Manor mewah itu tampak sepi dan gelap. Seolah tidak terdapat kehidupan di dalam sana. Namun, di salah satu ruangan di mana beberapa cambuk berbahan kulit kuda nil tergantung rapi, dua manusia berbeda umur yaitu Barend dan Felen berdiri saling berhadapan setelah berseteru singkat.
"Berbalik, perlihatkan betismu." Barend berucap dingin dengan rahang mengetat menahan amarah. Di tangan kanannya sebuah cambuk berwarna hitam telah siap untuk digunakan.
"Papa ... !" sahut Felen dengan wajah memelas. Air mata membasahi kedua pipi chubby-nya yang pucat pasi.
"Felenia, jangan buat aku mengulangi ucapanku."
Bibir gadis bernama Felenia itu seketika terkatup rapat mendengar suara datar Barend. Tubuhnya bergetar tak terkendali seiring dengan jarum jam yang berdetak kencang di keheningan malam. Ia sebisa mungkin menahan isak tangis yang keluar dari bibir. Tidak ingin semakin memperparah kemurkaan yang tertuju padanya dari sang ayah.
Perlahan Felen membalikkan tubuh sesuai perintah. Ia memilih untuk memejamkan mata, berharap rasa sakit yang dirinya terima bisa sedikit berkurang dengan melakukan itu.
"Lima kali cambukkan untuk satu kesalahan yang kau lakukan. Hmm ... hari ini kau melakukan kesalahan berapa kali?" Barend bertanya lambat sembari mengusap dagu. Tampak tengah memutar ingatan yang terekam dalam memori.
" ... Aku tidak tahu, Papa." Suara Felen mencicit ketakutan.
Decak pelan lolos dari bibir Barend. "Dua kali kesalahan, Felenia. Satu ... karena mencoba mencelakai Abelard hingga dia tenggelam, dan yang kedua karena kau berbohong, menyangkal kebenaran bahwa kau yang mendorong Abelard ke kolam."
Bibir Felen tetap bungkam ketika Barend menjabarkan kesalahan yang dirinya lakukan. Ia berkali-kali sudah menjelaskan bahwa yang sebenarnya terjadi pada Abelard adalah karena kecerobohan anak laki-laki itu, tetapi ayahnya seolah menutup telinga atas penjelasan Felen tersebut.
"Sepuluh kali cambukkan. Berhitunglah sampai aku selesai," tandasnya.
Genggaman Barend di ujung cambuk semakin mengerat. Cambuk itu diayunkan ke atas, kemudian digerakkan ke bawah dengan sekuat tenaga. Ujung cambuk yang tipis menyabet keras betis Felen hingga menimbulkan suara menyakitkan.
Felen nyaris saja jatuh terduduk ketika sengatan panas, perih, dan nyeri menyerang kaki belakangnya. Namun, suara dingin Barend yang terdengar mengancam membuat gadis kecil itu kembali berdiri tegak meski kakinya terasa seperti agar-agar. Ia menggigit kuat bibirnya demi menahan ringis kesakitan yang hampir lolos tanpa bisa dikontrol.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk berhitung?"
Tubuh Felen berjengit kaget ketika tanpa peringatan Barend kembali mengayunkan cambuk tersebut ke betisnya. Ia terhuyung ke depan dengan lulut yang menyentuh dinginnya lantai marmer.
"Sepertinya aku harus menambah hukumanmu," putus Barend tanpa persetujuan Felen.
Nada dingin dalam suara ayahnya itu membuat Felen merasakan kengerian yang menyesakkan dada. Bulu roma gadis itu pun merinding memikirkan kemungkinan beberapa menit ke depan yang dihabiskan oleh cambukkan. Secara refleks kedua tangan Felen menangkup menjadi satu.
"Maafkan aku, Papa. Maafkan aku ... Aku akan melakukannya dengan benar kali ini. Jangan tambah hukumanku."
Keadaan Felen yang tengah memohon pengampuan dari Barend tampak sangat menyedihkan. Namun, pria itu tidak sedikit pun memberikan belas kasih pada Felen.
"Berdiri. Kau membuang waktu berhargaku, Felenia."
Sontak Felen langsung berdiri seperti posisinya tadi, membelakangi Barend dengan betis yang kini memerah. Kedua tangannya terkepal erat menunggu ayahnya itu untuk melanjutkan hukuman yang belum usai. Sensasi perih di betis Felen akibat dua cambukkan sebelumnya masih terasa, tetapi ia menguatkan diri untuk menerima cambukkan berikutnya dari Barend.
Saat Barend kembali mengayunkan cambuk hitam tersebut dengan sangat keras, suara cambuk yang beradu dengan kulit menggema di setiap sudut ruangan. Barend tidak menahan tenaganya dalam menggerakkan benda lentur itu.
"Ti-- ga ... " hitung Felen dengan suara bergetar. Gadis itu ingin berteriak sangat kencang, namun Barend yang memerintah untuk tidak berisik membuat suara Felen hanya tertahan di tenggorokan. Air matanya bercucuran, tetapi tidak ada sedikit pun ringis kesakitan yang keluar dari bibir Felen. Ia menahan setiap rasa sakit yang berkemelut di dalam diri.
"Hitung dari satu!"
Bentakan Barend yang mendengung di telinga Felen, membuat ia menyadari kalau ayahnya mulai kehilangan kesabaran akibat tindakan Felen yang tidak sesuai dengan keinginan.
"Sa ... tu--" ucap Felen menyahut cepat.
"Ulangi dari awal!" Barend seolah tidak lelah terus membentak Felen. Ia pun kembali menyakiti Felen dengan cambuk yang berada di tangan. Walau gadis itu tampak akan rubuh kapan saja, Barend tidak berniat menghentikan atau pun menunda hukumannya.
Felen menghitung dari awal sesuai keinginan Barend sembari menahan perih di kulit. Bekas cambukan tersebut kali ini tidak hanya meninggalkan bercak kemerahan saja, tetapi mulai lecet hingga mengeluarkan darah karena Barend mencambuknya di tempat yang sama.
Pening yang teramat sangat mulai terasa seiring dengan tubuh Felen yang menggigil seperti kedinginan, padahal ia merasakan panas tengah mendera tubuh. Keringat dingin yang mengalir di dahi dan pelipis gadis itu juga menjadi bukti kalau tubuh belia Felen tidak sanggup lagi menahan rasa sakit yang tengah ia terima.
Di hitungan terakhir saat suara Felen semakin lirih, halusinasi mulai mengambil alih pikiran. Gadis itu melihat sebuah bayangan hitam dan besar yang tengah memerhatikan dari ujung ruangan dengan mata emasnya. Felen tidak yakin dengan hal yang dilihatnya karena ia lebih dahulu kehilangan kesadaran. Kegelapan yang sangat pekat menyambut Felen, bertepatan dengan tubuhnya yang jatuh tersungkur ke depan.
Sementara itu, Barend yang melihat Felen telah tergeletak di lantai hanya memandang dingin tanpa berniat memindahkan gadis itu ke sofa atau tempat yang lebih nyaman. Setelah mencampakkan cambuknya, Barend melangkah ke arah bel yang terhubung ke beberapa ruang utama, lalu menekan salah satu tombol untuk memanggil kepala pelayan. Ia duduk di kursi kebesarannya, menunggu orang yang dipanggil datang.
Tidak lama ketukan di pintu terdengar, dan seorang pria paruh baya muncul setelah Barend memerintahkan untuk masuk. Belum sempat kepala pelayan itu menanyakan keinginan sang tuan, Barend lebih dahulu memberikan perintah.
"Bawa Felenia ke kamarnya, dan perintahkan pelayan wanita untuk mengobati lukanya," ucap Barend sembari memandang ke luar jendela.
"Baik, Tuan Besar." Pria paruh baya itu menggendong Felen tanpa kesulitan berarti. Ia pamit dan meninggalkan Barend di ruangan gelap tersebut. Tidak menyadari sesosok makhluk bermata emas yang tengah duduk angkuh di sofa mewah milik Barend. Sesaat sebelum pintu tertutup, sosok itu menyeringai lebar memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Di kamar Felen, Aghnya-- ibunda gadis kecil itu, menunggu kedatangan anaknya dengan cemas. Kabar yang ia dengar tidak sengaja dari para pelayan langsung mendorong Aghnya untuk menemui Felen. Ketika pintu ganda kamar tersebut terbuka, Aghnya langsung berlari menghampiri Felen.
