“Sarah, pelan-pelan makannya,” suara lembut Laras menegur putri sulungnya yang tengah menyuap sesendok nasi goreng sambil asyik bercanda dengan adiknya, Naya.
“Mama, aku udah bisa makan sendiri!” seru Naya dengan bangga, menunjukkan sendoknya yang gemetar, berisi potongan kecil telur dadar.
Laras tersenyum lembut sambil mengusap kepala putri kecilnya itu. “Hebat banget Naya! Jadi anak pintar ya.”
Pagi di rumah keluarga kecil ini selalu diiringi suasana hangat, penuh canda dan tawa. Dimas duduk di seberang meja, mengamati Laras dan anak-anak mereka dengan senyum bangga.
Sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul, ia merasa tenang. Pemandangan di hadapannya adalah definisi kebahagiaan yang selama ini ia idamkan: istri yang penuh kasih dan anak-anak yang ceria.
Raka, si bungsu, mengoceh sendiri sambil bermain sendok dan garpu di atas piringnya. Suaranya yang lincah dan celotehnya yang belum jelas memeriahkan meja makan.
Laras tertawa kecil, memperhatikan Raka yang tampak senang memainkan potongan roti panggangnya. Dengan hati-hati, Laras meraih tangan kecilnya, membantunya makan sedikit demi sedikit.
“Raka, makan, jangan cuma mainin rotinya ya, Nak,” ujar Laras dengan suara lembut.
Dimas menatap istrinya penuh kekaguman. Bagi Laras, segala sesuatu tentang anak-anak selalu menjadi prioritas. Ia tak pernah lelah merawat mereka, mendampingi setiap tahapan kecil dalam hidup mereka dengan penuh kasih.
Dimas tahu, Laras tidak pernah mengeluh, bahkan ketika lelah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Senyumnya yang tulus selalu muncul, bahkan di saat-saat ia tahu Laras membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.
“Mama, Sarah mau susu,” rengek Sarah, si sulung, sembari menyodorkan gelas kosong.
“Oh, kamu sudah besar, Kak. Ambil sendiri, ya?” ucap Laras sambil tersenyum lebar.
Dimas terkekeh melihat Sarah bangkit dari kursinya, menuju kulkas dengan langkah mantap. "Kita memang punya anak-anak yang mandiri, ya?" komentar Dimas.
Laras mengangguk sambil mengusap pundak Naya yang sedang menyuap sesendok nasi ke mulutnya. “Iya, Mas. Kadang aku masih nggak percaya, mereka tumbuh begitu cepat,” gumamnya dengan nada bangga.
Melihat kedamaian di meja makan pagi itu, hati Laras dipenuhi perasaan syukur. Ada rasa hangat yang mengalir dalam dirinya, perasaan yang menguatkan hatinya setiap hari.
Dimas tersenyum, memandangi Laras dengan tatapan lembut, membuat Laras tersipu tanpa sadar. Hubungan mereka, meski sudah bertahun-tahun, tetap dipenuhi percikan cinta yang seolah tak pernah pudar.
“Masakannya enak, seperti biasa, Bu,” puji Dimas, sambil menyendok potongan telur dari piringnya.
Laras tersipu, merasa senang meski komentar itu sudah berulang kali ia dengar. “Aduh, Mas, bisa aja. Yang penting anak-anak doyan, aku udah senang.”
Dimas melirik ketiga anak mereka yang kini sedang sibuk dengan makanan masing-masing, dan dia meraih tangan Laras di atas meja, menggenggamnya sejenak.
Sentuhan hangat itu membuat Laras merasakan perasaan tenang, rasa cinta yang begitu kuat, yang membuatnya yakin bahwa hidup mereka bersama adalah sesuatu yang tak tergantikan.
“Laras…” Dimas berkata pelan, suaranya terdengar penuh arti, tapi sebelum bisa melanjutkan, terdengar suara rengekan Naya yang menarik perhatian mereka berdua.
“Mama, Raka mau susuku!” teriak Naya, sambil menunjuk Raka yang memegang gelas susu Sarah.
Laras tertawa kecil, melepaskan genggaman Dimas dan beranjak untuk membantu Raka. “Ayo, Raka, kita kasih ini buat Naya dulu, ya. Nanti Mama ambilkan lagi buat kamu.”
Dimas memperhatikan Laras yang melayani anak-anaknya dengan kesabaran dan kelembutan. Baginya, Laras adalah pusat dari keluarga ini. Ia adalah sosok yang menenangkan, membuat rumah ini terasa begitu hangat.
Dimas ingat betapa mereka telah melalui berbagai hal bersama, baik suka maupun duka, dan Laras selalu menjadi tiang yang kokoh.
Di luar, matahari mulai naik, memancarkan sinarnya ke dalam ruangan melalui jendela besar di dapur mereka. Cahaya lembut itu mengenai wajah Laras, membuatnya tampak bersinar dalam balutan piyama pagi yang sederhana.
Laras adalah perempuan yang tidak banyak menuntut. Baginya, kebahagiaan keluarga adalah yang utama, dan Dimas tahu ia adalah lelaki yang beruntung.
Laras kembali duduk setelah memastikan Raka dan Naya tenang dengan gelas susu masing-masing. Dia menatap Dimas dan tersenyum, sebuah senyum kecil yang menenangkan hati.
“Mas,” Laras berbisik sambil melirik ketiga anak mereka yang kini sibuk dengan makanan masing-masing. “Aku kadang merasa, kita benar-benar beruntung punya mereka.”
Dimas mengangguk, tatapannya lembut. “Aku juga, Laras. Setiap hari, aku bersyukur bisa hidup sama kamu dan anak-anak.”
Sejenak mereka tenggelam dalam keheningan, menikmati momen yang terasa sempurna ini. Laras menggenggam tangan Dimas lagi, merasa beruntung memiliki seseorang yang selalu mendukung dan menghargainya.
Di dunia yang terus bergerak cepat, mereka berdua mampu menciptakan ruang kecil di mana cinta dan keluarga menjadi segalanya.
“Mas, ingat nggak waktu dulu kita pertama kali pindah ke sini? Rumah ini masih kosong banget, cuma ada kasur dan meja makan ini,” kenang Laras sambil tertawa kecil, memandangi meja kayu tua yang menjadi saksi perjalanan hidup mereka.
Dimas tertawa, mengangguk. “Ingat banget. Kita nggak punya apa-apa selain impian dan kamu yang selalu berusaha keras. Ternyata kita bisa sampai sejauh ini.”
Mereka tertawa bersama, mengenang masa-masa penuh perjuangan di awal pernikahan mereka. Dimas dan Laras memang memulai semuanya dari nol. Meski kadang hidup terasa berat, mereka saling menguatkan.
Rumah sederhana mereka kini dipenuhi dengan suara anak-anak dan kehangatan keluarga yang mereka bangun dengan susah payah.
“Yah, setidaknya meja makan ini masih setia menemani kita, ya?” canda Dimas sambil mengetuk meja yang telah terlihat sedikit usang namun penuh kenangan.
“Meja ini saksi hidup kita, Mas. Mungkin nanti anak-anak kita akan mengenang meja ini juga,” jawab Laras lembut, tatapannya penuh harapan.
Dimas mengangguk, perasaannya semakin dalam. Ia bersyukur memiliki seorang istri seperti Laras, seorang ibu yang setia dan penuh cinta. Ia berjanji dalam hatinya untuk selalu melindungi dan menjaga keluarganya.
Setelah selesai sarapan, Dimas membantu Laras membersihkan meja sementara anak-anak bermain di ruang tamu. Ketika mereka sedang merapikan piring-piring, Dimas memeluk Laras dari belakang, membuat Laras sedikit terkejut.
“Mas, apa-apaan sih,” gumam Laras sambil tersipu, merasa pipinya merona.
“Aku cuma ingin bilang terima kasih. Kamu telah menjadi istri yang luar biasa dan ibu yang hebat buat anak-anak kita. Aku nggak tahu apa yang bisa kuberikan untuk membalas semua yang sudah kamu lakukan.”
Laras terdiam sejenak, merasakan kehangatan pelukan Dimas. Hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. Dia menyadari bahwa segala pengorbanannya selama ini tidak pernah dianggap remeh oleh suaminya. Itu cukup baginya, lebih dari cukup.
“Aku nggak butuh apa-apa, Mas. Cukup kita tetap bersama, sehat, dan bisa melihat anak-anak tumbuh dengan bahagia,” balas Laras pelan.
Dimas mengeratkan pelukannya, lalu menunduk untuk mencium kepala Laras. “Aku janji, aku akan selalu ada untuk kamu dan anak-anak. Selamanya.”
Kata-kata itu menggema di telinga Laras. Bagi mereka, mungkin tidak ada yang bisa lebih berarti selain janji untuk tetap bersama. Janji untuk saling menjaga dan mendampingi, apapun yang terjadi.
Tak lama, suara Naya yang memanggil memecah keheningan. “Mama! Aku mau mandi dulu, boleh kan?”
Laras tertawa kecil, mengusap tangan Dimas sebelum melangkah menghampiri putrinya. “Boleh, sayang. Yuk, Mama temenin ke kamar mandi.”
Dimas memperhatikan mereka dengan perasaan penuh. Laras mengajak Naya ke kamar mandi, sementara Raka mengikuti dari belakang, mengoceh ceria. Dimas duduk di kursi makan, menatap keluarganya yang tampak begitu bahagia.
Sesaat, ia merasa inilah puncak dari segalanya. Seakan dunia di luar tak ada artinya ketika ia bersama keluarga kecilnya.
Pagi itu, dalam kesederhanaan dan kehangatan, mereka menikmati kebersamaan yang mungkin terlihat biasa bagi sebagian orang. Namun, bagi Dimas dan Laras, momen ini adalah sesuatu yang mereka jaga dengan segenap hati.
Momen yang menjadi bukti bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana, tapi mampu memberikan kebahagiaan yang begitu dalam.
Dimas menatap ke arah jendela, ke luar rumah yang diterangi cahaya matahari pagi. Di sana, ia melihat masa depan mereka yang penuh harapan, meski belum tahu apa yang akan mereka hadapi nanti. Namun, dengan Laras di sisinya, ia merasa siap untuk apa pun.
“Mas, pernah nggak kamu mikir kalau hidup kita bakal kayak gini?” Laras bertanya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Dimas. Mereka duduk di sofa ruang tamu, menikmati ketenangan pagi sementara anak-anak bermain di halaman depan.Dimas menoleh ke arah istrinya, tertawa kecil. “Maksudnya? Hidup sederhana ini?”Laras tertawa juga. “Nggak, bukan cuma itu, Mas. Semua ini… kamu, anak-anak, rumah kecil kita. Rasanya semua terlalu sempurna untuk dipercaya.”Dimas menatap dalam-dalam ke mata Laras, sambil menggenggam tangannya. “Aku juga kadang merasa ini semua seperti mimpi. Kadang, aku masih nggak percaya kamu bisa jatuh cinta sama aku dulu.” Ia menambahkan dengan nada bercanda, membuat Laras tertawa kecil lagi.Mata Laras menerawang ke jendela, menembus pemandangan yang kini tak terlihat, ingatannya kembali ke tahun-tahun lampau. Dia mengingat pertama kali bertemu Dimas, di sebuah kafe kecil dekat kampus.Laras masih menjadi mahasiswi akhir saat itu, sibuk dengan skripsi dan tugas-tugas y
Pagi itu, matahari bersinar cerah, dan angin berembus lembut. Suasana di rumah Laras terasa hangat. Suara tawa anak-anak yang bermain di halaman depan terdengar mengisi udara, membawa kebahagiaan sederhana di pagi yang damai itu.Laras sedang di dapur, sibuk mencuci piring sisa sarapan sambil sesekali melirik keluar jendela, melihat anak-anak yang bermain dengan tawa riang. Ada perasaan tenang yang mengalir dalam hatinya, perasaan puas dan bahagia. Semua tampak sempurna.Tiba-tiba, bel pintu berbunyi, mengusik ketenangan pagi itu. Laras mengerutkan kening, sedikit terkejut. Dia tidak mengharapkan tamu di pagi hari seperti ini. Siapa yang datang?Laras mengeringkan tangannya dengan cepat dan berjalan menuju pintu depan, sambil berharap itu mungkin tetangganya yang datang untuk sesuatu yang sepele. Tapi ketika ia membuka pintu, dia dihadapkan pada pemandangan yang benar-benar tak terduga.Di depan pintu berdiri seorang wanita muda, mungkin sekitar akhir dua puluhan. Wajahnya tegas, deng
Laras duduk diam di ruang tamu, pandangannya kosong. Ruangan yang biasanya terasa hangat dan nyaman itu kini terasa asing, dingin, seolah tak lagi menjadi bagian dari kehidupannya.Kata-kata Nina masih terngiang di telinganya, menghantam jiwanya berulang kali, mengoyak perasaannya hingga tak tersisa.Anak-anak sudah tidur siang, tertidur lelap di kamar mereka setelah pagi yang penuh dengan permainan dan tawa. Tapi Laras tidak bisa merasakan kebahagiaan dari suara tawa mereka kali ini. Di dalam dirinya hanya ada kekosongan, kehancuran, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan.Pintu depan terdengar terbuka. Langkah-langkah Dimas mendekat, terdengar biasa dan tenang, tanpa ia tahu badai besar yang tengah menghancurkan kehidupan mereka. Laras menoleh perlahan, melihat suaminya berdiri di depan pintu, menatapnya dengan senyuman kecil seperti biasanya.“Hai, Ras… Kok bengong?” Dimas menyapa dengan nada ringan. Namun, senyumnya perlahan memudar ketika melihat ekspresi wajah Laras yang dingin
Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar d
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,