Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, menunggu Dimas pulang. Hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.
Beberapa hari terakhir, ia memikirkan tentang pilihan hidupnya, tentang bagaimana ia tak bisa terus hidup dalam kebingungan dan ketidakpastian ini. Laras sadar bahwa inilah saatnya ia memberikan ultimatum kepada Dimas. Suaminya harus memilih, dan tidak bisa lagi berada di antara dua dunia yang berbeda.
Ketika Dimas akhirnya masuk ke dalam rumah, Laras menatapnya dengan tatapan penuh kesungguhan. Dimas terdiam, menyadari bahwa Laras tampak berbeda malam itu. Ia merasa bahwa ini bukan hanya percakapan biasa, bahwa ada sesuatu yang mendalam yang ingin disampaikan istrinya.
"Laras, ada apa?" tanya Dimas dengan nada pelan, mencoba menyelidiki suasa
Pagi itu, Laras sedang membereskan dapur ketika Dimas muncul di belakangnya dengan wajah penuh kegelisahan. Ia melihat tatapan Dimas dari sudut matanya dan merasakan bahwa suaminya ingin mengatakan sesuatu. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah sebuah rahasia besar sedang berada di ujung bibir Dimas, menunggu untuk diungkapkan.“Laras, kita perlu bicara,” suara Dimas terdengar serak, hampir berbisik.Laras meletakkan piring yang sedang ia pegang, membersihkan tangannya, dan menatap Dimas dengan penuh kehati-hatian. “Apa lagi, Mas? Apa yang masih belum kamu katakan padaku?”Dimas tampak menunduk, tak berani menatap mata Laras. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang penuh ketegangan, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam, seola
Nina duduk di apartemennya, memandangi ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali menghubunginya, dan Nina mulai merasakan kegelisahan yang semakin kuat. Dimas telah berjanji untuk berada di sisinya, memberikan dukungan, terutama saat kehamilannya semakin besar. Namun, Nina tidak bisa mengabaikan perasaan yang muncul setiap kali ia membayangkan Dimas pulang ke rumah, kembali kepada Laras dan anak-anaknya.Meski dirinya adalah “wanita lain,” Nina mulai menyadari bahwa hatinya semakin tergantung pada Dimas. Ia bukan hanya menginginkan kehadiran Dimas sebagai ayah bagi anak yang ia kandung, tetapi juga sebagai pasangan. Namun, setiap kali Dimas datang dan pergi dengan janji-janji yang tak pasti, Nina mulai merasakan ketidakpastian yang mengoyak dirinya.
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya. Rasa lelah dan frustrasi yang selama ini ia pendam semakin menggumpal di dalam dirinya, seperti sebuah gunung yang siap meletus. Ia tahu bahwa dirinya sudah mencapai batas kesabaran. Dimas telah memberikan begitu banyak luka dan ketidakpastian, dan meskipun ia telah berusaha bertahan demi anak-anak, hatinya semakin sulit untuk tetap kuat.Laras memandangi foto keluarga yang terbingkai di meja samping tempat tidurnya—foto yang penuh dengan senyuman dan kebahagiaan dari masa lalu. Melihat wajah ceria Sarah, Naya, dan Raka di foto itu membuatnya teringat pada hari-hari ketika ia dan Dimas masih begitu dekat, ketika mereka masih penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan yang terasa pahit.
Dimas duduk sendirian di kantornya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya, seolah tak memberinya ruang untuk bernapas. Di satu sisi, ada Laras, istri yang telah bersamanya melewati berbagai rintangan hidup, ibu dari anak-anaknya, sosok yang selalu ia banggakan di depan semua orang. Di sisi lain, ada Nina, wanita yang pernah mengisi kekosongan di hatinya, memberikan perhatian saat ia merasa jauh dari rumahnya sendiri.Tetapi sekarang, dengan segala pengakuan yang ia berikan, hubungan-hubungan yang dulunya tampak rumit kini semakin hancur di hadapannya. Setiap kali ia mencoba mengambil keputusan, ia merasakan beban yang semakin menghimpit dada. Apa pun yang ia lakukan, ia tahu akan ada hati yang terluka, akan ada sesuatu yang berharga yang hilang.
