Malam itu, Dimas duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela yang gelap. Lampu-lampu kota berkedip di kejauhan, tapi keheningan di dalam rumah terasa begitu menusuk.Laras sudah lama naik ke kamar, tak lagi ada percakapan-percakapan malam yang dulu selalu menghangatkan mereka.Dimas menghela napas panjang, merasa dunia yang pernah ia bangun bersama Laras kini bagaikan cermin pecah—memantulkan serpihan-serpihan kenangan indah yang tak mungkin lagi utuh.Sejak pengakuannya, Dimas telah mencoba segalanya untuk memperbaiki keadaan. Ia mengurangi jam kerja, meluangkan lebih banyak waktu untuk membantu Laras mengurus anak-anak, dan menunjukkan perhatian yang selama ini mungkin ia anggap sepele.Namun, setiap usahanya terasa sia-sia. Laras tetap dingin, menjaga jarak seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.Dimas sering kali berusaha memulai pembicaraan, mencoba merengkuh Laras dalam kebersamaan yang dulu mereka miliki. Namun, setiap kali ia mendekati Laras,
Malam itu, hujan turun deras di luar, menciptakan suara gemerisik yang memenuhi ruang tamu. Dimas duduk di sofa, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah-olah berat dari kesalahan yang telah ia lakukan menekannya.Di seberangnya, Laras duduk dengan wajah tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kepedihan yang mendalam. Mereka telah berada dalam keheningan selama beberapa menit, hanya ditemani suara hujan yang menghantam jendela.Dimas menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Selama berminggu-minggu terakhir, ia telah mencoba membuktikan niat baiknya, menunjukkan bahwa ia benar-benar ingin memperbaiki segalanya.Namun, ia tahu bahwa tidak ada tindakan yang bisa sepenuhnya menghapus luka yang telah ia berikan pada Laras.“Laras…,” ia memulai dengan nada pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu mungkin ini terdengar kosong bagimu, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Aku menyesal, Laras. Aku benar-benar menyesal.”Laras menghela napas panjang, menatap Di
Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang dingin di rumah itu. Meskipun Dimas dan Laras tinggal di bawah atap yang sama, mereka seakan terjebak dalam dua dunia yang berbeda, masing-masing membangun tembok tinggi untuk melindungi diri dari rasa sakit yang tak kunjung reda. Laras merasa setiap langkahnya kini harus penuh kehati-hatian, seolah-olah segala hal yang ia lakukan bisa saja membuka luka yang masih basah di hatinya.Setiap pagi, Laras berusaha bangun lebih awal, menyiapkan sarapan dan bersiap untuk menghadapi hari bersama anak-anak. Ketika Dimas turun ke ruang makan, ia memastikan dirinya sudah berada di dapur atau sibuk mengurusi anak-anak di kamar. Mereka hampir tidak pernah berhadapan langsung, seolah-olah ada kesepakatan tak tertulis untuk menghindari satu sama lain.
Malam itu, Laras tengah membereskan kamar tidur anak-anak ketika Sarah, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan wajah ragu. Mata kecilnya yang biasanya penuh semangat terlihat muram, seolah menyimpan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan. Laras langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda pada anak sulungnya malam itu.“Mama…” suara Sarah terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah-olah takut mengganggu keheningan.Laras menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Sarah. “Ada apa, sayang? Kok belum tidur?”Sarah mendekat, langkahnya perlahan, dan akhirnya berhenti di samping tempat tidur. Ia menatap Laras dengan wajah polos tapi penuh keraguan. “Mama… kenapa Mama sama Papa serin
Laras duduk di sebuah kafe yang tak terlalu ramai di sudut kota. Tangannya meremas cangkir teh yang sudah mendingin, sementara tatapannya kosong menembus jendela kaca di sebelahnya. Ia merasa gugup, namun tekadnya sudah bulat. Hari ini, ia akan bertemu Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupan rumah tangganya. Bukan untuk mencari alasan atau permintaan maaf, tapi untuk memahami sejauh mana hubungan antara Dimas dan wanita itu—dan mungkin, untuk menutup satu babak yang tak pernah ia bayangkan akan ada dalam hidupnya.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka, dan Nina melangkah masuk. Wajahnya tampak tegas, bahkan percaya diri, seolah-olah tidak ada yang salah dalam perbuatannya. Laras memperhatikan Nina dengan seksama saat wanita itu berjalan mendekat, men
