Nina duduk di apartemennya, memandangi ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali menghubunginya, dan Nina mulai merasakan kegelisahan yang semakin kuat.
Dimas telah berjanji untuk berada di sisinya, memberikan dukungan, terutama saat kehamilannya semakin besar. Namun, Nina tidak bisa mengabaikan perasaan yang muncul setiap kali ia membayangkan Dimas pulang ke rumah, kembali kepada Laras dan anak-anaknya.
Meski dirinya adalah “wanita lain,” Nina mulai menyadari bahwa hatinya semakin tergantung pada Dimas. Ia bukan hanya menginginkan kehadiran Dimas sebagai ayah bagi anak yang ia kandung, tetapi juga sebagai pasangan.
Namun, setiap kali Dimas datang dan pergi dengan janji-janji yang tak pasti, Nina mulai merasakan ketidakpastian yang mengoyak dirinya.
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya. Rasa lelah dan frustrasi yang selama ini ia pendam semakin menggumpal di dalam dirinya, seperti sebuah gunung yang siap meletus. Ia tahu bahwa dirinya sudah mencapai batas kesabaran. Dimas telah memberikan begitu banyak luka dan ketidakpastian, dan meskipun ia telah berusaha bertahan demi anak-anak, hatinya semakin sulit untuk tetap kuat.Laras memandangi foto keluarga yang terbingkai di meja samping tempat tidurnya—foto yang penuh dengan senyuman dan kebahagiaan dari masa lalu. Melihat wajah ceria Sarah, Naya, dan Raka di foto itu membuatnya teringat pada hari-hari ketika ia dan Dimas masih begitu dekat, ketika mereka masih penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan yang terasa pahit.
Dimas duduk sendirian di kantornya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya, seolah tak memberinya ruang untuk bernapas. Di satu sisi, ada Laras, istri yang telah bersamanya melewati berbagai rintangan hidup, ibu dari anak-anaknya, sosok yang selalu ia banggakan di depan semua orang. Di sisi lain, ada Nina, wanita yang pernah mengisi kekosongan di hatinya, memberikan perhatian saat ia merasa jauh dari rumahnya sendiri.Tetapi sekarang, dengan segala pengakuan yang ia berikan, hubungan-hubungan yang dulunya tampak rumit kini semakin hancur di hadapannya. Setiap kali ia mencoba mengambil keputusan, ia merasakan beban yang semakin menghimpit dada. Apa pun yang ia lakukan, ia tahu akan ada hati yang terluka, akan ada sesuatu yang berharga yang hilang.
Pagi itu, Laras duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya masih berkutat pada percakapan terakhirnya dengan Dimas, tentang keputusan besar yang baru saja mereka ambil. Meskipun perpisahan ini adalah langkah yang ia tahu akan membawa kedamaian bagi dirinya, rasa sakit itu tetap ada, menyisakan kekosongan yang sulit diisi. Ia merasa lelah, seolah-olah semua energi telah terkuras oleh pertarungan batin yang tiada akhir.Ketika bel pintu berbunyi, Laras terkejut dari lamunannya. Ibunya berdiri di depan pintu, wajahnya penuh keprihatinan. Laras tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari wajahnya, tetapi ia tahu bahwa ibunya mungkin sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.“Assalamu’alaikum, Laras,” sapa ibunya dengan suara lembut, meskipun
Sejak perceraian Laras dan Dimas menjadi keputusan yang semakin nyata, Andi sering hadir dalam kehidupan Laras sebagai sahabat setia. Setiap kali Laras merasa terpuruk atau terjebak dalam perasaan bimbang, Andi selalu ada untuk mendengarkan, menemaninya melalui obrolan ringan, atau hanya sekadar menemani Laras mengantar anak-anak ke taman. Kehadiran Andi mulai terasa seperti sandaran yang stabil, memberinya kekuatan untuk melewati hari-hari yang penuh tantangan.Namun, belakangan ini, Andi mulai merasakan perasaan yang sulit ia jelaskan. Sebagai sahabat dekat Dimas sejak masa kuliah, ia selalu menjaga batas dalam hubungannya dengan Laras, memperlakukan Laras sebagai teman yang butuh dukungan dan tempat bersandar di tengah masa-masa sulit. Tetapi, kini kehadiran Laras
Hari-hari berlalu dengan perlahan, dan meskipun Laras berusaha fokus pada anak-anak dan kehidupan sehari-harinya, pikirannya terus-menerus terbayang pada Andi. Andi selalu ada di sana, menjadi penopang, memberi rasa aman yang sudah lama tak ia rasakan. Dalam kehadiran Andi, Laras merasakan ketenangan yang tak pernah ia temukan lagi dalam pernikahannya dengan Dimas. Meski ia masih belum menyadari sepenuhnya, rasa nyaman itu telah tumbuh menjadi ketertarikan yang samar, yang kini mulai mengganggu pikirannya.Namun, setiap kali perasaan itu muncul, Laras merasa bersalah. Di tengah keinginan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Dimas, perasaan terhadap Andi membuatnya merasa seolah-olah ia sedang berkhianat. Dimas mungkin telah mengkhianatinya berkali-kali, tetapi Laras tidak ingin menjadi seseorang yang melupakan ba
