Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.
Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.
Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.
Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.
Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.
Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba mereka harus tumbuh dalam keluarga yang terpisah.
Di tengah lamunannya, Dimas melangkah masuk ke ruang tamu. Tatapannya tampak ragu, penuh dengan rasa bersalah yang tak bisa disembunyikan.
Ia tahu bahwa kehadirannya hanya membuat hati Laras semakin terluka, namun ia tak ingin meninggalkannya. Dimas tetap berharap bahwa mereka bisa memperbaiki segalanya, meski ia tahu jalan itu tak akan mudah.
"Laras…" suara Dimas pelan, hampir seperti bisikan. "Aku tahu kamu pasti benci melihatku, tapi… terima kasih karena masih mau bertahan untuk anak-anak."
Laras menoleh perlahan, tatapannya dingin, namun ada kelelahan yang terpancar di matanya. Ia sudah terlalu lelah untuk membenci, terlalu hancur untuk marah. “Mas, ini bukan tentang kamu atau perasaanku padamu lagi. Ini tentang anak-anak kita.”
Dimas mengangguk, menerima kenyataan itu meski dalam hati kecilnya ia berharap Laras masih memiliki sedikit perasaan untuknya. "Aku tahu, Laras. Dan aku akan melakukan apa pun untuk anak-anak kita… dan untukmu, kalau kamu mengizinkan."
Laras terdiam, merasa tak tahu apa yang harus dikatakannya. Hatinya ingin berteriak, ingin meluapkan segala emosi yang selama ini ia pendam. Namun, demi anak-anak, ia memilih menahan semua itu.
Tak ada gunanya ia meledakkan kemarahan, tak ada yang akan berubah. Ia hanya bisa berharap bahwa waktu akan meredakan luka yang ia rasakan.
“Mas, aku nggak bisa bilang aku memaafkanmu,” akhirnya Laras berkata, suaranya terdengar getir. “Aku hanya bertahan karena aku nggak ingin anak-anak tumbuh tanpa keluarga yang utuh. Tapi itu saja, Mas. Jangan berpikir ini berarti aku… aku masih punya perasaan untukmu.”
Dimas mengangguk lagi, wajahnya tampak semakin terpukul. Ia tahu kepercayaan Laras sudah hilang, dan mungkin tidak akan pernah kembali. Tapi demi anak-anak, ia harus tetap berada di sini, meski dalam hati ia tahu hubungan mereka tak akan pernah sama lagi.
“Makasih, Laras. Aku akan melakukan yang terbaik untuk jadi ayah yang baik untuk mereka… dan untuk menjadi suami yang lebih baik buat kamu, kalau kamu bersedia memberi aku kesempatan itu,” kata Dimas dengan suara pelan, penuh rasa penyesalan.
Laras hanya terdiam. Kata-kata Dimas tidak memberi efek apa-apa pada hatinya yang sudah terlalu banyak terluka. Ia tahu bahwa janji-janji itu kini hanya kosong, tidak lagi memiliki arti baginya.
Mungkin suatu saat ia bisa memaafkan, tapi kepercayaan yang dulu utuh kini telah hancur, dan ia tak tahu bagaimana cara membangunnya kembali.
Hari-hari berikutnya berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Laras dan Dimas tetap tinggal di rumah yang sama, namun hubungan mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu ruangan.
Setiap interaksi di antara mereka penuh dengan ketegangan yang tersirat. Laras lebih banyak menghindar, menutup diri dari kehadiran Dimas. Ia hanya berusaha menjalani hari demi hari dengan fokus pada anak-anaknya, mencoba memberikan senyuman yang tulus meski hatinya terasa hancur.
Suatu sore, saat Laras sedang menyuapi Raka di meja makan, Sarah, putri sulung mereka, mendekat dan menatap ibunya dengan tatapan polos namun penuh tanya.
"Mama, kenapa Mama sering diam? Mama sedih, ya?" tanyanya dengan suara pelan, wajah kecilnya tampak khawatir.
Laras tertegun, merasa hatinya berdesir melihat kepekaan anaknya. Ia mencoba tersenyum meski dengan usaha yang besar. "Enggak, sayang. Mama nggak sedih. Mama cuma… ya, Mama sedikit capek."
Sarah memandang ibunya, seolah tidak benar-benar percaya pada jawaban itu. Anak kecil itu mengangguk pelan, namun wajahnya masih memancarkan keingintahuan yang tulus.
Di usianya yang baru tujuh tahun, Sarah mungkin belum mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tapi ia bisa merasakan ada perubahan di antara kedua orang tuanya.
Dimas yang duduk di seberang meja hanya bisa diam, menatap Laras dan Sarah dengan perasaan bersalah yang semakin berat. Setiap kali ia melihat wajah anak-anak mereka, hatinya terasa semakin hancur, karena ia tahu ia adalah penyebab dari semua ini.
Setelah makan malam, ketika anak-anak sudah tidur, Dimas mencoba mengajak Laras berbicara di ruang tamu. Ia tahu ini mungkin akan sulit, tapi ia tidak bisa membiarkan keadaan seperti ini terus berlanjut.
"Laras, aku tahu aku nggak pantas meminta apa pun darimu… tapi aku ingin kita bisa bicara, untuk kebaikan anak-anak," ujarnya, nadanya penuh permohonan.
Laras menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. Mereka duduk berhadapan, dan keheningan terasa begitu menekan. Laras menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih terluka.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya dengan nada datar, tanpa emosi.
Dimas menghela napas, mengumpulkan keberanian. “Aku tahu keadaan ini sulit untuk kamu, dan mungkin untuk anak-anak juga. Aku… aku berharap kita bisa mencoba menciptakan suasana yang lebih baik, meskipun hubungan kita tidak lagi seperti dulu.”
Laras terdiam, mendengarkan kata-kata Dimas tanpa memberi tanggapan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa demi anak-anak, mereka harus menjaga penampilan sebagai orang tua yang solid, meski hatinya sudah terlalu terluka untuk berpura-pura.
“Aku setuju,” jawab Laras akhirnya. “Demi anak-anak, kita harus bisa bersikap dewasa. Aku akan berusaha… untuk tidak membawa masalah kita ke hadapan mereka.”
Dimas mengangguk, merasa sedikit lega meski tahu bahwa ini hanyalah langkah kecil. “Terima kasih, Laras. Aku tahu ini nggak mudah buat kamu. Aku… aku nggak akan memaksa kamu untuk memaafkan aku. Aku hanya ingin anak-anak kita tetap bahagia.”
Malam itu, mereka mencapai kesepakatan diam-diam. Meskipun hati Laras masih penuh luka, ia tahu bahwa demi kebaikan anak-anak, ia harus bertahan dan menjaga keseimbangan.
Ia memutuskan untuk menutup hatinya dari Dimas, tidak lagi mengharapkan cinta atau kepercayaan seperti dulu. Ia hanya akan menjalani peran sebagai ibu, berusaha memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Seiring berjalannya waktu, Laras menjalani hari-hari dengan kebiasaan baru. Ia mulai membangun dinding di sekeliling hatinya, membatasi dirinya dari Dimas.
Meski mereka tinggal di rumah yang sama, Laras mulai merasa bahwa ia harus hidup sendiri, harus menguatkan dirinya tanpa berharap pada orang lain.
Setiap pagi, ia bangun, menyiapkan sarapan untuk anak-anak, lalu mengantar mereka ke sekolah. Dimas ikut membantu, tapi Laras lebih banyak berkomunikasi secara formal, tanpa ada kehangatan yang biasa.
Sahabatnya, Andi, yang tahu sebagian cerita dari apa yang terjadi, mulai mendatangi Laras lebih sering, memberikan dukungan yang ia butuhkan.
Andi adalah teman lama mereka berdua, dan ia selalu menjadi sosok yang bijaksana dan menenangkan. Suatu siang, saat mereka duduk di kafe setelah menjemput anak-anak dari sekolah, Andi bertanya dengan lembut.
"Laras, apa kamu yakin bisa terus begini?"
Laras menatapnya dengan mata yang lelah. "Aku nggak tahu, Andi. Aku hanya… mencoba untuk anak-anak. Mereka tidak tahu apa-apa, dan aku nggak mau menghancurkan dunia kecil mereka."
Andi menatap Laras penuh pengertian. “Aku ngerti, Laras. Tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Kamu nggak bisa terus-terusan menahan luka itu sendirian.”
Laras hanya tersenyum lemah. “Aku nggak tahu apa aku punya pilihan, Andi. Ini semua terlalu rumit, dan aku nggak siap untuk mengambil keputusan yang lebih drastis.”
Andi mengangguk pelan, memahami betapa berat beban yang Laras tanggung. Ia hanya bisa mendukung Laras, memberi ruang untuknya berpikir dan memilih jalan terbaik.
Malam itu, Laras kembali duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga mereka yang tertempel di dinding. Foto yang diambil beberapa bulan lalu, saat mereka masih bahagia dan utuh. Ia merasakan air mata mengalir di pipinya, namun kali ini ia tak berusaha menghentikannya.
Di dalam hatinya, ia tahu bahwa pilihan yang ia ambil saat ini hanyalah sementara. Ia tidak bisa memastikan berapa lama ia sanggup bertahan, tapi untuk saat ini, ia memilih untuk tetap bertahan.
Meski hidupnya tak lagi sama, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap kuat, untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Keputusan untuk tetap bertahan itu bukanlah tanda cinta atau kepercayaan yang tersisa pada Dimas. Itu adalah keputusan yang ia ambil sebagai seorang ibu, sebagai seseorang yang ingin melihat anak-anaknya bahagia, meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin
Laras duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di sudut kota. Tangannya meremas cangkir teh yang sudah mendingin, sementara tatapannya kosong menembus jendela kaca di sebelahnya. Ia merasa gugup, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia akan bertemu Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bukan untuk mencari alasan atau permintaan maaf, tapi untuk memahami sejauh mana hubungan antara Dimas dan wanita itu—dan mungkin, untuk menutup satu babak yang tak pernah ia bayangkan akan ada dalam hidupnya.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan Nina melangkah masuk. Wajahnya tampak tegas, bahkan percaya diri, seolah-olah tidak ada yang salah dalam perbuatannya. Laras memperhatikan Nina dengan seksama saat wanita itu berjalan mendekat, men
Sejak pertemuannya dengan Nina, Laras merasa dunianya semakin goyah, seolah-olah berjalan di atas lantai yang terus bergerak di bawah kakinya. Setiap hari terasa penuh kecemasan, penuh rasa was-was. Rasa aman yang dulu ia rasakan saat berada di dekat Dimas, di dalam rumah yang ia bangun bersama, kini seolah memudar. Semuanya terasa asing, sepi, dan rapuh.Setiap kali Dimas pulang kerja dan melangkah masuk, Laras merasa jantungnya berdebar keras. Bukan karena rindu atau kegembiraan seperti dulu, melainkan karena ketakutan yang kini ia coba sembunyikan dari pandangan suaminya. Ia tak tahu apa yang Dimas pikirkan setiap kali mereka berpapasan, dan itu membuatnya semakin takut akan masa depan.Ketakutan ini menjalar ke dalam rutinitas hariannya. Di pagi hari saat ia menyia
Pagi itu, ketika matahari baru saja naik, Laras sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Sarah, putri sulungnya, muncul dengan ekspresi serius. Laras bisa merasakan tatapan Sarah yang seolah ingin mengajukan pertanyaan, namun ragu-ragu untuk mengatakannya. Dalam beberapa minggu terakhir, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Mereka tampak peka terhadap perubahan suasana di rumah, terutama sikap Laras dan Dimas yang kini jarang berbicara atau bercanda seperti dulu."Mama…," suara Sarah terdengar ragu. Anak itu berdiri di dekat meja, menggenggam sudut baju tidurnya dengan erat. "Kenapa Mama dan Papa sering diam? Mama sama Papa… nggak marahan, kan?"Laras berhenti sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu pertanyaan ini akan datang, namun ia masih belum siap untuk menjaw
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk