Laras duduk sendirian di kamar, bersandar pada sisi tempat tidur dengan tatapan kosong. Hatinya terasa begitu hampa, seolah-olah semua emosi dan rasa bahagia yang pernah ada dalam dirinya lenyap begitu saja.
Semenjak pengakuan Dimas tentang perselingkuhannya dengan Nina, segalanya berubah. Hidup yang selama ini terasa penuh warna kini tampak buram, kehilangan makna dan tujuan.
Malam itu terasa sunyi. Biasanya, ia menikmati saat-saat setelah anak-anak tidur dengan perasaan tenang, saat ia dan Dimas bisa berbicara tentang apa saja—mengenai hari mereka, anak-anak, atau mimpi-mimpi kecil yang ingin mereka capai bersama.
Tapi malam ini, ruang itu terasa kosong dan dingin, dan Laras hanya bisa menatap tembok tanpa tujuan, pikirannya bercampur aduk.
Pikirannya kembali pada momen pertama kali ia bertemu Dimas, pada bagaimana cinta mereka berkembang dari sekadar perkenalan menjadi sebuah ikatan yang ia pikir akan abadi.
Mereka berdua saling mengisi, saling mendukung, membangun kehidupan bersama dari nol. Laras mengira Dimas adalah orang yang akan selalu ada untuknya, yang akan setia pada janji-janji yang mereka buat.
Namun, kini semua janji itu terasa hampa, seolah-olah hanya omong kosong yang tak pernah berarti apa-apa bagi Dimas.
Laras mencoba memahami mengapa Dimas tega mengkhianatinya, mengapa ia sanggup merusak kebahagiaan yang telah mereka bangun bersama. Apa yang kurang dari dirinya? Apakah selama ini dia bukan istri yang baik?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergema dalam benaknya, menghancurkan sisa-sisa kepercayaan dirinya. Laras mulai meragukan dirinya sendiri, merasa bahwa mungkin ia adalah penyebab di balik pengkhianatan Dimas. Mungkin, jika ia bisa lebih baik, lebih sempurna, Dimas tidak akan tergoda oleh wanita lain.
Pikiran itu menggerogoti hatinya, menambah beban yang sudah terlalu berat untuk ia tanggung. Ia mencoba mencari alasan, mencoba memahami, tapi semakin ia mencari, semakin dalam luka itu terasa.
Pengkhianatan Dimas seakan menegaskan bahwa apa yang mereka miliki selama ini hanyalah ilusi, sebuah kebahagiaan yang rapuh dan mudah dihancurkan.
Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Laras mendongak, melihat Dimas berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh penyesalan. Ia tidak berani menatap mata suaminya, merasa terlalu lelah untuk kembali bertengkar.
Dimas melangkah masuk, duduk di ujung tempat tidur, dan mencoba berbicara, suaranya berbisik pelan.
“Laras… Aku tahu kamu pasti benci sama aku sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menyesal… dan aku benar-benar akan melakukan apa saja agar kamu bisa memaafkan aku.” Dimas menunduk, suara beratnya penuh kesedihan.
Laras menggeleng perlahan, tanpa menoleh.
“Kamu bilang menyesal, tapi kamu masih belum bisa memberikan alasan yang jelas untuk apa yang kamu lakukan, Mas. Kamu bilang itu kesalahan, tapi kamu sadar bahwa semua ini bukan hanya sekadar kesalahan. Ini penghianatan. Kamu menghancurkan hati aku… menghancurkan keluarga kita.”
Dimas terdiam, tak mampu menjawab. Tatapan Laras begitu dingin, dan rasa sakit yang terpancar dari matanya membuat Dimas semakin merasa bersalah. “Aku tahu, Laras. Aku tahu semua ini salahku, dan aku nggak pantas dimaafkan.”
Laras menatap Dimas untuk pertama kalinya sejak pengakuan itu. Tatapannya penuh luka, tapi juga menunjukkan kekecewaan yang begitu dalam. “Apa yang aku dan anak-anak kita kurang, Mas? Apa yang kurang dari hidup kita sampai kamu merasa butuh mencari kebahagiaan di tempat lain?”
Dimas menelan ludah, berusaha mencari jawaban. Namun, ia tahu tidak ada jawaban yang bisa meringankan rasa sakit Laras. “Aku nggak punya alasan yang pantas, Laras. Aku… aku hanya terlalu lemah, dan aku menyesalinya. Kamu nggak salah, anak-anak kita nggak salah. Ini semua salahku.”
Kata-kata itu tidak memberi kelegaan sedikit pun bagi Laras. Sebaliknya, rasa sakit di hatinya semakin menguat, seolah luka itu kembali dibuka. Ia menggeleng, merasa tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi.
“Aku nggak tahu bagaimana harus percaya sama kamu lagi, Mas. Aku nggak tahu apakah aku bisa mempercayai kamu lagi, meskipun kamu menyesal.”
Dimas mengangguk, mengakui kesalahannya. Ia tahu kata-kata saja tidak akan cukup untuk memperbaiki segalanya, tapi ia tidak bisa kehilangan Laras. “Laras, aku akan berusaha membuktikan bahwa aku menyesal. Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan agar kamu bisa kembali percaya padaku.”
Laras menghela napas panjang, merasa semakin bingung dengan perasaannya. Ia tahu Dimas menyesal, ia tahu suaminya ingin memperbaiki segalanya, tapi luka itu terlalu dalam.
Kepercayaan yang dulu ia berikan dengan sepenuh hati kini telah hancur berkeping-keping, dan ia tidak tahu apakah ada cara untuk memperbaikinya.
“Mas, aku butuh waktu,” akhirnya Laras berkata dengan suara yang lirih. “Aku nggak tahu apakah aku bisa memaafkan kamu atau kembali mempercayaimu seperti dulu. Aku merasa kosong… dan aku perlu waktu untuk memahami apa yang aku rasakan.”
Dimas hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu bahwa waktu mungkin tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka yang telah ia ciptakan. Ia menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang tidak akan pernah ia temukan di tempat lain.
Laras bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela dan menatap ke luar, ke arah taman kecil di halaman belakang rumah mereka.
Di sana, ia biasanya duduk bersama Dimas dan anak-anak, menikmati sore sambil mengobrol ringan. Namun kini, semua kenangan itu terasa asing, seolah bukan bagian dari hidupnya lagi.
Di balik bayangan anak-anaknya yang bermain di taman, Laras melihat kehidupan mereka yang dulu—kehidupan yang penuh cinta dan kebahagiaan sederhana. Kini, semua itu tampak seperti bayangan yang tak bisa ia raih, seolah-olah hanya mimpi yang memudar.
Dimas mendekat, mencoba meraih bahunya, namun Laras segera menepisnya. “Jangan, Mas,” katanya pelan, suaranya penuh ketegasan yang tak bisa diganggu gugat.
Dimas menahan diri, merasa hancur melihat wanita yang begitu ia cintai menjauh darinya, baik secara fisik maupun emosional. “Baik, Laras. Aku akan menghormati keputusanmu. Tapi aku akan tetap ada di sini, untuk kamu dan anak-anak.”
Laras hanya mengangguk tanpa menoleh, menatap langit malam yang gelap di luar jendela.
Keputusan untuk memaafkan Dimas terasa begitu berat, bahkan nyaris mustahil. Ia merasakan kebencian dan cinta berbaur menjadi satu, menciptakan perasaan yang tak terdefinisikan, perasaan yang membuatnya merasa kehilangan dirinya sendiri.
Sepeninggal Dimas, Laras beranjak ke kamar mandi. Ia menatap wajahnya di cermin, melihat bayangan seorang wanita yang begitu asing, seorang wanita yang dulu penuh percaya diri kini tampak lelah dan hancur. Air mata mengalir di pipinya, dan ia tak berusaha menghentikannya.
Seluruh hidupnya kini tampak begitu rapuh. Kepercayaan dirinya, kebanggaan yang ia miliki sebagai istri, semua itu seakan lenyap dalam sekejap mata. Laras merasa terjebak dalam kegelapan yang tak berujung, tanpa tahu kapan ia bisa kembali melihat cahaya.
Malam itu, ia tidur dengan hati yang kosong dan jiwa yang terluka. Ia tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi. Tidak ada kata maaf yang bisa menghapus luka itu, tidak ada penyesalan yang bisa mengembalikan kepercayaan yang telah dihancurkan.
