Keributan besar itu terjadi di pagi hari di mana hujan lebat tengah mengguyur dengan derasnya. Barend dan Aghnya bertengkar hebat hingga beberapa ornamen jatuh pecah di lantai. Ia tidak mengetahui alasan yang melatar belakangi pertengkaran orang tuanya tersebut.
Namun, Felen yang menguping pembicaraan para pelayan akhirnya memahami kalau Barend dan Aghnya tengah meributkan tentang dirinya. Barend bersikeras bahwa Felen tidak mungkin menjadi kepala keluarga karena ia seorang perempuan, tetapi Aghnya tidak terima dan bersikeras untuk menjadikan Felen satu-satunya pewaris keluarga.
"Lalu kau mau bagaimana? Kau hanya memiliki satu anak saja, Barend!" teriak Aghnya frustrasi.
Barend yang tidak terima karena Aghnya berteriak keras padanya ikut membalas dengan berteriak. "Jaga nada bicaramu, Aghnya! Siapa bilang aku hanya memiliki satu anak?" Senyum pongah tersemat di bibir Barend.
" ... A-apa maksudmu?" Kedua bola mata Aghnya membesar ketika mendengar kalimat Barend.
"Seperti yang kau dengar barusan. Aku tidak hanya memiliki satu anak, tetapi dua anak bahkan mungkin lebih. Yang pasti satu anak laki-laki akan menjadi penerusku," jelas Barend dengan raut wajah yang kini berubah datar.
Aghnya menatap lekat netra hijau suaminya, dan ia tidak menemukan jejak kebohongan di sana. Barend mengatakan hal yang sebenarnya. Kejujuran yang menyakitkan.
"Kau ... berselingkuh dariku?" Suara Aghnya bergetar. Hatinya seperti ditusuk oleh ribuan jarum yang sangat tajam.
"Seperti kau yang menghianatiku dengan pria rendahan itu, aku pun bisa Aghnya. Entah berapa banyak wanita di luar sana yang sudah aku gauli dan mungkin berhasil mengandung anakku."
"Aku sudah bilang kalau kau salah paham tentang itu. Aku tidak pernah berselingkuh darimu sekali pun." Aghnya menyahut cepat. Air mata di pelupuk wanita itu luruh tanpa bisa ditahan. Barend yang membeberkan perselingkuhannya sendiri menghancurkan hati Aghnya hingga berkeping-keping. Terutama ketika mengetahui kalau suami yang ia cintai memiliki anak dari wanita lain.
"Kau bohong ‘kan? Kau tidak mungkin mengkhianatiku?"
Penampilan Aghnya yang biasa terlihat anggun kini berubah 180 derajat. Wanita bermartabat itu terlihat menyedihkan dan memprihatinkan. Ia yang mencoba menyangkal kenyataan yang berada di hadapannya membuat Aghnya tampak sangat kacau. Namun, Barend tidak berniat menghibur istrinya itu.
Barend mendesah pelan. Kerutan di dahi pria itu bertambah banyak seiring dengan luruhnya tubuh lemah Aghnya ke lantai. "Itulah kenyataannya, Aghnya. Aku akan segera membawa anak laki-lakiku ke sini untuk mendapatkan bimbingan sebagai pewaris sah," tandas Barend tegas.
Sejenak keheningan melanda di antara keduanya. Kemudian, Aghnya bertanya lirih dengan nada nyaris tanpa emosi.
"Apa kau juga akan membawa wanita itu ke sini?"
"Ya, tapi tidak sekarang. Aku akan membawanya setelah Felenia merayakan Debutante-nya." Kali ini senyum kecut terbit di wajah rupawan Barend.
Setelahnya, Barend pergi meninggalkan Aghnya yang masih terduduk di lantai, terisak keras meratapi nasib yang tengah menimpanya. Hal ini menjadi pukulan berat bagi Aghnya.
Para pelayan yang sejak tadi hanya memerhatikan dari kejauhan mulai membereskan pecahan ornamen yang berserakan sesuai dengan perintah Barend. Pun, dengan Felen yang tadi ikut menguping di belakang pintu, keluar lalu menghampiri Aghnya dengan langkah ragu.
"Mommy, kau tidak apa-apa?" Felen mengulurkan tangan demi membantu Aghnya untuk berdiri, tetapi tangannya langsung ditepis kasar oleh ibunya itu.
