Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat.
"Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan.
"Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi.
"Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."
Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.
Perlahan Felen membalikkan tubuh sesuai perintah. Ia memilih untuk memejamkan mata, berharap rasa sakit yang dirinya terima bisa sedikit berkurang dengan melakukan itu.
"Lima kali cambukkan untuk satu kesalahan yang kau lakukan. Hmm ... hari ini kau melakukan kesalahan berapa kali?" Barend bertanya lambat sembari mengusap dagu. Tampak tengah memutar ingatan yang terekam dalam memori.
" ... Aku tidak tahu, Papa." Suara Felen mencicit ketakutan.
Decak pelan lolos dari bibir Barend. "Dua kali kesalahan, Felenia. Satu ... karena mencoba mencelakai Abelard hingga dia tenggelam, dan yang kedua karena kau berbohong, menyangkal kebenaran bahwa kau yang mendorong Abelard ke kolam."
Bibir Felen tetap bungkam ketika Barend menjabarkan kesalahan yang dirinya lakukan. Ia berkali-kali sudah menjelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi pada Abelard adalah karena kecerobohan anak laki-laki itu, tetapi ayahnya seolah menutup telinga atas penjelasan Felen tersebut.
"Sepuluh kali cambukkan. Berhitunglah sampai aku selesai," tandasnya.
Genggaman Barend di ujung cambuk semakin mengerat. Cambuk itu diayunkan ke atas, kemudian digerakkan ke bawah dengan sekuat tenaga. Ujung cambuk yang tipis menyabet keras betis Felen hingga menimbulkan suara menyakitkan.
Felen nyaris saja jatuh terduduk ketika sengatan panas, perih, dan nyeri menyerang kaki belakangnya. Namun, suara dingin Barend yang terdengar mengancam membuat gadis kecil itu kembali berdiri tegak meski kakinya terasa seperti agar-agar. Ia menggigit kuat bibirnya demi menahan ringis kesakitan yang hampir lolos tanpa bisa dikontrol.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk berhitung?"
Tubuh Felen berjengit kaget ketika tanpa peringatan Barend kembali mengayunkan cambuk tersebut ke betisnya. Ia terhuyung ke depan dengan lulut yang menyentuh dinginnya lantai marmer.
"Sepertinya aku harus menambah hukumanmu," putus Barend tanpa persetujuan Felen.
Nada dingin dalam suara ayahnya itu membuat Felen merasakan kengerian yang menyesakkan dada. Bulu roma gadis itu pun merinding memikirkan kemungkinan beberapa menit ke depan yang dihabiskan oleh cambukkan. Secara refleks kedua tangan Felen menangkup menjadi satu.
"Maafkan aku, Papa. Maafkan aku ... Aku akan melakukannya dengan benar kali ini. Jangan tambah hukumanku."
Keadaan Felen yang tengah memohon pengampuan dari Barend tampak sangat menyedihkan. Namun, pria itu tidak sedikit pun memberikan belas kasih pada Felen.
"Berdiri. Kau membuang waktu berhargaku, Felenia."
Sontak Felen langsung berdiri seperti posisinya tadi, membelakangi Barend dengan betis yang kini memerah. Kedua tangannya terkepal erat menunggu ayahnya itu untuk melanjutkan hukuman yang belum usai. Sensasi perih di betis Felen akibat dua cambukkan sebelumnya masih terasa, tetapi ia menguatkan diri untuk menerima cambukkan berikutnya dari Barend.
Saat Barend kembali mengayunkan cambuk hitam tersebut dengan sangat keras, suara cambuk yang beradu dengan kulit menggema di setiap sudut ruangan. Barend tidak menahan tenaganya dalam menggerakkan benda lentur itu.
"Ti-- ga ... " hitung Felen dengan suara bergetar. Gadis itu ingin berteriak sangat kencang, namun Barend yang memerintah untuk tidak berisik membuat suara Felen hanya tertahan di tenggorokan. Air matanya bercucuran, tetapi tidak ada sedikit pun ringis kesakitan yang keluar dari bibir Felen. Ia menahan setiap rasa sakit yang berkemelut di dalam diri.
"Hitung dari satu!"
Bentakan Barend yang mendengung di telinga Felen, membuat ia menyadari kalau ayahnya mulai kehilangan kesabaran akibat tindakan Felen yang tidak sesuai dengan keinginan.
"Sa ... tu--" ucap Felen menyahut cepat.
"Ulangi dari awal!" Barend seolah tidak lelah terus membentak Felen. Ia pun kembali menyakiti Felen dengan cambuk yang berada di tangan. Walau gadis itu tampak akan rubuh kapan saja, Barend tidak berniat menghentikan atau pun menunda hukumannya.
Felen menghitung dari awal sesuai keinginan Barend sembari menahan perih di kulit. Bekas cambukan tersebut kali ini tidak hanya meninggalkan bercak kemerahan saja, tetapi mulai lecet hingga mengeluarkan darah karena Barend mencambuknya di tempat yang sama.
Pening yang teramat sangat mulai terasa seiring dengan tubuh Felen yang menggigil seperti kedinginan, padahal ia merasakan panas tengah mendera tubuh. Keringat dingin yang mengalir di dahi dan pelipis gadis itu juga menjadi bukti kalau tubuh belia Felen tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang tengah ia terima.
Di hitungan terakhir saat suara Felen semakin lirih, halusinasi mulai mengambil alih pikiran. Gadis itu melihat sebuah bayangan hitam dan besar yang tengah memerhatikan dari ujung ruangan dengan mata emasnya. Felen tidak yakin dengan hal yang dilihatnya karena ia lebih dahulu kehilangan kesadaran. Kegelapan yang sangat pekat menyambut Felen, bertepatan dengan tubuhnya yang jatuh tersungkur ke depan.
Sementara itu, Barend yang melihat Felen telah tergeletak di lantai hanya memandang dingin tanpa berniat memindahkan gadis itu ke sofa atau tempat yang lebih nyaman. Setelah mencampakkan cambuknya, Barend melangkah ke arah bel yang terhubung ke beberapa ruang utama, lalu menekan salah satu tombol untuk memanggil kepala pelayan. Ia duduk di kursi kebesarannya, menunggu orang yang dipanggil datang.
Tidak lama ketukan di pintu terdengar, dan seorang pria paruh baya muncul setelah Barend memerintahkan untuk masuk. Belum sempat kepala pelayan itu menanyakan keinginan sang tuan, Barend lebih dahulu memberikan perintah.
"Bawa Felenia ke kamarnya, dan perintahkan pelayan wanita untuk mengobati lukanya," ucap Barend sembari memandang ke luar jendela.
"Baik, Tuan Besar." Pria paruh baya itu menggendong Felen tanpa kesulitan berarti. Ia pamit dan meninggalkan Barend di ruangan gelap tersebut. Tidak menyadari sesosok makhluk bermata emas yang tengah duduk angkuh di sofa mewah milik Barend. Sesaat sebelum pintu tertutup, sosok itu menyeringai lebar memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Di kamar Felen, Aghnya-- ibunda gadis kecil itu, menunggu kedatangan anaknya dengan cemas. Kabar yang ia dengar tidak sengaja dari para pelayan langsung mendorong Aghnya untuk menemui Felen. Ketika pintu ganda kamar tersebut terbuka, Aghnya langsung berlari menghampiri Felen.
"Felenia!" Teriakkan histeris itu berasal dari Aghnya. Kekagetan dan perasaan khawatir terpancar jelas di kedua netra birunya.
"Nyonya, Anda seharusnya tidak berada di sini. Tuan Besar akan sangat marah kalau mengetahui Anda melanggar aturannya." Meski ucapan kepala pelayan itu terdengar datar, terselip sedikit kecemasan yang membuatnya was-was.
"Aku hanya ingin menemui anakku. Apakah itu tidak boleh?" Aghnya menyentak kasar. Ia mengambil alih tubuh Felen yang berada di gendongan kepala pelayan.
"Biar aku saja yang mengobati lukanya," lanjutnya.
Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pelan, lalu mengangguk. Tidak kuasa membantah keinginan Aghnya.
"Baiklah, Nyonya, tetapi izinkan satu pelayan membantu Anda. Anda harus segera kembali setelah selesai."
Aghnya mengiyakan, kemudian membawa Felen ke ranjang dengan hati-hati dibantu oleh pelayan wanita. Air mata terus mengalir di pipi Aghnya, terutama saat melihat betis Felen yang penuh luka. Setelah pelayan membersihkan luka Felen dengan air hangat, Aghnya mengoleskan salep herbal di luka tersebut.Ringis kesakitan Felen di antara tidur lelapnya membuat tangis Aghnya semakin keras.
"Maafkan Mommy, Felenia," lirihnya sangat pelan sembari menggenggam tangan Felen. Merasa sangat bersalah karena sempat kehilangan kendali, dan menyerang Felen yang tidak memiliki kesalahan apa pun.
Aghnya tidak tahu kapan dirinya akan kembali kehilangan kendali terhadap emosinya yang tidak stabil. Saat ini pun, ia masih tidak bisa mengendalikan amarahnya dengan baik. Hal kecil yang menurutnya mengganggu mampu membuat emosi Aghnya meledak-ledak.
***
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi
SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption."Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya."Angkat kepalamu."Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya."Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan."Salam, Your Majesty." Suara berat bernada
PAKAIAN Felen yang berbeda dari siswa lainnya membuat gadis itu terlihat mencolok. Mantel putih yang ia pakai sangat kontras dengan seragam siswa Academy of אשמדאי (Ashmedai) yang berwarna hitam legam.Untuk beberapa alasan, Felen menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena pakaian saja, tetapi karena iblis yang menjalin kontrak dengannya adalah Lucifer-- iblis terkuat yang saat ini memiliki pangkat paling tinggi, dan berkuasa di dunia kegelapan di mana para iblis hidup dan tinggal layaknya manusia. Terlebih ia juga merupakan calon pengantin resmi yang dipilih Leon.Lucifer adalah raja dari para raja iblis.Fakta tersebut membuat para makhluk itu penasaran dengan alasan yang berbeda-beda.Salah satunya adalah iblis wanita berambut emas yang saat ini tengah memerhatikan Felen. Matanya tidak sedikit pun beralih ketika mengamati setiap gerak-gerak gadis itu, bahkan gerakan kecil seperti ketukan jari sekali pun."Sebaiknya kau jangan berani bermai