Di hari-hari yang akan datang, Laras hanya bisa bertahan. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan atau bagaimana masa depannya. Tapi satu hal yang pasti, kepercayaan itu telah runtuh, dan Laras harus menemukan cara untuk berdiri lagi, meski tanpa Dimas di sampingnya.
Laras duduk di sofa ruang tamu yang tampak sunyi. Pikirannya terasa berat, seperti berada di antara dua jurang yang keduanya tampak tak terelakkan.Ia memandang ke arah anak-anaknya yang sedang bermain di halaman, tawa mereka mengisi udara dengan keceriaan yang dulu terasa menyenangkan, namun kini menyisakan perasaan pedih di hatinya.Hidup Laras seolah terpecah menjadi dua: di satu sisi, ia memiliki anak-anak yang membutuhkan ayah dan ibu yang utuh, dan di sisi lain, ia merasa tersakiti, dikhianati oleh lelaki yang dulu menjadi cinta sejatinya.Setiap kali ia menatap wajah anak-anaknya, hatinya semakin berat. Keputusan apa pun yang ia ambil akan meninggalkan luka, baik untuk dirinya maupun untuk anak-anak.Pagi ini, ia memutuskan untuk bertahan. Bukan karena rasa cinta atau kepercayaan yang dulu ada pada Dimas, melainkan demi anak-anak mereka.Laras tahu bahwa keputusan ini mungkin tak akan membuatnya bahagia, namun ia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan anak-anak jika tiba-tiba
Matahari mulai terbenam ketika Laras duduk di bangku taman yang sedikit berdebu, menatap lurus ke depan sambil menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Andi duduk diam, menunggunya dengan sabar.Mereka telah memilih tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota, taman kecil yang biasa mereka datangi sewaktu kuliah dulu. Di sini, Laras merasa aman, merasa bisa melepaskan beban tanpa merasa dihakimi.Selama beberapa minggu terakhir, Laras merasa hidupnya seperti bergantung pada tali tipis yang bisa putus kapan saja. Ia menjalani hari-hari dengan perasaan yang tumpul, seolah-olah dikelilingi kabut yang menyelimuti setiap langkahnya.Di dalam rumah, ia hanya tersenyum untuk anak-anak, melakukan segala kewajiban dengan rutinitas tanpa perasaan. Namun, di luar itu, ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan. Bertahan atau pergi?Andi menatap Laras dengan ekspresi lembut, memahami bahwa sahabatnya itu membutuhkan waktu untuk mulai bicara.Sejak mereka kuliah, Andi telah me
Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin
Laras duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di sudut kota. Tangannya meremas cangkir teh yang sudah mendingin, sementara tatapannya kosong menembus jendela kaca di sebelahnya. Ia merasa gugup, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia akan bertemu Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bukan untuk mencari alasan atau permintaan maaf, tapi untuk memahami sejauh mana hubungan antara Dimas dan wanita itu—dan mungkin, untuk menutup satu babak yang tak pernah ia bayangkan akan ada dalam hidupnya.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan Nina melangkah masuk. Wajahnya tampak tegas, bahkan percaya diri, seolah-olah tidak ada yang salah dalam perbuatannya. Laras memperhatikan Nina dengan seksama saat wanita itu berjalan mendekat, men
Sejak pertemuannya dengan Nina, Laras merasa dunianya semakin goyah, seolah-olah berjalan di atas lantai yang terus bergerak di bawah kakinya. Setiap hari terasa penuh kecemasan, penuh rasa was-was. Rasa aman yang dulu ia rasakan saat berada di dekat Dimas, di dalam rumah yang ia bangun bersama, kini seolah memudar. Semuanya terasa asing, sepi, dan rapuh.Setiap kali Dimas pulang kerja dan melangkah masuk, Laras merasa jantungnya berdebar keras. Bukan karena rindu atau kegembiraan seperti dulu, melainkan karena ketakutan yang kini ia coba sembunyikan dari pandangan suaminya. Ia tak tahu apa yang Dimas pikirkan setiap kali mereka berpapasan, dan itu membuatnya semakin takut akan masa depan.Ketakutan ini menjalar ke dalam rutinitas hariannya. Di pagi hari saat ia menyia