Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya. Rasa lelah dan frustrasi yang selama ini ia pendam semakin menggumpal di dalam dirinya, seperti sebuah gunung yang siap meletus. Ia tahu bahwa dirinya sudah mencapai batas kesabaran.
Dimas telah memberikan begitu banyak luka dan ketidakpastian, dan meskipun ia telah berusaha bertahan demi anak-anak, hatinya semakin sulit untuk tetap kuat.
Laras memandangi foto keluarga yang terbingkai di meja samping tempat tidurnya—foto yang penuh dengan senyuman dan kebahagiaan dari masa lalu.
Melihat wajah ceria Sarah, Naya, dan Raka di foto itu membuatnya teringat pada hari-hari ketika ia dan Dimas masih begitu dekat, ketika mereka masih penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan yang terasa pahit.
Dimas duduk sendirian di kantornya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya, seolah tak memberinya ruang untuk bernapas. Di satu sisi, ada Laras, istri yang telah bersamanya melewati berbagai rintangan hidup, ibu dari anak-anaknya, sosok yang selalu ia banggakan di depan semua orang. Di sisi lain, ada Nina, wanita yang pernah mengisi kekosongan di hatinya, memberikan perhatian saat ia merasa jauh dari rumahnya sendiri.Tetapi sekarang, dengan segala pengakuan yang ia berikan, hubungan-hubungan yang dulunya tampak rumit kini semakin hancur di hadapannya. Setiap kali ia mencoba mengambil keputusan, ia merasakan beban yang semakin menghimpit dada. Apa pun yang ia lakukan, ia tahu akan ada hati yang terluka, akan ada sesuatu yang berharga yang hilang.
Pagi itu, Laras duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya masih berkutat pada percakapan terakhirnya dengan Dimas, tentang keputusan besar yang baru saja mereka ambil. Meskipun perpisahan ini adalah langkah yang ia tahu akan membawa kedamaian bagi dirinya, rasa sakit itu tetap ada, menyisakan kekosongan yang sulit diisi. Ia merasa lelah, seolah-olah semua energi telah terkuras oleh pertarungan batin yang tiada akhir.Ketika bel pintu berbunyi, Laras terkejut dari lamunannya. Ibunya berdiri di depan pintu, wajahnya penuh keprihatinan. Laras tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari wajahnya, tetapi ia tahu bahwa ibunya mungkin sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.“Assalamu’alaikum, Laras,” sapa ibunya dengan suara lembut, meskipun
Sejak perceraian Laras dan Dimas menjadi keputusan yang semakin nyata, Andi sering hadir dalam kehidupan Laras sebagai sahabat setia. Setiap kali Laras merasa terpuruk atau terjebak dalam perasaan bimbang, Andi selalu ada untuk mendengarkan, menemaninya melalui obrolan ringan, atau hanya sekadar menemani Laras mengantar anak-anak ke taman. Kehadiran Andi mulai terasa seperti sandaran yang stabil, memberinya kekuatan untuk melewati hari-hari yang penuh tantangan.Namun, belakangan ini, Andi mulai merasakan perasaan yang sulit ia jelaskan. Sebagai sahabat dekat Dimas sejak masa kuliah, ia selalu menjaga batas dalam hubungannya dengan Laras, memperlakukan Laras sebagai teman yang butuh dukungan dan tempat bersandar di tengah masa-masa sulit. Tetapi, kini kehadiran Laras
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun Laras berusaha fokus pada anak-anak dan kehidupan sehari-harinya, pikirannya terus-menerus terbayang pada Andi. Andi selalu ada di sana, menjadi penopang, memberi rasa aman yang sudah lama tak ia rasakan. Dalam kehadiran Andi, Laras merasakan ketenangan yang tak pernah ia temukan lagi dalam pernikahannya dengan Dimas. Meski ia masih belum menyadari sepenuhnya, rasa nyaman itu telah tumbuh menjadi ketertarikan yang samar, yang kini mulai mengganggu pikirannya.Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Laras merasa bersalah. Di tengah keinginan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Dimas, perasaan terhadap Andi membuatnya merasa seolah-olah ia sedang berkhianat. Dimas mungkin telah mengkhianatinya berkali-kali, tetapi Laras tidak ingin menjadi seseorang yang melupakan ba
Nina duduk di apartemennya, pandangannya tertuju pada ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali mengunjunginya, dan hal itu membuatnya merasa terabaikan dan marah. Nina tahu bahwa ia telah mengorbankan banyak hal demi hubungan ini. Ia telah menggantungkan harapan masa depannya pada Dimas, tetapi kini ia merasa seolah-olah ditinggalkan dalam ketidakpastian. Sementara kehamilannya semakin besar, Nina membutuhkan kepastian, dan yang lebih penting, tanggung jawab dari Dimas.Dalam keheningan malam itu, Nina memikirkan semua waktu yang telah ia habiskan bersama Dimas. Awalnya, hubungan mereka memberinya kebahagiaan dan perhatian yang selama ini ia dambakan. Tetapi sekarang, ia merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dimas telah menjanjikan banyak hal, namun ke
Malam itu, Laras dan Dimas terlibat dalam percakapan yang intens di ruang tamu. Laras, yang kelelahan secara emosional, akhirnya tak mampu lagi menahan perasaannya dan mulai mempertanyakan keputusan Dimas dengan nada penuh kepedihan. Ia tahu perceraian sudah di ambang pintu, tetapi perasaan sakit akibat pengkhianatan itu tetap tak kunjung hilang."Aku sudah mencoba, Mas. Tapi aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Bagaimana kamu bisa memilih untuk tetap bersama Nina, bahkan setelah semua yang kita lalui?" tanya Laras dengan suara yang penuh luka.Dimas menunduk, merasa bahwa semua usahanya untuk memperbaiki keadaan hanya membuat segalanya semakin sulit. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Laras. Tapi Nina... dia memiliki anakku. Aku tidak bisa mengabaikan itu."
Minggu itu, Laras terpaksa menghadiri pertemuan keluarga besar Dimas di rumah mertua mereka. Ia merasa enggan datang, tetapi panggilan dari ibu mertuanya terlalu sulit untuk diabaikan. Keluarga besar Dimas telah mengetahui sebagian dari masalah rumah tangga mereka, meskipun rincian sebenarnya masih tersembunyi. Laras dapat merasakan bahwa pertemuan ini bukanlah sekadar acara keluarga biasa. Ada ketegangan di udara, dan ia tahu bahwa percakapan yang terjadi hari ini akan penuh dengan tekanan dan harapan yang sulit ia penuhi.Setibanya di rumah mertuanya, Laras disambut oleh beberapa kerabat yang menatapnya dengan wajah muram. Tidak ada sapaan ceria seperti biasanya, hanya tatapan penuh kekhawatiran, namun juga seolah menyiratkan sesuatu yang tersembunyi. Ketika mereka
Dimas duduk sendirian di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah berkas-berkas yang berantakan di mejanya. Tekanan yang ia rasakan semakin berat, seolah-olah seluruh dunia menuntut jawaban dari dirinya. Laras sudah hampir tak terbendung lagi, keluarganya mulai mendesaknya untuk mempertahankan pernikahan mereka, dan Nina menuntutnya untuk bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya. Tak ada lagi tempat bagi Dimas untuk melarikan diri; ia tahu bahwa kini ia harus membuat keputusan yang jelas dan tegas.Setiap kali ia mencoba membayangkan hidup tanpa Laras dan anak-anak, hatinya terasa berat, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Laras adalah wanita yang selama ini ia cintai dan hormati, seseorang yang selalu ada di sisinya. Ia tahu bahwa tindakannya telah mengha
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?
“Kamu beneran mau pergi?” Laras menatap Andi dengan mata penuh tanya, tapi jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Andi mengangguk perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lembut namun penuh ketegasan.Keduanya duduk di taman kota yang sepi, sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian Laras saat ingin bicara dengan Andi, saat dunia terasa begitu menghimpitnya. Namun, kali ini, ada keheningan yang berat di antara mereka, keheningan yang menyimpan begitu banyak kata tak terucap, begitu banyak perasaan yang terpendam.“Aku pikir… ini saat yang tepat, Laras,” kata Andi akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keputusan. “Kamu tahu aku selalu ada untukmu. Tapi sekarang, kamu perlu waktu untuk diri sendiri, untuk menyelesaikan semuanya tanpa… gangguan dari
Sore itu, Laras berdiri terpaku di depan kafe kecil di pinggir kota, dadanya terasa sesak. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini saat ia berbelanja kebutuhan rumah tangga, namun pandangannya terpaku pada pemandangan di dalam kafe, tepat di sudut ruangan yang jauh dari pandangan umum.Di sana, Dimas duduk berhadapan dengan Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupannya. Laras mengamati mereka dari balik kaca, bersembunyi di balik tiang toko di dekatnya. Meskipun hatinya berdebar-debar dan telinganya berdengung, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk tetap melihat apa yang terjadi di hadapannya.Dimas terlihat berbicara dengan nada serius, sementara Nina terlihat sesekali menyeka air mata dengan saputangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara mereka salin
“Mama, kenapa Papa jarang di rumah?” suara kecil Raka yang penuh kebingungan mengambang di udara, membuat hati Laras serasa dihantam oleh kenyataan yang ia coba hindari selama ini.Laras menatap putranya yang baru berusia dua tahun itu dengan perasaan campur aduk. Raka menatapnya dengan mata bulat yang besar, penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang begitu tulus. Ia tahu, di usia sekecil itu, Raka mungkin belum sepenuhnya mengerti tentang absennya Dimas dari rumah. Namun, anak sekecil itu memiliki hati yang peka, dan setiap ketidakhadiran atau perubahan dalam rutinitas akan dengan mudah ia sadari.“Papa lagi sibuk kerja, Sayang,” jawab Laras, mencoba tersenyum. Senyum yang terasa getir, seolah bibirnya sulit melengkung tanpa ada rasa sakit di baliknya.
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya. Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi