Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.
Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.
“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.
Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”
“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”
Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar dulu. Aku… aku memang kenal Nina, tapi aku nggak pernah berpikir ini akan jadi seperti ini.”
“Kamu kenal dia? Kamu cuma ‘kenal’ dia?” Laras menyelipkan jemarinya ke rambut, mencoba menenangkan kemarahan yang terasa semakin meledak di dalam dirinya. “Dia bilang, dia hamil anak kamu, Mas. Anak kamu!”
Dimas diam, menunduk tanpa berkata apa-apa. Laras mengamati ekspresi suaminya dengan hati yang semakin pedih. Keheningan itu berbicara lebih banyak dari jawaban mana pun yang bisa Dimas berikan. Laras merasa tubuhnya melemas, namun kemarahan dalam hatinya justru semakin memuncak.
“Kamu nggak berniat menjelaskan apa pun, kan?” Laras mendesak, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. “Apa kamu masih mau menyangkal kalau kamu sudah mengkhianati aku, mengkhianati keluarga kita?”
Dimas mendesah, mencoba menghindari tatapan Laras yang penuh luka dan amarah. “Aku nggak mau ini terjadi, Laras. Aku… aku nggak bisa mengontrol perasaanku waktu itu. Itu adalah kesalahan yang bodoh, dan aku menyesal.”
Laras tertawa pahit, tawa yang penuh kepedihan. “Kesalahan yang bodoh? Kamu tahu nggak, Mas? Kesalahan bodoh kamu ini menghancurkan hidupku! Aku percaya sama kamu. Aku memberikan segalanya untuk keluarga ini, untuk kamu, tapi apa yang kamu lakukan?”
Dimas masih menunduk, tak berani menatap Laras yang kini menahan air mata. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Laras. Aku tahu aku salah, dan aku siap bertanggung jawab. Aku siap memperbaiki semuanya.”
“Memperbaiki?” Laras mendekat, berdiri tepat di depan Dimas yang masih duduk dengan kepala tertunduk. “Bagaimana caranya kamu memperbaiki sesuatu yang sudah kamu hancurkan, Mas? Kamu pikir dengan permintaan maaf, semua ini akan hilang begitu saja?”
Dimas akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Laras dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Aku tahu ini nggak mudah. Aku tahu aku sudah menyakiti kamu. Tapi aku mencintai kamu, Laras. Aku mencintai keluarga kita. Aku nggak mau kehilangan kamu.”
Laras menggeleng, tatapannya penuh kekecewaan. “Cinta? Kamu bilang kamu mencintai aku, tapi kamu malah memilih wanita lain. Kamu menghancurkan kepercayaan yang aku bangun selama ini. Apa itu cinta, Mas?”
Kemarahan yang selama ini ia tahan akhirnya meledak. Laras menumpahkan semua rasa sakitnya, semua pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Dia menatap Dimas dengan air mata yang mulai mengalir, namun nadanya tetap tegas.
“Kamu tahu nggak, Mas? Aku selalu membanggakan kamu. Aku selalu bilang ke teman-temanku kalau aku punya suami yang baik, yang setia. Aku bahkan pernah bilang ke anak-anak kalau kamu adalah ayah terbaik yang bisa mereka miliki.” Laras menunduk, suaranya bergetar. “Tapi kamu merusak semua itu.”
Dimas memejamkan mata, seolah tak mampu mendengar kata-kata Laras yang semakin tajam. Ia tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, tapi ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. “Laras, aku minta maaf. Aku tahu aku nggak pantas untuk dimaafkan, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”
Kata-kata itu tak lagi berarti bagi Laras. Hatinya sudah hancur, dan penyesalan Dimas terasa tak ada artinya. “Mas, tahu nggak? Maaf kamu itu nggak cukup. Kamu menyesal? Aku nggak peduli. Yang aku tahu, aku hidup dengan seorang pembohong, seorang pengkhianat.”
Mereka saling berpandangan, dalam keheningan yang penuh ketegangan. Dimas mencoba meraih tangan Laras, tapi Laras segera menarik tangannya. “Jangan sentuh aku, Mas. Aku bahkan nggak tahu siapa kamu lagi.”
Dimas menarik tangannya kembali, menunduk dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu, aku nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi tolong beri aku kesempatan. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku.”
Laras menggeleng, menahan air mata yang semakin deras. “Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu, apalagi mempercayai kamu lagi. Kamu sudah menghancurkan semuanya.”
Di dalam hatinya, Laras ingin sekali memaafkan, tapi luka itu begitu dalam. Kepercayaan yang dulu ia berikan dengan sepenuh hati kini hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti berdiri di pinggir jurang, di antara cinta yang pernah ia rasakan dan kenyataan pahit yang kini ia hadapi.
Dimas terdiam, menunggu apa pun keputusan Laras. Dalam keheningan itu, Laras merasa perasaan cinta dan kepercayaan yang dulu ia miliki mulai sirna, tergantikan oleh kemarahan dan kekecewaan yang begitu dalam.
“Aku butuh waktu,” akhirnya Laras berkata dengan suara lirih, nyaris berbisik. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidup bersama kamu.”
Dimas mencoba menahan air mata, meski hatinya hancur mendengar kata-kata Laras. Ia tahu, jika Laras pergi, ia akan kehilangan segalanya. Namun, ia juga tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, dan ia harus menerima konsekuensinya.
“Baik, Laras. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu apa pun keputusanmu,” kata Dimas dengan suara bergetar, penuh rasa putus asa.
Laras menatapnya sekali lagi, sebelum berbalik meninggalkan ruang tamu. Air matanya masih mengalir deras, namun ia tak bisa lagi menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia melangkah ke kamar, menutup pintu di belakangnya, dan membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.
Di luar, Dimas terduduk di ruang tamu, menyesali segalanya. Ia merasa seperti kehilangan bagian terbesar dalam hidupnya, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu, berharap bahwa suatu hari Laras akan memberinya kesempatan untuk memperbaiki segalanya.
Namun, di dalam hatinya, Laras tahu bahwa hidup mereka tak akan pernah sama lagi.
Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersam
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin
Laras duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di sudut kota. Tangannya meremas cangkir teh yang sudah mendingin, sementara tatapannya kosong menembus jendela kaca di sebelahnya. Ia merasa gugup, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia akan bertemu Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bukan untuk mencari alasan atau permintaan maaf, tapi untuk memahami sejauh mana hubungan antara Dimas dan wanita itu—dan mungkin, untuk menutup satu babak yang tak pernah ia bayangkan akan ada dalam hidupnya.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan Nina melangkah masuk. Wajahnya tampak tegas, bahkan percaya diri, seolah-olah tidak ada yang salah dalam perbuatannya. Laras memperhatikan Nina dengan seksama saat wanita itu berjalan mendekat, men