Pagi itu, Laras duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya masih berkutat pada percakapan terakhirnya dengan Dimas, tentang keputusan besar yang baru saja mereka ambil. Meskipun perpisahan ini adalah langkah yang ia tahu akan membawa kedamaian bagi dirinya, rasa sakit itu tetap ada, menyisakan kekosongan yang sulit diisi. Ia merasa lelah, seolah-olah semua energi telah terkuras oleh pertarungan batin yang tiada akhir.Ketika bel pintu berbunyi, Laras terkejut dari lamunannya. Ibunya berdiri di depan pintu, wajahnya penuh keprihatinan. Laras tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari wajahnya, tetapi ia tahu bahwa ibunya mungkin sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.“Assalamu’alaikum, Laras,” sapa ibunya dengan suara lembut, meskipun
Sejak perceraian Laras dan Dimas menjadi keputusan yang semakin nyata, Andi sering hadir dalam kehidupan Laras sebagai sahabat setia. Setiap kali Laras merasa terpuruk atau terjebak dalam perasaan bimbang, Andi selalu ada untuk mendengarkan, menemaninya melalui obrolan ringan, atau hanya sekadar menemani Laras mengantar anak-anak ke taman. Kehadiran Andi mulai terasa seperti sandaran yang stabil, memberinya kekuatan untuk melewati hari-hari yang penuh tantangan.Namun, belakangan ini, Andi mulai merasakan perasaan yang sulit ia jelaskan. Sebagai sahabat dekat Dimas sejak masa kuliah, ia selalu menjaga batas dalam hubungannya dengan Laras, memperlakukan Laras sebagai teman yang butuh dukungan dan tempat bersandar di tengah masa-masa sulit. Tetapi, kini kehadiran Laras
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun Laras berusaha fokus pada anak-anak dan kehidupan sehari-harinya, pikirannya terus-menerus terbayang pada Andi. Andi selalu ada di sana, menjadi penopang, memberi rasa aman yang sudah lama tak ia rasakan. Dalam kehadiran Andi, Laras merasakan ketenangan yang tak pernah ia temukan lagi dalam pernikahannya dengan Dimas. Meski ia masih belum menyadari sepenuhnya, rasa nyaman itu telah tumbuh menjadi ketertarikan yang samar, yang kini mulai mengganggu pikirannya.Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Laras merasa bersalah. Di tengah keinginan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Dimas, perasaan terhadap Andi membuatnya merasa seolah-olah ia sedang berkhianat. Dimas mungkin telah mengkhianatinya berkali-kali, tetapi Laras tidak ingin menjadi seseorang yang melupakan ba
Nina duduk di apartemennya, pandangannya tertuju pada ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali mengunjunginya, dan hal itu membuatnya merasa terabaikan dan marah. Nina tahu bahwa ia telah mengorbankan banyak hal demi hubungan ini. Ia telah menggantungkan harapan masa depannya pada Dimas, tetapi kini ia merasa seolah-olah ditinggalkan dalam ketidakpastian. Sementara kehamilannya semakin besar, Nina membutuhkan kepastian, dan yang lebih penting, tanggung jawab dari Dimas.Dalam keheningan malam itu, Nina memikirkan semua waktu yang telah ia habiskan bersama Dimas. Awalnya, hubungan mereka memberinya kebahagiaan dan perhatian yang selama ini ia dambakan. Tetapi sekarang, ia merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dimas telah menjanjikan banyak hal, namun ke
Dimas duduk sendirian di apartemennya yang sunyi, menatap kosong ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Lampu-lampu kota berkelip-kelip, tetapi bagi Dimas, semuanya tampak buram dan tak bermakna. Ruangan di sekitarnya tampak bersih dan rapi, tetapi dingin dan sepi, jauh berbeda dari rumah yang dulu ia tinggali bersama Laras dan anak-anaknya.Sudah beberapa hari sejak Laras melayangkan gugatan cerai. Berita itu menghantam Dimas seperti badai yang tiba-tiba datang. Meskipun ia tahu bahwa Laras telah mencapai batas kesabarannya, dan meskipun ia tahu bahwa ini adalah akibat dari segala kesalahannya sendiri, tetap saja kenyataan itu terasa seperti pukulan berat yang membuatnya merasa kosong dan hancur.Dimas mencoba untuk tidak memikirkan
Siang itu, udara terasa panas dan berat di luar gedung pengadilan. Laras baru saja selesai berkonsultasi dengan pengacaranya mengenai langkah-langkah selanjutnya dalam proses perceraian. Dengan perasaan campur aduk, ia berjalan keluar gedung, menuruni anak tangga dengan langkah yang hati-hati. Namun, tepat ketika ia akan mencapai trotoar, ia melihat sosok yang tak asing berdiri di seberang jalan.Nina.Wanita itu tampak sedang menunggu seseorang, mungkin tak menyadari kehadiran Laras. Seketika, perasaan canggung dan tegang menyelimuti Laras. Ia merasa ada rasa enggan untuk berhadapan dengan wanita yang telah menghancurkan keluarganya, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang perlu ia sampaikan, sesuatu yang harus diakhiri di antara mereka.
Pagi itu, suasana di rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Laras duduk di ruang tamu, menunggu dengan hati yang berdebar. Ia telah memutuskan untuk berbicara dari hati ke hati dengan putri sulungnya, Sarah, tentang keputusan yang telah ia ambil. Baginya, ini adalah salah satu momen tersulit yang harus ia hadapi, namun ia tahu bahwa kejujuran adalah hal yang terpenting dalam hubungan mereka. Sarah adalah anak yang cerdas, dan Laras ingin putrinya mengerti bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang ia ambil dengan mudah.Tak lama kemudian, Sarah muncul di ruang tamu, masih mengenakan piyamanya. Wajahnya terlihat mengantuk, namun ada kebingungan dalam matanya saat ia melihat ibunya duduk di sofa, dengan ekspresi yang serius namun penuh kasih.“Mama, kenapa pagi-pag
Pagi itu, Laras duduk sendirian di meja makan dengan secangkir kopi yang hampir tidak tersentuh. Matanya menatap kosong ke luar jendela, memandangi taman kecil di belakang rumahnya. Ia terjebak dalam pusaran pikirannya sendiri, memikirkan keputusan yang selama ini ia hindari, namun yang kini terasa tak terelakkan.Setelah malam yang panjang, penuh dengan perenungan dan perdebatan dalam hati, Laras akhirnya menyadari bahwa ia tak bisa lagi bertahan dalam pernikahan yang penuh dengan kebohongan dan luka. Meskipun berat, meskipun ia tahu ini akan menghancurkan hati anak-anaknya, Laras telah memutuskan untuk menggugat cerai.Hatinya terasa berat, seolah ada beban besar yang menekan dadanya. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak hanya akan mengubah hidupnya, tetapi juga akan me
Dimas duduk sendirian di dalam mobilnya, menatap gedung rumah yang dulunya ia anggap sebagai tempatnya pulang. Malam sudah larut, dan lampu di ruang tamu masih menyala, tanda bahwa Laras mungkin belum tidur. Hatinya terasa hampa. Pikiran tentang pertemuannya dengan Laras di ruang tamu beberapa malam lalu terus menghantui, mengingatkan dirinya pada pengakuan yang akhirnya keluar dari mulutnya, sesuatu yang selama ini ia coba hindari.Ia tahu bahwa Laras akan benar-benar pergi kali ini. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Dimas merasakan kesungguhan dalam tatapan dingin Laras, dalam suara yang penuh ketegasan ketika ia memutuskan untuk tidak lagi bertahan dalam pernikahan mereka. Dimas menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya, sebuah perasaan yang lama
Pagi itu, Laras memasuki gedung kantor pengacara dengan perasaan yang campur aduk. Tangannya sedikit gemetar saat ia mendorong pintu kaca, dan ada sedikit keraguan yang menghantui langkahnya. Namun, ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik. Setelah malam penuh pengakuan yang menghancurkan dari Dimas, Laras menyadari bahwa ia harus mengambil tindakan untuk dirinya sendiri dan untuk masa depan anak-anaknya.Ruang tunggu kantor pengacara terlihat tenang dan profesional, dengan sofa berwarna abu-abu dan dinding berhiaskan lukisan-lukisan minimalis. Laras duduk di salah satu sofa, menatap tangan di pangkuannya sambil berusaha menenangkan dirinya. Ia sudah membuat janji dengan salah satu pengacara yang terkenal kompeten dalam kasus-kasus perceraian. Meskipun berat, L
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, memandangi cahaya lampu yang temaram. Anak-anak sudah tertidur di kamar mereka, dan keheningan malam seakan menjadi latar bagi perasaan-perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Ia memejamkan mata sejenak, merasakan lelah yang menguasai tubuh dan pikirannya. Namun, malam itu, ada sesuatu yang membuatnya tetap terjaga, sebuah firasat bahwa akan ada hal besar yang akan terungkap.Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Dimas pulang, wajahnya terlihat letih dan tegang. Langkahnya terasa berat saat ia memasuki ruangan, dan tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sofa di hadapan Laras. Keheningan yang tercipta begitu pekat, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang membatasi mereka.Laras menatap Dimas, merasakan jarak yang begitu be
Malam itu, Laras pulang ke rumah dengan langkah gontai, seolah-olah beban yang ia bawa semakin bertambah berat. Seluruh tubuhnya terasa lelah, namun bukan hanya karena keletihan fisik, melainkan kelelahan emosional yang menggerogoti dari dalam. Begitu pintu rumah tertutup di belakangnya, Laras terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan.Rumah ini terasa begitu sunyi, begitu kosong, meskipun ia tahu anak-anak sedang tertidur di kamar mereka. Kepergian Andi telah menciptakan lubang yang dalam di hatinya, sebuah kehampaan yang tak mudah diisi. Laras mulai menyadari betapa besar ketergantungannya pada Andi selama ini, betapa Andi selalu menjadi pelindung dan pemberi kekuatan di tengah badai yang menerjang rumah tangganya.Ia mengedarkan pandangannya ke seke
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?