Nina duduk di apartemennya, pandangannya tertuju pada ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali mengunjunginya, dan hal itu membuatnya merasa terabaikan dan marah. Nina tahu bahwa ia telah mengorbankan banyak hal demi hubungan ini. Ia telah menggantungkan harapan masa depannya pada Dimas, tetapi kini ia merasa seolah-olah ditinggalkan dalam ketidakpastian. Sementara kehamilannya semakin besar, Nina membutuhkan kepastian, dan yang lebih penting, tanggung jawab dari Dimas.Dalam keheningan malam itu, Nina memikirkan semua waktu yang telah ia habiskan bersama Dimas. Awalnya, hubungan mereka memberinya kebahagiaan dan perhatian yang selama ini ia dambakan. Tetapi sekarang, ia merasa seperti terjebak dalam kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dimas telah menjanjikan banyak hal, namun ke
Malam itu, Laras dan Dimas terlibat dalam percakapan yang intens di ruang tamu. Laras, yang kelelahan secara emosional, akhirnya tak mampu lagi menahan perasaannya dan mulai mempertanyakan keputusan Dimas dengan nada penuh kepedihan. Ia tahu perceraian sudah di ambang pintu, tetapi perasaan sakit akibat pengkhianatan itu tetap tak kunjung hilang."Aku sudah mencoba, Mas. Tapi aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Bagaimana kamu bisa memilih untuk tetap bersama Nina, bahkan setelah semua yang kita lalui?" tanya Laras dengan suara yang penuh luka.Dimas menunduk, merasa bahwa semua usahanya untuk memperbaiki keadaan hanya membuat segalanya semakin sulit. "Aku tidak pernah bermaksud menyakiti kamu, Laras. Tapi Nina... dia memiliki anakku. Aku tidak bisa mengabaikan itu."
Minggu itu, Laras terpaksa menghadiri pertemuan keluarga besar Dimas di rumah mertua mereka. Ia merasa enggan datang, tetapi panggilan dari ibu mertuanya terlalu sulit untuk diabaikan. Keluarga besar Dimas telah mengetahui sebagian dari masalah rumah tangga mereka, meskipun rincian sebenarnya masih tersembunyi. Laras dapat merasakan bahwa pertemuan ini bukanlah sekadar acara keluarga biasa. Ada ketegangan di udara, dan ia tahu bahwa percakapan yang terjadi hari ini akan penuh dengan tekanan dan harapan yang sulit ia penuhi.Setibanya di rumah mertuanya, Laras disambut oleh beberapa kerabat yang menatapnya dengan wajah muram. Tidak ada sapaan ceria seperti biasanya, hanya tatapan penuh kekhawatiran, namun juga seolah menyiratkan sesuatu yang tersembunyi. Ketika mereka
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui tirai putih tipis di ruang tamu rumah baru Laras. Cahaya hangatnya menyentuh dinding-dinding yang dihiasi foto keluarga, menggambarkan momen-momen penuh tawa bersama anak-anaknya.Rumah ini tidak megah, tetapi penuh dengan kehangatan dan rasa aman. Di tengah ruangan, Naya dan Raka bermain, tawa mereka menggema, sementara Sarah duduk di sofa, membaca buku cerita kesukaannya. Suara ceria mereka membawa kehidupan yang sudah lama Laras rindukan.Laras berdiri di depan jendela besar, memandang halaman kecil di luar yang mulai dipenuhi tanaman hijau.Hari ini berbeda, terasa lebih segar, lebih ringan. Rumah itu adalah simbol babak baru dalam hidupnya—sederhana, namun penuh dengan cinta dan harapan. Di saat itulah, pintu depan berderit pelan dan suara langkah yang dikenalnya memasuki ruangan.“Selamat pagi, semuanya!” suara Andi bergema di ruangan, membuat Raka berlari kecil sambil tertawa, mengh
Matahari pagi memancar lembut di atas jalanan berdebu yang membentang menuju desa kecil di pinggiran kota. Dimas memandangi pemandangan dari jendela bus yang bergetar pelan.Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi perjalanan untuk mencari kembali dirinya yang hilang di tengah deru kesalahan dan penyesalan. Tas ransel di pangkuannya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban emosi yang masih menggantung di dalam hati.Ia menatap keluar jendela, melihat petak-petak sawah yang membentang hijau dan rumah-rumah kayu dengan atap miring.Tempat ini adalah destinasi yang ia pilih untuk memulai lembaran baru, tempat di mana ia pernah menghabiskan waktu bertahun-tahun lalu saat masih menjadi mahasiswa yang penuh semangat.Proyek sosial yang dulu ia cintai, sebuah program pendidikan dan pengembangan masyarakat, kini memanggilnya kembali.Sesampainya di desa, Dimas turun dari bus dan merasakan angin pagi yang segar menyentuh wajahnya.
Matahari pagi menyinari ruang tamu rumah Laras, menciptakan bayangan indah di dinding berwarna krem yang hangat.Di sudut ruangan, rak buku yang penuh dengan koleksi cerita anak dan novel dewasa milik Laras tampak teratur, menambah kehangatan suasana. Di tengah kesibukan pagi itu, suara tawa anak-anak bergema, membawa semangat baru yang kini menyelimuti rumah mereka.Sarah duduk di meja makan, menyuapi Raka yang cerewet tapi ceria. Naya berlarian dengan boneka kelincinya, sementara Laras mengamati mereka dengan senyum lembut.Pagi yang sibuk seperti ini telah menjadi bagian dari rutinitas baru yang membuatnya merasa lebih hidup. Di balik segala kesulitan yang ia hadapi, kehidupan kini mulai terasa stabil, meski tidak sempurna.“Ma, bisa bantu buka ini?” suara Sarah memecah lamunan Laras. Ia menunjuk tutup botol susu yang sulit dibuka. Laras berjalan mendekat, mengambil botol itu dan membukanya dengan mudah.“Terima kasih, Ma,&rdqu
Langit sore berwarna oranye lembut, memayungi kafe kecil di sudut kota yang sepi. Hembusan angin sore membawa aroma kopi dan daun basah yang segar.Laras duduk di meja dekat jendela, memandang keluar sambil memainkan cangkir kopinya yang setengah kosong. Jantungnya berdegup dengan ritme yang tenang tapi berat. Hari ini, pertemuan terakhir dengan Dimas terasa seperti babak penutup yang sudah lama dinantikan.Pintu kafe terbuka, dan suara lonceng kecil terdengar menggema. Dimas masuk dengan langkah yang mantap, meski wajahnya menyiratkan kelelahan.Rambutnya lebih pendek daripada terakhir kali mereka bertemu, dan ada garis-garis halus di wajahnya yang membuatnya tampak lebih tua. Mata mereka bertemu sesaat, saling membaca rasa canggung yang perlahan mencair menjadi senyuman kecil.“Hai, Laras,” sapanya, suaranya terdengar serak tapi tulus.“Hai, Dimas,” jawab Laras dengan nada lembut. Dimas duduk di kursi seberangnya, meletakk
Hujan gerimis membasahi jendela kamar Sarah, membuat pola-pola acak yang bergerak pelan seiring tetesan air turun.Di kursi dekat jendela, Sarah duduk dengan kepala bersandar pada kaca yang dingin, matanya menerawang ke taman kecil di halaman rumah.Meski langit tampak suram, ada rasa damai yang aneh menyelimuti dirinya. Hari-hari yang penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa perlahan berubah menjadi penerimaan yang lembut, seperti gerimis yang menyejukkan setelah badai panjang.Di sudut ruangan, terdengar suara langkah kecil yang mendekat. Naya muncul dengan boneka kelincinya, wajahnya memancarkan senyum polos yang khas. “Kak Sarah, mau main sama aku?” tanyanya dengan mata berbinar, suaranya penuh harapan.Sarah menoleh, menatap adiknya dengan senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya. Selama ini, Naya adalah adik kecil yang selalu berusaha mengisi suasana dengan tawa, meski ketegangan di rumah kerap membuat suasana berubah-ubah.Sara
Sinar matahari pagi menembus jendela kamar Naya, menyebar lembut di atas dinding bercorak bunga-bunga berwarna pastel.Naya terbangun perlahan, matanya yang besar berkedip beberapa kali sebelum melihat sekelilingnya. Di meja belajarnya, sebuah buku gambar terbuka, memperlihatkan coretan-coretan berwarna cerah.Gambar itu menunjukkan dirinya, Sarah, Raka, dan Laras berdiri di bawah pohon besar dengan senyum lebar. Meskipun gambar itu sederhana, ada perasaan hangat yang mengalir dari sana.“Naya, sudah bangun, Sayang?” suara Laras terdengar dari ambang pintu. Ia melangkah masuk, membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti panggang dengan selai stroberi. Wajah Laras tampak lebih cerah, senyum lembut menghiasi bibirnya.Naya mengangguk, bangkit perlahan dari tempat tidur dan tersenyum kecil. “Iya, Ma,” jawabnya, suaranya masih serak oleh sisa-sisa tidur. Laras duduk di tepi tempat tidur, mengusap rambut Naya yang halus dengan se
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca jendela ruang kerja Laras, menerangi tumpukan berkas dan dokumen di atas mejanya.Matanya tertuju pada layar laptop, di mana email berisi tawaran pekerjaan di luar negeri masih terbuka. Ia membaca paragraf demi paragraf dengan hati yang berkecamuk.Kesempatan untuk bekerja di perusahaan ternama di Singapura, posisi yang menjanjikan kenaikan karier dan pendapatan yang menggiurkan. Namun, setiap kata dalam email itu seperti menambah beban di dadanya.Suara anak-anak terdengar dari ruang tengah. Naya tertawa renyah karena candaan Raka, dan Sarah terdengar menceritakan sesuatu dengan semangat.Laras menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke arah pintu terbuka yang menghubungkan ruang kerja dengan ruang keluarga. Wajah anak-anaknya muncul dalam pikirannya, memaksanya mempertimbangkan apa yang benar-benar penting.Dengan tangan gemetar, Laras menutup laptopnya. Tawaran itu memang menggiurkan, namun perasaa
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil apartemen Nina, menyinari sudut-sudut ruangan dengan kehangatan yang lembut.Di meja dapur, Nina duduk dengan rambut yang disanggul rapi, mengenakan kaus putih dan celana jeans longgar.Tangan kanannya sibuk menggambar sketsa bunga-bunga di buku catatan kecilnya, sementara di sampingnya, sepiring roti panggang dan secangkir teh hangat menemani. Ruangan itu dipenuhi aroma harum teh melati, membawa kedamaian yang tak terlukiskan.Di dekat Nina, bayi kecilnya, Aidan, tertidur pulas di kursi bayi. Wajahnya yang mungil dan polos membuat hati Nina terasa penuh, meskipun letih sering kali membayangi.Setiap kali ia melihat Aidan, rasa cinta yang begitu kuat mengalir dalam dirinya, memberinya alasan untuk terus melangkah maju. Tidak ada lagi bayangan Dimas di balik senyumnya, hanya ada dirinya dan Aidan, serta tekad kuat untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.Nina menutup buku catatannya, menghela napa
Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suara gemericik yang menyusup ke dalam apartemen Dimas yang sepi.Udara dingin dan lembap merayap melalui celah-celah jendela yang sedikit terbuka, mengisi ruangan dengan aroma tanah basah.Dimas duduk di meja kerjanya, tatapannya kosong memandangi selembar kertas putih di depannya.Tangannya yang gemetar menggenggam pena, namun tulisan yang tertoreh di atas kertas itu baru separuh jadi. Di sebelahnya, secangkir kopi yang sudah dingin tak disentuh, melengkapi suasana kesendirian yang membungkus dirinya.Sore itu, Dimas merasa keheningan menggerogotinya, namun entah mengapa, ada kedamaian samar yang merayap di antara rasa penyesalan dan kelelahan.Setelah berminggu-minggu diliputi kebingungan dan konflik batin, akhirnya ia menemukan titik terang di tengah kekacauan ini—sebuah keputusan yang terasa pedih namun perlu. Ia harus merelakan Laras, bukan hanya untuk kebaikan Laras, tetapi untuk