Kehancuran paling berat seorang manusia adalah ketika mereka ditinggalkan dan dikhianati.
***
"Nah, jadi apa yang ingin kau lakukan, Milady?" Leon bertanya penasaran. Pria itu berdiri di samping Felen, menunggu dengan sabar keputusan yang akan diambil calon pengantinnya itu.
Saat ini, mereka berada di sebuah gedung tinggi yang memudahkan untuk melihat keadaan sekitar. Felen yang tengah mengamati dan memerhatikan Barend serta keluarga barunya dari jarak yang cukup jauh, mengabaikan pertanyaan Leon.
Benak gadis itu tengah berpikir keras setelah melihat Abelard yang sudah tumbuh dewasa. Anak laki-laki itu tampak sangat mirip dengan Barend muda. Mereka bagai pinang di belah dua. Felen yakin tidak akan ada yang meragukan Abelard sebagai putra Barend meski orang lain mengetahui kalau anak laki-laki itu lahir di daerah kumuh.
Pemikiran yang sebelumnya tidak terlintas dalam benak Felen kini muncul ke permukaan.
Tanpa sadar Felen melirik ke ara
Kotak Pandora itu mulai terbuka. Di antara harapan, keputusasaan, dan pemahaman-- manakah yang akan muncul dan menyambut Felen nanti?***Felen memasuki manor keluarga Leister dengan rencana kecil yang mulai tersusun rapi di otak cerdasnya. Gadis manusia itu masih menampilkan senyum polos yang tampak manis. Berharap hal tersebut berhasil meminimalisir timbulnya kecurigaan bahwa kedatangannya membawa niat buruk, terutama pada Barend.Tatapan tajam nan menusuk yang Abelard berikan, Felen abaikan. Tidak sekali pun ia menoleh pada anak laki-laki itu. Meski Felen sempat membenci Abelard karena merebut kasih sayang sekaligus posisinya, saat ini ia tidak ingin terlibat lagi dengan adik tirinya itu. Tujuan Felen hanya satu, yaitu membalaskan dendam Aghnya pada Barend."Sebaiknya kau ganti pakaian lebih dahulu, lalu ikut makan malam dengan kami," ucap Barend pada Felen."Pelayan ini akan membantu semua kebutuhanmu."Kemudian, seorang pelayan wanita m
Sebenarnya apa arti sebuah keluarga?***‘Ramuan mematikan?’Felen tertawa keras dalam hati. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan seringai lebar yang mampu membuat orang lain merinding merasakan kengerian. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali seperti semula.Terlepas dari tujuan Leon sebenarnya, Felen berterima kasih pada iblis itu karena telah memberitahukan informasi berharga tersebut sehingga ia tidak perlu lagi merasakan kematian menghampiri.Sebelum melangkah ke arah meja makan di mana terdapat Barend serta istri barunya, Felen berbalik dan meraih tangan Abelard yang lebih besar darinya. Kekagetan terlihat di mata hijau jernih anak laki-laki itu ketika sikap Felen berubah 180 derajat, menjadi ramah dan terlihat mudah didekati. Seolah perseteruan mereka yang tadi menguras cukup emosi tidak pernah terjadi. Meski kebingungan, Abelard memilih mengikuti permainan yang tengah Felen lakukan."Ayo, Abelard," ajaknya
Sering kali manusia melebihi ekspektasi kami-- para iblis.***Ruang kerja Barend tepat berada di hadapannya, tetapi Felen masih belum berani untuk memasuki ruangan yang menjadi kekuasaan ayahnya itu. Tempat yang juga menjadi saksi bisu hukuman masa kecilnya itu memberikan aura kengerian tersendiri hingga setitik keraguan dan kegelisahan muncul di dalam hati.Felen tidak abai. Sesuai perkataan Abelard saat di balkon, nyawa Felen dalam bahaya karena kemungkinan Barend menghabisinya malam ini sangat besar. Kematian dan berada di ambang kematian adalah ketakutan terbesar gadis itu."Apa kau ragu karena ketakutanmu lebih besar daripada rasa ingin balas dendammu? Atau karena kau terpengaruh oleh perkataan anak laki-laki itu?" Leon kali ini tidak hanya memperdengarkan suara saja, tetapi juga memperlihatkan sosoknya yang seperti dewa kematian di hadapan Felen."Lemah!" lanjutnya, kembali mencemooh Felen.Kebimbangan adalah kelemahan fatal yang suat
Manusia adalah mahluk yang penuh dengan kejutan. Sering kali tebakan kami meleset jauh. *** Tubuh Felen bergetar oleh amarah. Adrenalin berpacu kuat, dan kedua tangannya gatal ingin segera melampiaskan langsung kemarahannya dengan memukuli Barend. Belati kecil di dalam saku pun sudah tidak sabar digunakan untuk melukai ayahnya itu. Namun, tali yang mengikat di kedua tangan, kaki, dan tubuh atas menghalangi Felen untuk melaksanakan niat tersebut. Felen kembali menatap nyalang ke arah Leon yang masih betah dalam kebungkaman. Kali ini, tidak ada nada permohonan dalam suara gadis itu. Hanya terdapat nada memerintah yang tidak ingin dibantah. Felen menekan Leon agar membantu melepaskan tali yang mengikat seluruh tubuhnya. "Lepaskan ikatanku, Leon!" "Kenapa aku harus melakukan hal merepotkan seperti itu, Felenia?" Akhirnya Leon mengeluarkan suara setelah terdiam cukup lama sembari memerhatikan pertunjukkan menarik di hadapannya. Otak F
Terperosoklah semakin dalam, dan aku akan mengulurkan lengan untuk menolongmu sebelum akhirnya kembali melepaskanmu agar terhempas ke jurung tak berdasar.***Langit terlihat semakin gelap, dan bergemuruh keras. Udara yang lembap serta aroma tanah dan tumbuhan yang tercium kuat menandakan hujan sebentar lagi akan mengguyur bumi. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menurunkan air yang mengendap di atas awan itu.Arah angin yang berasal dari barat berembus kencang menyentuh pipi Felen yang tampak pucat. Gadis manusia itu menyadari kalau cuaca yang sangat buruk akan segera tiba, dan hal tersebut mungkin akan membuatnya semakin kesulitan melintasi labirin rumit dan berliku tersebut. Terutama karena Barend tengah mengejar dan mengincar nyawanya."Felenia!" Suara ayahnya itu kembali berteriak keras memanggil.Felen masih diam di tempat sembari menutup mulut dengan kedua tangan. Berharap Barend tidak menemukan tempat persembunyiannya. Napas gadi
Dream is the first thing people abandon when they understand how this world works. *** Sebulan dalam hitungan dunia manusia telah berlalu-- meski di dunia iblis baru beberapa hari saja, dan selama itu pula Felen belum terbangun dari tidurnya. Gadis berambut coklat madu dengan iris emerald itu masih betah berada dalam rangkulan sang pembuat mimpi sembari terbaring nyaman di atas ranjang empuk berseprai beludru. Tidak menyadari bahwa terdapat seorang makhluk yang memerhatikan dengan lekat. Gaun tidurnya yang berbahan sutra tampak menerawang, memperlihatkan lekuk menggoda tubuh dewasanya yang belum terjamah siapa pun. Ruangan itu hanya terisi oleh keheningan yang menenangkan. Terutama embusan napas Felen yang teratur memberi kedamaian pada makhluk beraura hitam di ujung ruangan. Makhluk itu adalah Leon-- Sang Iblis Agung Lucifer. Pria itu tidak pernah absen mengunjungi calon pengantinnya sejak Felen kembali ke dunia iblis dalam keadaan tidak sadark
Kau mengikat jiwaku, maka aku akan memaksamu dengan cara yang sama agar bibirmu tidak pernah mengatakan kebohongan.***"Berpakaianlah, aku akan menunjukkan sesuatu padamu."Setelah mengatakan itu, Leon bangkit. Tanpa berbalik lagi untuk melihat reaksi Felen. Pria itu meninggalkan ruang kamar bernuansa biru laut tersebut. Sementara itu, Felen yang masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi padanya hanya bisa diam membisu.Namun, satu hal yang pasti adalah ketenangan Leon memberikan perasaan tidak nyaman baginya. Terlebih iblis itu mengungkit utang ciuman yang belum Felen bayarkan. Meski berciuman dengan Leon bukan hal yang pertama kali, tetap saja Felen merasa tidak sanggup untuk melakukannya. Ia masih mengingat jelas rasa ketika bibir mereka bersentuhan.Tanpa sadar Felen menyentuh bibir merah mudanya dengan gerakkan lambat, meresapi teksturnya yang lembut. Rona merah yang menghiasi pipi gadis itu semakin bertambah cerah hingga ke cuping telinga
Setiap sesuatu memiliki harga yang pantas.***"Kau ingin aku bersumpah bagaimana?"Leon menunggu Felen yang tampak tengah merangkai kata. Saat gadis itu melangkah maju agar semakin dekat dengan Leon dan meja kecil di hadapannya, bibir merah mudanya mengucapkan kalimat yang cukup mencengangkan."Aku ingin kau bersumpah untuk tidak akan pernah mengatakan kebohongan padaku-- selamanya. Tentunya atas nama Lucifer, Sang Iblis Agung dan Leoniel-- atas nama dirimu. Kalau kau melanggarnya, kau akan musnah selamanya dari dunia ini-- baik alam dunia mau pun alam baka." Felen menjelaskan dengan mendetail." ... Kau kejam, Milady."Felen memutar bola mata malas. "Kau bahkan lebih kejam dari ini, Tuan," desis gadis itu pelan, lalu kembali menyilangkan lengan. Ia tidak gentar walau Leon menatap tajam padanya. Pandangan Felen tidak sedikit pun beralih dari kedua bola mata Leon yang berpendar keperakan."Milady, kau gadis yang cukup menyebalkan dan