Pagi itu, Laras sedang menyiram tanaman di halaman rumahnya ketika ia mendengar suara pelan dari arah pagar depan. Beberapa ibu-ibu yang biasa berkumpul untuk berbincang tampak berkerumun, membentuk lingkaran kecil sambil berbisik-bisik.
Sesekali, mereka melirik ke arah rumahnya, tatapan yang cepat mereka alihkan begitu Laras menoleh.
Awalnya, Laras mencoba mengabaikan mereka, meyakinkan dirinya bahwa mungkin itu hanya perasaannya saja. Namun, seiring berjalannya hari, perasaan tidak nyaman semakin menghantuinya.
Setiap kali ia bertemu dengan tetangga di jalan atau di supermarket dekat rumah, ia bisa merasakan tatapan aneh, seolah-olah mereka ingin berbicara tapi menahan diri.
Beberapa hari kemudian, saat ia tengah menjemput Naya dari sekolah, seorang tetangga yang sel
Laras memperhatikan perubahan kecil yang mulai muncul pada diri Sarah, anak sulungnya yang baru berusia tujuh tahun. Biasanya, Sarah adalah anak yang ceria, suka bercerita tentang hari-harinya di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang pelajaran yang ia sukai. Namun, belakangan ini, Laras menyadari bahwa Sarah semakin pendiam, lebih sering mengunci diri di kamar, dan kadang-kadang terlihat termenung tanpa alasan yang jelas. Seolah ada sesuatu yang dipendam oleh putrinya, namun ia terlalu kecil untuk memahami atau mengungkapkannya.Malam itu, Laras duduk di tepi tempat tidur Sarah, mengusap kepala putrinya dengan lembut. Sarah menatap ibunya dengan mata yang tampak redup, tak lagi penuh keceriaan seperti biasa.“Mama, kenapa Papa nggak pernah peluk Mama lagi?” Sarah bertanya tiba-tiba, suaranya kec
Laras semakin sering menghabiskan waktu bersama Andi, sahabat lama Dimas yang sudah ia anggap seperti saudara. Andi selalu bisa mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan pandangan yang jernih, dan memberikan dukungan yang begitu Laras butuhkan. Dalam beberapa bulan terakhir, di saat-saat terberatnya, Andi adalah satu-satunya orang yang Laras percayai sepenuhnya.Sore itu, mereka duduk di kafe favorit mereka yang tenang, dengan secangkir teh hangat di hadapan masing-masing. Laras tampak lebih santai saat berbicara dengan Andi, tertawa kecil saat mengingat masa-masa dulu ketika mereka masih sering berkumpul bertiga—ia, Dimas, dan Andi. Tetapi di balik senyumannya, tetap ada bayang-bayang kesedihan yang tampak jelas di wajahnya."Andi, kadang aku merasa seperti terj
Malam itu, Laras duduk di ruang tamu, menunggu Dimas pulang. Hatinya penuh dengan perasaan campur aduk—kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Beberapa hari terakhir, ia memikirkan tentang pilihan hidupnya, tentang bagaimana ia tak bisa terus hidup dalam kebingungan dan ketidakpastian ini. Laras sadar bahwa inilah saatnya ia memberikan ultimatum kepada Dimas. Suaminya harus memilih, dan tidak bisa lagi berada di antara dua dunia yang berbeda.Ketika Dimas akhirnya masuk ke dalam rumah, Laras menatapnya dengan tatapan penuh kesungguhan. Dimas terdiam, menyadari bahwa Laras tampak berbeda malam itu. Ia merasa bahwa ini bukan hanya percakapan biasa, bahwa ada sesuatu yang mendalam yang ingin disampaikan istrinya."Laras, ada apa?" tanya Dimas dengan nada pelan, mencoba menyelidiki suasa
Pagi itu, Laras sedang membereskan dapur ketika Dimas muncul di belakangnya dengan wajah penuh kegelisahan. Ia melihat tatapan Dimas dari sudut matanya dan merasakan bahwa suaminya ingin mengatakan sesuatu. Ada ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah sebuah rahasia besar sedang berada di ujung bibir Dimas, menunggu untuk diungkapkan.“Laras, kita perlu bicara,” suara Dimas terdengar serak, hampir berbisik.Laras meletakkan piring yang sedang ia pegang, membersihkan tangannya, dan menatap Dimas dengan penuh kehati-hatian. “Apa lagi, Mas? Apa yang masih belum kamu katakan padaku?”Dimas tampak menunduk, tak berani menatap mata Laras. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang penuh ketegangan, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam, seola
Nina duduk di apartemennya, memandangi ponselnya yang sunyi. Sudah beberapa hari sejak Dimas terakhir kali menghubunginya, dan Nina mulai merasakan kegelisahan yang semakin kuat. Dimas telah berjanji untuk berada di sisinya, memberikan dukungan, terutama saat kehamilannya semakin besar. Namun, Nina tidak bisa mengabaikan perasaan yang muncul setiap kali ia membayangkan Dimas pulang ke rumah, kembali kepada Laras dan anak-anaknya.Meski dirinya adalah “wanita lain,” Nina mulai menyadari bahwa hatinya semakin tergantung pada Dimas. Ia bukan hanya menginginkan kehadiran Dimas sebagai ayah bagi anak yang ia kandung, tetapi juga sebagai pasangan. Namun, setiap kali Dimas datang dan pergi dengan janji-janji yang tak pasti, Nina mulai merasakan ketidakpastian yang mengoyak dirinya.
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya. Rasa lelah dan frustrasi yang selama ini ia pendam semakin menggumpal di dalam dirinya, seperti sebuah gunung yang siap meletus. Ia tahu bahwa dirinya sudah mencapai batas kesabaran. Dimas telah memberikan begitu banyak luka dan ketidakpastian, dan meskipun ia telah berusaha bertahan demi anak-anak, hatinya semakin sulit untuk tetap kuat.Laras memandangi foto keluarga yang terbingkai di meja samping tempat tidurnya—foto yang penuh dengan senyuman dan kebahagiaan dari masa lalu. Melihat wajah ceria Sarah, Naya, dan Raka di foto itu membuatnya teringat pada hari-hari ketika ia dan Dimas masih begitu dekat, ketika mereka masih penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan yang terasa pahit.
Dimas duduk sendirian di kantornya, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Pikiran-pikiran berkecamuk di kepalanya, seolah tak memberinya ruang untuk bernapas. Di satu sisi, ada Laras, istri yang telah bersamanya melewati berbagai rintangan hidup, ibu dari anak-anaknya, sosok yang selalu ia banggakan di depan semua orang. Di sisi lain, ada Nina, wanita yang pernah mengisi kekosongan di hatinya, memberikan perhatian saat ia merasa jauh dari rumahnya sendiri.Tetapi sekarang, dengan segala pengakuan yang ia berikan, hubungan-hubungan yang dulunya tampak rumit kini semakin hancur di hadapannya. Setiap kali ia mencoba mengambil keputusan, ia merasakan beban yang semakin menghimpit dada. Apa pun yang ia lakukan, ia tahu akan ada hati yang terluka, akan ada sesuatu yang berharga yang hilang.
Pagi itu, Laras duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya masih berkutat pada percakapan terakhirnya dengan Dimas, tentang keputusan besar yang baru saja mereka ambil. Meskipun perpisahan ini adalah langkah yang ia tahu akan membawa kedamaian bagi dirinya, rasa sakit itu tetap ada, menyisakan kekosongan yang sulit diisi. Ia merasa lelah, seolah-olah semua energi telah terkuras oleh pertarungan batin yang tiada akhir.Ketika bel pintu berbunyi, Laras terkejut dari lamunannya. Ibunya berdiri di depan pintu, wajahnya penuh keprihatinan. Laras tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari wajahnya, tetapi ia tahu bahwa ibunya mungkin sudah menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.“Assalamu’alaikum, Laras,” sapa ibunya dengan suara lembut, meskipun
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya. Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya. Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamar, memandangi album foto pernikahannya yang tergeletak di pangkuannya. Foto-foto yang dulu begitu berarti kini hanya terasa seperti potongan kenangan yang sudah lama berlalu. Laras menelusuri gambar-gambar itu dengan jemarinya, mengingat saat-saat ketika ia dan Dimas berdiri bersebelahan dengan senyuman lebar, penuh harapan akan masa depan yang mereka yakini akan selalu bahagia.Namun, kini semua itu terasa seperti kebohongan. Setiap janji yang mereka ucapkan di hari pernikahan mereka, setiap mimpi yang mereka rencanakan bersama, terasa hancur berkeping-keping. Laras menyadari bahwa pengkhianatan Dimas telah merusak dasar pernikahan mereka, dan meskipun ia mencintai anak-anaknya, ia tidak bisa lagi memandang Dimas dengan cara yang sama.
Persidangan berjalan semakin tegang, semakin rumit, dan semakin menguras energi dari semua yang terlibat di dalamnya. Di tengah proses yang penuh konflik, Nina mulai merasakan beban yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semula, ia datang ke persidangan dengan rasa percaya diri dan keyakinan untuk memperjuangkan hak anaknya. Namun, setiap pertemuan di ruang sidang justru membuat perasaannya semakin rumit.Hari itu, Nina duduk di ruang tunggu pengadilan sebelum sidang dimulai. Ia merasakan jantungnya berdebar dan tangannya sedikit gemetar. Di sekelilingnya, wajah-wajah pengunjung pengadilan yang tak dikenal menatap dengan berbagai macam ekspresi. Beberapa tampak iba, beberapa tampak penasaran, tetapi tidak sedikit yang memandangnya dengan tatapan menghakimi. Perasaan terasing itu perlahan mengikis kepercayaan d
Rumah itu terasa hening, terlalu hening, seperti tempat yang kehilangan kehangatan dan kehidupan. Laras dan Dimas masih tinggal di rumah yang sama, tetapi mereka tidak lagi berbicara dengan cara yang biasa. Hubungan mereka yang dulu dipenuhi tawa dan kebersamaan kini berubah menjadi keheningan yang menusuk dan penuh ketegangan. Mereka bergerak di dalam rumah layaknya dua orang asing yang kebetulan tinggal di atap yang sama.Setiap pagi, Laras bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan anak-anak. Ia melakukan semuanya dengan cepat, menghindari kemungkinan bertemu Dimas yang biasanya baru bangun setelah anak-anak berangkat ke sekolah. Begitu juga Dimas, yang sekarang lebih sering duduk sendirian di ruang tamu atau teras, seolah-olah sengaja menghindari Laras. Jika mereka bertemu di lorong atau di dapur, mereka hanya
Hari-hari terasa semakin berat bagi Laras. Setelah kepergian Andi yang tanpa penjelasan lebih lanjut, ia merasakan kesendirian yang begitu mendalam. Pagi-pagi di rumah terasa hampa tanpa pesan dukungan dari Andi, dan setiap kali ia menghadapi masalah, tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju untuk sekadar mencurahkan isi hatinya.Sebagai ibu tunggal yang masih bergulat dengan tekanan persidangan Dimas dan Nina, Laras mencoba sekuat tenaga menjalani hari-harinya tanpa dukungan emosional yang selama ini diberikan Andi. Namun, meskipun ia mencoba bersikap kuat, hati kecilnya merasakan kehampaan yang semakin besar. Beban itu terasa begitu berat ketika ia harus mengurus anak-anak yang semakin sering mempertanyakan situasi di rumah mereka, sementara di sisi lain ia juga harus mempersiapkan diri menghadapi sidang yang tam