Sejak pertemuannya dengan Nina, Laras merasa dunianya semakin goyah, seolah-olah berjalan di atas lantai yang terus bergerak di bawah kakinya. Setiap hari terasa penuh kecemasan, penuh rasa was-was. Rasa aman yang dulu ia rasakan saat berada di dekat Dimas, di dalam rumah yang ia bangun bersama, kini seolah memudar. Semuanya terasa asing, sepi, dan rapuh.Setiap kali Dimas pulang kerja dan melangkah masuk, Laras merasa jantungnya berdebar keras. Bukan karena rindu atau kegembiraan seperti dulu, melainkan karena ketakutan yang kini ia coba sembunyikan dari pandangan suaminya. Ia tak tahu apa yang Dimas pikirkan setiap kali mereka berpapasan, dan itu membuatnya semakin takut akan masa depan.Ketakutan ini menjalar ke dalam rutinitas hariannya. Di pagi hari saat ia menyia
Pagi itu, ketika matahari baru saja naik, Laras sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Sarah, putri sulungnya, muncul dengan ekspresi serius. Laras bisa merasakan tatapan Sarah yang seolah ingin mengajukan pertanyaan, namun ragu-ragu untuk mengatakannya. Dalam beberapa minggu terakhir, anak-anak mulai menunjukkan tanda-tanda kebingungan. Mereka tampak peka terhadap perubahan suasana di rumah, terutama sikap Laras dan Dimas yang kini jarang berbicara atau bercanda seperti dulu."Mama…," suara Sarah terdengar ragu. Anak itu berdiri di dekat meja, menggenggam sudut baju tidurnya dengan erat. "Kenapa Mama dan Papa sering diam? Mama sama Papa… nggak marahan, kan?"Laras berhenti sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu pertanyaan ini akan datang, namun ia masih belum siap untuk menjaw
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamar, tenggelam dalam pikirannya yang semakin kacau. Di tengah keteguhan yang selama ini ia pegang untuk tetap tinggal demi anak-anak, perlahan muncul celah-celah keraguan. Keputusan untuk bertahan yang dulu terasa kuat kini mulai goyah, tergerus oleh rasa sakit yang semakin dalam setiap kali ia melihat Dimas. Bagaimana pun ia mencoba bertahan, setiap hari rasanya seperti menyiramkan garam ke luka yang tak kunjung sembuh.Anak-anak telah tidur di kamar mereka, terlelap dalam dunia tanpa beban. Laras menatap foto keluarga di meja kecil di samping tempat tidur. Foto itu diambil dua tahun lalu, saat mereka sekeluarga berlibur ke pantai. Wajah Dimas, Sarah, Naya, dan Raka di foto itu tersenyum cerah, penuh kebahagiaan yang kini terasa seperti kenangan yang hampir tak dapat ia jangk
“Laras, kamu sudah mempertimbangkan semuanya?” suara Andi terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah ia tak ingin mengguncang ketenangan yang rapuh di ruang tamu rumah Laras yang sepi malam itu.Andi menatap Laras dengan cermat, pandangannya penuh empati yang lembut tapi kuat, seperti pagar yang bisa ia sandarkan tanpa takut runtuh.Laras duduk dengan wajah tertunduk, jari-jarinya bergerak pelan memutar cangkir teh yang sudah dingin di genggamannya. Hening menyelimuti mereka sejenak. Pandangan Laras menerawang, seolah melihat jauh ke depan, ke sebuah masa depan yang samar-samar.Pikirannya bercabang; satu arah menuju harapan baru di luar negeri, sementara cabang lain tertuju pada Dimas, anak-anak, dan perasaan bersalah yang diam-diam menggerogoti dadanya.“Aku…,” Laras menelan ludah, mengatur napasnya yang berat. “Aku enggak tahu, Andi. Tawaran ini… terlalu besar untuk diabaikan, tapi di saat yang sama&hell
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya, memandang langit malam yang gelap melalui jendela. Suara riuh kota terdengar samar di kejauhan, tetapi di dalam ruangan, hanya ada keheningan. Dalam diam, Laras merenungkan perdebatan terakhirnya dengan Dimas. Kata-kata yang saling terlontar masih terngiang di telinganya, setiap kalimat penuh dengan emosi dan luka yang belum tersembuhkan.Selama ini, hidupnya seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung, selalu kembali ke kenangan bersama Dimas dan anak-anak mereka. Meski mereka telah bercerai, bagian dari dirinya terus bergantung pada masa lalu, berusaha untuk menemukan kenyamanan dalam bayang-bayang kehidupan yang pernah mereka bangun. Namun, semakin ia memikirkan percakapan itu, semakin jelas pula bahwa ia tidak bisa t
Malam itu, udara di ruang tamu terasa tegang. Laras dan Dimas duduk berseberangan, masing-masing dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama anak-anak, tetapi begitu mereka mengantar anak-anak ke kamar, percakapan yang sudah lama ditunda pun pecah.“Kamu tidak bisa serius, Laras,” kata Dimas, suaranya terdengar dingin dan penuh kekesalan. “Kamu tidak bisa begitu saja membawa anak-anak pergi ke luar negeri tanpa mempertimbangkan perasaan mereka… atau perasaanku.”Laras menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak menyangka akan seintens ini. “Dimas, ini bukan tentang menjauhkan anak-anak darimu. Ini adalah kes
Pagi itu, Laras bangun dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan. Suara gemericik hujan yang biasanya menenangkan, kali ini hanya membuatnya semakin tenggelam dalam perasaan hampa. Beberapa hari terakhir, Andi tidak memberi kabar. Ponselnya sepi, dan pesan-pesan Laras hanya dibalas singkat atau bahkan diabaikan. Laras merasakan ada sesuatu yang hilang, seperti kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini membuatnya merasa kuat.Sore harinya, Laras menerima pesan dari Andi. Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat dunia Laras seakan terhenti."Laras, aku akan pergi menerima pekerjaan di luar kota. Jaga dirimu baik-baik."Laras membaca pesan itu berulang kali, berharap ada kesalahan, berharap ada pesan lain yang menjelaskan lebih banyak. Namun, tidak a
Di suatu sore yang tenang, Sarah duduk di taman belakang rumah, memandangi langit senja dengan pikiran yang melayang jauh. Segala hal yang telah terjadi dalam keluarga mereka—perceraian orang tuanya, masalah dengan Nina, dan sekarang perasaan tidak stabil di rumah—membuat Sarah merasa kehilangan arah. Dia merasa seolah-olah menjalani hidup yang penuh dengan hal-hal yang tidak pernah ia duga. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya: adiknya, Naya.Sejak masalah keluarga mereka semakin rumit, Sarah tahu bahwa hubungan dengan adik perempuannya itu ikut terpengaruh. Naya yang dulu ceria dan selalu mencari Sarah, kini tampak lebih pendiam dan sering menyendiri. Sarah merasakan ada jarak di antara mereka, jarak yang ia biarkan tumbuh tanpa
Nina duduk di ruang tamu, memandang bayinya yang tertidur lelap di keranjang kecil di sebelahnya. Wajahnya yang tampak damai membuat Nina merasa lega untuk sesaat, tetapi hanya sejenak. Di balik ketenangan itu, Nina menyadari betapa lelah dan terbebani dirinya kini. Sejak kelahiran bayinya, kehidupannya berubah drastis, jauh dari apa yang ia impikan ketika ia membayangkan membangun keluarga bersama Dimas.Awalnya, ia berpikir bahwa bersama Dimas, mereka akan bisa membangun kehidupan yang stabil, saling mendukung, dan berbagi cinta dalam keluarga baru mereka. Tetapi kenyataannya tidak pernah seindah itu. Dimas masih terlalu sering terikat dengan urusan bersama Laras dan anak-anak mereka, dan Nina merasakan kehadirannya semakin berkurang. Setiap kali Dimas pergi, Nina m
Malam itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota yang jarang dikunjungi orang, Andi duduk di pojok ruangan, menunggu seseorang yang telah ia kenal sejak lama—Dimas, sahabatnya sejak masa kuliah, namun juga pria yang kini berada di antara dirinya dan Laras. Keduanya memiliki ikatan yang tak pernah benar-benar putus, meskipun hubungan mereka kini lebih sering diselimuti ketegangan dan perasaan yang belum terselesaikan.Ketika Dimas masuk, Andi langsung mengenali sosoknya. Dimas mendekat dengan langkah ragu, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di depan Andi, mencoba membaca ekspresi di wajah temannya.Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Dimas adalah orang pertama yang membuka percakapan, suaranya rendah dan terdengar lelah.
Pagi itu, Laras duduk di meja kerjanya, merasa terkejut sekaligus tersanjung saat membuka email yang baru masuk. Sebuah tawaran dari perusahaan ternama di luar negeri—sebuah kesempatan besar yang selama ini hanya ia impikan. Posisi tersebut bukan hanya memberi jenjang karier yang lebih tinggi, tetapi juga gaji dan fasilitas yang jauh lebih baik. Tawaran ini menjanjikan stabilitas dan peluang baru bagi Laras, sebuah kesempatan untuk memulai kembali di tempat yang jauh dari segala drama yang selama ini melingkupi kehidupannya.Namun, kegembiraan itu segera tergantikan oleh perasaan dilema yang mencekam. Tawaran ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan pilihan besar yang akan berdampak pada kehidupan anak-anaknya. Laras mengerti bahwa pindah ke luar negeri bukanlah k
Pagi itu, Laras tengah sibuk di kantor ketika ponselnya bergetar di meja. Nama sekolah Naya muncul di layar, dan perasaan cemas langsung menyergap hati Laras. Ia tahu bahwa panggilan dari sekolah biasanya bukan pertanda baik, terutama mengingat akhir-akhir ini Naya sering terlihat murung dan lebih tertutup.“Halo, Bu Laras? Ini Ibu Ratna, wali kelas Naya,” suara lembut namun tegas terdengar di ujung telepon.“Ya, Bu Ratna. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.“Ibu, sebenarnya saya ingin membicarakan tentang Naya. Akhir-akhir ini, kami melihat beberapa perubahan perilaku pada Naya. Dia tampak kurang fokus di kelas, dan… ada beberapa kejadian kecil yang membuat kami khawatir,” jelas Ibu Ratna de