Share

Bab 5: Kemarahan yang Tertahan

Laras berdiri di depan meja makan, memandangi Dimas yang duduk di kursinya dengan wajah tegang. Ruangan yang biasa dipenuhi canda tawa anak-anak kini terasa begitu sunyi, seolah menyisakan hanya keheningan yang menyakitkan.

Laras meremas jemarinya, mencoba menahan diri, mencoba menenangkan kemarahan yang membakar di dalam dadanya. Tapi kesabarannya semakin menipis.

“Jadi, kamu benar-benar nggak ada hubungan apa-apa dengan Nina?” Suaranya terdengar dingin, namun setiap kata mengandung kemarahan yang tertahan. Matanya menatap Dimas tajam, tak memberi ruang bagi suaminya untuk berkelit.

Dimas mengalihkan pandangannya, mencoba menghindari tatapan Laras. Dia menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Laras… Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”

“Tidak seperti yang kupikirkan?” suara Laras meninggi, penuh nada sarkasme yang tajam. “Kamu bahkan nggak tahu apa yang aku pikirkan, Mas! Aku ingin mendengar kebenaran. Cuma itu.”

Dimas menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Laras, dengar dulu. Aku… aku memang kenal Nina, tapi aku nggak pernah berpikir ini akan jadi seperti ini.”

“Kamu kenal dia? Kamu cuma ‘kenal’ dia?” Laras menyelipkan jemarinya ke rambut, mencoba menenangkan kemarahan yang terasa semakin meledak di dalam dirinya. “Dia bilang, dia hamil anak kamu, Mas. Anak kamu!”

Dimas diam, menunduk tanpa berkata apa-apa. Laras mengamati ekspresi suaminya dengan hati yang semakin pedih. Keheningan itu berbicara lebih banyak dari jawaban mana pun yang bisa Dimas berikan. Laras merasa tubuhnya melemas, namun kemarahan dalam hatinya justru semakin memuncak.

“Kamu nggak berniat menjelaskan apa pun, kan?” Laras mendesak, nadanya tajam dan penuh kekecewaan. “Apa kamu masih mau menyangkal kalau kamu sudah mengkhianati aku, mengkhianati keluarga kita?”

Dimas mendesah, mencoba menghindari tatapan Laras yang penuh luka dan amarah. “Aku nggak mau ini terjadi, Laras. Aku… aku nggak bisa mengontrol perasaanku waktu itu. Itu adalah kesalahan yang bodoh, dan aku menyesal.”

Laras tertawa pahit, tawa yang penuh kepedihan. “Kesalahan yang bodoh? Kamu tahu nggak, Mas? Kesalahan bodoh kamu ini menghancurkan hidupku! Aku percaya sama kamu. Aku memberikan segalanya untuk keluarga ini, untuk kamu, tapi apa yang kamu lakukan?”

Dimas masih menunduk, tak berani menatap Laras yang kini menahan air mata. “Aku nggak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Laras. Aku tahu aku salah, dan aku siap bertanggung jawab. Aku siap memperbaiki semuanya.”

“Memperbaiki?” Laras mendekat, berdiri tepat di depan Dimas yang masih duduk dengan kepala tertunduk. “Bagaimana caranya kamu memperbaiki sesuatu yang sudah kamu hancurkan, Mas? Kamu pikir dengan permintaan maaf, semua ini akan hilang begitu saja?”

Dimas akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Laras dengan mata yang penuh rasa bersalah. “Aku tahu ini nggak mudah. Aku tahu aku sudah menyakiti kamu. Tapi aku mencintai kamu, Laras. Aku mencintai keluarga kita. Aku nggak mau kehilangan kamu.”

Laras menggeleng, tatapannya penuh kekecewaan. “Cinta? Kamu bilang kamu mencintai aku, tapi kamu malah memilih wanita lain. Kamu menghancurkan kepercayaan yang aku bangun selama ini. Apa itu cinta, Mas?”

Kemarahan yang selama ini ia tahan akhirnya meledak. Laras menumpahkan semua rasa sakitnya, semua pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya. Dia menatap Dimas dengan air mata yang mulai mengalir, namun nadanya tetap tegas.

“Kamu tahu nggak, Mas? Aku selalu membanggakan kamu. Aku selalu bilang ke teman-temanku kalau aku punya suami yang baik, yang setia. Aku bahkan pernah bilang ke anak-anak kalau kamu adalah ayah terbaik yang bisa mereka miliki.” Laras menunduk, suaranya bergetar. “Tapi kamu merusak semua itu.”

Dimas memejamkan mata, seolah tak mampu mendengar kata-kata Laras yang semakin tajam. Ia tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, tapi ia tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. “Laras, aku minta maaf. Aku tahu aku nggak pantas untuk dimaafkan, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku menyesal.”

Kata-kata itu tak lagi berarti bagi Laras. Hatinya sudah hancur, dan penyesalan Dimas terasa tak ada artinya. “Mas, tahu nggak? Maaf kamu itu nggak cukup. Kamu menyesal? Aku nggak peduli. Yang aku tahu, aku hidup dengan seorang pembohong, seorang pengkhianat.”

Mereka saling berpandangan, dalam keheningan yang penuh ketegangan. Dimas mencoba meraih tangan Laras, tapi Laras segera menarik tangannya. “Jangan sentuh aku, Mas. Aku bahkan nggak tahu siapa kamu lagi.”

Dimas menarik tangannya kembali, menunduk dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Aku tahu, aku nggak bisa mengubah masa lalu. Tapi tolong beri aku kesempatan. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah. Aku akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku.”

Laras menggeleng, menahan air mata yang semakin deras. “Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu, apalagi mempercayai kamu lagi. Kamu sudah menghancurkan semuanya.”

Di dalam hatinya, Laras ingin sekali memaafkan, tapi luka itu begitu dalam. Kepercayaan yang dulu ia berikan dengan sepenuh hati kini hancur berkeping-keping. Ia merasa seperti berdiri di pinggir jurang, di antara cinta yang pernah ia rasakan dan kenyataan pahit yang kini ia hadapi.

Dimas terdiam, menunggu apa pun keputusan Laras. Dalam keheningan itu, Laras merasa perasaan cinta dan kepercayaan yang dulu ia miliki mulai sirna, tergantikan oleh kemarahan dan kekecewaan yang begitu dalam.

“Aku butuh waktu,” akhirnya Laras berkata dengan suara lirih, nyaris berbisik. “Aku butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan hidup bersama kamu.”

Dimas mencoba menahan air mata, meski hatinya hancur mendengar kata-kata Laras. Ia tahu, jika Laras pergi, ia akan kehilangan segalanya. Namun, ia juga tahu bahwa semua ini adalah kesalahannya, dan ia harus menerima konsekuensinya.

“Baik, Laras. Aku akan menunggu. Aku akan menunggu apa pun keputusanmu,” kata Dimas dengan suara bergetar, penuh rasa putus asa.

Laras menatapnya sekali lagi, sebelum berbalik meninggalkan ruang tamu. Air matanya masih mengalir deras, namun ia tak bisa lagi menahan semua emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia melangkah ke kamar, menutup pintu di belakangnya, dan membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.

Di luar, Dimas terduduk di ruang tamu, menyesali segalanya. Ia merasa seperti kehilangan bagian terbesar dalam hidupnya, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu, berharap bahwa suatu hari Laras akan memberinya kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

Namun, di dalam hatinya, Laras tahu bahwa hidup mereka tak akan pernah sama lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status