Share

Bab 6: Runtuhnya Kepercayaan

Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.

Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.

Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.

Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.

Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.

Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersama dari nol. Laras mengira Dimas adalah orang yang akan selalu ada untuknya, yang akan setia pada janji-janji yang mereka buat.

Namun, kini semua janji itu terasa hampa, seolah-olah hanya omong kosong yang tak pernah berarti apa-apa bagi Dimas.

Laras mencoba memahami mengapa Dimas tega mengkhianatinya, mengapa ia sanggup merusak kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama. Apa yang kurang dari dirinya? Apakah selama ini dia bukan istri yang baik?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema dalam benaknya, menghancurkan sisa-sisa kepercayaan dirinya. Laras mulai meragukan dirinya sendiri, merasa bahwa mungkin ia adalah penyebab di balik pengkhianatan Dimas. Mungkin, jika ia bisa lebih baik, lebih sempurna, Dimas tidak akan tergoda oleh wanita lain.

Pikiran itu menggerogoti hatinya, menambah beban yang sudah terlalu berat untuk ia tanggung. Ia mencoba mencari alasan, mencoba memahami, tapi semakin ia mencari, semakin dalam luka itu terasa.

Pengkhianatan Dimas seakan menegaskan bahwa apa yang mereka miliki selama ini hanyalah ilusi, sebuah kebahagiaan yang rapuh dan mudah dihancurkan.

Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Laras mendongak, melihat Dimas berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh penyesalan. Ia tidak berani menatap mata suaminya, merasa terlalu lelah untuk kembali bertengkar.

Dimas melangkah masuk, duduk di ujung tempat tidur, dan mencoba berbicara, suaranya berbisik pelan.

“Laras… Aku tahu kamu pasti benci sama aku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal… dan aku benar-benar akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku.” Dimas menunduk, suara beratnya penuh kesedihan.

Laras menggeleng perlahan, tanpa menoleh.

“Kamu bilang menyesal, tapi kamu masih belum bisa memberikan alasan yang jelas untuk apa yang kamu lakukan, Mas. Kamu bilang itu kesalahan, tapi kamu sadar bahwa semua ini bukan hanya sekadar kesalahan. Ini penghianatan. Kamu menghancurkan hati aku… menghancurkan keluarga kita.”

Dimas terdiam, tak mampu menjawab. Tatapan Laras begitu dingin, dan rasa sakit yang terpancar dari matanya membuat Dimas semakin merasa bersalah. “Aku tahu, Laras. Aku tahu semua ini salahku, dan aku nggak pantas dimaafkan.”

Laras menatap Dimas untuk pertama kalinya sejak pengakuan itu. Tatapannya penuh luka, tapi juga menunjukkan kekecewaan yang begitu dalam. “Apa yang aku dan anak-anak kita kurang, Mas? Apa yang kurang dari hidup kita sampai kamu merasa butuh mencari kebahagiaan di tempat lain?”

Dimas menelan ludah, berusaha mencari jawaban. Namun, ia tahu tidak ada jawaban yang bisa meringankan rasa sakit Laras. “Aku nggak punya alasan yang pantas, Laras. Aku… aku hanya terlalu lemah, dan aku menyesalinya. Kamu nggak salah, anak-anak kita nggak salah. Ini semua salahku.”

Kata-kata itu tidak memberi kelegaan sedikit pun bagi Laras. Sebaliknya, rasa sakit di hatinya semakin menguat, seolah luka itu kembali dibuka. Ia menggeleng, merasa tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi.

“Aku nggak tahu bagaimana harus percaya sama kamu lagi, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa mempercayai kamu lagi, meskipun kamu menyesal.”

Dimas mengangguk, mengakui kesalahannya. Ia tahu kata-kata saja tidak akan cukup untuk memperbaiki segalanya, tapi ia tidak bisa kehilangan Laras. “Laras, aku akan berusaha membuktikan bahwa aku menyesal. Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan agar kamu bisa kembali percaya padaku.”

Laras menghela napas panjang, merasa semakin bingung dengan perasaannya. Ia tahu Dimas menyesal, ia tahu suaminya ingin memperbaiki segalanya, tapi luka itu terlalu dalam.

Kepercayaan yang dulu ia berikan dengan sepenuh hati kini telah hancur berkeping-keping, dan ia tidak tahu apakah ada cara untuk memperbaikinya.

“Mas, aku butuh waktu,” akhirnya Laras berkata dengan suara yang lirih. “Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu atau kembali mempercayaimu seperti dulu. Aku merasa kosong… dan aku perlu waktu untuk memahami apa yang aku rasakan.”

Dimas hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu bahwa waktu mungkin tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka yang telah ia ciptakan. Ia menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan di tempat lain.

Laras bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela dan menatap ke luar, ke arah taman kecil di halaman belakang rumah mereka.

Di sana, ia biasanya duduk bersama Dimas dan anak-anak, menikmati sore sambil mengobrol ringan. Namun kini, semua kenangan itu terasa asing, seolah bukan bagian dari hidupnya lagi.

Di balik bayangan anak-anaknya yang bermain di taman, Laras melihat kehidupan mereka yang dulu—kehidupan yang penuh cinta dan kebahagiaan sederhana. Kini, semua itu tampak seperti bayangan yang tak bisa ia raih, seolah-olah hanya mimpi yang memudar.

Dimas mendekat, mencoba meraih bahunya, namun Laras segera menepisnya. “Jangan, Mas,” katanya pelan, suaranya penuh ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.

Dimas menahan diri, merasa hancur melihat wanita yang begitu ia cintai menjauh darinya, baik secara fisik maupun emosional. “Baik, Laras. Aku akan menghormati keputusanmu. Tapi aku akan tetap ada di sini, untuk kamu dan anak-anak.”

Laras hanya mengangguk tanpa menoleh, menatap langit malam yang gelap di luar jendela.

Keputusan untuk memaafkan Dimas terasa begitu berat, bahkan nyaris mustahil. Ia merasakan kebencian dan cinta berbaur menjadi satu, menciptakan perasaan yang tak terdefinisikan, perasaan yang membuatnya merasa kehilangan dirinya sendiri.

Sepeninggal Dimas, Laras beranjak ke kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin, melihat bayangan seorang wanita yang begitu asing, seorang wanita yang dulu penuh percaya diri kini tampak lelah dan hancur. Air mata mengalir di pipinya, dan ia tak berusaha menghentikannya.

Seluruh hidupnya kini tampak begitu rapuh. Kepercayaan dirinya, kebanggaan yang ia miliki sebagai istri, semua itu seakan lenyap dalam sekejap mata. Laras merasa terjebak dalam kegelapan yang tak berujung, tanpa tahu kapan ia bisa kembali melihat cahaya.

Malam itu, ia tidur dengan hati yang kosong dan jiwa yang terluka. Ia tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Tidak ada kata maaf yang bisa menghapus luka itu, tidak ada penyesalan yang bisa mengembalikan kepercayaan yang telah dihancurkan.

Di hari-hari yang akan datang, Laras hanya bisa bertahan. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan atau bagaimana masa depannya. Tapi satu hal yang pasti, kepercayaan itu telah runtuh, dan Laras harus menemukan cara untuk berdiri lagi, meski tanpa Dimas di sampingnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status