terasa lengket dan tidak nyaman. Mata gadis itu menatap nyalang ke setiap sudut kamar yang terlihat kosong. Tidak ada siapa pun di sana selain dirinya sendiri.Nyawa Felen yang belum terkumpul sepenuhnya membuat gadis itu menatap nyalang sekeliling kamar. Ia merasa was-was dengan keadaan sekitar. Lalu, setelah kesadarannya mulai pulih, Felen langsung memeriksa kondisi seluruh anggota tubuhnya. Mulai dari kaki, lengan, tubuh bagian atas, dan kepala.
"Masih utuh ... dan tidak ada luka ... " gumamnya tidak percaya. Terselip nada syukur di sana.
Tanpa sadar Felen menggigil ketakutan. Dua kali ia merasa kematian menjemput, dan dua kali juga ia terbangun dalam keadaan masih bernapas dengan tubuh utuh tanpa lecet yang menyisakan ngeri.
"Iblis jahanam!" umpatnya benci.
"Sepertinya kau sudah sehat, Felenia."
Suara tersebut terdengar dari balik kegelapan di sudut kamar. Felen memerhatikan ke arah sana dengan mata menyipit waspada. Perlahan siluet hitam mulai muncul dari bayang-bayang. Kemudian, ketika siluet tersebut mulai melangkah semakin dekat, seraut wajah di baliknya mulai terlihat dengan bantuan cahaya parafin.
"Leon ... " Felen menggeram berang.
"Hallo~" sapa Leon girang dengan tawa renyah yang memuakkan.
"Woah ... ! Tatapan matamu sudah mulai berubah, eh?" Ucapannya kentara sekali dengan nada mencemooh, tetapi Felen tidak memiliki niatan untuk membalas walau emosinya sudah terasa panas membara.
"Kau tidur selama dua hari dua malam. Aku kira kau akan mati." Leon menampilkan ekspresi muram yang dibuat-buat.
"Dan kau pikir salah siapa ini semua?" Felen bertanya tenang namun tajam.
"Tentu saja salahmu. Kau tidak boleh menjadikanku kambing hitamkan, Felenia."
Felen memutar bola matanya malas.
"Yang aku tahu wujudmu ‘kan memang kambing hitam."
Leon tertawa senang ketika Felen terus saja membalas ucapannya dengan kalimat-kalimat menyebalkan yang memang sesuai kenyataan.
"Untuk hal itu aku tidak bisa mengingkarinya~"
Felen tidak menyahut ucapan Leon. Matanya menatap tajam pria itu, lebih tepatnya ia tengah mengamati Leon. Sedangkan Leon yang ditatap intens seperti itu masih tetap tenang, dan tidak terganggu sama sekali. Ia justru menikmatinya, dan menginginkan Felen untuk memerhatikannya lebih lekat lagi.
"Kau heran dengan dirimu sendiri, eh?"
Ucapan Leon menyentak Felen dari keterdiamannya. Tebakan iblis itu tepat sasaran. Sedari tadi Felen memang merasa tidak mengerti tentang dirinya sendiri.
Kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan rumit yang tiba-tiba muncul memenuhi kepala. Salah satunya adalah ‘Bagaimana bisa ia masih bisa bersikap tenang di hadapan iblis yang hampir merenggut nyawanya?’
Padahal saat terbangun tadi, ia merasakan ketakutan yang amat sangat besar hingga tubuhnya bergetar hebat. Tetapi, sesaat kemudian perasaan itu hilang begitu saja, seolah tidak ada sedari awal, dan hal itu justru menakutinya lebih daripada berhadapan dengan Leon.
Tarikan napas panjang dilakukan gadis manusia itu.
"Berhenti mengintip pikiranku!" Felen berkata tegas. Sorot matanya tampak mengancam.
"He~ Kau sudah berani mengancamku?" tanya Leon tertarik. "Yah, aku tidak keberatan dengan kau yang seperti ini. Justru aku senang dengan keberanianmu," lanjutnya.
"Akan sangat membosankan kalau kau hanya bersembunyi ketakutan."
Felen berdecak pelan. Leon yang melihat itu melangkah semakin dekat ke arah Felen, memperpendek jarak di antara keduanya. Felen ingin mundur dan menjauh, tetapi kakinya terpaku serta sulit untuk digerakkan dari tempatnya.
"Diam di sana, Milady. Jangan memaksakan diri untuk bergerak, atau kau hanya akan melukai dirimu sendiri."
Peringatan Leon menyadarkan Felen kalau ia tengah dimantrai. Felen mendesis tidak terima. Sederet sumpah serapah siap dilayangkan, namun jari telunjuk Leon yang menempel di bibir menghentikan Felen.
"Sssstttt ... kau tidak boleh mengumpat. D.O.S.A," lontar Leon dengan wajah serius yang tentunya dibuat-buat.
Fokus Felen terbagi antara ucapan Leon, dan taring yang mencuat di balik bibir pria itu. Entah kenapa taring tersebut sangat menarik perhatiannya. Tinggi Felen yang hanya sebatas dada Leon membuat kepalanya harus terus menengadah demi bisa mengamati dengan lebih jelas.Dengan sengaja Leon membuka mulutnya, membiarkan Felen menyentuh gigi taringnya dengan jemari lentik gadis itu.
"Kau menyukai taringku?" Suara rendah Leon membuat jantung Felen berdebar. Tatapan pria itu yang melihat tepat pada matanya menambah kegugupan Felen. Namun, ia tidak mengurungkan niat untuk mendaratkan ujung telunjuknya di taring Leon.
"Kau kan iblis, kenapa memiliki taring?" tanya Felen penasaran.
"Hmm ... entahlah, menurutmu?" Leon bertanya balik.
Lalu tanpa diduga, Leon menancapkan taringnya di telapak tangan Felen. Ia meresapi tekstur kulit dan daging gadis itu yang robek sedikit demi sedikit.
"Shhh ..." Felen meringis ketika darah segar mulai mengalir dari luka tersebut.
"Apa yang kau lakukan?" pekik gadis itu panik sembari mencoba melepaskan lengannya yang digenggam erat oleh Leon. Hampir terasa meremukkan tulang.
Tubuh Felen lunglai. Sengatan panas menjalar ke seluruh tubuh ketika Leon menghisap darah dari lukanya. Tenaga gadis manusia itu terkuras. Hanya untuk berdiri tegak pun ia tidak mampu. Kalau Leon tidak menahannya, Felen sudah dipastikan terjerembap ke lantai.
Di ambang batas kesadaran, Felen merasakan tubuhnya melayang dan jatuh ke atas ranjang yang empuk. Walau pandangannya mengabur, Felen masih bisa melihat Leon yang berada di depannya.
"Buka mulutmu," perintah Leon tegas.
Felen menuruti dengan patuh. Ia membuka mulutnya. Setelahnya Felen merasakan benda lembut dan basah di bibirnya, dan sebuah energi yang berasal dari Leon mulai masuk ke dalam tubuhnya. Bibir Felen meraup rakus, seolah hidupnya bergantung pada energi itu. Lalu, kedua lengannya mengalung erat di leher Leon.
Sepersekian detik kemudian, Leon lebih dulu melepaskan tautan mereka. Jejak saliva terlihat di sekitar bibir pria itu, menandakan betapa ganas Felen ‘menghajarnya.’
"Kau ternyata lebih agresif dari yang kukira."
Wajah Felen tersipu mendengar pujian Leon. Tubuh mereka yang hampir tak berjarak, semakin memperparah rona merah di pipinya. Dengan sekuat tenaga Felen mendorong Leon untuk menjauh, namun pria itu enggan bergeser dari posisinya-- justru semakin menempel erat.
"Hei ... " panggil Leon.
"Apa?" Felen menjawab ketus.
Sebelah alis Leon naik ke atas. Entah pria itu sadar atau tidak, tangannya mengelus lembut kepala Felen.
"Mulai besok kau akan masuk ke sekolah para iblis," tandasnya.
"Sekolah para iblis?"
"Benar, untuk sekarang lebih baik kau tidur." Leon menyapukan jemarinya ke kelopak mata Felen. Gadis itu seketika tertidur damai. Tertarik oleh kegelapan dalam dirinya.
"Have a nightmare," pungkas Leon dengan kekeh pelan.
***
SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan."Salam, Your Majesty." Suara berat bernada
PAKAIAN Felen yang berbeda dari siswa lainnya membuat gadis itu terlihat mencolok. Mantel putih yang ia pakai sangat kontras dengan seragam siswa Academy of אשמדאי (Ashmedai) yang berwarna hitam legam.Untuk beberapa alasan, Felen menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena pakaian saja, tetapi karena iblis yang menjalin kontrak dengannya adalah Lucifer-- iblis terkuat yang saat ini memiliki pangkat paling tinggi, dan berkuasa di dunia kegelapan di mana para iblis hidup dan tinggal layaknya manusia. Terlebih ia juga merupakan calon pengantin resmi yang dipilih Leon.Lucifer adalah raja dari para raja iblis.Fakta tersebut membuat para makhluk itu penasaran dengan alasan yang berbeda-beda.Salah satunya adalah iblis wanita berambut emas yang saat ini tengah memerhatikan Felen. Matanya tidak sedikit pun beralih ketika mengamati setiap gerak-gerak gadis itu, bahkan gerakan kecil seperti ketukan jari sekali pun."Sebaiknya kau jangan berani bermai
Forest of Wonders adalah hutan terbesar dan terluas di dunia iblis. Hutan ini berbeda dengan hutan lain yang berada di dunia iblis. Selain ukuran dan luasnya, tidak ada yang mengetahui kehidupan dan makhluk seperti apa saja yang tinggal di sana. Hanya segelintir iblis bangsawan dengan kekuatan tinggi yang mengetahui rahasia di balik Forest of Wonders.Hutan ini sangat berbahaya. Terutama untuk manusia, makhluk selain iblis, dan iblis berkekuatan rendah. Hutan terlarang adalah julukan yang tepat karena setiap makhluk yang memasuki Forest of Wonders selalu melihat hal yang berbeda. Hal itu lah yang membuat hutan tersebut berbahaya.Hutan itu menyesatkan. Sama seperti sifat iblis yang sering menyesatkan.The Forest of Wonders only brings despair.Begitu lah penjelasan singkat yang tertulis di dalam sebuah buku yang ditulis oleh para tetua iblis terdahulu. Buku tersebut tersimpan rapi di salah satu rak di dalam perpustakaan iblis yang berada di jantung kota,
Ketika Leon kembali ke kastilnya, ia bergegas menuju kamar Felen dengan cara masuk melewati balkon kamar. Hal pertama yang menyedot atensi netra keemasannya adalah Felen yang tengah duduk menyandar ke sofa. Meski penampilan gadis itu tampak biasa dengan gaun tidur berwarna putih polos, entah bagaimana di mata Leon, Felen terlihat sangat cantik hingga membuatnya sejenak terpaku menikmati keindahan tersebut."Kau sedang apa di sana?"Suara lembut Felen yang bernada ketus menarik Leon dari keterpakuannya. Pria itu berhasil mengendalikan diri agar tidak terlihat bodoh karena tertangkap basah oleh objek yang tengah ia pandangi."Kau harusnya menyambutku dengan pelukan hangat atau setidaknya kalimat mesra," ucapnya sembari melompat dari pagar pembatas."Kenapa aku harus menyambut orang yang masuk tanpa izin ke kamarku?" Kedua lengan Felen menyilang angkuh." ... Sayangnya aku bukan orang?"Jawaban santai Leon yang berbalut nada tanya mencipt
Udara di Devil Reign terasa semakin dingin. Langit pun berubah mendung dengan awan hitam yang bergelung lembut di langit. Kegelapan seolah melahap langit di tempat itu secara perlahan. Namun, salju yang turun memenuhi setiap sudut kota terlihat sangat kontras dan tumpang tindih. Putih dan hitam yang mencoba bersatu padu itu seperti sebuah lukisan monokrom. Felen memerhatikan semua perubahan tersebut dari atas balkon kamarnya. Pemandangan indah sekaligus mengerikan itu membuat gadis itu takjub. Embusan angin yang mengenai kulit terbukanya terasa panas, pedih dan menusuk. Pun, memberikan sengatan menyakitkan. Seolah partikel-partikel yang terbawa oleh angin itu adalah belati kecil berapi. Gadis itu membuka telapak tangannya untuk merasakan salju putih tersebut. Kemudian, ia berjengit kaget ketika titik kecil salju yang menyentuh telapak tangannya membuat kulit melepuh. "Aku mulai bertanya-tanya, apa kau sebenarnya penikmat masokisme, Felenia?" Suara ser
Malam masih panjang, dan kegilaan para manusia itu masih berlanjut. Namun, Felen yang sudah tidak sanggup menyaksikan semua itu, meminta pada Leon agar membiarkannya keluar dari tempat laknat itu."Leon, aku ingin keluar dari sini," lirih Felen sangat pelan. Cengkeramannya di lengan Leon mengerat tatkala suara desahan, erangan, dan geraman para manusia yang tengah dimabuk oleh kepuasan diri itu semakin membahana."Kumohon ... " Felen menyerah. Ia akhirnya memohon, menurunkan egonya yang meraung tidak terima karena merendahkan diri pada seorang iblis."Baiklah."Felen beruntung karena kali ini Leon tidak menolak keinginannya. Pria itu menahan tubuh Felen yang sedikit limbung. Perutnya yang luar biasa mual membuat pandangan Felen sedikit kabur, dan fokusnya terpecah ruah."Tubuh manusia ternyata memang sangat lemah," ucap Leon yang melihat Felen kesulitan untuk berjalan.Tak Felen tanggapi ejekan Leon yang terang-terangan itu. Ia sudah c
Langit malam telah berganti dengan matahari yang bersinar, dan perjalanan Felen di dunia manusia-- tempat seharusnya ia tinggal, tetapi terasa asing itu belum selesai hanya pada satu tempat saja. Setelah melodrama drama akibat menyaksikan kejadian yang menjadi pengalaman traumatis, Felen kembali dibawa Leon ke tempat yang tidak ia ketahui. Akan tetapi, tidak seperti sebelumnya di mana Leon menggunakan sihir tidak terlihat agar manusia lain tidak menyadari kehadiran mereka berdua, kali ini Leon dan Felen ikut berbaur dengan manusia lainnya. Mereka layaknya sepasang kekasih yang tengah berkencan. Saling perpegangan tangan dengan mesra. Felen hanya mengikuti Leon tanpa banyak berbicara. Ia masih dalam keadaan kalut dan syok. Pikirannya tengah berkelana ke tempat lain. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya nyaris menabrak tiang lampu jalan yang berada tepat di depan hidung. Keadaan sekitar yang ramai dengan lalu lalang manusia juga membuat kepalanya peni
Kehancuran paling berat seorang manusia adalah ketika mereka ditinggalkan dan dikhianati.***"Nah, jadi apa yang ingin kau lakukan, Milady?" Leon bertanya penasaran. Pria itu berdiri di samping Felen, menunggu dengan sabar keputusan yang akan diambil calon pengantinnya itu.Saat ini, mereka berada di sebuah gedung tinggi yang memudahkan untuk melihat keadaan sekitar. Felen yang tengah mengamati dan memerhatikan Barend serta keluarga barunya dari jarak yang cukup jauh, mengabaikan pertanyaan Leon.Benak gadis itu tengah berpikir keras setelah melihat Abelard yang sudah tumbuh dewasa. Anak laki-laki itu tampak sangat mirip dengan Barend muda. Mereka bagai pinang di belah dua. Felen yakin tidak akan ada yang meragukan Abelard sebagai putra Barend meski orang lain mengetahui kalau anak laki-laki itu lahir di daerah kumuh.Pemikiran yang sebelumnya tidak terlintas dalam benak Felen kini muncul ke permukaan.Tanpa sadar Felen melirik ke ara
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te