"Felenia!" Teriakkan histeris itu berasal dari Aghnya. Kekagetan dan perasaan khawatir terpancar jelas di kedua netra birunya.
"Nyonya, Anda seharusnya tidak berada di sini. Tuan Besar akan sangat marah kalau mengetahui Anda melanggar aturannya." Meski ucapan kepala pelayan itu terdengar datar, terselip sedikit kecemasan yang membuatnya was-was.
"Aku hanya ingin menemui anakku. Apakah itu tidak boleh?" Aghnya menyentak kasar. Ia mengambil alih tubuh Felen yang berada di gendongan kepala pelayan.
"Biar aku saja yang mengobati lukanya," lanjutnya.
Pria paruh baya itu hanya bisa menghela napas pelan, lalu mengangguk. Tidak kuasa membantah keinginan Aghnya.
"Baiklah, Nyonya, tetapi izinkan satu pelayan membantu Anda. Anda harus segera kembali setelah selesai."
Aghnya mengiyakan, kemudian membawa Felen ke ranjang dengan hati-hati dibantu oleh pelayan wanita. Air mata terus mengalir di pipi Aghnya, terutama saat melihat betis Felen yang penuh luka. Setelah pelayan membersihkan luka Felen dengan air hangat, Aghnya mengoleskan salep herbal di luka tersebut.Ringis kesakitan Felen di antara tidur lelapnya membuat tangis Aghnya semakin keras.
"Maafkan Mommy, Felenia," lirihnya sangat pelan sembari menggenggam tangan Felen. Merasa sangat bersalah karena sempat kehilangan kendali, dan menyerang Felen yang tidak memiliki kesalahan apa pun.
Aghnya tidak tahu kapan dirinya akan kembali kehilangan kendali terhadap emosinya yang tidak stabil. Saat ini pun, ia masih tidak bisa mengendalikan amarahnya dengan baik. Hal kecil yang menurutnya mengganggu mampu membuat emosi Aghnya meledak-ledak.
***
"Anda akan pindah ke bangunan barat untuk sementara waktu sesuai dengan perintah Tuan Besar," ucap kepala pelayan pada Felen yang memilih acuh terhadap sekitarnya."Ya ... " Felen menyetujui begitu saja pengasingan tersebut. Menolak pun percuma karena perintah Barend adalah mutlak.Sejak saat itu, Felen tidak lagi tinggal di bangunan utama, tetapi di bangunan barat. Dekat dengan kediaman para pelayan. Ruang geraknya pun dibatasi, dan ia tidak diperbolehkan mengunjungi bangunan utama kecuali atas panggilan Barend. Gadis itu terisolasi dari dunia luar. Tidak mengetahui apa saja yang terjadi di luar sangkar emas miliknya. Termasuk keadaan Aghnya yang dikurung dengan penjagaan ketat.Felen awalnya berpikir kalau terkurung lebih baik daripada harus menyaksikan kepedulian Barend pada Abelard di mana ia menjadi pihak yang terlupakan. Kehidupan monoton tanpa konflik. Namun, ekspektasi Felen hancur ketika Barend memanggilnya di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersam
Kebebasan hanya angan semata ketika iblis turut ikut campur.***"CEPAT kejar mereka berdua. Jangan sampai lolos!" Seruan-seruan kasar penuh amarah terus bersahutan di belantara hutan yang tampak menyeramkan.Aghnya dan Felen berlari dengan sekuat tenaga, menghindar dan bersembunyi dari kejaran para pria utusan Barend. Peluh membanjiri tubuh keduanya, dan gesekan ranting melukai kulit mereka. Perih, tetapi kalau Aghnya dan Felen berhenti hanya untuk melihat luka yang tidak seberapa, sudah dipastikan dua manusia itu akan tertangkap. Kini, Aghnya dan Felen tidak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.Rasa cinta Aghnya terhadap Barend adalah kebodohan yang ia sesali setelah mengetahui pengkhianatan suaminya tersebut. Disiksa Aghnya bertahan. Tidak dianggap ia pun masih tetap bertahan, tetapi ketika Barend mencoba membunuh Felen-- putri satu-satunya, tentu Aghnya melawan. Dulu ia tidak menyadari perlakuan buruk suaminya karena cinta membutakannya. Padaha
"Felenia, kau mau ikut denganku atau membiarkan para manusia itu menghabisimu?"Felen menoleh, lalu memandang kosong lengan Leon yang terulur padanya."Kenapa aku harus ikut denganmu?" Ia terkekeh pelan. Senyum getir muncul di bibir gadis itu ketika tatapannya terjatuh pada tubuh kaku Aghnya yang sudah tidak bernapas."Karena kau bisa dibilang tahanan perjanjian ... atau perantara perjanjian, hm? Ibumu juga menitipkanmu padaku. Terlebih, kau tidak memiliki alasan kuat untuk menolak ajakanku, tetap berada di sini hanya akan membuatmu berakhir sama seperti Aghnya."Ucapan Leon ada benarnya hingga perasaan bimbang menggelayuti hati gadis itu. Keadaan tidak memberi Felen banyak pilihan. Akhirnya, ia memilih untuk meraih uluran tangan Leon. Meski Felen tidak mengetahui masa depan seperti apa yang akan ia hadapi jika mengikuti pria itu, itu lebih baik daripada kematian.Netra keemasan Leon menyorot lembut pada Felen. "Pilihan bijak. Tenang saja, kau akan
Kesakitanmu adalah candu ternikmat yang kuresapi secara perlahan.***"My Lord, persiapannya sudah selesai." Adrien menghampiri Leon yang tengah memandang keindahan langit malam, dan salah satu kota di Devil Reign dari balik dinding kaca di kastilnya. Pelayan tua itu menunggu tenang di belakang. Tidak ingin mengganggu kesenangan tuannya."Lihatlah Adrien..." Leon mendesah dramatis seraya merentangkan lebar kedua lengannya. "... satu lagi keinginanku akan terkabulkan sebentar lagi," ucapnya dengan gairah yang meletup-letup. Wajah Leon menampakkan kepuasan. Ia menjilat sensual bibir merah gelapnya, merasakan euforia menyenangkan yang menggelegak di dalam dirinya."Tentu saja, My Lord. Karena kau memang tidak terkalahkan." Adrien membalas dengan bangga.Kali ini Leon tertawa renyah. Ia mengulum senyum lebar. "Kau memang pelayan terbaikku, Adrien." Tubuh Leon berbalik menghadap pelayan tua itu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana baha
Felen melihat pantulan dirinya di depan cermin besar. Tidak ada yang berubah dari fisiknya selain kini terdapat sebuah ukiran seperti tato rumit di dadanya. Felen menyentuh ukiran tersebut secara perlahan. Hal yang menjadi bukti kalau kejadian yang ia alami bukan sebuah mimpi.Ingatan tentang malam mengerikan itu tentu tidak akan pernah Felen lupakan. Bahkan mungkin akan membekas seumur hidup. Tubuh dan pikirannya mengingat dengan jelas kejadian itu. Namun, Felen tetap merasa kalau yang dirinya alami semalam tidak nyata, atau lebih tepat ia menolak kenyataan itu.Sekali lagi Felen mematut dirinya di cermin. Kali ini ia berputar membelakangi cermin, memerhatikan tubuh belakangnya mulai dari punggung hingga ke bokong. Akan tetapi tidak terdapat keanehan atau ukiran lain seperti di dadanya. Kemudian pada saat itulah, daun pintu ganda kamar Felen terbuka lebar, menampakkan sesosok Adonis yang semalam menyiksanya."Wow ... " Pria itu --Leon, bersiul senang dihadiahi
SEMUA makhluk dalam ruangan tersebut tampak tegang. Terkecuali sang pemimpin-- Leon yang duduk dengan wajah bosan di atas singgasana. Ia, anehnya, masih sabar dalam menghadapi salah satu dari para Interessengruppen-nya. Padahal usulan orang terpercayanya itu bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang merendahkan keagungannya. Hal yang menjadi kebanggaan Lucifer-- Lord of Corruption."Jangan bertele-tele, Alair," tuntut Leon jengah.Seketika Alair menunduk dalam. "Ampun, My Lord. Saya tidak bermaksud untuk lancang." Tubuh iblis itu bergetar ketakutan ketika merasakan embusan ringan kekuatan Leon padanya."Angkat kepalamu."Alair mengangkat kepala sesuai perintah Leon. Ia menatap tuannya itu tepat di netra keemasannya demi menunjukkan keseriusan dalam kata-katanya."Ada baiknya kalau Nona Felenia belajar tentang Dunia Iblis lebih dahulu," lanjut Alair tegas.Leon tidak langsung menolak atau pun menerima. Ia tengah menimbang usul dari Alair.
SEBUAH kereta kencana putih bertakhta emas dengan logo tiga kepala yang memiliki rupa berbeda tersemat di bagian belakangnya, mendarat mulus di pelataran kastil milik Leon. Benda tersebut terlihat sangat menyilaukan mata.Di bagian depannya, seekor kuda besar dengan sayap hitam yang terbentang indah menarik kereta kencana itu. Hampir keseluruhan warna matanya berwarna putih. Terlihat mengerikan layaknya makhluk tidak bernyawa.Kendati demikian, penampilan kereta kencana itu tampak mengagumkan. Terutama ketika melakukan putaran seperti ombak terlebih dahulu di atas langit, sebelum akhirnya mendarat di tanah. Atraksi yang sangat menakjubkan bagi manusia seperti Felen. Ia seperti melihat dongeng yang menjadi kenyataan.Di dunia manusia, keajaiban seperti itu tidak akan mungkin bisa Felen lihat. Lalu, hal yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa kereta kencana tersebut tidak memiliki kusir yang mengendalikan."Salam, Your Majesty." Suara berat bernada
PAKAIAN Felen yang berbeda dari siswa lainnya membuat gadis itu terlihat mencolok. Mantel putih yang ia pakai sangat kontras dengan seragam siswa Academy of אשמדאי (Ashmedai) yang berwarna hitam legam.Untuk beberapa alasan, Felen menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena pakaian saja, tetapi karena iblis yang menjalin kontrak dengannya adalah Lucifer-- iblis terkuat yang saat ini memiliki pangkat paling tinggi, dan berkuasa di dunia kegelapan di mana para iblis hidup dan tinggal layaknya manusia. Terlebih ia juga merupakan calon pengantin resmi yang dipilih Leon.Lucifer adalah raja dari para raja iblis.Fakta tersebut membuat para makhluk itu penasaran dengan alasan yang berbeda-beda.Salah satunya adalah iblis wanita berambut emas yang saat ini tengah memerhatikan Felen. Matanya tidak sedikit pun beralih ketika mengamati setiap gerak-gerak gadis itu, bahkan gerakan kecil seperti ketukan jari sekali pun."Sebaiknya kau jangan berani bermai
"What is a being like you doing in the sanctuary of the sleeping souls?" A short boy with blond hair greeted Leon at the entrance to the Spirit Realm. Even though the child was small in stature, an aura of dexterity emanated from him, as if to emphasize to anyone who came that he was not a being to be underestimated. "Tell me your goal!" said the boy proudly. Leon sighed lazily. He was quite annoyed with the arrogant attitude of the half-hearted creature. But he refrained from destroying the place, it was all for the sake of regaining half of Felen's soul that was confined in the Spirit Realm.If Leon made such a fuss there, it was certain that he would not be able to enter and his plan to obtain Felen's soul failed. "I came to retrieve the soul of someone who was accidentally sent here," Leon answered straightforwardly. The boy's eyes narrowed sharply. He scanned Leon from top to bottom. There was nothing unusual about the man's appearance, silver hair that was almost white with
Barend yang tengah memerhatikan langit-langit, beralih menatap Felen dan Abelard, dan untuk pertama kali selama hidupnya ia memberikan senyum tulus pada kedua anaknya itu. "Terima kasih ... aku akhirnya bisa bersatu kembali dengan Aghnya."Keheningan mengambil alih. Hanya suara rintihan pelan serta napas putus-putus Barend yang terdengar. Setelah beberapa menit berlalu, tubuh Barend tidak lagi bernapas. Pria itu pergi dengan senyum damai di bibir.‘Semudah itu?’ Hati Felen menjerit pilu. Antara senang dan sedih, ia tidak bisa menentukan. Ia tertawa kosong. Belati yang berada di tangan jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi nyaring yang menyentak Abelard dari lamunan.Secara refleks Abelard segera menahan tubuh Felen yang hampir luruh ke lantai, bergetar tak terkendali hingga membuatnya khawatir dengan keadaan psikologis gadis itu. "Felenia?" panggilnya hati-hati setelah mendudukkan Felen di kursi."Kau tahu, Abelard? Aku mempersiapkan semua
Felen mengacungkan belati ke leher Barend. Sedikit saja ia maju, leher pria itu pasti langsung robek. "Cukup. Hentikan omong kosongmu itu!" serunya keras. Air mata yang tadi berkumpul di pelupuk mata sudah leleh ke pipi.Ocehan Barend seketika terhenti.Semakin Felen membiarkan Barend berbicara, semakin pria itu mengatakan banyak hal yang membuat ia muak. "Apa yang Abelard katakan ternyata salah." Suaranya sedikit bergetar, tetapi penuh dengan ketegasan."Kau hanya memedulikan dirimu sendiri." Felen bangkit dari kursi, masih dengan belati yang mengacung kurang dari lima sentimeter di leher Barend. Perlahan ia bergerak memutari meja agar memudahkan dirinya untuk menyerang Barend apabila pria itu bertindak anarkis. Ia bisa langsung menancapkan belati tersebut jikalau hal itu terjadi.Perkataan Barend sebelumnya yang mengatakan bahwa Aghnya wanita murahan membuat Felen geram. Memang benar pria itu telah meminta maaf, tetapi permintaan maaf tersebut terdengar
Ketika Felen membuka mata, ia telah berdiri di pelataran manor keluarga Leister. Bangunan itu tampak megah, tetapi diliputi oleh kekosongan layaknya bangunan tak berpenghuni. Tak terlihat satu pun pelayan yang lalu lalang. Aura yang menguar dari bangunan tersebut juga tampak sangat suram dan gelap."Apa-apaan ini?" Leon lebih dahulu bersuara. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit tajam.Bukan hanya Felen yang merasakan keanehan di manor itu, tetapi Leon juga menyadari bahwa sesuatu telah terjadi di sana. Energi hitam yang saling bertubrukan di sana terlihat sangat kacau dan aneh seolah dilakukan dengan sengaja. Terlebih, ia merasakan energi saudara-saudaranya, para pangeran kegelapan.Leon maju beberapa langkah dengan tangan terulur ke depan. Ketika tangannya menyentuh udara kosong, tiba-tiba saja muncul listrik statis yang melukai tangannya hingga melepuh. Seolah terdapat prisai tak kasat mata yang menolak kehadirannya untuk lebih dalam memasuki manor.
Rencana makan siang dengan Abelard batal dilaksanakan, dan sebagai gantinya Felen diajak sarapan bersama. Hanya mereka berdua yang berada di ruang makan tersebut. Leon memilih diam di dalam kamar bersama Gruga dengan alasan ingin memberi Felen, dan Abelard untuk berbicara berdua dengan leluasa.Sarapan Felen telah habis. Saat ini ia tengah minum teh dengan Abelard. Suasana di ruang makan sangat hening. Hanya embusan napas pelan milik Felen dan Abelard yang menjadi satu-satunya suara. Para pelayan telah lama pergi memberi ruang bagi kedua manusia itu, tetapi sejak tadi Abelard belum juga mengeluarkan suara. Meningkatkan kecemasan dalam diri Felen kian menguat. Beberapa kali ia melirik ke arah Abelard, lalu ke arah jam yang anehnya tidak berdetak. Seolah waktu terhenti di dalam ruangan itu."Aku menagih hal yang mau kau sampaikan kemarin, Abelard." Abelard tidak tampak berniat untuk segera menjelaskan perihal perkataannya waktu itu, hingga Felen berinisiatif sendiri. Sua
