Malam itu, Laras duduk sendirian di kamar, tenggelam dalam pikirannya yang semakin kacau. Di tengah keteguhan yang selama ini ia pegang untuk tetap tinggal demi anak-anak, perlahan muncul celah-celah keraguan.
Keputusan untuk bertahan yang dulu terasa kuat kini mulai goyah, tergerus oleh rasa sakit yang semakin dalam setiap kali ia melihat Dimas. Bagaimana pun ia mencoba bertahan, setiap hari rasanya seperti menyiramkan garam ke luka yang tak kunjung sembuh.
Anak-anak telah tidur di kamar mereka, terlelap dalam dunia tanpa beban. Laras menatap foto keluarga di meja kecil di samping tempat tidur. Foto itu diambil dua tahun lalu, saat mereka sekeluarga berlibur ke pantai.
Wajah Dimas, Sarah, Naya, dan Raka di foto itu tersenyum cerah, penuh kebahagiaan yang kini terasa seperti kenangan yang hampir tak dapat ia jangk
Sejak keputusan yang mulai terbentuk di hatinya, Laras mendapati dirinya sering tenggelam dalam pikiran tentang masa lalu. Bayangan-bayangan lama yang selama ini ia abaikan mulai muncul satu per satu, seolah-olah berusaha memberi tahu sesuatu yang selama ini tak ia lihat. Tanda-tanda kecil yang dulu ia anggap sepele, kini terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang, jika digabungkan, membentuk gambaran yang lebih jelas tentang pengkhianatan Dimas.Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya yang diam. Beberapa tahun lalu, Dimas pernah tiba-tiba menonaktifkan ponselnya dengan alasan agar bisa fokus pada pekerjaan yang katanya menumpuk. Saat itu, Laras percaya tanpa banyak bertanya. Kini, ketika ia mengingat kembali momen itu, ia mulai merasa ada yang janggal. Kenapa Dimas perlu menonaktifkan p
Pagi itu, Laras berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap bayangannya yang tampak lebih lelah dari biasanya. Wajahnya terlihat kuyu, dengan lingkaran hitam di bawah matanya sebagai saksi dari malam-malam yang dilalui tanpa tidur yang nyenyak. Dalam beberapa minggu terakhir, hidupnya terasa seperti terperangkap dalam kabut kelabu yang tak kunjung sirna. Setiap pagi ia bangun, mengurus anak-anak, menyiapkan sarapan, mengantarkan mereka ke sekolah, tetapi semua itu terasa hampa, seolah hanya mengikuti rutinitas tanpa makna.Pikirannya selalu kembali ke Dimas, pada kenyataan pahit bahwa pria yang dulu ia percayai sepenuh hati telah mengkhianatinya selama lebih dari setahun. Bahkan setelah semua ini terungkap, ia merasa tak pernah benar-benar bisa memahami alasan Dimas. Pengkhianatan itu menggerogoti dirinya, sepert
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Laras duduk di ruang tamu, menunggu Dimas. Seluruh perasaan yang selama ini ia pendam terasa mendesak, seperti gelombang besar yang ingin pecah. Ia merasa bahwa malam ini adalah waktu untuk benar-benar jujur, bahkan jika itu berarti mengungkapkan semua luka dan amarah yang selama ini ia coba sembunyikan.Ketika Dimas masuk, ia melihat Laras duduk dengan wajah tegang, tatapannya dingin dan tak lagi menunjukkan keraguan. Dimas tahu bahwa Laras ingin berbicara, namun ia tidak menyangka akan menghadapi ekspresi setegas itu.“Mas, aku nggak tahan lagi,” Laras mulai dengan nada yang jelas, tanpa keraguan. “Aku sudah cukup mencoba, cukup bertahan, tapi semakin lama, yang aku rasakan hanya luka yang semakin dalam. Aku meras
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu dengan perasaan campur aduk. Keputusan untuk tidur terpisah dari Dimas sudah ia ambil, tetapi tak urung, kehadiran Dimas di rumah ini masih terasa seperti bayangan yang menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa ketidakpastian ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, dan meskipun hatinya sudah terlalu terluka, masih ada bagian kecil yang meragukan apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan keluar.Dimas duduk di seberangnya, terlihat gugup namun berusaha tenang. Selama beberapa hari terakhir, ia telah berusaha menunjukkan perhatian yang lebih kepada Laras, berusaha mengembalikan kepercayaan yang telah ia hancurkan. Namun, Laras tahu bahwa tidak ada yang semudah itu. Rasa sakit dan ketidakpercayaan yang ada di hatinya bukanlah sesuatu yang bisa dihapus dengan kata-kata atau tind
Malam itu, Laras berbaring di tempat tidur, tetapi pikirannya terlalu bising untuk membiarkannya tidur. Cahaya lampu jalan yang menembus tirai kamar hanya menambah keheningan yang menusuk. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya terus berputar, seolah-olah mencoba memaksa dirinya menemukan jawaban yang sebenarnya sudah ia ketahui tapi tak berani ia akui.Ia memikirkan anak-anak, bayangan wajah-wajah mereka terlintas di benaknya. Sarah, Naya, dan Raka—mereka adalah alasan utama mengapa ia selama ini bertahan. Setiap kali ia teringat tawa dan kepolosan mereka, hati Laras terasa hancur. Ia tidak ingin anak-anaknya tumbuh dengan kenangan yang penuh luka, dengan kehilangan yang mungkin mereka tidak akan mengerti sepenuhnya. Namun, di sisi lain, bertahan dalam pernikahan yang telah hancur terasa seperti mengorbank
Dimas baru saja keluar dari kantor saat ia melihat sosok Nina berdiri di depan mobilnya, menunggunya dengan wajah serius. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka, dan Dimas benar-benar berusaha untuk menghindarinya sejak ia berjanji kepada Laras untuk memutuskan semua hubungan dengan Nina. Namun, kehadiran Nina hari ini membuatnya merasa terjebak lagi dalam jeratan yang semakin sulit ia lepaskan.“Nina, apa yang kamu lakukan di sini?” Dimas mencoba berbicara dengan nada tenang, meskipun ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.Nina memandangnya dengan tatapan tajam, tak berusaha menyembunyikan kemarahan dan kepedihan di wajahnya. “Aku perlu bicara dengan kamu, Dimas. Dan kali ini, kamu tidak bisa menghindar.”Dimas menarik napas
Pagi itu, Laras sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya ketika ia mendengar suara pelan dari arah pagar depan. Beberapa ibu-ibu yang biasa berkumpul untuk berbincang tampak berkerumun, membentuk lingkaran kecil sambil berbisik-bisik. Sesekali, mereka melirik ke arah rumahnya, tatapan yang cepat mereka alihkan begitu Laras menoleh.Awalnya, Laras mencoba mengabaikan mereka, meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja. Namun, seiring berjalannya hari, perasaan tidak nyaman semakin menghantuinya. Setiap kali ia bertemu dengan tetangga di jalan atau di supermarket dekat rumah, ia bisa merasakan tatapan aneh, seolah-olah mereka ingin berbicara tapi menahan diri.Beberapa hari kemudian, saat ia tengah menjemput Naya dari sekolah, seorang tetangga yang sel
Laras memperhatikan perubahan kecil yang mulai muncul pada diri Sarah, anak sulungnya yang baru berusia tujuh tahun. Biasanya, Sarah adalah anak yang ceria, suka bercerita tentang hari-harinya di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang pelajaran yang ia sukai. Namun, belakangan ini, Laras menyadari bahwa Sarah semakin pendiam, lebih sering mengunci diri di kamar, dan kadang-kadang terlihat termenung tanpa alasan yang jelas. Seolah ada sesuatu yang dipendam oleh putrinya, namun ia terlalu kecil untuk memahami atau mengungkapkannya.Malam itu, Laras duduk di tepi tempat tidur Sarah, mengusap kepala putrinya dengan lembut. Sarah menatap ibunya dengan mata yang tampak redup, tak lagi penuh keceriaan seperti biasa.“Mama, kenapa Papa nggak pernah peluk Mama lagi?” Sarah bertanya tiba-tiba, suaranya kec
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk