Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.
Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.
Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.
Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.
Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.
Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba mereka harus tumbuh dalam keluarga yang terpisah.
Di tengah lamunannya, Dimas melangkah masuk ke ruang tamu. Tatapannya tampak ragu, penuh dengan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan.
Ia tahu bahwa kehadirannya hanya membuat hati Laras semakin terluka, namun ia tak ingin meninggalkannya. Dimas tetap berharap bahwa mereka bisa memperbaiki segalanya, meski ia tahu jalan itu tak akan mudah.
"Laras…" suara Dimas pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tahu kamu pasti benci melihatku, tapi… terima kasih karena masih mau bertahan untuk anak-anak."
Laras menoleh perlahan, tatapannya dingin, namun ada kelelahan yang terpancar di matanya. Ia sudah terlalu lelah untuk membenci, terlalu hancur untuk marah. “Mas, ini bukan tentang kamu atau perasaanku padamu lagi. Ini tentang anak-anak kita.”
Dimas mengangguk, menerima kenyataan itu meski dalam hati kecilnya ia berharap Laras masih memiliki sedikit perasaan untuknya. "Aku tahu, Laras. Dan aku akan melakukan apa pun untuk anak-anak kita… dan untukmu, kalau kamu mengizinkan."
Laras terdiam, merasa tak tahu apa yang harus dikatakannya. Hatinya ingin berteriak, ingin meluapkan segala emosi yang selama ini ia pendam. Namun, demi anak-anak, ia memilih menahan semua itu.
Tak ada gunanya ia meledakkan kemarahan, tak ada yang akan berubah. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan meredakan luka yang ia rasakan.
“Mas, aku nggak bisa bilang aku memaafkanmu,” akhirnya Laras berkata, suaranya terdengar getir. “Aku hanya bertahan karena aku nggak ingin anak-anak tumbuh tanpa keluarga yang utuh. Tapi itu saja, Mas. Jangan berpikir ini berarti aku… aku masih punya perasaan untukmu.”
Dimas mengangguk lagi, wajahnya tampak semakin terpukul. Ia tahu kepercayaan Laras sudah hilang, dan mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi demi anak-anak, ia harus tetap berada di sini, meski dalam hati ia tahu hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.
“Makasih, Laras. Aku akan melakukan yang terbaik untuk jadi ayah yang baik untuk mereka… dan untuk menjadi suami yang lebih baik buat kamu, kalau kamu bersedia memberi aku kesempatan itu,” kata Dimas dengan suara pelan, penuh rasa penyesalan.
Laras hanya terdiam. Kata-kata Dimas tidak memberi efek apa-apa pada hatinya yang sudah terlalu banyak terluka. Ia tahu bahwa janji-janji itu kini hanya kosong, tidak lagi memiliki arti baginya.
Mungkin suatu saat ia bisa memaafkan, tapi kepercayaan yang dulu utuh kini telah hancur, dan ia tak tahu bagaimana cara membangunnya kembali.
Hari-hari berikutnya berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Laras dan Dimas tetap tinggal di rumah yang sama, namun hubungan mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu ruangan.
Setiap interaksi di antara mereka penuh dengan ketegangan yang tersirat. Laras lebih banyak menghindar, menutup diri dari kehadiran Dimas. Ia hanya berusaha menjalani hari demi hari dengan fokus pada anak-anaknya, mencoba memberikan senyuman yang tulus meski hatinya terasa hancur.
Suatu sore, saat Laras sedang menyuapi Raka di meja makan, Sarah, putri sulung mereka, mendekat dan menatap ibunya dengan tatapan polos namun penuh tanya.
"Mama, kenapa Mama sering diam? Mama sedih, ya?" tanyanya dengan suara pelan, wajah kecilnya tampak khawatir.
Laras tertegun, merasa hatinya berdesir melihat kepekaan anaknya. Ia mencoba tersenyum meski dengan usaha yang besar. "Enggak, sayang. Mama nggak sedih. Mama cuma… ya, Mama sedikit capek."
Sarah memandang ibunya, seolah tidak benar-benar percaya pada jawaban itu. Anak kecil itu mengangguk pelan, namun wajahnya masih memancarkan keingintahuan yang tulus.
Di usianya yang baru tujuh tahun, Sarah mungkin belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tapi ia bisa merasakan ada perubahan di antara kedua orang tuanya.
Dimas yang duduk di seberang meja hanya bisa diam, menatap Laras dan Sarah dengan perasaan bersalah yang semakin berat. Setiap kali ia melihat wajah anak-anak mereka, hatinya terasa semakin hancur, karena ia tahu ia adalah penyebab dari semua ini.
Setelah makan malam, ketika anak-anak sudah tidur, Dimas mencoba mengajak Laras berbicara di ruang tamu. Ia tahu ini mungkin akan sulit, tapi ia tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini terus berlanjut.
"Laras, aku tahu aku nggak pantas meminta apa pun darimu… tapi aku ingin kita bisa bicara, untuk kebaikan anak-anak," ujarnya, nadanya penuh permohonan.
Laras menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Mereka duduk berhadapan, dan keheningan terasa begitu menekan. Laras menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih terluka.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya dengan nada datar, tanpa emosi.
Dimas menghela napas, mengumpulkan keberanian. “Aku tahu keadaan ini sulit untuk kamu, dan mungkin untuk anak-anak juga. Aku… aku berharap kita bisa mencoba menciptakan suasana yang lebih baik, meskipun hubungan kita tidak lagi seperti dulu.”
Laras terdiam, mendengarkan kata-kata Dimas tanpa memberi tanggapan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa demi anak-anak, mereka harus menjaga penampilan sebagai orang tua yang solid, meski hatinya sudah terlalu terluka untuk berpura-pura.
“Aku setuju,” jawab Laras akhirnya. “Demi anak-anak, kita harus bisa bersikap dewasa. Aku akan berusaha… untuk tidak membawa masalah kita ke hadapan mereka.”
Dimas mengangguk, merasa sedikit lega meski tahu bahwa ini hanyalah langkah kecil. “Terima kasih, Laras. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Aku… aku nggak akan memaksa kamu untuk memaafkan aku. Aku hanya ingin anak-anak kita tetap bahagia.”
Malam itu, mereka mencapai kesepakatan diam-diam. Meskipun hati Laras masih penuh luka, ia tahu bahwa demi kebaikan anak-anak, ia harus bertahan dan menjaga keseimbangan.
Ia memutuskan untuk menutup hatinya dari Dimas, tidak lagi mengharapkan cinta atau kepercayaan seperti dulu. Ia hanya akan menjalani peran sebagai ibu, berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Seiring berjalannya waktu, Laras menjalani hari-hari dengan kebiasaan baru. Ia mulai membangun dinding di sekeliling hatinya, membatasi dirinya dari Dimas.
Meski mereka tinggal di rumah yang sama, Laras mulai merasa bahwa ia harus hidup sendiri, harus menguatkan dirinya tanpa berharap pada orang lain.
Setiap pagi, ia bangun, menyiapkan sarapan untuk anak-anak, lalu mengantar mereka ke sekolah. Dimas ikut membantu, tapi Laras lebih banyak berkomunikasi secara formal, tanpa ada kehangatan yang biasa.
Sahabatnya, Andi, yang tahu sebagian cerita dari apa yang terjadi, mulai mendatangi Laras lebih sering, memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Andi adalah teman lama mereka berdua, dan ia selalu menjadi sosok yang bijaksana dan menenangkan. Suatu siang, saat mereka duduk di kafe setelah menjemput anak-anak dari sekolah, Andi bertanya dengan lembut.
"Laras, apa kamu yakin bisa terus begini?"
Laras menatapnya dengan mata yang lelah. "Aku nggak tahu, Andi. Aku hanya… mencoba untuk anak-anak. Mereka tidak tahu apa-apa, dan aku nggak mau menghancurkan dunia kecil mereka."
Andi menatap Laras penuh pengertian. “Aku ngerti, Laras. Tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Kamu nggak bisa terus-terusan menahan luka itu sendirian.”
Laras hanya tersenyum lemah. “Aku nggak tahu apa aku punya pilihan, Andi. Ini semua terlalu rumit, dan aku nggak siap untuk mengambil keputusan yang lebih drastis.”
Andi mengangguk pelan, memahami betapa berat beban yang Laras tanggung. Ia hanya bisa mendukung Laras, memberi ruang untuknya berpikir dan memilih jalan terbaik.
Malam itu, Laras kembali duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga mereka yang tertempel di dinding. Foto yang diambil beberapa bulan lalu, saat mereka masih bahagia dan utuh. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya, namun kali ini ia tak berusaha menghentikannya.
Di dalam hatinya, ia tahu bahwa pilihan yang ia ambil saat ini hanyalah sementara. Ia tidak bisa memastikan berapa lama ia sanggup bertahan, tapi untuk saat ini, ia memilih untuk tetap bertahan.
Meski hidupnya tak lagi sama, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat, untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Keputusan untuk tetap bertahan itu bukanlah tanda cinta atau kepercayaan yang tersisa pada Dimas. Itu adalah keputusan yang ia ambil sebagai seorang ibu, sebagai seseorang yang ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin
Laras duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di sudut kota. Tangannya meremas cangkir teh yang sudah mendingin, sementara tatapannya kosong menembus jendela kaca di sebelahnya. Ia merasa gugup, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia akan bertemu Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bukan untuk mencari alasan atau permintaan maaf, tapi untuk memahami sejauh mana hubungan antara Dimas dan wanita itu—dan mungkin, untuk menutup satu babak yang tak pernah ia bayangkan akan ada dalam hidupnya.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan Nina melangkah masuk. Wajahnya tampak tegas, bahkan percaya diri, seolah-olah tidak ada yang salah dalam perbuatannya. Laras memperhatikan Nina dengan seksama saat wanita itu berjalan mendekat, men
Sejak pertemuannya dengan Nina, Laras merasa dunianya semakin goyah, seolah-olah berjalan di atas lantai yang terus bergerak di bawah kakinya. Setiap hari terasa penuh kecemasan, penuh rasa was-was. Rasa aman yang dulu ia rasakan saat berada di dekat Dimas, di dalam rumah yang ia bangun bersama, kini seolah memudar. Semuanya terasa asing, sepi, dan rapuh.Setiap kali Dimas pulang kerja dan melangkah masuk, Laras merasa jantungnya berdebar keras. Bukan karena rindu atau kegembiraan seperti dulu, melainkan karena ketakutan yang kini ia coba sembunyikan dari pandangan suaminya. Ia tak tahu apa yang Dimas pikirkan setiap kali mereka berpapasan, dan itu membuatnya semakin takut akan masa depan.Ketakutan ini menjalar ke dalam rutinitas hariannya. Di pagi hari saat ia menyia
Pagi itu, ketika matahari baru saja naik, Laras sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Sarah, putri sulungnya, muncul dengan ekspresi serius. Laras bisa merasakan tatapan Sarah yang seolah ingin mengajukan pertanyaan, namun ragu-ragu untuk mengatakannya. Dalam beberapa minggu terakhir, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Mereka tampak peka terhadap perubahan suasana di rumah, terutama sikap Laras dan Dimas yang kini jarang berbicara atau bercanda seperti dulu."Mama…," suara Sarah terdengar ragu. Anak itu berdiri di dekat meja, menggenggam sudut baju tidurnya dengan erat. "Kenapa Mama dan Papa sering diam? Mama sama Papa… nggak marahan, kan?"Laras berhenti sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu pertanyaan ini akan datang, namun ia masih belum siap untuk menjaw
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya. Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamar, memandangi album foto pernikahannya yang tergeletak di pangkuannya. Foto-foto yang dulu begitu berarti kini hanya terasa seperti potongan kenangan yang sudah lama berlalu. Laras menelusuri gambar-gambar itu dengan jemarinya, mengingat saat-saat ketika ia dan Dimas berdiri bersebelahan dengan senyuman lebar, penuh harapan akan masa depan yang mereka yakini akan selalu bahagia.Namun, kini semua itu terasa seperti kebohongan. Setiap janji yang mereka ucapkan di hari pernikahan mereka, setiap mimpi yang mereka rencanakan bersama, terasa hancur berkeping-keping. Laras menyadari bahwa pengkhianatan Dimas telah merusak dasar pernikahan mereka, dan meskipun ia mencintai anak-anaknya, ia tidak bisa lagi memandang Dimas dengan cara yang sama.
Persidangan berjalan semakin tegang, semakin rumit, dan semakin menguras energi dari semua yang terlibat di dalamnya. Di tengah proses yang penuh konflik, Nina mulai merasakan beban yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semula, ia datang ke persidangan dengan rasa percaya diri dan keyakinan untuk memperjuangkan hak anaknya. Namun, setiap pertemuan di ruang sidang justru membuat perasaannya semakin rumit.Hari itu, Nina duduk di ruang tunggu pengadilan sebelum sidang dimulai. Ia merasakan jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. Di sekelilingnya, wajah-wajah pengunjung pengadilan yang tak dikenal menatap dengan berbagai macam ekspresi. Beberapa tampak iba, beberapa tampak penasaran, tetapi tidak sedikit yang memandangnya dengan tatapan menghakimi. Perasaan terasing itu perlahan mengikis kepercayaan d
Rumah itu terasa hening, terlalu hening, seperti tempat yang kehilangan kehangatan dan kehidupan. Laras dan Dimas masih tinggal di rumah yang sama, tetapi mereka tidak lagi berbicara dengan cara yang biasa. Hubungan mereka yang dulu dipenuhi tawa dan kebersamaan kini berubah menjadi keheningan yang menusuk dan penuh ketegangan. Mereka bergerak di dalam rumah layaknya dua orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama.Setiap pagi, Laras bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan anak-anak. Ia melakukan semuanya dengan cepat, menghindari kemungkinan bertemu Dimas yang biasanya baru bangun setelah anak-anak berangkat ke sekolah. Begitu juga Dimas, yang sekarang lebih sering duduk sendirian di ruang tamu atau teras, seolah-olah sengaja menghindari Laras. Jika mereka bertemu di lorong atau di dapur, mereka hanya
Hari-hari terasa semakin berat bagi Laras. Setelah kepergian Andi yang tanpa penjelasan lebih lanjut, ia merasakan kesendirian yang begitu mendalam. Pagi-pagi di rumah terasa hampa tanpa pesan dukungan dari Andi, dan setiap kali ia menghadapi masalah, tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju untuk sekadar mencurahkan isi hatinya.Sebagai ibu tunggal yang masih bergulat dengan tekanan persidangan Dimas dan Nina, Laras mencoba sekuat tenaga menjalani hari-harinya tanpa dukungan emosional yang selama ini diberikan Andi. Namun, meskipun ia mencoba bersikap kuat, hati kecilnya merasakan kehampaan yang semakin besar. Beban itu terasa begitu berat ketika ia harus mengurus anak-anak yang semakin sering mempertanyakan situasi di rumah mereka, sementara di sisi lain ia juga harus mempersiapkan diri menghadapi sidang yang tam