Di ambang usia pernikahan yang dianggap sempurna, Laras mendapati kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan. Seorang wanita datang membawa kabar bahwa suaminya, Dimas, telah mengkhianatinya dan memiliki anak dari wanita tersebut. Laras dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah ia akan bertahan demi cinta dan keluarganya, atau melepaskan suami yang telah mengkhianati kepercayaannya?
Lihat lebih banyak“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya. Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamar, memandangi album foto pernikahannya yang tergeletak di pangkuannya. Foto-foto yang dulu begitu berarti kini hanya terasa seperti potongan kenangan yang sudah lama berlalu. Laras menelusuri gambar-gambar itu dengan jemarinya, mengingat saat-saat ketika ia dan Dimas berdiri bersebelahan dengan senyuman lebar, penuh harapan akan masa depan yang mereka yakini akan selalu bahagia.Namun, kini semua itu terasa seperti kebohongan. Setiap janji yang mereka ucapkan di hari pernikahan mereka, setiap mimpi yang mereka rencanakan bersama, terasa hancur berkeping-keping. Laras menyadari bahwa pengkhianatan Dimas telah merusak dasar pernikahan mereka, dan meskipun ia mencintai anak-anaknya, ia tidak bisa lagi memandang Dimas dengan cara yang sama.
Persidangan berjalan semakin tegang, semakin rumit, dan semakin menguras energi dari semua yang terlibat di dalamnya. Di tengah proses yang penuh konflik, Nina mulai merasakan beban yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semula, ia datang ke persidangan dengan rasa percaya diri dan keyakinan untuk memperjuangkan hak anaknya. Namun, setiap pertemuan di ruang sidang justru membuat perasaannya semakin rumit.Hari itu, Nina duduk di ruang tunggu pengadilan sebelum sidang dimulai. Ia merasakan jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. Di sekelilingnya, wajah-wajah pengunjung pengadilan yang tak dikenal menatap dengan berbagai macam ekspresi. Beberapa tampak iba, beberapa tampak penasaran, tetapi tidak sedikit yang memandangnya dengan tatapan menghakimi. Perasaan terasing itu perlahan mengikis kepercayaan d
Rumah itu terasa hening, terlalu hening, seperti tempat yang kehilangan kehangatan dan kehidupan. Laras dan Dimas masih tinggal di rumah yang sama, tetapi mereka tidak lagi berbicara dengan cara yang biasa. Hubungan mereka yang dulu dipenuhi tawa dan kebersamaan kini berubah menjadi keheningan yang menusuk dan penuh ketegangan. Mereka bergerak di dalam rumah layaknya dua orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama.Setiap pagi, Laras bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan anak-anak. Ia melakukan semuanya dengan cepat, menghindari kemungkinan bertemu Dimas yang biasanya baru bangun setelah anak-anak berangkat ke sekolah. Begitu juga Dimas, yang sekarang lebih sering duduk sendirian di ruang tamu atau teras, seolah-olah sengaja menghindari Laras. Jika mereka bertemu di lorong atau di dapur, mereka hanya
Hari-hari terasa semakin berat bagi Laras. Setelah kepergian Andi yang tanpa penjelasan lebih lanjut, ia merasakan kesendirian yang begitu mendalam. Pagi-pagi di rumah terasa hampa tanpa pesan dukungan dari Andi, dan setiap kali ia menghadapi masalah, tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju untuk sekadar mencurahkan isi hatinya.Sebagai ibu tunggal yang masih bergulat dengan tekanan persidangan Dimas dan Nina, Laras mencoba sekuat tenaga menjalani hari-harinya tanpa dukungan emosional yang selama ini diberikan Andi. Namun, meskipun ia mencoba bersikap kuat, hati kecilnya merasakan kehampaan yang semakin besar. Beban itu terasa begitu berat ketika ia harus mengurus anak-anak yang semakin sering mempertanyakan situasi di rumah mereka, sementara di sisi lain ia juga harus mempersiapkan diri menghadapi sidang yang tam
“Sarah, pelan-pelan makannya,” suara lembut Laras menegur putri sulungnya yang tengah menyuap sesendok nasi goreng sambil asyik bercanda dengan adiknya, Naya.“Mama, aku udah bisa makan sendiri!” seru Naya dengan bangga, menunjukkan sendoknya yang gemetar, berisi potongan kecil telur dadar.Laras tersenyum lembut sambil mengusap kepala putri kecilnya itu. “Hebat banget Naya! Jadi anak pintar ya.”Pagi di rumah keluarga kecil ini selalu diiringi suasana hangat, penuh canda dan tawa. Dimas duduk di seberang meja, mengamati Laras dan anak-anak mereka dengan senyum bangga.Sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul, ia merasa tenang. Pemandangan di hadapannya adalah definisi kebahagiaan yang selama ini ia idamkan: istri yang penuh kasih dan anak-anak yang ceria.Raka, si bungsu, mengoceh sendiri sambil bermain sendok dan garpu di atas piringnya. Suaranya yang lincah dan celotehnya yang belum jelas memeriahkan meja makan.Laras tertawa kecil, memperhatikan Raka yang tampak senang memai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen