Malam itu, setelah anak-anak tidur, Laras duduk di ruang tamu, menunggu Dimas. Seluruh perasaan yang selama ini ia pendam terasa mendesak, seperti gelombang besar yang ingin pecah.
Ia merasa bahwa malam ini adalah waktu untuk benar-benar jujur, bahkan jika itu berarti mengungkapkan semua luka dan amarah yang selama ini ia coba sembunyikan.
Ketika Dimas masuk, ia melihat Laras duduk dengan wajah tegang, tatapannya dingin dan tak lagi menunjukkan keraguan. Dimas tahu bahwa Laras ingin berbicara, namun ia tidak menyangka akan menghadapi ekspresi setegas itu.
“Mas, aku nggak tahan lagi,” Laras mulai dengan nada yang jelas, tanpa keraguan.
“Aku sudah cukup mencoba, cukup bertahan, tapi semakin lama, yang aku rasakan hanya luka yang semakin dalam. Aku meras
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu dengan perasaan campur aduk. Keputusan untuk tidur terpisah dari Dimas sudah ia ambil, tetapi tak urung, kehadiran Dimas di rumah ini masih terasa seperti bayangan yang menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa ketidakpastian ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, dan meskipun hatinya sudah terlalu terluka, masih ada bagian kecil yang meragukan apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan keluar.Dimas duduk di seberangnya, terlihat gugup namun berusaha tenang. Selama beberapa hari terakhir, ia telah berusaha menunjukkan perhatian yang lebih kepada Laras, berusaha mengembalikan kepercayaan yang telah ia hancurkan. Namun, Laras tahu bahwa tidak ada yang semudah itu. Rasa sakit dan ketidakpercayaan yang ada di hatinya bukanlah sesuatu yang bisa dihapus dengan kata-kata atau tind
Malam itu, Laras berbaring di tempat tidur, tetapi pikirannya terlalu bising untuk membiarkannya tidur. Cahaya lampu jalan yang menembus tirai kamar hanya menambah keheningan yang menusuk. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya terus berputar, seolah-olah mencoba memaksa dirinya menemukan jawaban yang sebenarnya sudah ia ketahui tapi tak berani ia akui.Ia memikirkan anak-anak, bayangan wajah-wajah mereka terlintas di benaknya. Sarah, Naya, dan Raka—mereka adalah alasan utama mengapa ia selama ini bertahan. Setiap kali ia teringat tawa dan kepolosan mereka, hati Laras terasa hancur. Ia tidak ingin anak-anaknya tumbuh dengan kenangan yang penuh luka, dengan kehilangan yang mungkin mereka tidak akan mengerti sepenuhnya. Namun, di sisi lain, bertahan dalam pernikahan yang telah hancur terasa seperti mengorbank
Dimas baru saja keluar dari kantor saat ia melihat sosok Nina berdiri di depan mobilnya, menunggunya dengan wajah serius. Sudah beberapa minggu sejak pertemuan terakhir mereka, dan Dimas benar-benar berusaha untuk menghindarinya sejak ia berjanji kepada Laras untuk memutuskan semua hubungan dengan Nina. Namun, kehadiran Nina hari ini membuatnya merasa terjebak lagi dalam jeratan yang semakin sulit ia lepaskan.“Nina, apa yang kamu lakukan di sini?” Dimas mencoba berbicara dengan nada tenang, meskipun ia tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.Nina memandangnya dengan tatapan tajam, tak berusaha menyembunyikan kemarahan dan kepedihan di wajahnya. “Aku perlu bicara dengan kamu, Dimas. Dan kali ini, kamu tidak bisa menghindar.”Dimas menarik napas
Pagi itu, Laras sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya ketika ia mendengar suara pelan dari arah pagar depan. Beberapa ibu-ibu yang biasa berkumpul untuk berbincang tampak berkerumun, membentuk lingkaran kecil sambil berbisik-bisik. Sesekali, mereka melirik ke arah rumahnya, tatapan yang cepat mereka alihkan begitu Laras menoleh.Awalnya, Laras mencoba mengabaikan mereka, meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja. Namun, seiring berjalannya hari, perasaan tidak nyaman semakin menghantuinya. Setiap kali ia bertemu dengan tetangga di jalan atau di supermarket dekat rumah, ia bisa merasakan tatapan aneh, seolah-olah mereka ingin berbicara tapi menahan diri.Beberapa hari kemudian, saat ia tengah menjemput Naya dari sekolah, seorang tetangga yang sel
Laras memperhatikan perubahan kecil yang mulai muncul pada diri Sarah, anak sulungnya yang baru berusia tujuh tahun. Biasanya, Sarah adalah anak yang ceria, suka bercerita tentang hari-harinya di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang pelajaran yang ia sukai. Namun, belakangan ini, Laras menyadari bahwa Sarah semakin pendiam, lebih sering mengunci diri di kamar, dan kadang-kadang terlihat termenung tanpa alasan yang jelas. Seolah ada sesuatu yang dipendam oleh putrinya, namun ia terlalu kecil untuk memahami atau mengungkapkannya.Malam itu, Laras duduk di tepi tempat tidur Sarah, mengusap kepala putrinya dengan lembut. Sarah menatap ibunya dengan mata yang tampak redup, tak lagi penuh keceriaan seperti biasa.“Mama, kenapa Papa nggak pernah peluk Mama lagi?” Sarah bertanya tiba-tiba, suaranya kec
Laras semakin sering menghabiskan waktu bersama Andi, sahabat lama Dimas yang sudah ia anggap seperti saudara. Andi selalu bisa mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan pandangan yang jernih, dan memberikan dukungan yang begitu Laras butuhkan. Dalam beberapa bulan terakhir, di saat-saat terberatnya, Andi adalah satu-satunya orang yang Laras percayai sepenuhnya.Sore itu, mereka duduk di kafe favorit mereka yang tenang, dengan secangkir teh hangat di hadapan masing-masing. Laras tampak lebih santai saat berbicara dengan Andi, tertawa kecil saat mengingat masa-masa dulu ketika mereka masih sering berkumpul bertiga—ia, Dimas, dan Andi. Tetapi di balik senyumannya, tetap ada bayang-bayang kesedihan yang tampak jelas di wajahnya."Andi, kadang aku merasa seperti terj
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, menunggu Dimas pulang. Hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Beberapa hari terakhir, ia memikirkan tentang pilihan hidupnya, tentang bagaimana ia tak bisa terus hidup dalam kebingungan dan ketidakpastian ini. Laras sadar bahwa inilah saatnya ia memberikan ultimatum kepada Dimas. Suaminya harus memilih, dan tidak bisa lagi berada di antara dua dunia yang berbeda.Ketika Dimas akhirnya masuk ke dalam rumah, Laras menatapnya dengan tatapan penuh kesungguhan. Dimas terdiam, menyadari bahwa Laras tampak berbeda malam itu. Ia merasa bahwa ini bukan hanya percakapan biasa, bahwa ada sesuatu yang mendalam yang ingin disampaikan istrinya."Laras, ada apa?" tanya Dimas dengan nada pelan, mencoba menyelidiki suasa
Pagi itu, Laras sedang membereskan dapur ketika Dimas muncul di belakangnya dengan wajah penuh kegelisahan. Ia melihat tatapan Dimas dari sudut matanya dan merasakan bahwa suaminya ingin mengatakan sesuatu. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah sebuah rahasia besar sedang berada di ujung bibir Dimas, menunggu untuk diungkapkan.“Laras, kita perlu bicara,” suara Dimas terdengar serak, hampir berbisik.Laras meletakkan piring yang sedang ia pegang, membersihkan tangannya, dan menatap Dimas dengan penuh kehati-hatian. “Apa lagi, Mas? Apa yang masih belum kamu katakan padaku?”Dimas tampak menunduk, tak berani menatap mata Laras. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang penuh ketegangan, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam, seola
Dimas duduk sendirian di apartemennya yang sunyi, menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Lampu-lampu kota berkelip-kelip, tetapi bagi Dimas, semuanya tampak buram dan tak bermakna. Ruangan di sekitarnya tampak bersih dan rapi, tetapi dingin dan sepi, jauh berbeda dari rumah yang dulu ia tinggali bersama Laras dan anak-anaknya.Sudah beberapa hari sejak Laras melayangkan gugatan cerai. Berita itu menghantam Dimas seperti badai yang tiba-tiba datang. Meskipun ia tahu bahwa Laras telah mencapai batas kesabarannya, dan meskipun ia tahu bahwa ini adalah akibat dari segala kesalahannya sendiri, tetap saja kenyataan itu terasa seperti pukulan berat yang membuatnya merasa kosong dan hancur.Dimas mencoba untuk tidak memikirkan
Siang itu, udara terasa panas dan berat di luar gedung pengadilan. Laras baru saja selesai berkonsultasi dengan pengacaranya mengenai langkah-langkah selanjutnya dalam proses perceraian. Dengan perasaan campur aduk, ia berjalan keluar gedung, menuruni anak tangga dengan langkah yang hati-hati. Namun, tepat ketika ia akan mencapai trotoar, ia melihat sosok yang tak asing berdiri di seberang jalan.Nina.Wanita itu tampak sedang menunggu seseorang, mungkin tak menyadari kehadiran Laras. Seketika, perasaan canggung dan tegang menyelimuti Laras. Ia merasa ada rasa enggan untuk berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan keluarganya, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang perlu ia sampaikan, sesuatu yang harus diakhiri di antara mereka.
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Laras duduk di ruang tamu, menunggu dengan hati yang berdebar. Ia telah memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan putri sulungnya, Sarah, tentang keputusan yang telah ia ambil. Baginya, ini adalah salah satu momen tersulit yang harus ia hadapi, namun ia tahu bahwa kejujuran adalah hal yang terpenting dalam hubungan mereka. Sarah adalah anak yang cerdas, dan Laras ingin putrinya mengerti bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang ia ambil dengan mudah.Tak lama kemudian, Sarah muncul di ruang tamu, masih mengenakan piyamanya. Wajahnya terlihat mengantuk, namun ada kebingungan dalam matanya saat ia melihat ibunya duduk di sofa, dengan ekspresi yang serius namun penuh kasih.“Mama, kenapa pagi-pag
Pagi itu, Laras duduk sendirian di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir tidak tersentuh. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memandangi taman kecil di belakang rumahnya. Ia terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, memikirkan keputusan yang selama ini ia hindari, namun yang kini terasa tak terelakkan.Setelah malam yang panjang, penuh dengan perenungan dan perdebatan dalam hati, Laras akhirnya menyadari bahwa ia tak bisa lagi bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan kebohongan dan luka. Meskipun berat, meskipun ia tahu ini akan menghancurkan hati anak-anaknya, Laras telah memutuskan untuk menggugat cerai.Hatinya terasa berat, seolah ada beban besar yang menekan dadanya. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan me
Dimas duduk sendirian di dalam mobilnya, menatap gedung rumah yang dulunya ia anggap sebagai tempatnya pulang. Malam sudah larut, dan lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa Laras mungkin belum tidur. Hatinya terasa hampa. Pikiran tentang pertemuannya dengan Laras di ruang tamu beberapa malam lalu terus menghantui, mengingatkan dirinya pada pengakuan yang akhirnya keluar dari mulutnya, sesuatu yang selama ini ia coba hindari.Ia tahu bahwa Laras akan benar-benar pergi kali ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas merasakan kesungguhan dalam tatapan dingin Laras, dalam suara yang penuh ketegasan ketika ia memutuskan untuk tidak lagi bertahan dalam pernikahan mereka. Dimas menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya, sebuah perasaan yang lama
Pagi itu, Laras memasuki gedung kantor pengacara dengan perasaan yang campur aduk. Tangannya sedikit gemetar saat ia mendorong pintu kaca, dan ada sedikit keraguan yang menghantui langkahnya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Setelah malam penuh pengakuan yang menghancurkan dari Dimas, Laras menyadari bahwa ia harus mengambil tindakan untuk dirinya sendiri dan untuk masa depan anak-anaknya.Ruang tunggu kantor pengacara terlihat tenang dan profesional, dengan sofa berwarna abu-abu dan dinding berhiaskan lukisan-lukisan minimalis. Laras duduk di salah satu sofa, menatap tangan di pangkuannya sambil berusaha menenangkan dirinya. Ia sudah membuat janji dengan salah satu pengacara yang terkenal kompeten dalam kasus-kasus perceraian. Meskipun berat, L
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, memandangi cahaya lampu yang temaram. Anak-anak sudah tertidur di kamar mereka, dan keheningan malam seakan menjadi latar bagi perasaan-perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuatnya tetap terjaga, sebuah firasat bahwa akan ada hal besar yang akan terungkap.Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Dimas pulang, wajahnya terlihat letih dan tegang. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki ruangan, dan tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sofa di hadapan Laras. Keheningan yang tercipta begitu pekat, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka.Laras menatap Dimas, merasakan jarak yang begitu be
Malam itu, Laras pulang ke rumah dengan langkah gontai, seolah-olah beban yang ia bawa semakin bertambah berat. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun bukan hanya karena keletihan fisik, melainkan kelelahan emosional yang menggerogoti dari dalam. Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Laras terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.Rumah ini terasa begitu sunyi, begitu kosong, meskipun ia tahu anak-anak sedang tertidur di kamar mereka. Kepergian Andi telah menciptakan lubang yang dalam di hatinya, sebuah kehampaan yang tak mudah diisi. Laras mulai menyadari betapa besar ketergantungannya pada Andi selama ini, betapa Andi selalu menjadi pelindung dan pemberi kekuatan di tengah badai yang menerjang rumah tangganya.Ia mengedarkan pandangannya ke seke
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?