"Jangan coba-coba menyentuhku."
Nada kebencian dari suara Aghnya yang baru pertama kali Felen dengar membuat gadis itu terpaku. Ibunya yang biasa berbicara dengan lembut tidak lagi ada.
"Pergi!" bentak Aghnya kasar. Ia bahkan mendorong kuat Felen hingga tersungkur ke belakang, kemudian berlari menuju ke kamarnya. Tidak menyadari kalau tindakan impulsifnya membuat kedua telapak tangan Felen terluka oleh pecahan kaca.
"Perih ... " cicit Felen sembari melihat telapak tangannya yang mengeluarkan darah.
Pelayan yang sedang membersihkan ruangan tersebut seketika menghampiri Felen dengan raut wajah cemas. "Nona, tangan Anda berdarah. Kita harus segera mengobatinya agar tidak infeksi."Pelayan tersebut membantu Felen berdiri. Ia berhati-hati agar tidak menyentuh luka di tangan gadis belia itu. "Ayo Nona, saya akan mengantar Anda ke kamar," ucapnya dengan senyum tipis.
Felen menyadari pandangan iba dari para pelayan, tetapi ia tidak terlalu memedulikannya karena pikiran gadis itu penuh dengan ibunya. Felen lebih mengkhawatirkan keadaan Aghnya daripada kondisinya sendiri. Meski ia tidak sepenuhnya memahami pembicaraan Barend dan Aghnya, namun dirinya cukup mengerti kalau Aghnya tengah terpuruk sangat dalam.
"Tolong lihat kondisi ibuku. Aku yakin beliau tidak sedang baik-baik saja." Felen meminta tolong pada pelayan tersebut setelah pelayan itu mengantarnya ke kamar sekaligus mengobati luka di tangan Felen.
"Tentu, Nona," balas pelayan tersebut, masih dengan senyum tulus di bibir.
Setelah kepergian pelayan itu, Felen memilih memerhatikan hujan dari balik jendela besar di kamar. Pandangan gadis itu tampak kebingungan dan kalut. Usahanya selama ini untuk menjadi penerus ayahnya berakhir tidak berarti karena Barend sudah menemukan calon yang tepat sebagai kepala keluarga selanjutnya.
Pembuktian Felen untuk membanggakan Barend dan Aghnya tidak lagi penting. Gadis itu saat ini tengah ketakutan karena tempatnya akan diambil alih, dan ia mungkin akan kehilangan kasih sayang Barend yang berusaha ia gapai dengan susah payah.
"Aku harus bagaimana ... ?"
Pertanyaan tersebut hanya dibalas oleh embusan angin dingin dari balkon kamar yang terbuka, dan suara kucing mengeong yang entah datang dari mana. Sontak saja fokus Felen langsung teralih pada kucing berbulu hitam legam tersebut.
"Kucing?" Felen menghampiri kucing yang tampak basah oleh air hujan itu.
"Kamarku di lantai dua. Bagaimana bisa kau naik kemari padahal tidak ada pohon di depan balkonku?" tanya Felen kebingungan. Netra emerald-nya menatap jernih ke arah kucing yang tengah menunduk memandikan bulunya tersebut.
"Miaw ... " Kucing tersebut mengeong seolah meminta Felen membantu mengeringkan bulu hitamnya.
Sejenak Felen tertegun ketika melihat bola mata emas kucing tersebut yang menatap lurus padanya. Ia terpukau dengan keindahan warna mata kucing itu yang tampak unik. Lengan gadis itu terulur untuk menyentuh kepala kucing yang hanya berukuran segenggam kepalan tangan, tetapi tertahan karena kucing tersebut langsung menghindar ke samping.
"Ah ... " Seolah baru tersadar dengan yang dilakukannya, Felen kemudian berdiri dan mengambil handuk putih miliknya.
"Biarkan aku membantu mengeringkan bulumu, ya?" Kali ini Felen meminta izin terlebih dahulu sebelum menyentuh kucing tersebut.
Kucing itu pun menghampiri Felen, tidak seperti sebelumnya yang menghindar. Seolah memberikan tanda bahwa Felen boleh menyentuhnya. Felen melingkupi seluruh tubuh kucing tersebut dengan handuk, lalu memindahkannya ke atas ranjang. Ia mengeringkan setiap helai bulu kucing dengan perlahan.
Ketika konsentrasi Felen tengah fokus pada kucing tersebut, pintu kamarnya yang dibuka paksa secara terburu-buru mengejutkan gadis itu. Aghnya yang menerobos masuk langsung berlari kencang ke arah Felen. Kedua matanya yang tampak kosong, namun memendam amarah besar membuat Felen sedikit bergidik.
Felen tidak bergerak dari posisinya sedikit pun. Bahkan ketika Aghnya mulai menyerang dengan pukulan-pukulan beserta teriakkan penuh amarah dan kesedihan yang menyayat hati, ia tetap diam menerima amukan ibunya itu. Felen hanya terisak pelan melihat Aghnya yang kehilangan kontrol diri.
"Kau seharusnya lahir sebagai seorang laki-laki bukan perempuan! Kalau saja ... kalau saja kau laki-laki aku tidak perlu mengalami ini!"
"Mom ... " Felen baru melawan ketika Aghnya mencekik kuat lehernya, dan pasokan udara di paru-parunya menipis. Sesaat sebelum seluruh pandangan Felen menggelap, seruan panik para pelayan yang berusaha menghentikan tindakan Aghnya menyelamatkan Felen dari jerat dewa kematian.
"Lepaskan aku! Lepaskan!" Aghnya menolak dibawa pergi oleh para pelayan, tetapi tenaganya tidak sebanding dengan lima orang pelayan yang menahan tubuhnya.Setelah Aghnya tidak lagi berada di kamar itu, isak tangis yang berusaha ditahan Felen menggaung pedih. Para pelayan yang datang hanya bisa menatap kasihan pada gadis itu, lalu perlahan berlalu pergi membiarkan Felen untuk menenangkan diri setelah memastikan nona muda mereka tidak terluka parah.
Felen sangat syok karena untuk pertama kalinya Aghnya menyakiti secara fisik, bahkan sampai mengucapkan kalimat tidak pantas. Padahal biasanya Aghnya selalu bersikap lembut dan penuh kasih. Berbeda dengan Barend yang memang memiliki sikap keras serta otoriter, dan tidak segan menyakiti Felen dengan cambuk apabila ia melakukan kesalahan.
Kucing hitam yang sejak tadi diam memerhatikan kejadian menegangkan tersebut mendekati Felen yang menangis dengan posisi tubuh seperti janin. Ia menjilat lembut setiap tetes air mata yang mengalir di pipi gadis itu. Tubuh kecil kucing tersebut pun digosokkan ke punggung tangan Felen, mencoba menghiburnya meski pada akhirnya percuma.
Kejadian itu menjadi awal penderitaan Felen, dan kucing hitam bermata emas tersebut selalu berada di sisi Felen setiap gadis itu merasakan kesedihan akibat perlakuan kedua orang tuanya. Menemani dalam diam. Tanpa mengetahui bahwa wujud sebenarnya dari kucing tersebut adalah sosok menakutkan yang akan membuat hidup Felen lebih menderita lagi.
***
Kereta kuda yang membawa mimpi buruk Felen telah sampai di depan gerbang, dan tinggal menunggu waktu untuk berhenti tepat di depan ia berdiri saat ini. Kereta kuda tersebut mengantarkan Abelard, calon penerus Barend. Anak laki-laki yang mungkin akan merebut semua perhatian Barend darinya.Barend bahkan dengan sengaja memerintah Felen untuk ikut menunggu kedatangan Abelard. Menolak pun percuma karena perintah ayahnya itu mutlak. Entah niat apa yang dimiliki Barend dengan melakukan hal seperti ini.Tidak lama, seperti dugaan Felen, kereta kuda yang membawa Abelard berhenti di depan pintu. Saat pintu dibuka oleh kepala pelayan, seorang anak laki-laki yang tingginya tidak berbeda jauh dengan Felen, melangkah keluar. Barend yang berada di samping Felen maju ke depan seraya merentangkan kedua lengan untuk menyambut kedatangan Abelard."Abelard, anak kandungku sekaligus pewarisku," ucap Barend lantang. Seolah sengaja menyindir Felen yang dikabarkan merupakan anak haram
Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat."Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan."Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi."Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.Perlahan Felen membalikkan tub
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi
SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption."Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya."Angkat kepalamu."Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya."Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te