Felen menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Meski tidak melakukan kegiatan berat yang menguras tenaga, energinya terasa habis tak tersisa setelah berbicara panjang lebar dengan Abelard. Apalagi setelah makan siang, adiknya itu ingin mengutarakan hal lain yang tidak kalah penting. Helaan napas lelah pun tanpa bisa ditahan keluar dari sela bibir.Saat ini Felen berada di vila milik keluarga Leister. Awalnya ia menolak, dan ingin langsung menghampiri Barend. Terutama setelah mengetahui kebusukan yang telah dilakukan ayahnya itu. Namun, atas saran Abelard dan perintah Leon, Felen menunda niat tersebut.Kedua mata Felen yang tadi terpejam, terbuka perlahan. Ia melirik pada Leon yang bergeming sembari menatap keluar jendela. Tetesan air yang turun dari langit perlahan mulai membasahi bumi. Suaranya yang konstan memberi kenyamanan di ruangan yang diterpa keheningan tersebut."Aneh melihatmu hanya diam sejak tadi." Felen memecah kesunyian di antara mereka setelah meli
Hari yang dinantikan akhirnya datang juga. Jemari Felen saling meremas gugup. Saat ini perasaannya campur aduk. Ia menarik napas dalam-dalam untuk meredakan detak jantung serta kegugupannya."Ayo," ajak Leon yang sejak tadi berada di samping Felen.Mereka berada di dalam Forest of Wonders, tepat di depan The World Tree yang merupakan salah satu jalan masuk ke dunia manusia. Leon sebenarnya mengajak Felen untuk menggunakan teleportasi miliknya saja daripada melewati The World Three. Namun, atas permintaan Felen yang ingin pergi ke labirin terlebih dahulu, mereka akhirnya melewati The World Tree."Ya, ayo." Felen meraih tangan Leon yang membentang ke arahnya. Kemudian, mereka melewati sebuah portal hitam yang muncul di bagian tengah The World Tree. Portal itu terlihat mengerikan, tetapi setelah Felen masuk ke dalam, tidak ada yang berbeda atau pun spesial dari tempat itu selain warna hitam yang mendominasi.Ada rasa takut yang terselip. Imajinasi bahwa port
Di salah satu sudut di Devil Reign, terdapat sebuah area khusus yang diperuntukkan untuk utusan malaikat yang bersekolah di Academy of אשמדאי (Ashmedai) tinggal. Salah satu penghuni tersebut adalah Louisa yang saat ini tengah berkomunikasi dengan Archangel Michael. Memberikan laporan rinci tentang apa saja yang sudah terjadi di sekitar Felen."Jadi maksudmu, dia menolak tawaran untuk lepas dari Lucifer, dan lebih memilih mengambil jalan penuh duri?" Suara itu terdengar sangat lembut dan menenangkan."Ya, aku rasa percuma membujuknya lagi. Lebih baik dia dilenyapkan agar tidak semakin jatuh dalam kegelapan." Raut wajah Louisa berubah muram dan sedih. Semua itu bukan sebuah kepura-puraan. Ia benar-benar sangat sedih karena gagal membujuk Felen untuk lepas dari Leon.Sosok di hadapan Louisa terlihat sama sedihnya seperti gadis itu. "Kalau begitu aku serahkan semuanya padamu. Aku yakin kau tahu mana yang terbaik untuk teman pertamamu itu, bukan?" jawabnya penuh
Meski Leon sudah memerintah Felen untuk tidur dan beristirahat, gadis itu tidak sedikit pun bisa terlelap dengan tenang. Bahkan kedua matanya yang segar tetap terbuka semalaman tanpa sedetik pun terpejam. Akibatnya, terbentuk bayangan hitam keabuan-abuan di sekitar bawah mata. Wajah Felen terlihat sayu dengan gurat lelah dan tidak bercahaya.Felen menghela napas lelah. Ini ketiga kalinya pagi ini ia melakukan hal tersebut. Sebuah pepatah bilang bahwa kebahagiaan akan menghilang kalau ia terus menghela napas. Namun, bagi Felen kebahagiaan telah lama pergi dari kehidupannya sehingga berapa kali pun ia mendesah hal tersebut bukan masalah besar."Nona, Anda mau teh lagi?" tanya salah satu Bunny melihat cangkir milik Felen tinggal terisi sedikit."Ya, tolong." Felen membalas singkat dengan senyum tipis. Ia tengah menunggu kedatangan Leon untuk membicarakan perihal Barend seperti yang pria itu katakan tadi malam. Entah ke mana iblis itu pergi pagi-pagi sekali. Leon te