Ketika Leon kembali ke kastilnya, ia bergegas menuju kamar Felen dengan cara masuk melewati balkon kamar. Hal pertama yang menyedot atensi netra keemasannya adalah Felen yang tengah duduk menyandar ke sofa. Meski penampilan gadis itu tampak biasa dengan gaun tidur berwarna putih polos, entah bagaimana di mata Leon, Felen terlihat sangat cantik hingga membuatnya sejenak terpaku menikmati keindahan tersebut.
"Kau sedang apa di sana?"
Suara lembut Felen yang bernada ketus menarik Leon dari keterpakuannya. Pria itu berhasil mengendalikan diri agar tidak terlihat bodoh karena tertangkap basah oleh objek yang tengah ia pandangi.
"Kau harusnya menyambutku dengan pelukan hangat atau setidaknya kalimat mesra," ucapnya sembari melompat dari pagar pembatas.
"Kenapa aku harus menyambut orang yang masuk tanpa izin ke kamarku?" Kedua lengan Felen menyilang angkuh.
" ... Sayangnya aku bukan orang?"
Jawaban santai Leon yang berbalut nada tanya mencipt
Udara di Devil Reign terasa semakin dingin. Langit pun berubah mendung dengan awan hitam yang bergelung lembut di langit. Kegelapan seolah melahap langit di tempat itu secara perlahan. Namun, salju yang turun memenuhi setiap sudut kota terlihat sangat kontras dan tumpang tindih. Putih dan hitam yang mencoba bersatu padu itu seperti sebuah lukisan monokrom. Felen memerhatikan semua perubahan tersebut dari atas balkon kamarnya. Pemandangan indah sekaligus mengerikan itu membuat gadis itu takjub. Embusan angin yang mengenai kulit terbukanya terasa panas, pedih dan menusuk. Pun, memberikan sengatan menyakitkan. Seolah partikel-partikel yang terbawa oleh angin itu adalah belati kecil berapi. Gadis itu membuka telapak tangannya untuk merasakan salju putih tersebut. Kemudian, ia berjengit kaget ketika titik kecil salju yang menyentuh telapak tangannya membuat kulit melepuh. "Aku mulai bertanya-tanya, apa kau sebenarnya penikmat masokisme, Felenia?" Suara ser
Malam masih panjang, dan kegilaan para manusia itu masih berlanjut. Namun, Felen yang sudah tidak sanggup menyaksikan semua itu, meminta pada Leon agar membiarkannya keluar dari tempat laknat itu."Leon, aku ingin keluar dari sini," lirih Felen sangat pelan. Cengkeramannya di lengan Leon mengerat tatkala suara desahan, erangan, dan geraman para manusia yang tengah dimabuk oleh kepuasan diri itu semakin membahana."Kumohon ... " Felen menyerah. Ia akhirnya memohon, menurunkan egonya yang meraung tidak terima karena merendahkan diri pada seorang iblis."Baiklah."Felen beruntung karena kali ini Leon tidak menolak keinginannya. Pria itu menahan tubuh Felen yang sedikit limbung. Perutnya yang luar biasa mual membuat pandangan Felen sedikit kabur, dan fokusnya terpecah ruah."Tubuh manusia ternyata memang sangat lemah," ucap Leon yang melihat Felen kesulitan untuk berjalan.Tak Felen tanggapi ejekan Leon yang terang-terangan itu. Ia sudah c
Langit malam telah berganti dengan matahari yang bersinar, dan perjalanan Felen di dunia manusia-- tempat seharusnya ia tinggal, tetapi terasa asing itu belum selesai hanya pada satu tempat saja. Setelah melodrama drama akibat menyaksikan kejadian yang menjadi pengalaman traumatis, Felen kembali dibawa Leon ke tempat yang tidak ia ketahui. Akan tetapi, tidak seperti sebelumnya di mana Leon menggunakan sihir tidak terlihat agar manusia lain tidak menyadari kehadiran mereka berdua, kali ini Leon dan Felen ikut berbaur dengan manusia lainnya. Mereka layaknya sepasang kekasih yang tengah berkencan. Saling perpegangan tangan dengan mesra. Felen hanya mengikuti Leon tanpa banyak berbicara. Ia masih dalam keadaan kalut dan syok. Pikirannya tengah berkelana ke tempat lain. Gadis itu bahkan tidak menyadari kalau dirinya nyaris menabrak tiang lampu jalan yang berada tepat di depan hidung. Keadaan sekitar yang ramai dengan lalu lalang manusia juga membuat kepalanya peni
Kehancuran paling berat seorang manusia adalah ketika mereka ditinggalkan dan dikhianati.***"Nah, jadi apa yang ingin kau lakukan, Milady?" Leon bertanya penasaran. Pria itu berdiri di samping Felen, menunggu dengan sabar keputusan yang akan diambil calon pengantinnya itu.Saat ini, mereka berada di sebuah gedung tinggi yang memudahkan untuk melihat keadaan sekitar. Felen yang tengah mengamati dan memerhatikan Barend serta keluarga barunya dari jarak yang cukup jauh, mengabaikan pertanyaan Leon.Benak gadis itu tengah berpikir keras setelah melihat Abelard yang sudah tumbuh dewasa. Anak laki-laki itu tampak sangat mirip dengan Barend muda. Mereka bagai pinang di belah dua. Felen yakin tidak akan ada yang meragukan Abelard sebagai putra Barend meski orang lain mengetahui kalau anak laki-laki itu lahir di daerah kumuh.Pemikiran yang sebelumnya tidak terlintas dalam benak Felen kini muncul ke permukaan.Tanpa sadar Felen melirik ke ara
Kotak Pandora itu mulai terbuka. Di antara harapan, keputusasaan, dan pemahaman-- manakah yang akan muncul dan menyambut Felen nanti?***Felen memasuki manor keluarga Leister dengan rencana kecil yang mulai tersusun rapi di otak cerdasnya. Gadis manusia itu masih menampilkan senyum polos yang tampak manis. Berharap hal tersebut berhasil meminimalisir timbulnya kecurigaan bahwa kedatangannya membawa niat buruk, terutama pada Barend.Tatapan tajam nan menusuk yang Abelard berikan, Felen abaikan. Tidak sekali pun ia menoleh pada anak laki-laki itu. Meski Felen sempat membenci Abelard karena merebut kasih sayang sekaligus posisinya, saat ini ia tidak ingin terlibat lagi dengan adik tirinya itu. Tujuan Felen hanya satu, yaitu membalaskan dendam Aghnya pada Barend."Sebaiknya kau ganti pakaian lebih dahulu, lalu ikut makan malam dengan kami," ucap Barend pada Felen."Pelayan ini akan membantu semua kebutuhanmu."Kemudian, seorang pelayan wanita m
Sebenarnya apa arti sebuah keluarga?***‘Ramuan mematikan?’Felen tertawa keras dalam hati. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan seringai lebar yang mampu membuat orang lain merinding merasakan kengerian. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali seperti semula.Terlepas dari tujuan Leon sebenarnya, Felen berterima kasih pada iblis itu karena telah memberitahukan informasi berharga tersebut sehingga ia tidak perlu lagi merasakan kematian menghampiri.Sebelum melangkah ke arah meja makan di mana terdapat Barend serta istri barunya, Felen berbalik dan meraih tangan Abelard yang lebih besar darinya. Kekagetan terlihat di mata hijau jernih anak laki-laki itu ketika sikap Felen berubah 180 derajat, menjadi ramah dan terlihat mudah didekati. Seolah perseteruan mereka yang tadi menguras cukup emosi tidak pernah terjadi. Meski kebingungan, Abelard memilih mengikuti permainan yang tengah Felen lakukan."Ayo, Abelard," ajaknya
Sering kali manusia melebihi ekspektasi kami-- para iblis.***Ruang kerja Barend tepat berada di hadapannya, tetapi Felen masih belum berani untuk memasuki ruangan yang menjadi kekuasaan ayahnya itu. Tempat yang juga menjadi saksi bisu hukuman masa kecilnya itu memberikan aura kengerian tersendiri hingga setitik keraguan dan kegelisahan muncul di dalam hati.Felen tidak abai. Sesuai perkataan Abelard saat di balkon, nyawa Felen dalam bahaya karena kemungkinan Barend menghabisinya malam ini sangat besar. Kematian dan berada di ambang kematian adalah ketakutan terbesar gadis itu."Apa kau ragu karena ketakutanmu lebih besar daripada rasa ingin balas dendammu? Atau karena kau terpengaruh oleh perkataan anak laki-laki itu?" Leon kali ini tidak hanya memperdengarkan suara saja, tetapi juga memperlihatkan sosoknya yang seperti dewa kematian di hadapan Felen."Lemah!" lanjutnya, kembali mencemooh Felen.Kebimbangan adalah kelemahan fatal yang suat
Manusia adalah mahluk yang penuh dengan kejutan. Sering kali tebakan kami meleset jauh. *** Tubuh Felen bergetar oleh amarah. Adrenalin berpacu kuat, dan kedua tangannya gatal ingin segera melampiaskan langsung kemarahannya dengan memukuli Barend. Belati kecil di dalam saku pun sudah tidak sabar digunakan untuk melukai ayahnya itu. Namun, tali yang mengikat di kedua tangan, kaki, dan tubuh atas menghalangi Felen untuk melaksanakan niat tersebut. Felen kembali menatap nyalang ke arah Leon yang masih betah dalam kebungkaman. Kali ini, tidak ada nada permohonan dalam suara gadis itu. Hanya terdapat nada memerintah yang tidak ingin dibantah. Felen menekan Leon agar membantu melepaskan tali yang mengikat seluruh tubuhnya. "Lepaskan ikatanku, Leon!" "Kenapa aku harus melakukan hal merepotkan seperti itu, Felenia?" Akhirnya Leon mengeluarkan suara setelah terdiam cukup lama sembari memerhatikan pertunjukkan menarik di hadapannya. Otak F
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te